Sabtu, 16 Desember 2006

Mempertanyakan Jati Diri Sebagai Bangsa & Jati Diri Sebagai Individu

Sedang membaca Koran? Kalau masih punya sedikit waktu sempatkanlah mengamat-amati keadaan sekitar, misalnya pada tong sampah-sampah kita. Apa yang terlihat? Manusia yang tengah memakan sampah. Di kolong-kolong dan jembatan, rumah? Di perempatan jalan, pengemis dan pengamen. Sekarang mari kita coba-coba bertanya pada orang-orang yang mungkin kita tanyai, “kerja apa, dimana?”… . Pengangguran nyata. Di pelosok-pelosok desa, petani. “Luas lahannya berapa?” … . Pengangguran terselubung. Sayangnya kita tidak punya angka-angka yang pasti tentang berapa jumlahnya, ada yang bilang data-data BPS (Balai Pusat Statistik) sulit dipercaya kevalidan datanya kecuali kantornya telah membuka cabang sampai ke tingkat RT/RW.

**

Bencana, bencana dan bencana… sangat marak akhir-akhir ini, booming. Sampai-sampai ada yang mengatakan kalau negeri ini adalah negeri bencana. Kelaparan, kekeringan, banjir, longsor, gunung meletus, gempa dan tsunami. Menurut pengalaman, bencana di Negara kita sudah selalu pasti dibarengi efek kompleks, efek dan kompleks. Efeknya yang pasti adalah korban jiwa dan harta benda, beban mental korban dan beban keuangan Negara. Kompleksnya bermacam-macam, tergantung pada kompetensi dan spesialisasi pendidikan pengidap kompleksnya. Tetapi sifatnya yang paling mencolok adalah kompleks proyek dengan berbagai turunannya seperti KKN dan penyalahgunaan wewenang.

**

Salah seorang dosen saya pernah mengatakan kalau bangsa ini menderita sejenis bisul yang kronis, sulit disembuhkan. Menggerogoti sekujur tubuhnya. Mulai dari Aceh, Jawa, Sulawesi, Ambon, sampai Papua. Malahan sudah ada bahagian tubuhnya yang sudah diamputasi, antara lain Timor Timur, Sipadan dan Ligitan dan entah bahagian mana lagi yang segera menyusul.

**

Lain lagi halnya dengan yang satu ini, seorang Ibu yang tak mengenal dan dikenal anaknya sendiri dan bahkan Sang Anak tak lagi mengenali dirinya sendiri. Sang Anak tumbuh menjadi kikuk, gagap, gagu, peniru dan pemalu. Ia tahu keadaannya, maka dicobanya menutupi kekurangannya itu dengan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, dengan segala cara. Kemudian ia tampil dalam berbagai bentuk dan topeng, sangat simpatik. Maka segera saja ia berterima bagi yang lain dan bahkan menjadi penguasa segala bidang kehidupan. Tak perlu lagi dipertanyakan kenapa, kemunafikan saling dukung mendukung lalu makan memakan. Inilah hasil demokrasi, senjata yang amat beringas ditangan orang-orang jahat dan setetes air zam-zam di tangan orang-orang baik.

**

Dahulu, kejahatan terpencil seperti jeritan, kini universal seperti sains. Albert Camus meneriakkannya hampir enam puluh tahun yang lalu, adakah yang berubah? Perubahannya hanyalah bahwa kini kejahatan tampil dengan wajah yang lebih lembut, mengambil bentuk dalam etika, budaya dan bahkan agama. Bukankah wajah sang jahat kadang tampil di hadapan kita sebagai pahlawan?

**

Inikah wajah Ibu Pertiwi, ibu kita?

**

Andai hari ini adalah 55 tahun yang lalu, mungkin semarak panji-panji dan pekik merdeka masih akan menggelorakan semangat dan harapan. Tetapi kini lihatlah, Ia berkawan ragu. Inikah buah kemerdekaan? Untuk apa Nasionalisme bila ia mengusir aku dari tanahku, tumpah darahku sendiri? Buat apa primordialisme bila yang diberikannya padaku bukannya jati diri melainkan ketertundukan dan ketaklukan? Apa urusan nasionalisme mempertanyakan agama, dan asal usul suku kami? - dream blog -

0 komentar: