Minggu, 04 Maret 2007

KKN di PT. Jamsostek

Hari kamis tanggal 1 kemarin adalah hari pertamaku masuk KKN di PT. Jamsostek. Sebelum bisa membayangkan apa-apa, saya sudah mendengar dari teman-teman yang juga pernah KKN di situ, bahwa pekerjaannya paling-paling cuman disuruhi lubangi kertas, menyusun surat-surat yang jumlahnya bejibun, atau mem-fotokopi. Aku dan seorang teman kampusku yang juga KKN di sini, Indin, memilih masuk siang (dari jam 1 sampe jam 5 sore) karena kuliah kami rata-rata pagi, supaya tidak bentrok dengan jadwal KKN. Ternyata bukan cuma kami berdua yang KKN di Jamsostek, tetapi banyak dari universitas lain, seperti Stimik Dipanegara, UMI, Universitas 45, dan Akba. jumlah kami sekitar 12 orang, dan kebanyakan cewek. Cowok cuma saya berdua ditambah seorang lagi dari stimik. Hari pertama itu kami cuma diberi materi mengenai jamsostek secara sekilas. Setelah itu pembagian penempatan divisi bagi peserta KKN. Karena aku dan Indin masuk siang, maka kami belum mulai KKN hari itu, dan divisi kami belum ditentukan.

Dan benar saja, esoknya, hari kedua yang aku lakukan adalah sama seperti apa yang temanku pernah bilang; menyusun surat-surat iuran sesuai nomor urutnya atau stempel surat, dan semacamnya. Busyet, seandainya saja aku tidak ambil 3 matakuliah sambil KKN ini, pasti aku memilih KKN reguler ke desa-desa, yang pastinya seru, tidak terlupakan, dan yang terpenting sangat cocok dengan seleraku. Ya cuma gara-gara nginget klo ada kuliah, mau gak mau ambil KKN profesi ini biar bisa gampang bolak balik kampus.

Hari keduaku masuk itu yang pertama aku (dan teman KKN-ku, Indin) lakukan adalah duduk menunggu selama kurang lebih sejam. Setelah itu kami diajak masuk dan bertemu dengan seorang bapak bersetelan rapi, kumis yang tipis beruban, yang belakangan kutahu namanya adalah pak Syarif. Dia adalah kepala divisi keuangan di PT. Jamsostek ini. Dan ketika kami tahu kalau kami ditempatkan di divisi keuangan ini, tiba-tiba di pikiranku langsung berkelebat bayangan pelajaran-pelajaran akuntansi yang bikin pusing itu. Untungnya kebanyakan aktivitas keuangan katanya sudah terkomputerisasi.

Sekitar sejam kami mendapat penjelasan dari pak Syarif, masih tentang jamsostek, tapi kali ini sedikit lebih detail hingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan tiap-tiap divisi, termasuk keuangan ini. Pembicaraan kami bertepuk sebelah tangan, karena aku yang dari kemarin kurang tidur, jadi mengantuk. Indin saja yang sesekali mengomentari penjelasan dari bapak. Susahnya menahan kantuk, saat mau menguap jadi tidak enak sama pak Syarif (takut ketahuan), tapi sialnya dia cuma sekitar satu meter duduk di depanku. Kalau aku akan menguap, terpaksa aku tahan sekuat tenaga, jadinya bukan mulutku yang menguap, tapi lubang hidungku yang melebar hingga kelihatan mirip hidungnya kudanil. Pasti pak Syarif tahu kalau aku bete.

Setelah menit-menit itu berlalu, kami diajak bapak untuk berkenalan dengan staf-staf di divisi ini; ada pak Teguh dan bu Ori. Sekilas wajah mereka ada kemiripan, hingga awalnya kupikir mereka bersaudara. Kedua staf ini jelas orang jawa, dari aksennya kental sekali logat jawanya. Sesekali mereka berdua menggunakan bahasa jawa yang dicampur-aduk dengan bahasa indonesia serta sesekali logat makassar yang terkesan kaku. Kata-kata seperti ini yang sering aku dengar dari pembicaraan mereka: 'sek to', 'yo wes', 'piye to', 'yo gak lah', 'opone'. Ballassi daembecakka. Selain mereka berdua, ada lagi salah satu staf dari divisi umum, seorang pria paruh baya yang gemuk, perutnya buncit. Orang-orang memanggilnya 'haji', padahal penampilannya sama sekali tidak mirip haji pada umumnya. Gerakannya cepat, lincah, dan kancing bajunya sengaja dibuka sampai bulu-bulu di dadanya kelihatan. Sekilas, dan hanya sekilas, bau keringatnya seperti minuman tequila, tetapi saya sarankan untuk sekali-kali tidak mencium bau keringatnya dalam-dalam. Anda bisa kejang-kejang seketika. Mereka semua baik, mudah akrab, seperti pak syarif dan orang-orang lainnya yang ada di sini.

Dan selanjutnya pekerjaan dimulai. Sambil mengerjakan hal-hal yang sama persis seperti yang teman-temanku pernah katakan, Kami duduk di depan jendela yang menghadap tepat kepada universitas 45. Membuatku teringat akan salah satu sahabat terbaikku, Nanang yang dulu DO dari Unhas dan sekarang kuliah di univ. 45. Mungkin di salah satu jendela-jendela itu, Nanang juga sedang menatap bangunan ini, pikirku. Hingga menjelang magrib satu per satu orang-orang mulai pulang, dan kami pun bersiap-siap pulang... sambil berharap hari-hari selanjutnya akan lebih baik dari hari ini. - dream blog -

0 komentar: