Selasa, 30 Juni 2009

Mau ke Balikpapan

Inikah waktu yang tepat untuk meninggalkan Makassar? Kota yang aku tinggali selama 6 tahun ini terasa sudah begitu akrab denganku. Keakraban ini membuatku merasa berat untuk meninggalkannya. Di sini sudah ada banyak teman, sahabat, saudara, orang-orang yang sering bersamaku. Sudah ada banyak tempat-tempat yang sering kudatangi, tempat yang sering kugunakan untuk berkumpul bersama orang-orang akrabku. Dan sekarang aku seakan berada di persimpangan jalan; ke Balikpapan dengan segala sesuatunya yang baru, atau tetap di Makassar dengan segala sesuatunya yang sama.

Aku dipanggil oleh kakakku yang tinggal di Balikpapan. Kakakku itu kerja dan menetap di sana bersama keluarganya. Katanya di sana banyak perusahaan, kotanya bersih, penduduknya ramah. Pokoknya di sana peluangnya lebih bagus untuk masa depan ketimbang Makassar. Ah, Balikpapan, kaukah tempat persinggahanku selanjutnya?

Kata orang bijak, kalau kita hanya tinggal di satu tempat terus-menerus, kita seakan-akan membaca buku hanya satu halaman saja. Benar juga, bukankah Tuhan menciptakan bumi ini begitu luas, betapa sayangnya kalau seumur-umur kita tidak pernah menginjakkan kaki di bagian bumi yang lain? Dan lagian apa yang aku tunggu di sini, di kota ini? Memang di sini aku punya pekerjaan, dan aku bahagia dengan itu. Tapi lihatlah, apakah ia bisa membuat bahagia orang-orang yang kelak akan menjadi bagian hidupku? Istriku, anak-anakku kelak, mereka harus terpikirkan semenjak saat ini. Kalau saja tidak ada yang namanya berkeluarga, maka apa yang aku dapatkan saat ini sudah lebih dari cukup; sebuah penghasilan dan lingkungan bersahabat. Tapi nyatanya tidak, hidup tidak sesederhana itu.

Maka marilah kita menentukan pilihan, mantapkan hati, dan ambil tindakan. Setidaknya ada yang aku harap di sana, di tempat baruku. Yah, harapan. Harapanlah yang selalu membuatku, kamu, kita semua, bisa membentuk hidup ini seperti sekarang ini.

Kalau aku jadi berangkat, mungkin dalam waktu dekat ini, aku ingin lama di sana. Aku ingin membuat diriku menyimpan kerinduan yang amat sangat kepada seisi Makassar, baru aku akan pulang. Agar dapat kunikmati saat di mana aku kembali ke kota ini, sebuah kerinduan yang membuncah!

Senin, 08 Juni 2009

Hari Jadi Yang Tepat Untuk Berduka

Hari ini tepat pada umurku yang ke-25. Seharusnya aku berbahagia, tapi tidak. Kemarin, tepatnya 6 Juni dini hari aku dikejutkan oleh kabar bahwa salah seorang temanku, Wache, meninggal. Aku benar-benar tidak menyangka, sungguh. Baru beberapa hari yang lalu kami duduk bersama di depan teras, bicara, tertawa. Ketika kami mengunjungi kuburnya, aku seakan belum percaya kalau ia meninggalkan kami. Kuremas tanah kuburnya, seperti mimpi. "Ah, benarkah ia sudah terbaring di balik tumpukan tanah ini?" Gumamku. Berkali-kali aku mencoba meyakinkan diri ini kalau ini hanya mimpi, dan semoga aku cepat terbangun darinya. Tapi tidak. Ini memang kenyataan, dan kami menangis dalam hati...

Kami menangis. Penyakit yang hanya aku kenal 'maag' itu merenggut nyawanya. Tapi kenapa mesti secepat ini? Masih banyak cita-cita yang dia belum raih, terlalu banyak hal-hal baik yang dia tinggalkan di belakang. Pertanyaan manusiawi itu terus menghinggapiku sampai sekarang. Logikaku hanya bisa mencoba untuk menghibur sisi perasaanku.

Ibunya, sambil sesekali menghapus air matanya yang masih mengalir, bercerita. Beberapa hari ini dia begitu rajin membersihkan rumah, sesuatu yang keluar dari kebiasan normalnya. Ia rajin mengepel lantai, membersihkan tangan, mencuci muka. Sebuah pertandakah ini? Seakan-akan dia merasa akan ada banyak tamu yang datang. Sebuah pertanyaan darinya yang Ibunya sungguh tidak menyangka akan benar terjadi, "Ma, apakah aku akan segera mati?" kata ibunya, menirukan perkataan anaknya sehari sebelum kematiannya.

Kami semua ntrenyuh, tersengat mendengar kisah-kisah kecil itu. Pertemuan terakhir kami dengannya, ketika dia pamit mau pulang ke rumah Ibunya.

"Wache, kapanko ke sini lagi? Jangko lama-lama nah, seminggu mo!".

"Ndak kembali-kembali ma'!" katanya sambil tersenyum. Namun jawaban itu hanya kami pikir tidaklah lebih dari sebuah candaan, seperti candaan-candaan kecil yang sering terlontar antara kami. Sungguh kami tidak menyangka kalau itu adalah terakhir kalinya melihatnya.

Kugenggan nisannya seakan menggenggam tangannya. Erat, lebih erat lagi. Selepas melayat, kami hanya terdiam, seakan-akan tiap-tiap kami mencoba untuk mengumpulkan serpihan-serpihan kecil kenangan ketika bersamanya. Wache sudah pergi. Istirahatlah yang tenang sahabatku, saudariku. Kami akan mengenang saat-saat bersamamu, dari kenal, hingga kau tiada. Kami semua memang menyayangimu, tetapi ternyata Allah lebih sayang kepadamu. Semoga kau tenang di sana, dan mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Selamat jalan, Wache.
Rest in peace...

Jumat, 05 Juni 2009

Tribute to Ibu Prita

Masa sih orang dipenjara cuman karena judul email. Lha wong orang cuma memberi keluhan kok. Khan wajar, kalo kita konsumen mengeluh kepada penyedia jasa, apalagi kalo kita konsumen merasa dirugikan. Kayak gak pernah denger istilah "keluhan konsumen" aja. Justru seharusnya keluhan itu ditanggapi dengan baik, bukannya malah menuntut ganti rugi dengan alasan "pencemaran nama baik"... Konsumen bicara, masuk penjara. Edan.

Blunder, menurutku itu yang justru dilakukan oleh RS Omni sekarang ini. Pilihan untuk menempuh jalur hukum ini justru akan menjadi bumerang buat RS Omni. Mereka gak sadar malah mencemarkan nama baiknya sendiri, karena dengan begini serangan bakalan datang dari segala penjuru, internet dan media. Kasus ini justru mengundang lebih banyak lagi simpati terhadap Ibu Prita. RS Omni mau gak mau sekarang harus menghadapi serangan dari segala arah, terutama aksi pemboikotan. Orang bakalan ilfeel berobat ke sana.

Udah lah. Aku gak mau ngomong banyak. Takut dituntut juga. Itu aja banner yang bilang "say no to RS Omni Tangerang" udah bahaya.

"Anakku, kalo besar nanti jangan jadi dokter yah. Jadilah seperti Ibu Prita, yang lantang menyuarakan haknya..."