Sabtu, 14 Juli 2007

Sang Pemburu [Prolog]

Di suatu kala, waktu dimana titisan To Manurung memerintah tana Luwu’, tersuratlah sebuah kisah dari mereka; orang-orang yang memilih menjadi sekehendak apapun dirinya. Mengingkari takdir yang diletakkan di wajah mereka, orang-orang yang senang membuat takdir sendiri. Mereka adalah orang-orang yang lari dari sepenggal hidup menuju hidup sepenuh hidup: hidup yang menyemesta.

Di bawah keakraban matahari, dibelai sang rembulan, dalam dekapan rimba raya, dipandu bintang gemintang. Dan bila angin musim pun berubah, langit memberi pengajaran, bumi menempa hidup. Lalu jadilah mereka itu, anak-anak matahari. Yang langkahnya seperti siang dan malam, berkulit cuaca. Dinantikannya pagi sepenuh harapan, disongsongnya fajar dengan semangat sesegar embun pagi, dari dilaluinya dengan girang. Lalu terlelap dalam malam-malam kesyukuran.

Ladang-ladang mereka menggeliat di musim tanam, sawah-sawah mereka menarikan tarian ibu mengandung. Ketika musim panen tiba dapur-dapur mengepul sepanjang hari.

Tikar-tikar jamuan dihamparkan. Di setiap rumah Sengo dilantunkan, semua orang; besar-kecil, tua-muda, ma’kuranjen . Kaki-kaki dengan ketukan dan gerak tertentu menghentak lantai sampai rumah seakan hendak rubuh--tarian kesyukuran atas hidup sepenuh hidup.

Lalu hidup pun terus berputar, anak-anak lahir dan menjadi dewasa, orang-orang dewasa menemui kesudahan satu demi satu. Ya! Sesederhana itu. Tak ada kekuatiran, hanya kepolosan yang satu dengan kepolosan yang lain. Bergerak selaras dalam harmoni.

Sampai suatu ketika, kejahatan datang dari tempat-tempat yang jauh. Menghinggapi hati anak-anak matahari itu, membuat jiwa-jiwa mereka menjadi kerdil. Tunas-tunas pun layu sebelum tumbuh, teruna-teruna patah terkulai. Kehidupan pun menjadi suram...

Bersambung ke Sang Pemburu, kemudian Sang Pemburu (Epilog) - dream blog -

0 komentar: