Rabu, 18 April 2007

Sarimin Minta Sekolah

(2nd Cerpen)
Bungkam, bukanlah diam. Bungkam, ingin meledak. Bahkan sebuah rumah yang kita sepikan di pojok itu menyimpan lidah api. Akan membakar rerumputan kering di suatu saat, tak terkira.

---

“Sekolah, hanya bikin orang malas dan rakus, jahat, juga suka menipu. Lihat saja, anak-anak muda di dekat pasar itu! kerjanya hanya menggoda perempuan, kalau tidak mabuk-mabukan lalu memalak kuda. Ingat kau, sawah kita yang sekarang berdiri kantor desa? Dulunya, orang-orang sekolahan itu bilang untuk kesejahteraan kampung kita. Tapi apa? Tempat untuk mengumpulkan upeti dari rumah kita sendiri. ”katanya dengan berang.

“Apa itu berarti sekolah yang membuat mereka seperti itu dan karenanya anak kita tak boleh sekolah?“

“Jangan bilang mereka itu tak sekolah sepertiku, aku kenal mereka seperti semua orang-orang di kampung ini juga mengenali kebodohanku”

“Aku pernah sekolah di SD, tapi aku tak seperti mereka?”

“Kubilang tidak, si Olan tetap tak boleh sekolah. Mereka bukan saja sudah sekolah di SD, bahkan lebih tinggi dan paling tinggi. Kau tidak seperti mereka karena kau isteriku.” Katanya gusar pada isterinya.

“Apa kau tidak kasihan pada anak kita?”

“Belikan dia seragam yang paling bagus, tapi bukan untuk sekolah.” Katanya lebih lunak.

“Lalu untuk apa?” isterinya bingung.

“Untuk menggembalakan kerbau, dia akan suka. Oh ya, tembakauku hampir habis, jangan lupa.” ujarnya menutup pembicaraan.

Ia berangkat dengan memanggul kapak di punggung, nampaknya hendak ke hutan. Dari kejauhan, terlihat olehnya si Olan anaknya yang baru berumur 6 tahun sedang becengkrama bersama beberapa kawannya di atas punggung kerbau. Hatinya kembali galau oleh percakapannya dengan isterinya, percakapan yang telah berulang sampai puluhan kali. Wajah orang-orang kampungnya melintas di kepalanya, membuat bulu kuduknya bergidik dongkol dalam kemuakan. Ia tak habis pikir. Dahulu, ketika baru beberapa orang yang bersekolah, tak ada kebencian sedikitpun terhadap mereka. Kini, saat hampir dirinya saja yang tak pernah sekolah kecuali anak-anak kecil itu, semua orang menganggapnya dungu dan bodoh. “Apa untungnya bisa baca dan tulis? Apakah bisa menghasilkan makan untuk anak dan isteri? Padahal aku mampu lakukan semua hal yang bisa mereka lakukan kecuali membaca dan menulis. Dan lagi, belum tentu mereka bisa lakukan apa yang bisa aku lakukan seahli aku.” gumamnya.

Bias-bias matahari pagi mulai menembus lubang-lubang langit di pepohonan. Badannya basah oleh peluh sedangkan embun pagi belum lagi menguap dari urat-urat daun yang berserakan di tanah. Ranting-ranting kayu dikumpulkannya, beberapa pohon kayu kering tumbang oleh kapak lalu dibelahnya. Binatang-binatang hutan kaget dan ketakutan akibat kegaduhan yang dibuatnya pada pagi itu, beberapa ekor burung berkelebat panik dari sebuah pohon dan dua ekor burung hantu menjerit-jerit marah seolah merasa terancam tapi tak diacuhkannya. Kayu-kayu yang dikumpulkannya sudah menumpuk setinggi lutut, ia mulai lelah. Tapi ia tidak berhenti dari pekerjaannya. Kini ia malah mencari rotan kecil buat pengikat. Jerit burung hantu terus mengganggu telinganya, tapi ia hanya bisa mengumpat lalu kembali untuk mengikat kayu-kayunya.

Tumpukan kayu itu dibaginya menjadi dua tempat, ranting pemikul yang cukup kuat sepanjang kedua depa tangannya diletakkannya sebagai antara lalu diikatnya kedua tumpukan itu pada masing-masing ujung pemikulnya. Ia sudah siap berangkat pulang dengan pikulan di punggung, tapi urung oleh suara burung.

“Mungkinkah anak-anak burung itu menjerit-jerit karena terjatuh ke tanah?“ Pikirnya.
“Ah… si Olan mungkin suka punya burung hantu.”

Ia lalu mencari suara itu, berputar-putar sambil menyibak semak-belukar. Tak beberapa lama yang ditemukannya bukannya anak burung hantu dengan sayap dan bulu-bulu coklatnya melainkan sesuatu yang hitam seperti bayi.

“Ai, orok setan?” Ia terpekik bergetar, lalu diperhatikannya lagi lebih dekat. Rupanya seekor bayi lutung yang ditinggal kawanannya. Dengan ragu-ragu ia meraihnya, ada kengerian kalau-kalau makhluk itu tiba-tiba saja menggigit tangannya. Tapi tidak, bayi lutung itu seperti acuh saja.

Pikulan kayu dihempaskannya didekat tangga dapur lalu bergegas menuju beranda rumah, isterinya menyambutnya dengan tatapan bertanya-tanya. Ia membuka sarung yang dikalungkannya di lehernya.

“Bayi monyet?” isterinya bertanya.

Ia hanya mengangguk kebingungan tanpa suara. Isterinya cekikikan melihat tingkah suaminya dan lalu tersedak karena tawa yang ditahannya di leher, sebab wajah suaminya terlihat gusar merasa ditertawakan.

“Si Olan pasti senang, tapi bagaimana kita memeliharanya?” katanya mengembalikan suasana. Suaminya menggeleng lalu berkata sambil berlalu kalau ia hendak memanggil si Olan.

Tak beberapa lama kemudian si Olan muncul bersama kawan-kawannya. Mula-mula tak ada yang berani terlalu dekat, tapi lama-lama anak-anak itu bergantiaan mengelusnya.

“Ia minta susu!” kata seorang anak.
“Bu, ia minta susu!” seru Olan pada ibunya.
“Hah?” ayahnya kaget.
“Kasih saja susu kerbau,” kata ibunya dari dapur.
Ayahnya kemudian bergegas menuju kawanan kerbau, hendak memerah susunya.
“Siapa namanya bu?” Olan bertanya.
“Panggil saja Sarimin.” Kata ibunya yang teringat pementasan topeng monyet di pasar.

Hari itu dunia kanak-kanak di kampung si Olan geger terbahak-bahak. “Si Olan punya adik berwajah lutung, namanya Sarimin.” Begitu bunyi kabar yang menggemparkan itu. Tetangga-tetangganya banyak yang datang, ada yang tersenyum dikulum, ada pula yang mengumpat dan mencibir. Ayah si Olan seharian seperti orang linglung, ia kembali menjadi pusat perhatian dan bahan olok-olok orang kampung. “Keluarga itu tak bisa membedakan manusia yang hidup di rumah dan lutung yang hidup di pepohonan, monyet dikasih susu kerbau, monyet pakai baju.” Begitu kata celaan yang keluar dari mulut orang-orang kampung sambil terbahak-bahak.

---

Beberapa bulan telah lewat, keluarga itu mulai terbiasa dengan keberadaan monyet Sarimin. Tapi ada yang berubah, Ayah si Olan kini lebih sering diam dan agak kurus. Isterinya terus-menerus dihantui rasa cemas melihat perubahan suaminya, karena itu ikut kurus. Sarimin si monyet kini lebih besar serta kuat dan lebih sering bergantung di ketiak Olan, sedangkan anak itu juga agak kurus karena perhatiannya kini terbagi kepada kerbau dan monyetnya. Kian hari keluarga itu makin terkucil saja dari kehidupan kampungnya. Selain karena tidak tahan oleh gunjingan, juga karena semakin menarik diri dari pergaulan. Hanya Ibu si olan saja yang tetap ke pasar untuk menjual dan membeli keperluan yang benar-benar dibutuhkan, kadang disertai bonus umpatan gratis.

“Si Olan dengan kerbau-kerbaunya sudah kelas berapa?” atau “Si Olan dapat nilai berapa hari ini dari gurunya si kerbau?”. Ia hanya menjawab bahwa jumlah kerbau si Olan kini enam ekor ditambah empat anaknya yang masih menyusu. Begitulah, keluarga itu sudah menjadi bahan olok-olok yang nikmat. Dijamin, bahkan oleh tukang cerita yang terburuk sekalipun akan sanggup membuat perut terkocok sampai keram sehingga saraf-saraf yang tegang setelah seharian berburu kesempatan dalam persaingan bagaimanapun ketatnya akan kembali santai.

---

Pada suatu hari Olan mulai jenuh dengan seragamnya yang mulai lusuh, karena itu ia meminta dibelikan yang baru. Maka Ibunya pun membelikannya pada keesokan harinya. Seragamnya yang lama kini dikenakan oleh Sarimin si monyet. Tetapi hanya beberapa lama kemudian Olan mulai merajuk lagi minta disekolahkan bersama kawan-kawannya, si Sarimin ikut-ikutan. Ibunya hanya mengatakan kepadanya agar bersabar, bahwa ia akan bersekolah juga seperti yang lain bila sudah waktunya. Olan malah merengek, ia merajuk sampai ayahnya tiba. Mata Ayahnya merah oleh amarah melihat Olan dan si Sarimin yang berseragam itu minta sekolah dan ia lebih marah lagi karena mendengar langsung permintaan itu dari anaknya sendiri. Sekelebat ia meraih rotan lalu mencambuki dan mencincang-cincang tubuh anaknya itu bagai kesetanan sambil menumpahkan kekesalan yang sekian lama tertumpuk di hatinya:

“Bahkan kau anakku sendiri, hendak menjadi bahagian dari mereka? Tidakkah kau lihat mata mereka menatap kita seperti kotoran, Hah? Kau anakku hendak minta sekolah lalu setelah berpendidikan maka kembali mengumpat kami yang tak tahu apa yang kau tahu? Kalianlah yang mengadakan kedunguan lalu meletakkannya di wajahku sambil terbahak-bahak dengan telunjuk di hidungku! Aku tidak dungu, Ibumu tidak bodoh, keluargaku bukan keluarga binatang!”

Disepaknya jauh-jauh Sarimin si monyet yang terjatuh dari ketiak Olan, binatang itu menjerit melengking karena kesakitan. Olan berteriak ampun. Ia tenggelam dalam lautan pedih dan ketakutan melihat keberingasan ayahnya. Tubuhnya lunglai tak bertenaga, terhempas telentang ke lantai. Seragamnya sobek-sobek terkena sabetan rotan. Ibunya hanya bisa histeris sedari tadi, tak mampu melindungi anaknya. Ayahnya kemudian menyudut di pojok bertelekung lutut, dan menangis. Amarah yang sekian lama dipendamnya, akhirnya tumpah pada anak yang ingin dijaganya dari yang menurutnya kejahatan sekolah. Beberapa tetangga yang mendengar keributan itu berseliweran di jalan, mengintai. Mereka mulai bergunjing lagi bahwa keluarga dungu itu mulai sakit gila.

Orang-orang di rumah itu diliputi nelangsa, sendiri merasai penderitaannya.

Keadaan sunyi senyap, sudah malam. Lengang. Hanya sesekali terdengar suara sesengukan. Sariminlah yang pertama kali membuat gerakan dengan mengorek-ngorek tubuh Olan yang akhirnya siuman. Ia tersadar tengah terbaring di pangkuan ibunya. Ayahnya di sudut ruangan, mulai menyadari dirinya.

“Kerbauku belum kuantar pulang” kata Olan sambil merintih. Ayahnya yang mendengar itu lalu menyergapnya tiba-tiba dengan pelukan, tangisnya pecah lagi, ibunya juga.

“Maafkan ayah nak, ayah tak bermaksud menyakitimu”

“Tapi ayah mencambukiku sangat keras” Olan protes.

Ayahnya tak tahu harus mengatakan apa, ia memang tak bermaksud dan tidak pernah mau menyakiti anak yang dicintainya, tapi kenyataannya ia menyakitinya.

“Ayahmu tidak sadar” kata ibunya, ayahnya mengangguk membenarkan tetapi anak-anak tak paham apa itu sadar dan tidak sadar. Ia terdiam sementara nafasnya masih tersengal sesengukan. Keesokan harinya matahari datang seolah tak terjadi apa-apa. Semua terlihat biasa saja kecuali luka di sekujur tubuh si Olan.

Ibunya sudah pulang dari pasar, mereka baru saja usai makan siang ketika disodorkannya sebuah seragam baru kepada anak semata wayangnya itu, tetapi ditolaknya.

“Aku tak mau sekolah lagi, seragamnya kasih ke Sarimin saja”

“Tidak apa-apa kalau tidak mau sekolah, belajar tidak harus sekolah. Ibu bisa mengajarimu apa saja, bapakmu juga.”

“Bapak dan ibu jadi guruku?” katanya girang.

Ibunya mengangguk.

“Kalau begitu, aku dengan Sarimin jadi muridnya”

Olan mulai riang lagi. Diceritakannya pada kawan-kawanya kalu ia pun akan segera sekolah, ibu dan bapaknya yang jadi gurunya. Kawan-kawannya yang masih berseragam sebab baru saja pulang dari sekolah terbahak-bahak mendengar itu.

“Ibumu jadi guru apa, bapakmu bisa mengajar apa?”

“Ibuku pandai membaca, menulis dan bernyanyi seperti guru yang kalian ceritakan, bapakku bisa mengajariku olahraga berenang, berburu, memanjat, menombak, lari. Semua itu olahraga juga, bukan?”

“Tapi di sekolah kami bermain bola, kami punya seragam olahraga dan ruang kelas.” Kata seorang anak.

“Aku dan Sarimin bakal dibelikan, juga bola. Ruang kelasku adalah alam ini. Apa di sekolah kalian juga belajar berenang di sungai dan berburu di hutan?”
Anak-anak itu terdiam menggeleng.

“Kalau begitu, sekolahku nantinya lebih baik dari sekolah kalian. Kalian musti minta agar diajari berenang dan berburu.”
Anak-anak itu mengangguk setuju.

Sejak hari itu kawan-kawan Olan lebih banyak mendengarkan Olan dan tidak lagi menjadikannya bahan olok-olok. Kadang ketika sedang bercengkrama dengan keluarga mereka masing-masing tak jarang mereka melontarkan pujian pada Olan yang disambut protes dari orang tua mereka.

Kini Olan benar-benar sudah berhenti menginginkan untuk sekolah bersama kawan-kawannya. Ia benar-benar menikmati kesibukan barunya itu. Pelajaran yang paling disukainya adalah berenang dan berburu. Ia kembali ke keriangan-keriangan lamanya yang tanpa seragam. Hanya si Sarimin saja yang seolah sudah kepincut menjadi anak sekolahan, sebab seragam yang dikenakannya tak mau dilepaskannya sama sekali meskipun telah kumal dan kotor. Bila sesekali saat bermain Olan berusaha mengambil seragam itu, Sarimin akan marah.

Seperti itulah, kemana pun mereka pergi si Sarimin tak pernah alpa dengan seragamnya. Si Sarimin pulalah yang seolah-olah sedang mengusik kebanggaan orang-orang kampung pada sekolah. Dalam kepala mereka timbul pula kejengkelan pada keluarga Olan yang dungu itu. Sebab menurut mereka, Ayah si olan sengaja mengolok-olok mereka dengan monyet berseragamnya. Beberapa kali orang-orang kampung mencoba melucuti pakaian si Sarimin tapi monyet itu melakukan perlawanan sehingga selalu saja bisa menyelamatkan diri dan makin jengkellah mereka.

Ayah si Olan, sekarang menjadi lebih menahan diri, hal-hal yang tak disukainya ditelannya saja. Tak pernah lagi ditanggapinya cacian orang-orang kampungnya, juga tentang protes mereka atas seragam si sarimin. Ia menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan-kegiatannya. Ia larut dalam semua kegiatan-kegiatan itu sehingga terlihat jelas keseriusannya dan melimpahlah hasil yang didapatkannya lebih dari yang diharapkannya.

Ia memiliki semangat, yaitu semangat untuk menunjukkan kepada anak dan isterinya bahwa menjadi orang 'dungu' dan 'bodoh' bukanlah sesuatu yang buruk. Lebih dari itu sedari kecil di dadanya sudah terpatri semangat kegeraman terhadap pandangan orang-orang kampungnya yang picik dan kerdil.

---

“Sedikit-sedikit keadaan ini tak tertahan lagi olehku.” Katanya kepada isterinya pada suatu ketika.
“Aku ingin menyerah, aku tahu selama ini kalian menanggungkan penderitaan yang dialamatkan kepadaku.”
Isterinya hanya terdiam.

“Lumbung kita dipenuhi makanan, kerbau-kerbau Olan selalu bertambah sepanjang tahun. Tak akan pernah habis lalu membuat kita mati dalam kekurangan kecuali kita tak mampu menjaganya. Tetapi apa arti semua itu bila hati ini tak tenteram?”

Isterinya tetap diam, ia juga diam. Kini hanya suara Olan dan si Sarimin saja yang memecah keheningan rumah itu, mereka bergulingan sambil cekikikan geli tertusuk rumput halaman.

“Lihatlah keceriaan anak itu, seperti tak menanggungkan apa-apa. Tetapi aku tahu ia mengetahui semuanya. Ia tahu kenapa kawannya yang paling akrab hanyalah si Sarimin. Andai monyet itu tak ada, aku tak akan sanggup melihat kemurungan di wajahnya.”

“Ia sudah tak menginginkan sekolah bersama kawan-kawannya lagi.” Kata isterinya.

“Ia mencintaiku. Aku pernah seperti dirinya, makanya aku tahu. Aku lebih memilih ayahku ketimbang keinginan mereka atasku untuk menjadi seperti mereka meskipun akhirnya terenggut dariku.”

“Apa rencanamu?”

“Membuat orang-orang kampung berhenti membenci kita.”

“Si Olan boleh sekolah?“ Tanya isterinya.
Suaminya hanya menggeleng.

“Sepanjang hidupku telah kuhabiskan membuat mereka tidak mengolok-olok kita dengan memperlihatkan bahwa kita sungguh tidak bodoh dan dungu melalui apa yang kita punya. Tapi keadaannya tetap sama. Meskipun begitu, Olan tetap tidak boleh sekolah selama aku masih sanggup membuat kita mampu menghindarkan diri dari kehidupan mereka.”

---

Beberapa hari kemudian, di suatu pagi ketika ia hendak berangkat ke hutan mencari kayu, seseorang berseragam muncul dan memberitahukan agar semua orang kampung berkumpul di balai desa. Awalnya ia urung hendak ikut. Tetapi isterinya membujuknya, maka ia pun berangkatlah. Di sana orang-orang kampung telah hadir di depan Pak Camat yang baru saja mulai berpidato.

“Di kampung ini ada yang suka berburu?” Tanya Pak Camat dalam pidatonya.

“Ada Pak!!!” koor penduduk kampung sambil menunjuk Ayah si Olan dengan mata. Ayah si olan mukanya merah padam.

“Kalau Penebang kayu?”

“Ada Pak!!! Ini orangnya, sedang bawa kampak.” Teriak salah seorang penduduk lagi. Wajah Ayah si olan semakin gelap saja.

“Akhir-akhir ini, daerah kita banyak dilanda bencana. Kalau bukan banjir, kekeringan. Betul tidak?”

“Betuuul!” koor hadirin lagi.

“Itu semua disebabkan oleh rusaknya lingkungan kita, yaitu habisnya pohon-pohon di hutan akibat penebangan liar seperti yang dilakukan oleh bapak ini. Selain kerusakan itu, satwa-satwa liar juga semakin punah oleh banyaknya perburuan liar.” Katanya sambil mengarahkan pandangannya ke arah Ayah si Olan dengan maksud supaya kata-katanya dicamkan. Tetapi, ekspresinya terlalu kelihatan sehingga membuat hadirin mentertawakan Ayah si Olan sebagai tanda setuju akan makna tatapan itu ditambah kejengkelan mereka terhadapnya.

Ayah si olan semakin merah padam, ia marah lalu berdiri, katanya:
“ Kalian orang-orang sekolahan, melihat kebodohan dan kedunguanku, aku mengenali kecerdikan kalian. Kecerdikan yang sama sejak ayahku dan nenek moyangku. Memang, saya selalu ke hutan hendak mengambil kayu bakar untuk dapur isteriku. Memang, saya sesekali berburu ke hutan untuk makanan anak dan isteriku. Kalian menanggungkan semua kerusakan itu atasku dan saya tidak bisa mengelak. Saya mengambil kayu dan berburu binatang, senjataku kapak dan tombak, tetapi kalian menggunakan mesin dan senapan. Saya hanya mampu mengambil sedikit dengan kapak kecilku ini, kalian mengambil semuanya. Saya mendapatkan satu ekor saja sudah bahagia dan merasa beruntung, kalian mendapatkan sepuluh belum juga puas malah merasa sial. Kalian memang hebat dan pintar.” Katanya marah sambil menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan, tetapi para hadirin malah cengengesan meskipun dipaksakan. “Bisa juga dia bicara.” Begitu bisik-bisik mereka.

“Tenang! Tenang!” Pak Camat menenangkan suasana.

“Aku sudah tahu, ada di antara kalian yang tidak akan terima. Tetapi ini bukan tuduhan tak beralasan, banyak atau sedikit yang kalian ambil, tetap kalian adalah perusak. Karena itu kalian harus berhenti.” Katanya tegas.

Ayah si olan sedang berpikir tentang dengan apa isterinya akan memasak makanan bila ia berhenti mengambil kayu, ketika Pak Camat melanjutkan pidatonya lagi.

“Perusakan hanya pekerjaan orang-orang bodoh dan tolol yang tak berpendidikan sehingga tak mampu berpikir bahwa semua itu tidak hanya merusak dirinya saja tetapi semua orang.” Hujat Pak camat lantang.

Kontan tawa pecah di seluruh ruangan itu mendengar kata-kata ‘bodoh dan tolol’ serta ‘tak berpendidikan’ dari Pak camat, keriuhannya menghujam kehormatan Ayah si Olan. Perasaan terhina yang telah dirasakannya sepanjang hidupnya kembali terluka.

“Dia memang tidak pernah sekolah Pak!” seru salah seseorang melampiaskan kekesalannya pada Ayah si Olan, disambut tawa hadirin. Pak camat manggut-manggut dengan senyum dikulum.

Ayah si olan seperti tersengat kemarahannya yang membuncah. Tanpa kesadaran lagi diayunkannya kapaknya ke arah orang itu sambil menghambur ke arahnya, buk!

Orang itu tersungkur berlumuran darah sebab terkena lemparan tepat di kepalanya. Dengan cepat, Ayah si olan meraih kampak itu lagi lalu mengejar Pak camat yang sedang panik dan bingung menyaksikan peristiwa itu.

Bret!

Sabetan kapak yang keras itu menyobek pipi kanan Pak camat hingga tembus ke sebelah kiri. Kapak itu masih hendak berayun ketika dua orang pengawal camat menangkapnya dari belakang lalu melumpuhkan ayah si Olan.

Kejadiannya begitu cepat, hadirin yang tadinya tunggang-langgang kini mengerumuni mobil polisi yang hendak mengangkut ayah si Olan itu. Umpatan dan cacian kembali mengiringinya.

---

EPILOG

Sebelas tahun berlalu sejak kejadian di balai desa itu, gerbang sebuah Rumah Tahanan terbuka dan seseorang dengan tubuh ringkih melangkah gontai. Ia berpikir, mungkinkah anak dan isterinya sedang menanti-nantikan kedatangannya? Angin segar dihirupnya nikmat di sepanjang jalan menuju rumahnya, pulang. Sebelas tahun, tak sekali pun terlihat olehnya wajah mereka, juga rumahnya. Diingatnya, sesekali bila kawan seselnya menerima kunjungan keluarga dan orang-orang yang dicintainya, keinginannya untuk bertemu mereka juga muncul dengan sangat kuat. Tapi akhirnya dimakluminya juga keadaannya, sebab ada begitu banyak kemungkinan yang tak dapat dipahaminya dengan pasti.

“Olan!” serunya di tangga rumah yang samar-samar mulai tak dikenalinya lagi. Seorang perempuan, muncul di pintu diikuti oleh seorang pria pula.

“Ah… aku kira rumah ini bukan rumahku lagi!” serunya senang. Tapi wanita setengah baya itu tiba-tiba pingsan tak sadarkan diri.

Dari pria yang semula dikiranya anaknya itu diketahuinya kalau perempuan yang dahulu isterinya itu bukanlah isterinya kini, sebab ia sudah bersuami lagi. Ia kaget, tetapi berusaha untuk tetap tenang. Jadinya, tak terlihat kegusaran sedikitpun di wajahnya. Ia sekarang lebih matang. Tetapi ketika diketahuinya bahwa si Olan anaknya tinggal di kota karena sedang bersekolah pada sebuah SMU, ia mulai tak tenang. Wajahnya kuyu oleh kesedihan, lalu menitikkan air mata dan menangis. Ia tak habis pikir kalau inilah buah dari segala pengorbanannya.

Seekor monyet mendekat ke arahnya, Sarimin. Bulu-bulunya ada yang sudah berwarna putih. Seragam yang dikenakannya sudah compang-camping, kumal dan bau karena tak terawat. Ia menjadi semakin sedih menyaksikan keadaan itu, semua telah berubah, tetapi dirasanya seperti baru kemarin. Perasaan hampa memenuhi hatinya, lalu berkata:

“Tak ada alasan lagi padaku atas apapun jua.” gumamnya pada dirinya sendiri.

Sementara perempuan yang sudah asing baginya itu belum sadarkan diri, Ia pun meninggalkan rumah itu dengan membawa beberapa perkakas yang masih dikenalinya sebagai miliknya. Ia berjalan hingga kelelahan menuju sebuah rumah sawah yang sudah mulai rapuh dan lapuk, sebuah gubuk yang berdiri di atas sebidang tanah yang dahulunya menjadi sumber nafkah bagi ia dan keluarganya. Dikibaskannya debu-debu ngengat yang mengotori balai-balai, lalu merebahkan badannya di atasnya.

Dilihatnya kelam menari-nari di ujung hari berpesta bersama rona senja, menyambut malam yang gulita. Dan dilihatnya pula, bayang-bayang kenangan berlari mengarak kebusukan di atas kepala yang kuatir, hendak menggerogoti jiwanya. Sebentuk kerinduan akan semua masa-masa itu menyelinap di antara hati, hati yang telah menjadi pengecut, sebab renta oleh waktu. Tapi dengan sisa-sisa ketegaran masa mudanya, dihempaskannya jua godaan-godaan itu lalu bergumam sendiri:

“Oh, dunia! Bagaimana akan kau tebus semua yang telah kau renggut dariku? Karena bahkan seluruh milikmu tak akan kuanggap cukup untuk menyempurnakan hari-hariku yang mulai ditelan getir... agar kembali kegairahanku, demi keceriaanmu?”

Sarimin tua tiba-tiba muncul dan mengambil tempat di sampingnya. Ia menoleh ke arahnya, lalu tersenyum melihat tingkah Sarimin yang kegelian oleh kutu-kutu di punggungnya. Angin gunung berhembus ringan membuai penghuni gubuk yang muram itu dalam mimpi-mimpi yang akan menyata keesokan paginya dan keesokan pagi selanjutnya, setidaknya, di gubuk itu tak akan ada yang mati dalam kesepian kecuali salah satunya...

0 komentar: