Senin, 02 Januari 2006

Demokrasi itu Busuk

Mungkin bagi orang-orang pada umumnya, demokrasi memang masih merupakan sistem yang paling ideal di muka bumi, tetapi benarkah begitu? Demokrasi atau Democrazy? Kebebasan atau kebablasan? Mari kita kaji.

Menurut para pemikirnya, demokrasi terdiri dari 3 macam: 1). Demokrasi langsung, yaitu rakyat memerintah langsung tanpa melalui perantara, berupa parlemen atau yang sejenisnya. Kemudian seluruh rakyat berkumpul dalam satu tempat untuk membuat undang-undang yang diambil dari suara mayoritas. 2). Demokrasi tak langsung, yaitu tatkala rakyat memilih para wakil-wakilnya untuk melaksanakan kekuasaan atas nama rakyat. 3). Demokrasi semi langsung, yaitu gabungan dari dua bentuk demokrasi di atas.

Standar kebenaran demokrasi: Suara mayoritas
Demokrasi tegak di atas suara mayoritas, tanpa melihat lagi jenis suara mayoritas yang ada. Tolak ukur kebenaran dalam demokrasi ditentukan oleh pendapat mayoritas.

Berangkat dari prinsip ini, para pemimpin partai yang berhaluan demokrasi selalu berupaya mencari dukungan mayoritas rakyat dengan segala cara, meskipun harus membuat janji-janji palsu kepada rakyat. Mereka melakukan semua untuk dapat meraih suara mayoritas rakyat dalam kompetisi-kompetisi pemilu yang beraneka ragam.

Kebenaran tidak ditentukan oleh banyaknya pelaku, melainkan ada kebenaran mutlak yang tidak bisa diganggu gugat
Mungkin sebagai seorang muslim, saya memandang kebenaran hanya ditentukan melalui kitab dan sunnah, serta yang ditunjukkan oleh keduanya, bukan dari banyaknya orang yang mengerjakannya atau suara mayoritas. Dengan demikian, kita bisa melihat pengikut para nabi jumlahnya sangat sedikit sedangkan pengikut thagut jumlahnya sangat banyak.

Demokrasi memberikan hak membuat hukum kepada suara mayoritas
Dalam kehidupan dunia, kebenaran tidaklah diukur dan ditetapkan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang melakukannya. Akan tetapi, kebenaran itu harus diukur dan ditetapkan oleh kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, dan hukum yang diturunkan dari langit.

Kebenaran bukan ditetapkan oleh suara mayoritas, sekalipun yang menang tersebut memang benar. Ukuran kebenaran juga bukan ditentukan oleh kongres atau parlemen yang mengacungkan dan menurunkan tangan berdasarkan hawa nafsu yang mengakibatkan kehancuran bangsa tersebut.

Demokrasi adalah pemerintahan minoritas, bukan pemerintahan mayoritas seperti yang digembar-gemborkan
Secara faktual diketahui, rakyat sebuah bangsa tidak mungkin memerintah sendiri, tetapi memerintah melalui para wakilnya yang terwujud dalam mayoritas anggota majelis perwakilan yang telah mereka pilih.

Oleh karena itu, berubahlah kehendak mayoritas (rakyat pada umumnya) menjadi kehendak minoritas (kehendak wakil rakyat). Saat itulah muncul kesewenang-wenangan/kediktatoran baru, karena kehendak rakyat beralih ke tangan orang-orang yang mereka pilih saja. Akibatnya, rakyat tidak mampu untuk membatalkan, menghapus, atau mengubah keputusan yang telah ditetapkan oleh para wakilnya.

Menurut banyak pakar politik, prinsip mayoritas adalah teori yang paling berbahaya terhadap berlangsungnya kebebasan individu, karena setiap perbuatan yang muncul dari orang terpilih dapat menjadi hukum sekaligus undang-udang hanya karena ia merupakan kehendak rakyat. Dari sini kita bisa melihat bahwa mayoritas pendapat yang ada telah berubah menjadi kesewenangan minoritas, dan fakta telah membuktikan hal itu.

Kesaksian para penganut demokrasi
Ketika demokrasi menyerang negeri dan disambut gembira oleh para intelektual yang dangkal pemikirannya, dan ketika demokrasi begitu dipuji oleh orang-orang yang takluk di hadapan peradaban barat, justru anda akan melihat bahwa para ahli politik eropa telah melancarkan kritik yang tajam terhadap demokrasi, sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya oleh Plato.

Michael Stewart dalam bukunya Sistem-Sistem Modern, hal.459:
Kaum komunis bersikeras bahwa hukum demokrasi yang tegak di atas dasar kebebasan berkreasi, berpendapat, bertingkah laku, dan berkepribadian, hanyalah sebuah prinsip yang kotor dan rusak. Mereka berargumentasi bahwa demokrasi kapitalisme telah mentolerir pengrusakan masyarakat--khususnya para pemudanya--melalui film-film dan bioskop-bioskop serta penyebaran kemungkaran serta kekejian.

Benjamin Constan berkata:
Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.

Barchmi berkata:
Prinsip kedaulatan di tangan rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat sumbernya. Atas dasar ini maka setiap aspirasi yang muncul dari kehendak rakyat dianggap telah memenuhi parameter kebenaran dan keadilan. Aspirasi rakyat itu juga dianggap tidak perlu diragukan dan diperdebatkan lagi dari segi ini (memenuhi kebenaran dan keadilan), bukan karena argumentasinya kuat, melainkan karena ia muncul dari kehendak rakyat. Jadi, prinsip kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum (mustahil keliru/dosa) kepada rakyat. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa rakyat (atau para wakilnya) berpeluang melahirkan kekuasaan absolut, yaitu kesewenang-wenangan (kediktatoran). Apabila kehendak rakyat dianggap kehendak yang legal hanya karena ia muncul dari rakyat, maka dengan demikian -dari segi legislasi dan perundangan-, rakyat akan dapat berbuat apa saja. Jadi, rakyat pada dasarnya tidak perlu lagi mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apapun yang diinginkannya.

Orientalis Polandia bernama Boogena Giyanah Stchijfska mengatakan:
Hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir dari konsensus-konsensus demokratis tidak bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban individu dan tanggungjawab pribadi. Semua itu didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, bahwa hukum yang terakhir akan bertentangan dengan hukum yang pertama dalam rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat menjadi boleh, dan yang ganjil dapat berubah menjadi wajar.

Demikianlah, sesungguhnya demokrasi politik adalah sistem yang membiarkan, bukan sistem yang meluruskan. Artinya demokrasi mendekati mayoritas rakyat dengan membiarkan mereka dalam keadaan apa adanya dan memperlakukan mereka mengikuti asas ini atas nama kebebasan (baca: kebablasan).

Demokrasi jalan menuju kebejatan moral
Tidak ada keraguan lagi bahwa di antara sebab kehancuran berbagai peradaban adalah kemerosotan moral. Mengapa para pemuda dan masyarakat umum di eropa dan amerika menerima kehadiran narkoba dengan berbagai jenisnya? Bagaimana kita bisa menafsirkan tenggelamnya mereka dalam kebejatan perilaku seksual yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat manusia yang panjang? Lihatlah bagaimana parlemen Inggris, Belanda, Spanyol, California, telah membolehkan pernikahan sesama lelaki dan juga pernikahan sesama perempuan. Pernikahan dengan sesama kerabat dekat/keluarga (incest) juga banyak terjadi sampai tak terhitung. Semua ini dilakukan dengan kedok kebebasan individu yang absolut. Bagaimana kita bisa menafsirkan tersebarnya majalah-majalah porno, pergaulan bebas, kekerasan seksual, dan pemerkosaan. Apakah kita mau terperosok ke jurang kebejatan moral seperti yang dialami eropa atas nama pluralisme demokrasi ini?

Demokrasi adalah sebuah tipe kediktatoran
Apakah yang dilakukan negara yang mengklaim sebagai negara demokratis dan pelopor HAM tatkala mereka menjajah negeri-negeri lain?

Apa yang dilakukan inggris yang demokratis itu terhadap Mesir? Apakah urusannya dikembalikan kepada rakyat mesir atau kepada moncong meriam? Apa pula yang dilakukan prancis yang demokratis itu di aljazair? Apa yang dilakukan negara-negara demokratis tatkala menjajah palestina, india dan asia? Apa pula yang dilakukan amerika serikat yang demokratis itu di Vietnam, Afhganistan, dan irak?

Segala gerakannya baik yang lembut maupun kasar ditujukan untuk memenuhi nafsu dan kebutuhan yang mereka sembunyikan. Tidak pernah tercatat dalam sejarah lembaga-lembaga yang dibentuk negara-negara demokratis, lahir satu keputusan yang motif dan tujuannya dapat dianggap murni, apalagi jika keputusan ini berkaitan dengan Islam.

Negara-negara yang mengklaim demokratis itu sungguh telah menghancurkan berbagai bangsa. Negara-negara itu telah merobek perut dan menghisap darah berbagai bangsa. Pembataian ala demokratis tak kurang banyaknya dibandingkan dengan pembantaian ala komunisme, kalaupun tak bisa dikatakan lebih jahat. Hanya saja memang ada perbedaan di antara keduanya, yaitu demokrasi membunuh dengan racun dalam gelas yang indah atau dengan benang dari sutera.

Maukah teman-teman berfikir, meskipun sejenak, untuk merenungkan kebobrokan yang sadar atau tidak sadar sejak kita lahir, sudah kita telan bulat-bulat tanpa mau mengkajinya terlebih dahulu?

Halo? Adakah orang yang sependapat denganku di luar sana? Atau lagi-lagi aku sendirian? - dream blog -

1 komentar:

Anonim mengatakan...

wah artikel bagus nih, mencerahkan :)

trims ya