Selasa, 07 Maret 2006

Menangkap Bintang

Samar-samar kuingat, suatu malam saat aku masih kecil dan belum mampu berbahasa dengan baik. Saat itu mungkin aku rewel, sehingga aku digendong keluar teras depan rumah oleh seseorang dewasa. Aku tidak ingat betul siapa yang menggendongku. Mungkin karena terlalu banyak yang bergantian menggendongku, sampai-sampai aku mengira semua orang adalah ibu.


Tapi aku yakin bukan Ibu yang menggendongku keluar malam itu. Aku tahu dia tidak berminat untuk membawaku keluar rumah malam-malam dimana udaranya lebih dingin. Kupikir bukan pula Ayah. Aku tahu betul kalau dia yang menggendongku. Dia akan memegang tubuh kecilku dengan kedua tangannya dan mulai mengangkatku ke atas atau berputar-putar sambil meledekiku dengan senyumnya yang lebar. Tapi malam itu tidak. Yang kuingat hanyalah senandung-senandung dan suara yang mencoba menenangkanku. Suara yang mungkin mencoba mengajakku berbicara, menjelaskan sesuatu sambil menunjuk ke atas, dan aku pun menengadah ke atas mengikuti arah mana dia ingin menunjukkan sesuatu.

Malam itu memang langit bersih tak berawan, bintang-bintang bersinar terang berkerlap-kerlip mengundang ketakjubanku. Seakan-akan membentuk suatu bentuk kombinasi wajah keibuan yang mengingatkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Meringkuk dalam momongan yang mengayomi, sambil mendengar senandung merdu dan menyaksikan keindahan bintang.

Aku mengangkat tanganku ke atas dan kudekatkan ke arah bintang yang paling terang dari sudut pandangku. Kukepalkan tanganku, kugenggam erat-erat bintang itu, kemudian kudekatkan genggamanku tepat di depan wajahku. Kubuka perlahan-lahan genggamanku, namun aku kecewa karena di situ tidak ada bintang. Ia tetap di sana, berkedip-kedip, menggodaku untuk mencoba kembali melakukan hal terbodoh seumur hidupku: menangkap bintang.

Aku tidak ingin menjadi awan. Aku ingin menjadi bintang yang bersinar di langit malam. Bintang yang paling terang di antara bintang-bintang redup lainnya.

0 komentar: