Jumat, 03 Desember 2010

Teka-teki yang Ganjil

Pada malam itu kami berkumpul dan berbicara
Dari mulut kami tidak keluar hal-hal yang besar
Masing-masing berbicara tentang keinginannya
yang sederhana dan masuk akal

Ada yang sudah lama sekali ingin bikin dapur
di rumah kontraknya
Dan itu mengingatkan yang lain
bahwa mereka juga belum punya panci, kompor,
gelas minum dan wajan penggoreng
Mereka jadi ingat bahwa mereka pernah
ingin membeli barang-barang itu
Tetapi keinginan itu dengan cepat terkubur
oleh keletihan kami
Dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah
menjadi odol-shampo-sewa rumah
dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi

Ternyata banyak di antara kami yang masih susah
menikmati teh hangat
Karena kami masih pusing bagaimana mengatur
letak tempat tidur dan gantungan pakaian

Ada yang sudah lama ingin mempunyai kamar mandi sendiri
Dari situ pembicaraan meloncat ke soal harga semen
dan juga cat tembok yang harganya tak pernah turun
Kami juga berbicara tentang kampanye pemilihan umum
yang sudah berlalu
Tiga partai politik yang ada kami simpulkan
Tak ada hubungannya sama sekali dengan kami: buruh
Mereka hanya memanfaatkan suara kami
demi kedudukan mereka

Kami tertawa karena menyadari
Bertahun-tahun kami dikibuli
dan diperlakukan seperti kerbau

Akhirnya kami bertanya
Mengapa sedemikian sulitnya buruh membeli sekaleng cat
padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam
Mengapa sedemikian sulitnya bagi buruh
untuk menyekolahkan anak-anaknya
Padahal mereka tiap hari menghasilkan
berton-ton barang

Lalu salah seorang di antara kami berdiri
Memandang kami satu-persatu kemudian bertanya:
'Adakah barang-barang yang kalian pakai
yang tidak dibikin oleh buruh?'
Pertanyaan itu mendorong kami untuk mengamati
barang-barang yang ada di sekitar kami:
neon, televisi, radio, baju, buku...

Sejak itu kami selalu merasa seperti
sedang menghadapi teka-teki yang ganjil
Dan teka-teki itu selalu muncul
ketika kami berbicara tentang panci-kompor-
gelas minum-wajan penggoreng
Juga di saat kami menghitung upah kami
yang dalam waktu singkat telah berubah
menjadi odol-shampo-sewa rumah
dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi

Kami selalu heran dan bertanya-tanya
Kekuatan macam apakah yang telah menghisap
tenaga dan hasil kerja kami?

Kalangan, Solo, 21 September 93. - Wiji Thukul

Sabtu, 20 November 2010

Sesuatu

Ternyata sesuatu yang ada di depan mata dapat begitu saja pergi tanpa dapat dikendalikan. Ternyata emang sesuatu amat mudah berubah, dan hilang begitu saja. Apa yang tadinya keliatan amat deket di depan mata, hilang dan pergi begitu saja tanpa tengak-tengok lagi. Itu di depan mata, bagaimana dengan sesuatu dengan jarak ribuan kilometer...

Tapi yang jadi pertanyaan, sesuatu yang meninggalkan saya; atau saya yang meninggalkan sesuatu itu? Hingga detik ini saya tdk tau siapa dari antara dua yang "pergi" lebih dulu. Segala yang ada begitu tidak stabil, begitu mudah hilang, semuanya jadi bullshit, dan akhirnya tanpa makna sama sekali.

Sesuatu, I miss you.

Senin, 15 November 2010

Malam Idul Adha 2010

Tidak terasa Hari raya Idul Adha telah tiba. Tapi rumahku lengang, hanya aku berdua dengan kakak. Tak ada menu spesial, tak ada acara makan enak. Tak ada percakapan yang berarti. Kami berdua menghabiskan waktu sendiri-sendiri. Berseliweran dari ruang satu ke ruang lain di dalam rumah, berpapasan. Seperti tak saling kenal. Kecuali jika saat makan tiba, kami baru berinteraksi. siapa yang duluan lapar yang memulai percakapan. "Makan," salah satu dari kami bergumam. "Makan apa?", "Apa yang enaklah". "Ok". Selanjutnya hanya upaya pemenuhan isi perut. Setelah itu, tenang. Kembali dengan urusan masing-masing. Berseliweran dari satu ruang ke ruang lain di dalam rumah, berpapasan. Tidak ada hal penting yang harus dibicarakan. Kalau bosan, aku keluar. Entah ke warnet, ke rumah teman. Ke kantor, ke mana-mana. Pulang, begitu lagi. Selalu begitu.

Selamat berkurban untuk Allah.

Minggu, 31 Oktober 2010

Marjukay Alay

Jakarta - Bencana gempa dan tsunami di Mentawai, Sumatera Barat, sudah merenggut ratusan korban jiwa. Bagi Ketua DPR Marzuki Alie, musibah tersebut adalah risiko penduduk yang hidup di wilayah pantai.

"Mentawai itu kan pulau. Jauh itu. Pulau kesapu dengan tsunami, ombak besar, konsekuensi kita tinggal di pulaulah," kata Marzuki di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (27/10)

Menurut politisi Partai Demokrat ini, seharusnya warga yang takut ombak jangan tinggal di daerah pantai. Alasannya, jika ada bencana seperti tsunami, maka proses evakuasinya menjadi sulit.

"Siapa pun yang takut kena ombak jangan tinggal di pinggir pantai. Sekarang kalau tinggal di Mentawai ada peringatan dini dua jam sebelumnya, sempat nggak meninggalkan pulau?" tanya Marzuki.

Bahkan dia menyarankan agar warga Mentawai dipindahkan saja. Hal ini bertujuan agar bencana serupa tidak lagi terjadi di Mentawai.

"Kalau tahu berisiko pindah sajalah," imbuhnya. "Kalau rentan dengan tsunami dicarikanlah tempat. Banyak kok di daratan," sambungnya.

Terakhir, Marzuki mengimbau agar bantuan terhadap korban Mentawai terus diberikan. Selain itu, kerusakan alat BMKG soal peringatan tsunami juga perlu diperbaiki.

"Kalau rusak diperbaiki. Kalau hilang dibeli lagi," tutupnya.

Bencana Mentawai telah merenggut 113 jiwa dan ratusan lain masih hilang. Cuaca buruk dan medan yang sulit membuat proses evakuasi korban. Sedikitnya ada 6 ribu penduduk yang tinggal di wilayah kepulauan tersebut.

http://www.detiknews.com/read/2010/10/27/154326/1476728/10/marzuki-tsunami-itu-konsekuensi-warga-yang-hidup-di-pulau

---------------------------------------------------------------

Jakarta - Ketua DPR Marzuki Alie meminta anggotanya fokus pada pekerjaannya mengawasi kinerja pemerintah. DPR tidak wajib ikut serta dalam tanggap bencana.

"Tugasnya pengawasan bukan tanggap darurat. Jadi melakukan pengawasan itu kita. Liat dulu jadi tolong dipahami tugas DPR, DPR bukan eksekutor," ujar Marzuki kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (28/10/2010),

Marzuki meminta semua anggota DPR konsentrasi dengan pekerjaan masing-masing. Kunjungan kerja DPR ke daerah dan ke luar negeri, menurut Marzuki tidak boleh terganggu.

"Semua di DPR ada tugas-tugasnya, jangan masalah seluruh RI berhenti bekerja dan ke Mentawai. Ada yang ngurusin Mentawai, ada yang ngurus pemerintahan. Jangan gara-gara Mentawai kita berhenti bekerja," terang Marzuki.

Apalagi, Marzuki menambahkan, pemerintah memiliki badan khusus penanggulangan bencana. Badan tersebut lah yang menurut Marzuki paling bertanggungjawab dalam tanggap bencana.

"Kan ada BNPB, ada dananya. Untuk tanggap darurat masing-masing bekerja. Presiden sebenarnya tidak perlu, tapi karena bentuk empati beliau makanya ke sana," terang Marzuki.

Karena itulah Marzuki belum ingin ke Mentawai. Marzuki akan ke Mentawai belakangan setelah BNPB menyelesaikan tugasnya memberikan bantuan kepada korban bencana.

"Saya ke sana mau ngapain, nonton? Apa yang mau dilakukan sebagai Ketua DPR. Nanti setelah BNBP bekerja kita datang, kita awasi bagaimana pengucuran dananya," jelas Marzuki.

Marzuki kemudian meminta semua komisi yang akan ke luar negeri tidak membatalkan misinya. Sebab, menurutnya DPR butuh suntikan ilmu dari studi banding ke luar negeri.

"Jadi jangan Komisi V tidak berangkat. Yang ke luar negeri suruh pulang? Untuk apa, nanti yang orang relawan bantu nggak dapat tiket. Jangan seolah-olah semuanya DPR, eksekutor kan pemerintah," tutupnya.

http://www.detiknews.com/read/2010/10/28/172342/1477924/10/ketua-dpr-tugas-dpr-hanya-pengawasan-bukan-tanggap-darurat

---------------------------------------------------------------

Bacotmu Juk, Juk..

Ketika bangsa lain, negara tetangga, artis hollywood, bahkan tukang mabok tukang judi dengan sisa-sisa ketulusannya turut berbela sungkawa atas bencana alam yang melanda Indonesia...

Yang dipertuan, Your majesty, Sang "ketua dewan perwakilan rakyat" kita sendiri cuma bilang; pindah aja ke daratan, tinggal di pulau itu resiko, kalo takut ombak jangan tinggal di pantai!

---------------------------------------------------------------

Ketika Tuhan Menciptakan Indonesia

Suatu hari Tuhan tersenyum puas melihat sebuah planet yang baru saja diciptakan- Nya. Malaikat pun bertanya, "Apa yang baru saja Engkau ciptakan, Tuhan?" "Lihatlah, Aku baru saja menciptakan sebuah planet biru yang bernama Bumi," kata Tuhan sambil menambahkan beberapa awan di atas daerah hutan hujan Amazon. Tuhan melanjutkan, "Ini akan menjadi planet yang luar biasa dari yang pernah Aku ciptakan. Di planet baru ini, segalanya akan terjadi secara seimbang".

Lalu Tuhan menjelaskan kepada malaikat tentang Benua Eropa. Di Eropa sebelah utara, Tuhan menciptakan tanah yang penuh peluang dan menyenangkan seperti Inggris, Skotlandia dan Perancis. Tetapi di daerah itu, Tuhan juga menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang.

Di Eropa bagian selatan, Tuhan menciptakan masyarakat yang agak miskin, seperti Spanyol dan Portugal, tetapi banyak sinar matahari dan hangat serta pemandangan eksotis di Selat Gibraltar.

Lalu malaikat menunjuk sebuah kepulauan sambil berseru, "Lalu daerah apakah itu Tuhan?" "O, itu," kata Tuhan, "itu Indonesia. Negara yang sangat kaya dan sangat cantik di planet bumi. Ada jutaan flora dan fauna yang telah Aku ciptakan di sana. Ada jutaan ikan segar di laut yang siap panen. Banyak sinar matahari dan hujan. Penduduknya Ku ciptakan ramah tamah, suka menolong dan berkebudayaan yang beraneka warna. Mereka pekerja keras, siap hidup sederhana dan bersahaja serta mencintai seni."

Dengan terheran-heran, malaikat pun protes, "Lho, katanya tadi setiap negara akan diciptakan dengan keseimbangan. Kok Indonesia baik-baik semua. Lalu dimana letak keseimbangannya? "

Tuhan pun menjawab dalam bahasa Inggris, "Wait, until you see the idiots I put in the government." (tunggu sampai Saya menaruh 'idiot2' di pemerintahannya)

http://www.suranegara.com/2010/08/negara-terkaya-di-dunia.html

---------------------------------------------------------------


---------------------------------------------------------------

Selasa, 19 Oktober 2010

Tukang Becak, Mbak Tukang Jamu, Penjual Kacang, & Juru Ketik

1. Si Tukang Becak

Hidupku gak pernah jelas, walaupun juga gak pernah berubah. Dari dulu sampe sekarang begini-begini aja.

Panas-panasan seharian. Liat aja kulitku, item kayak areng, walaupun basah dan bau asem apek gak kayak areng.

Atau ujan-ujanan ngadu nasib ngelawan petir atau pohon jatuh. Untung masih selamet.

Jangan bilang aku pemales. Keliatannya emang kadang aku diem aja bengong nggak karuan. Tapi itulah aku dengan hidupku. Apa lagi yang bisa aku lakukan: Aku si tukang becak?

Kerjaku emang cuma itu. Ngegenjot becakku si rongsokan hartaku paling mahal; nganter orang ke mana aja - dari ibu-ibu gembrot dengan belanjaannya, nyonya-nyonya bahenol yang mau berangkat arisan, gadis-gadis SMU yang bikin ngiler, sampe nganter orang mau melahirkan juga pernah.

Aku tinggal bengong sendiri di atas becakku kalau gak ada kerjaan. Ngerokok Ji Sam Su di tengah hari bolong, atau ngerumpi sama si Tatang dan tukang becak lainnya.

Temenku yang paling setia cuma rokok lisong sama pelacur. Pelacur paling murahan yang paling murah yang masih ada, itupun kalo ada dan kalo dia mau.

Dan musuhku si polisi-polisi semprul dan petugas-petugas kamtib tukang gerebek haram jadah. Jangan lupa si mobil-mobil mewah yang sering sliweran seenak jidat.

Begitulah idupku yang gak pernah jelas selalu butek gak pernah bening ini. Kencingku pun kuning butek.

-------------------------------------------------------------------------

2. Mbak Tukang Jamu

Mbak tukang jamu, mbak. Selamat siang. Siang panas kering berdebu, jalan sendirian bawa botol-botol dalem keranjang di atas punggung diiket kain. Keringetan, panas, capek, berat. Bawa jamu menyusur rel kereta api 2 jalur lewat jalan raya lewat jalan kecil lewat gang. Sendal jepit tipis kering kerontang kepanasan ampir putus.

Mbak tukang jamu, mbak. Selamat sore. Sore dingin basah becek, jalan sendirian bawa botol-botol dalam keranjang di atas punggung diiket kain. Keringetan, dingin, capek, berat. Bawa jamu menyusur rel kereta api 2 jalur lewat jalan raya lewat jalan kecil lewat gang. Sendal jepit tipis basah kuyup berlumpur udah putus.

Mbak tukang jamu, mbak. Selamet malem. Malem bernyamuk pengap bau sampah kotor. Berdua dalem rumah botol-botol kosong bediri kecapekan digendong seharian. Keringetan ngos-ngosan capek punggung sakit. Nyusur malam jam 2, suami mati anak sakit.

-------------------------------------------------------------------------

3. Penjual Kacang

Jalanan becek, air kecoklatan menggenangi lubang-lubang jalan. Di mana di pinggirnya seorang penjual kacang rebus tengah jongkok di pinggir gerobaknya. Membaca koran.

Abis ujan lagi. Biasanya dingin-dingin gini banyak yang beli.

Parlemen, demokrasi, duta besar. Alah ngomong apa sih ni koran.

Bangun dari jongkok, melipat koran, kemudian ia lepaskan plastik penutup gerobaknya. Uap air mengepul-ngepul dari kacang tanah yang menggunung.

Kulitnya hitam legam. Gurat-gurat urat tampak menonjol di pelipis dan betisnya. Tatapannya dalam tanpa senyum.

Sebatang rokok ia nyalakan.

Lalu lewatlah benda itu. Sebongkah mobil mewah melabrak jalan dan genangan-genangan airnya. Air kecoklatan muncrat, menciprati gerobak dan kakinya.

Sejurus tatapan mengikuti. Tajam.

Sundala.

-------------------------------------------------------------------------

4. Juru Ketik

Jajang Salimah Sungsang, itu namaku. Jajang entah karena apa, mungkin hanya karena orang tuaku tak terpikirkan nama yang lain lagi. Sementara Sungsang - kata yang tentu saja aneh untuk dijadikan nama - karena aku terlahir sungsang. Lalu Salimah adalah nama ibuku, yang juga terlahir sungsang.

Tetapi sudahlah tentang nama itu. Karena memang tidak begitu penting. Kau bisa memanggilku dengan nama Jajang, Ujang, Jang, atau apapun yang kau mau. Karena selama ini pun selalu begitu. Tidak ada yang pernah perduli pada nama lengkapku. Akupun sesungguhnya tidak perduli padanya.

Aku seorang laki-laki. Ya, tentu saja seorang laki-laki yang mendapat nama Jajang. Berumur tiga puluh tujuh tahun. Tetapi sampai hari ini pun aku tidak tau kapan tanggal lahirku. Hanya saja yang selalu dikatakan ibuku dari tahun ke tahun adalah, "kau sudah tiga puluh tujuh tahun", "kau sudah tiga puluh enam tahun", "kau sudah tiga puluh lima tahun", dan begitu seterusnya sejak aku berusia dua puluhan.

Tentu saja ibuku bukan seorang robot yang sepanjang hari hanya mengulang-ulang kata-kata semacam di atas sepanjang tahun setiap tahunnya. Bukan. Maksudku adalah, itu, atau yang semacam itulah, yang selalu diucapkan ibuku untuk mengingatkanku tentang usiaku. Tentang bahwa hingga usia tiga puluh tujuh tahun aku masih belum mendapat pekerjaan yang lebih baik daripada yang pernah kudapatkan. Kurang lebih begitu pula sewaktu aku berumur tiga puluh enam tahun, tiga puluh lima tahun, tiga puluh empat tahun, dan seterusnya.

Maksudnya tentu saja baik, aku tidak menyangsikannya dan jangan salah sangka. Aku sama sekali tidak menganggap ibuku cerewet atau terlalu banyak menuntut, tentu saja tidak. Sesungguhnya tanpa perlu selalu diingatkan oleh ibuku pun aku selalu menginginkan sebuah pekerjaan yang bisa menghidupiku. Ya, tentu saja.

Kenapa demikian adalah karena sekarang aku telah berusia tiga puluh tujuh tahun. Dan tahun lalu aku tiga puluh enam tahun, tiga puluh lima tahun di tahun sebelumnya, ya, dan seterusnya.

Setiap tahun umurku bertambah, seperti yang diketahui semua orang. Bahkan seharusnya Mak Lampir pun tau. Yang kumaksud bukan tentang usia, tapi ibuku semakin tua dari tahun ke tahun. Tahun ini sudah enam puluh satu tahun umurnya, tahun lalu enam puluh. Sementara aku anak yang satu-satunya sekarang ini, karena dua kakakku telah meninggal. Dan begitu pula dengan ayahku, sudah meninggal. Aku tidak terlalu ingat lagi padanya, ia meninggal sewaktu aku masih kecil. Kata orang sewaktu aku berumur empat tahun, dan kata orang pula tertabrak kereta listrik. Ayahku, maksudku.

Ibuku semakin tua, dan akan terus bertambah usianya. Tahun depan ia enam puluh dua tahun. Lalu enam puluh tiga. Dan seterusnya. Tetapi seperti yang sudah kukatakan, aku belum memiliki pekerjaan hingga hari ini.

Padahal sudah sering-sering kukirimkan lamaran pekerjaan ke kantor-kantor, juga ke kantor pemerintah, ke manapun. Dan aku akan terima pekerjaan apapun. Tetapi sulitnya tidak pernah ada yang mau menerima. Sepertinya karena sekolahku yang hanya sampai kelas dua SMP. Aku berhenti sekolah karena dua kali aku tidak naik kelas. Guruku bilang aku tidak ada harapan lagi. Terlalu di bawah rata-rata katanya. Mungkin memang begitu, aku merasa sedikit bodoh dibandingkan teman-temanku, memang. Tetapi kurasa pula, masih lebih mending daripada Somat tetanggaku yang hilang ingatan sejak lahir itu.

Urusan menghafal dan menghitung aku memang tidak mampu. Tetapi kalau hanya menghitung tahun aku masih bisa. Seperti kukatakan tadi, sekarang aku tiga puluh tujuh tahun. Satu-satunya yang aku benar-benar mampu hanyalah mengetik.

Sejujurnya kemampuanku mengetik justru di atas rata-rata, mungkin karena tidak dibutuhkan hafalan dan hitungan untuk sekadar mengetik. Mungkin butuh sedikit hafalan, yaitu letak masing-masing tombol huruf. Tapi aku tidak merasa menghafalnya. Dan aku memang tidak pernah merasa hafal.

Ya, mengetik adalah satu-satunya kemampuanku. Aku bisa mengetik sepuluh jari. Lebih dari itu aku bisa mengetik sepuluh jari dengan cepat sekali. Aku juga bisa mengetik sangat lama dengan tidak beristirahat. Aku pun hampir tidak pernah melakukan kesalahan dalam mengetik. Sesungguhnya aku cukup bangga dengan kemampuanku mengetik.

Tetapi aku tidak tau dari mana asal-usulnya kemampuanku itu. Yang kuingat hanyalah dulu ketika masih tinggal di kampung pemulung, aku menemukan sebuah papan ketikan bekas. Aku bermain dengannya tiap hari. Bahkan kubawa tidur. Ya, aku sempat berkelahi karena memperebutkan papan ketik itu dengan temanku. Atau karena aku terlahir sungsang dengan tangan yang terlebih dahulu keluar, aku tidak tau yang mana yang benar. Ibuku sendiri tidak tau.

Dulu aku beberapa kali mendapatkan pekerjaan sebagai juru ketik. Beberapa kali di kantor swasta, tetapi lebih sering di kantor pemerintah. Di sana pekerjaanku cuma mengetik. Karena memang cuma itu kemampuanku. Mereka tidak pernah menyuruhku menghitung. Syukurlah. Mereka hanya menyuruhku mengetik. Setumpuk kertas-kertas yang harus disalin, atau mengetik apapun yang diucapkan oleh atasanku. Bagaimanapun caranya aku bisa. Aku pernah menyalin satu buku tebal penuh hanya dalam beberapa hari waktu itu. Lalu pernah juga aku bekerja di kantor kelurahan. Tetapi kemudian aku dikeluarkan karena katanya mereka tidak bisa menggaji orang yang hanya bisa mengetik saja.

Sekarang aku belum mendapatkan pekerjaan lagi. Tentu saja yang kuinginkan adalah pekerjaan menjadi juru ketik, karena hanya itu kemampuanku. Aku bisa mengetik cepat dan lama dan hampir tanpa kesalahan. Tetapi pekerjaan apapun sesungguhnya akan kuterima. Ya, asalkan ada pekerjaan saja, karena ibuku semakin tua.

Tetapi sepertinya sekarang sudah tidak ada yang membutuhkan juru ketik lagi. Entah karena apa. Mungkin karena sudah tidak ada apapun yang perlu diketik. Atau mereka sudah melakukannya secara otomatis. Mungkin juga seperti kata orang-orang di kantor kelurahan itu, mereka butuh orang yang mempunyai kemampuan lebih dari hanya mengetik saja. Entah karena apa, tapi sepertinya memang juru ketik sudah tidak diperlukan lagi. Atau hanya karena belum dibutuhkan seorang juru ketik. Aku tidak tau.

Padahal tidak ada kemampuan lain yang kumiliki. Kemampuanku cuma mengetik. Ya. Dan kadang aku bingung harus diapakan kemampuanku ini. Kalau aku seorang pemain piano atau pemain gitar, mungkin aku akan terkenal dengan jari-jariku yang bisa bergerak sangat cepat ini. Kadang memang mengherankan, mereka sama-sama hanya menggunakan jari-jarinya, kecepatan jariku pun tidak kalah dari kecepatan jari mereka, bahkan mungkin masih lebih cepat jari-jariku ketika mengetik. Temanku katakan karena mereka menghasilkan musik, tetapi aku pun menghasilkan hasil ketikan. Aku pernah menyalin satu buku tebal dalam beberapa hari, kataku. Aku masih tidak mengerti.

Tetapi sudahlah. Aku akan menjadi pusing kalau berpikir terlalu keras. Itu pernah terjadi sewaktu aku memikirkan yang semacam tadi itu. Pernah juga aku menjadi pusing dan hampir muntah-muntah sewaktu mencoba untuk benar-benar mengerti tulisan yang atasanku minta untuk diketik.

Itu ibuku pulang. Ia pergi ke warung tadi. Mungkin habis bayar hutang. Atau justru baru menghutang beras lagi. Entah, tapi sepertinya wajahnya suntuk. Mungkin ia akan mengingatkan aku lagi tentang usiaku yang sudah tiga puluh tujuh tahun

Tetapi tidak, aku tidak kesal karenanya. Aku tidak bosan mendengarnya. Karena memang apa yang dikatakannya benar. Aku memang bertambah usia dan memerlukan pekerjaan. Sekarang aku tiga puluh tujuh tahun. Tahun depan tiga puluh delapan.

Minggu, 17 Oktober 2010

Siap Mundur

Di makassar aku bisa dengan mudah menemukan sahabat. Di sini, betapa sulitnya. Semua penuh tendensi, semua selalu saling ingin menguasai. Padahal bagiku sahabat itu tulus tanpa tendensi, murni tanpa saling ingin menguasai.

By the fucking way, Aku siap keluar dari kandang itu. Percuma berpenghasilan besar tapi hati tak tentram. Dan aku tak bisa bekerja dengan cara mereka. Cara yang setau saya hanya cocok dipakai di hutan rimba. Tapi aku tak mau beralasan, menjustifikasi, apalagi menyalahkan siapapun. Dalam hidup ada jatuh bangun, dan kukatakan sekarang ini aku sedang jatuh. Kalau para petinggi tidak mau memberiku kesempatan untuk bangun, ya sudahlah. Aku sudah melakukan yang kubisa, dan tak ada kata menyesal. Life must go on, right?

Sudah kusiapkan segalanya. Aku mulai membuka koran sabtu. Aku mulai mengumpulkan berkas-berkas lusuh untuk dikirim ke mana-mana. Aku mulai mencari di internet informasi pekerjaan. Just like the old day, when i'm jobless. Kupikir, untungnya aku belum ketuaan untuk memulai dari nol di luar sana. Kalau memang jadi keluar, kuharap yang kutemukan di luar sana jauh lebih baik.

Now I'm ready for every possible things that may happen. Jadi mari kita lihat di akhir bulan.

Kamis, 26 Agustus 2010

Let me go home

Menjelang lebaran kali ini aku harus pulang ke rumah. Rumah? I don't even know where is my real home? Is it Java, Sulawesi, or here, Kalimantan? Makin lama sudah gak jelas lagi rumah itu sebenarnya di mana. Mungkin suatu saat nanti aku akan membangun rumahku sendiri di suatu tempat yang bisa jadi tidak di salah satu pulau itu. Mungkinkah? Iya kah? Di suatu saat ketika aku sudah menjadi orang dewasa-sejati (karena saat ini aku, dari lubuk hati yang paling dalam, belum mengaku dewasa, apalagi menjadi dewasa-sejati), suatu saat di mana aku siap untuk menjadi "imam" sejati, setidaknya imam untuk satu keluarga kecil. Mungkin. I hope so.

Tapi semua itu saat ini tidak menjadi masalah. Atau belum menjadi masalah. Saat ini rumahku masih di sana, di tempat kedua orang tuaku berada. A place where I belong to. Setidaknya untuk sekarang. Dan aku tidak mau memikirkan saat di mana rumah itu tidak menjadi rumahku lagi, suatu masa yang akan menjadi paling sulit dalam hidupku pastinya.

Tidak terasa aku sudah setahun di Balikpapan. Sampai sekarang kota ini belum bisa membuatku jatuh cinta. Kota ini belum bisa meluluhkan hatiku, seperti Makassar atau Sengkang yang dulu pernah aku cintai. Meski begitu, kota ini memberikan beberapa pelajaran baru untuk jiwaku. For being stronger, patient, and mature. Thanks to Balikpapan, terlepas dari keburukanmu, terlepas dari ke-opportunis-an pendudukmu.

Akhir-akhir ini selalu itu yang terngiang dalam benakku. Aku harus pulang. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika kali ini aku tidak pulang. Aku harus bertemu kedua orang tuaku. Dan semakin hari semakin dekat dengan hari H kepulanganku, aku semakin 'homesick'. Aku selalu membayang-bayangkan apa yang terjadi saat nanti kali pertama aku mengetuk pintu rumah itu. Aku terlalu takut. Aku takut hal-hal buruk terjadi kepada ibuku. Aku takut dia tidak bisa menahan kerinduan dan kesedihan yang dia simpan sekian lamanya padaku, hingga dia roboh tak berdaya di depanku. Aku SANGAT takut. Aku tidak ingin dramatisasi dalam bentuk apapun pada kedatanganku nanti. Aku ingin semuanya berjalan biasa saja, tidak ada yang spesial, tidak ada air mata. Itu lebih baik, jauh lebih baik. I beg you dear God, demi Ibuku.

Kemarin ibuku menelpon. Oh i can't believe i write this in my blog. Ah who care lah, i'll keep writing. Di sela-sela pembicaraan kami, Beliau menangis. Kamu tahu, bagiku saat dia menangis itu adalah hal tersedih sepanjang tahun ini. Itulah hal yang paling menguras air mataku. Mendengar suara sesenggukan itu di ujung telpon. Saat itu aku benar-benar sadar betapa kasih sayang beliau tak bisa ditukar dengan apapun. Sampai kita sama-sama terlarut dalam diam, tanpa kata.

Aku berusaha mengatur nafasku, mencoba menyembunyikan kenyataan bahwa aku pun menangis di sini. Berusaha kedengaran 'biasa saja', biar kelihatan 'tegar'. Mencoba mengecilkan suaraku, berharap beliau mengira sinyal sedang tidak stabil, hingga aku bisa menyembunyikan suara ingusku yang mulai mengalir karena menangis. Itulah aku malam itu, seorang pembohong sejati. LOSERRR

Look, i have to stop writing this, karena kni leherku mulai terasa berat, dongkol. OK, see u next time.

HOME..... soon.

Rabu, 23 Juni 2010

Menyelami makna di balik tiap kejadian

Di suatu siang yang terik, saat aku berada di dalam mobil angkot yang berhenti di persimpangan lampu merah. Debu jalanan, bau asap knalpot, dan penjaja koran serta para pengemis adalah pemandangan yang biasa di salah satu sudut di kota Makassar. Aku ingat seorang anak kecil berpakaian lusuh menggendong bayi datang meminta-minta kepada kami para penumpang.

Seorang ibu-ibu penumpang memberi uang recehan kepada pengemis kecil itu. Seratus dua ratus rupiah. Anak itu mengambilnya, sekian detik memandangi uang itu. Tapi betapa terkejutnya kita ketika dia melemparkan uang pemberian itu ke arah orang yang memberinya. Yah, dengan cara yang amat emosional dia melempar uang itu ke dalam mobil angkot ini dan berlari pergi. Seketika kami mengumpat. "sikulu, nda taunya terima kasih, sudah dikasih uang malah dilempar kembali. Mending nda usah se kasi skalian".

Atau kisah ini, saat aku masih tinggal di pondokan dekat kampusku. Tiba-tiba saja ada aksi saling kejar-kejaran antara seorang pemuda berkaos hitam dengan dua atau tiga orang. Aku serta-merta ikut melihat dan mencari tau apa yang terjadi. kejar-kejaran itu terjadi sampai keluar area pondokan, hingga jumlah yang mengejar semakin banyak. Pemuda itu terjebak di sebuah bangunan yang belum jadi dan memanjat ke atasnya. Puluhan orang berkumpul di bawah dan beberapa orang ikut memanjat. Pemuda itu dilempari hingga jatuh ke tanah, disambut keroyokan orang-orang yang sudah menunggu sedari tadi di bawah. Belakangan kutau ternyata pemuda itu mencuri. Apa yang ia curi? Sekantong besar nasi ayam dari warung tak jauh dari pondokan. Seorang pemuda versus orang banyak dalam perebutan atas sekantong nasi bungkus. Whew.

Dari kejadian itu, dengan serta merta kita mencap pemuda itu tak lebih dari seorang maling, penjahat, kriminal. "Harus dihukum, biar jera." "Kalo dibiarin, semua orang bisa ikutan jadi maling". Sebagian lagi dari kita mungkin akan sedikit lebih mengedepankan rasa iba. "Sudahlah, kasih saja. Kasian". "Cuma nasi bungkus harus dipukuli sampai segitunya".

Tapi apakah kejadian itu hanya sesederhana kelihatannya? Berapa banyak dari kita yang mau menyelami makna dari kejadian itu lebih dalam lagi? Apakah kejadian itu hanya berarti: Seorang pemuda mencuri makanan dari warung sebelah dan karenanya, harus dihukum. Was just that it? Nasi bungkus adalah nasi bungkus, bukan emas atau harta. Jelas bahwa pemuda itu mencuri bukan untuk kekuasaan atau kemewahan, jelas sekali.

Kenapa dia mencuri? Hal apa yang membuat dia nekat meresikokan nyawanya hanya untuk mendapatkan sekantong nasi bungkus? Maka kita akan menemukan jawaban yang tipikal: untuk mengisi perut, untuk bertahan hidup, karena dia melarat, miskin, tidak mampu membelinya sehingga dia harus menggadaikan moralnya dengan mencurinya, dan semacamnya. Ada satu kata penting: MISKIN.

Bahkan tak banyak dari kita yang sudi melihat realita dramatis ini: dia mencuri sekedar untuk bertahan hidup. Bukan demi kekuasaan dan kemewahan, kukatakan sekali lagi. Aku bukannya membenarkan perilaku mencuri. Mencuri itu salah. Tapi mari kita ubah logika kita yang lucu, untuk tidak mengatakan menyesatkan: Menghukum seorang pencuri yang mencuri untuk bertahan hidup. Kenapa kubilang logika ini lucu? Akankah pencurian atas dasar untuk bertahan hidup akan terberantaskan hanya dengan menghukum, memukuli, membunuh, memenjarakan si pencuri? NEVER. Akan tetap ada pencuri-pencuri lain yang tetap akan mencuri karena memang mereka melakukannya untuk bertahan hidup. Kalaupun seandainya para pencuri itu jera karena melihat pencuri lain dihukum sedemikian rupa, hal itu malah akan memberikan kesengsaraan yang lebih dalam pada hidup mereka.

Maka kita akan tergerak untuk mengajukan pertanyaan selanjutnya: kenapa dia miskin? Mendengar pertanyaan itu, kita tiba-tiba seperti berada di padang yang luas, tak ada tanda, tak ada sinyal. Ada banyak hal yang tak terhingga yang bisa menjadi penyebab orang menjadi miskin. Tapi mari kita mengambil jawabannya dengan memberikan pertanyaan balik: apa yang harus kita tempuh agar tidak miskin? Maka kita dapat mengambil jawaban yang paling umum:

1. Sekolah setinggi-tingginya
2. Rajin menabung
3. Hidup hemat
4. Bekerja keras
5. Berpikiran inovatif

Sekarang mari kita kaji poin-poin di atas dengan cara random. Sekolah mana sih yang mampu dibiayai oleh seorang yang mencuri nasi untuk bertahan hidup? Bisakah kita lihat bahwa jangankan sekolah, untuk makan pun dia harus mencuri? Sekolah, bekerja, berpikiran inovatif adalah alur logika yang umum dalam masyarakat, dimana kita sekolah sehingga mendidik pikiran kita untuk maju dan kemudian karenanya kita bisa mendapatkan pekerjaan yang layak nantinya. Tapi itu tidak berlaku lagi bagi si miskin; karena dia tidak mungkin bisa sekolah, maka konsekuensinya adalah tidak akan ada pekerjaan layak baginya.

Bahkan bagi si miskin yang berpekerjaan seorang buruh pun, belum cukup bisa untuk menikmati sekolah. Coba kita tanyakan, kehidupan macam apa yang bisa ia nikmati dari hasilnya bekerja sebagai buruh? Masih tersisakah penghasilannya untuk ditabung sehingga dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah?

Apa lagi yang dapat ditabung oleh seorang melarat yang untuk mendapatkan sekantong nasi bungkus saja harus mencuri? Pun, apa lagi yang dapat dihemat? Menabung dan hidup hemat bagi mereka sama saja dengan bunuh diri, itu hanya berlaku bagi mereka yang punya sesuatu lebih untuk ditabung, punya sesuatu kelebihan untuk dihemat. Tapi tidak bagi si miskin, yang tidak bisa menumpuk harta karena tidak ada yang tersisa untuk ditabung, tidak ada yang tersisa untuk dihemat. Sekali lagi, acara menabung dan penghematan dalam kehidupan mereka sama saja dengan menyuruh mereka untuk mati segera.

Lalu kenapa mereka hanya bisa menjadi buruh dan semacamnya? Ya sudah jelas karena tingkat pendidikan mereka hanya memungkinkan untuk mendapat pekerjaan seperti itu. Sampai di sini, jika ada orang yang tetap berkomentar, "makanya itu sekolah yang tinggi biar dapat kerjaan yang layak! Bukan jadi buruh", orang ini sungguh goblok. Tolol dan bebal. Tidakkah kita sudah bisa melihat bahwa kehidupan bagi mereka bagaikan lingkaran setan yang hanya berputar-putar pada urusan memberi makan dan memberi makan, bertahan hidup dan bertahan hidup lagi? Dari satu generasi ke generasi selanjutnya, turun-temurun? Jadi menuntut mereka untuk mengutamakan pendidikan dalam kehidupan mereka adalah sebuah kebebalan yang tak terhingga.

Kemudian mereka dituntut untuk berpikiran inovatif, kreatif, atas dasar ketiadaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan layak dan berpendidikan. Mereka dituntut untuk menciptakan terobosan-terobosan baru dalam hidup mereka sehingga mereka bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan, bisa menabung untuk sekolah, bisa berpekerjaan baik. Maka si miskin ini, mereka akan kembali dipersalahkan atas kemiskinannya ketika mereka "tidak mampu berinovasi". Jadi mereka miskin karena kebodohan mereka sendiri.

Tapi kubilang, inovasi apa yang dapat dipikirkan oleh seorang buruh melarat, yang lulusan SD, mentok-mentoknya SMA. Alam berpikir mereka jelas berbeda dengan mereka yang lulusan sarjana dengan titel MBA, MSI, AMD, dan lain-lain. Alam berpikir mereka masih berkutat pada level yang paling rendah; tentang bagaimana bertahan hidup. Jangan samakan dengan kita yang masih punya banyak waktu luang untuk berfikir jernih. Mungkin kita masih cukup tenang dan tidak dihantui dengan segala permasalahan 'bertahan hidup di level yang paling rendah', mungkin kita masih punya ruang kamar yang nyaman sehingga kita masih bisa kreatif.

Sekarang masih bisakah kita berpikir inovatif, kreatif, kalau dari menit ke menit yang ada dalam otak kita masih juga pertanyaan yang sama yang tak kunjung mendapatkan jawaban: "besok makan apa aku ini..."? Ya, pertanyaan sederhana itu, sebuah pertanyaan tingkat ecek-ecek, bukan pertanyaan yang ada dalam otak kita orang-orang berada. Bukan pertanyaan seperti, "bagaimana aku bisa menggandakan hasil bisnisku dalam dua bulan?", atau "akan kularikan ke mana uang ini hingga bisa berbunga paling tinggi?", atau ... dst. Jauh, berbeda dari itu. Jadi karena itu menuntut mereka untuk berpikiran inovatif, maju, dan semacamnya sekali lagi adalah suatu tuntutan yang bodoh.

Artinya, setelah kita selami jawaban-jawaban di atas (sekolah, menabung, berhemat, bekerja, berpikir inovatif) ternyata kita temui bahwa itu tidak memungkinkan untuk dilakukan oleh si miskin. Si miskin tidak bisa sekolah, dan oleh karenanya tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, tidak memungkinkan untuk menabung apalagi berhemat, pun tidak mampu berpikir inovatif; di mana cara-cara itu yang harus ditempuh untuk tidak miskin. Dan oleh karenanya, maka si miskin akan tetap menjadi miskin.

Maka serta-merta kita memasuki sebuah padang yang lebih luas lagi, di mana semuanya tampak sama, menyesatkan hingga kita tidak mendapat ujungnya dan tidak bisa keluar darinya. Padang ini adalah sebuah sistem. Suatu sistem yang memang membutuhkan si miskin untuk tetap miskin agar roda raksasa penggerak sistem ini dapat terus bergerak. Sebuah sistem global dan canggih yang memang membutuhkan orang-orang yang tidak mampu untuk meningkatkan taraf hidupnya sehingga tujuan awal sistem ini dapat terwujudkan.

Jadi ini adalah tentang suatu sistem.

Seketika timbul kengerian tentang masa depan dunia di bawah sistem ini. Di sisi lain timbul kegelian melihat sekelumit kejadian kecil ini: sebuah pencurian nasi bungkus di salah satu sudut kota Makassar, di balik segala yang tampak, yang dilihat sebagai suatu kejadian yang dingin dan mati, kecil tak berarti, suatu kejadian kriminal biasa, ternyata juga adalah suatu rangkaian panjang sebab-akibat yang berakar pada suatu sistem sosial-ekonomi-politik global dan terorganisir; Kapitalisme.

Jadi apabila kita masih saja tidak sudi untuk melihat lebih dalam apa yang menjadi penyebab yang melatari suatu kejadian, maka kita akan tetap tersesat dalam padang luas itu tanpa ada titik terang. Akarnyalah yang harus dibongkar, bukan pencuri nasi bungkus itu karena pencuri akan tetap selalu ada hingga sumbernya musnah.

Minggu, 20 Juni 2010

Dunia yang kutau

Aku ingat perkataan temanku, bahwa hidup hanya sekedar perpindahan dari satu masalah ke masalah yang lain. Atau dengan kata lain, tidak ada manusia yang tidak punya masalah. Seperti yang terjadi pada kehidupan kami, di sini. Salah seorang teman kerjaku telah dinyatakan 'out' dari tempat kerja kami, disusul beberapa lagi yang lainnya. Dan mungkin ke depannya dia, mereka, lagi, dan tidak menutup kemungkinan, my own ass. Lagi dan lagi. This new boss kicking our asses out of his new empire.

Let's move to other topic. Orang lagi seru-serunya ngikutin perkembangan kasus Luna-Ariel-Cut tari. Ariel dan Luna ketahuan bersetubuh setelah videonya tersebar di Internet. Tidak lama kemudian ketahuan pula bahwa Ariel dan Cut Tari bersetubuh, juga setelah videonya tersebar. Intinya, Luna Maya dan Cut Tari disetubuhi oleh Ariel. Dan itu baru yang ketahuan. Berapa banyak lagi selebriti yang fucking each other? Merekakah publik figur itu?
I saw their faces on TV. Wow luar biasa suami si Cut Tari itu nyantai abis, bahkan setelah tau istrinya abis dipake sama orang lain. Anjrit tau ngga loe? Aku membaca komentar dari selebriti lain, "how pity", they said, for Luna and Ariel. Mereka korban, katanya lagi. Mereka dibela. Setelah semuanya jelas.. MEREKA TETAP DIBELA. Why? How? Inilah dunia yang kutau.

Baca berita tentang tentara Israel yang membunuh para aktivis kemanusiaan? Sekarang sudah gak kedengaran lagi kelanjutan kisahnya. Sama seperti kisah tragist kematian Rachel Corrie. Terakhir yang aku tau, Israel menolak diinvestigasi oleh pihak PBB. Dan PBB cuma bisa bilang, "yo wess". Setelah itu, kita dilenakan oleh gegap gempitanya Piala Dunia 2010. Semua orang telah lupa. It's just that simple. Yang luar biasa dari itu adalah bukan betapa bisanya kita lupa, tapi lebih kepada betapa MUDAHnya kita lupa. Inilah dunia yang kutau.

Aku mengenal seorang wanita cantik, sebut saja namanya Layla. Dia orang bule, yang datang dan menetap di Indonesia. Segera setelah dia mengenal segala sesuatu tentang Indonesia, dia jatuh cinta. Tak lama kemudian dia memeluk Islam. Dan dengan semangat menggebu, dia kembali ke tanah kelahirannya, membawa keyakinan barunya ke lingkungan yang sangat asing untuk perubahan yang dia pilih itu. Pun dia tak berhenti berdakwah, membuat kami sedunia salut kepadanya. But what happen next? Last time i checked, she turned to atheist! Holy cow! Why? How? She said, 'cause i don't believe in God, any God, anymore. It's just that simple. Ada lelucon kalau dia berubah karena kecewa atas kematian anjing peliharaannya.

This is the world I know. Ketika kamu memikirkannya, lebih mendalam, kamu akan gila sendiri. Jadi lepaskanlah, jalani rutinitasmu seperti biasanya. Tenang saja, kita akan cepat lupa. Kita adalah manusia, makhluk yang paling pelupa yang pernah ada. Pikirkan saja bagaimana bertahan hidup, cari uang, menabung. Pikirkan target yang ditetapkan atasan, sudah tercapai belum? Segera setelah kita sibuk oleh rutinitas kita masing-masing, lupalah kita. Tertidur.. lelap.

Tapi ada yang aneh. Aku tertidur tapi seperti masih terjaga. Mataku terpejam, tapi aku masih bisa melihat sekeliling. Insomnia. Aku hanya ingin tidur lelap seperti orang kebanyakan... Why can't I?

Lets move to the first topic. We'll wiped out. Setiap hari dihantui rasa ketakutan. Inikah hari terakhir kami di sini? Masih bisakah kita bertahan di sini sampai bulan depan? Dan pertanyaan-pertanyaan semacamnya. Setiap hari bisa saja kita dipanggil untuk menandatangani 'kertas' biadab itu. Kondisi kerja yang sangat tidak kondusif. But nevermind. Let's face it, nothing to loose. Aku tidak takut kehilangan pekerjaan, aku hanya takut kehilangan kepercayaan.