Selasa, 19 Oktober 2010

Tukang Becak, Mbak Tukang Jamu, Penjual Kacang, & Juru Ketik

1. Si Tukang Becak

Hidupku gak pernah jelas, walaupun juga gak pernah berubah. Dari dulu sampe sekarang begini-begini aja.

Panas-panasan seharian. Liat aja kulitku, item kayak areng, walaupun basah dan bau asem apek gak kayak areng.

Atau ujan-ujanan ngadu nasib ngelawan petir atau pohon jatuh. Untung masih selamet.

Jangan bilang aku pemales. Keliatannya emang kadang aku diem aja bengong nggak karuan. Tapi itulah aku dengan hidupku. Apa lagi yang bisa aku lakukan: Aku si tukang becak?

Kerjaku emang cuma itu. Ngegenjot becakku si rongsokan hartaku paling mahal; nganter orang ke mana aja - dari ibu-ibu gembrot dengan belanjaannya, nyonya-nyonya bahenol yang mau berangkat arisan, gadis-gadis SMU yang bikin ngiler, sampe nganter orang mau melahirkan juga pernah.

Aku tinggal bengong sendiri di atas becakku kalau gak ada kerjaan. Ngerokok Ji Sam Su di tengah hari bolong, atau ngerumpi sama si Tatang dan tukang becak lainnya.

Temenku yang paling setia cuma rokok lisong sama pelacur. Pelacur paling murahan yang paling murah yang masih ada, itupun kalo ada dan kalo dia mau.

Dan musuhku si polisi-polisi semprul dan petugas-petugas kamtib tukang gerebek haram jadah. Jangan lupa si mobil-mobil mewah yang sering sliweran seenak jidat.

Begitulah idupku yang gak pernah jelas selalu butek gak pernah bening ini. Kencingku pun kuning butek.

-------------------------------------------------------------------------

2. Mbak Tukang Jamu

Mbak tukang jamu, mbak. Selamat siang. Siang panas kering berdebu, jalan sendirian bawa botol-botol dalem keranjang di atas punggung diiket kain. Keringetan, panas, capek, berat. Bawa jamu menyusur rel kereta api 2 jalur lewat jalan raya lewat jalan kecil lewat gang. Sendal jepit tipis kering kerontang kepanasan ampir putus.

Mbak tukang jamu, mbak. Selamat sore. Sore dingin basah becek, jalan sendirian bawa botol-botol dalam keranjang di atas punggung diiket kain. Keringetan, dingin, capek, berat. Bawa jamu menyusur rel kereta api 2 jalur lewat jalan raya lewat jalan kecil lewat gang. Sendal jepit tipis basah kuyup berlumpur udah putus.

Mbak tukang jamu, mbak. Selamet malem. Malem bernyamuk pengap bau sampah kotor. Berdua dalem rumah botol-botol kosong bediri kecapekan digendong seharian. Keringetan ngos-ngosan capek punggung sakit. Nyusur malam jam 2, suami mati anak sakit.

-------------------------------------------------------------------------

3. Penjual Kacang

Jalanan becek, air kecoklatan menggenangi lubang-lubang jalan. Di mana di pinggirnya seorang penjual kacang rebus tengah jongkok di pinggir gerobaknya. Membaca koran.

Abis ujan lagi. Biasanya dingin-dingin gini banyak yang beli.

Parlemen, demokrasi, duta besar. Alah ngomong apa sih ni koran.

Bangun dari jongkok, melipat koran, kemudian ia lepaskan plastik penutup gerobaknya. Uap air mengepul-ngepul dari kacang tanah yang menggunung.

Kulitnya hitam legam. Gurat-gurat urat tampak menonjol di pelipis dan betisnya. Tatapannya dalam tanpa senyum.

Sebatang rokok ia nyalakan.

Lalu lewatlah benda itu. Sebongkah mobil mewah melabrak jalan dan genangan-genangan airnya. Air kecoklatan muncrat, menciprati gerobak dan kakinya.

Sejurus tatapan mengikuti. Tajam.

Sundala.

-------------------------------------------------------------------------

4. Juru Ketik

Jajang Salimah Sungsang, itu namaku. Jajang entah karena apa, mungkin hanya karena orang tuaku tak terpikirkan nama yang lain lagi. Sementara Sungsang - kata yang tentu saja aneh untuk dijadikan nama - karena aku terlahir sungsang. Lalu Salimah adalah nama ibuku, yang juga terlahir sungsang.

Tetapi sudahlah tentang nama itu. Karena memang tidak begitu penting. Kau bisa memanggilku dengan nama Jajang, Ujang, Jang, atau apapun yang kau mau. Karena selama ini pun selalu begitu. Tidak ada yang pernah perduli pada nama lengkapku. Akupun sesungguhnya tidak perduli padanya.

Aku seorang laki-laki. Ya, tentu saja seorang laki-laki yang mendapat nama Jajang. Berumur tiga puluh tujuh tahun. Tetapi sampai hari ini pun aku tidak tau kapan tanggal lahirku. Hanya saja yang selalu dikatakan ibuku dari tahun ke tahun adalah, "kau sudah tiga puluh tujuh tahun", "kau sudah tiga puluh enam tahun", "kau sudah tiga puluh lima tahun", dan begitu seterusnya sejak aku berusia dua puluhan.

Tentu saja ibuku bukan seorang robot yang sepanjang hari hanya mengulang-ulang kata-kata semacam di atas sepanjang tahun setiap tahunnya. Bukan. Maksudku adalah, itu, atau yang semacam itulah, yang selalu diucapkan ibuku untuk mengingatkanku tentang usiaku. Tentang bahwa hingga usia tiga puluh tujuh tahun aku masih belum mendapat pekerjaan yang lebih baik daripada yang pernah kudapatkan. Kurang lebih begitu pula sewaktu aku berumur tiga puluh enam tahun, tiga puluh lima tahun, tiga puluh empat tahun, dan seterusnya.

Maksudnya tentu saja baik, aku tidak menyangsikannya dan jangan salah sangka. Aku sama sekali tidak menganggap ibuku cerewet atau terlalu banyak menuntut, tentu saja tidak. Sesungguhnya tanpa perlu selalu diingatkan oleh ibuku pun aku selalu menginginkan sebuah pekerjaan yang bisa menghidupiku. Ya, tentu saja.

Kenapa demikian adalah karena sekarang aku telah berusia tiga puluh tujuh tahun. Dan tahun lalu aku tiga puluh enam tahun, tiga puluh lima tahun di tahun sebelumnya, ya, dan seterusnya.

Setiap tahun umurku bertambah, seperti yang diketahui semua orang. Bahkan seharusnya Mak Lampir pun tau. Yang kumaksud bukan tentang usia, tapi ibuku semakin tua dari tahun ke tahun. Tahun ini sudah enam puluh satu tahun umurnya, tahun lalu enam puluh. Sementara aku anak yang satu-satunya sekarang ini, karena dua kakakku telah meninggal. Dan begitu pula dengan ayahku, sudah meninggal. Aku tidak terlalu ingat lagi padanya, ia meninggal sewaktu aku masih kecil. Kata orang sewaktu aku berumur empat tahun, dan kata orang pula tertabrak kereta listrik. Ayahku, maksudku.

Ibuku semakin tua, dan akan terus bertambah usianya. Tahun depan ia enam puluh dua tahun. Lalu enam puluh tiga. Dan seterusnya. Tetapi seperti yang sudah kukatakan, aku belum memiliki pekerjaan hingga hari ini.

Padahal sudah sering-sering kukirimkan lamaran pekerjaan ke kantor-kantor, juga ke kantor pemerintah, ke manapun. Dan aku akan terima pekerjaan apapun. Tetapi sulitnya tidak pernah ada yang mau menerima. Sepertinya karena sekolahku yang hanya sampai kelas dua SMP. Aku berhenti sekolah karena dua kali aku tidak naik kelas. Guruku bilang aku tidak ada harapan lagi. Terlalu di bawah rata-rata katanya. Mungkin memang begitu, aku merasa sedikit bodoh dibandingkan teman-temanku, memang. Tetapi kurasa pula, masih lebih mending daripada Somat tetanggaku yang hilang ingatan sejak lahir itu.

Urusan menghafal dan menghitung aku memang tidak mampu. Tetapi kalau hanya menghitung tahun aku masih bisa. Seperti kukatakan tadi, sekarang aku tiga puluh tujuh tahun. Satu-satunya yang aku benar-benar mampu hanyalah mengetik.

Sejujurnya kemampuanku mengetik justru di atas rata-rata, mungkin karena tidak dibutuhkan hafalan dan hitungan untuk sekadar mengetik. Mungkin butuh sedikit hafalan, yaitu letak masing-masing tombol huruf. Tapi aku tidak merasa menghafalnya. Dan aku memang tidak pernah merasa hafal.

Ya, mengetik adalah satu-satunya kemampuanku. Aku bisa mengetik sepuluh jari. Lebih dari itu aku bisa mengetik sepuluh jari dengan cepat sekali. Aku juga bisa mengetik sangat lama dengan tidak beristirahat. Aku pun hampir tidak pernah melakukan kesalahan dalam mengetik. Sesungguhnya aku cukup bangga dengan kemampuanku mengetik.

Tetapi aku tidak tau dari mana asal-usulnya kemampuanku itu. Yang kuingat hanyalah dulu ketika masih tinggal di kampung pemulung, aku menemukan sebuah papan ketikan bekas. Aku bermain dengannya tiap hari. Bahkan kubawa tidur. Ya, aku sempat berkelahi karena memperebutkan papan ketik itu dengan temanku. Atau karena aku terlahir sungsang dengan tangan yang terlebih dahulu keluar, aku tidak tau yang mana yang benar. Ibuku sendiri tidak tau.

Dulu aku beberapa kali mendapatkan pekerjaan sebagai juru ketik. Beberapa kali di kantor swasta, tetapi lebih sering di kantor pemerintah. Di sana pekerjaanku cuma mengetik. Karena memang cuma itu kemampuanku. Mereka tidak pernah menyuruhku menghitung. Syukurlah. Mereka hanya menyuruhku mengetik. Setumpuk kertas-kertas yang harus disalin, atau mengetik apapun yang diucapkan oleh atasanku. Bagaimanapun caranya aku bisa. Aku pernah menyalin satu buku tebal penuh hanya dalam beberapa hari waktu itu. Lalu pernah juga aku bekerja di kantor kelurahan. Tetapi kemudian aku dikeluarkan karena katanya mereka tidak bisa menggaji orang yang hanya bisa mengetik saja.

Sekarang aku belum mendapatkan pekerjaan lagi. Tentu saja yang kuinginkan adalah pekerjaan menjadi juru ketik, karena hanya itu kemampuanku. Aku bisa mengetik cepat dan lama dan hampir tanpa kesalahan. Tetapi pekerjaan apapun sesungguhnya akan kuterima. Ya, asalkan ada pekerjaan saja, karena ibuku semakin tua.

Tetapi sepertinya sekarang sudah tidak ada yang membutuhkan juru ketik lagi. Entah karena apa. Mungkin karena sudah tidak ada apapun yang perlu diketik. Atau mereka sudah melakukannya secara otomatis. Mungkin juga seperti kata orang-orang di kantor kelurahan itu, mereka butuh orang yang mempunyai kemampuan lebih dari hanya mengetik saja. Entah karena apa, tapi sepertinya memang juru ketik sudah tidak diperlukan lagi. Atau hanya karena belum dibutuhkan seorang juru ketik. Aku tidak tau.

Padahal tidak ada kemampuan lain yang kumiliki. Kemampuanku cuma mengetik. Ya. Dan kadang aku bingung harus diapakan kemampuanku ini. Kalau aku seorang pemain piano atau pemain gitar, mungkin aku akan terkenal dengan jari-jariku yang bisa bergerak sangat cepat ini. Kadang memang mengherankan, mereka sama-sama hanya menggunakan jari-jarinya, kecepatan jariku pun tidak kalah dari kecepatan jari mereka, bahkan mungkin masih lebih cepat jari-jariku ketika mengetik. Temanku katakan karena mereka menghasilkan musik, tetapi aku pun menghasilkan hasil ketikan. Aku pernah menyalin satu buku tebal dalam beberapa hari, kataku. Aku masih tidak mengerti.

Tetapi sudahlah. Aku akan menjadi pusing kalau berpikir terlalu keras. Itu pernah terjadi sewaktu aku memikirkan yang semacam tadi itu. Pernah juga aku menjadi pusing dan hampir muntah-muntah sewaktu mencoba untuk benar-benar mengerti tulisan yang atasanku minta untuk diketik.

Itu ibuku pulang. Ia pergi ke warung tadi. Mungkin habis bayar hutang. Atau justru baru menghutang beras lagi. Entah, tapi sepertinya wajahnya suntuk. Mungkin ia akan mengingatkan aku lagi tentang usiaku yang sudah tiga puluh tujuh tahun

Tetapi tidak, aku tidak kesal karenanya. Aku tidak bosan mendengarnya. Karena memang apa yang dikatakannya benar. Aku memang bertambah usia dan memerlukan pekerjaan. Sekarang aku tiga puluh tujuh tahun. Tahun depan tiga puluh delapan.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

omyosa.. thx atas informasi jamunya.. semoga bisa membantu usahanya. cm jgn keseringan ya.. ntar dikira spam.