Senin, 09 Juni 2014

Paradoks Secangkir Kopi Starbucks & Lima Liter Bensin

"Ya Allah Gusti, Astaghfirullah..."

Demikianlah kalimat pertama yang keluar dari mulut ibuku ketika mendengar harga secangkir kopi di Starbucks. Ibuku tercengang ketika mendengar harga secangkir kopi di kedai itu dalam kisaran lima puluh ribuan. Jumlah yang mungkin sama dengan harga tetes keringat seharian memburuh tani di kampung tempat ibuku tinggal. Mungkin ibuku tidak akan bisa memahami kenapa harga secangkir kopi di sini begitu mahal untuk ukurannya meskipun sudah coba kujelaskan.

***

Starbucks hanyalah salah satu dari sekian banyak simbol gaya hidup. Simbol kosmopolitan. Simbol eksistensi orang kota. Simbol kemewahan. Simbol 'aktualisasi diri'. Di kedai itu para pengunjung mengkreasi citra dirinya, bersenggama dengan simbol-simbol semu. Orang-orang merasa harus 'hafal' berbagai bentuk sajian di kedai itu agar terlihat pintar dan tidak ketinggalan jaman. Orang-orang merasa harus punya jenis kopi favorit tertentu dan merasa harus jadi kecanduan ngopi di situ agar terlihat keren dan gaul. Kedekatan individu dengan simbol-simbol yang dipilih akan membentuk gambaran diri yang selanjutnya akan membentuk citra diri. Kebutuhan akan pencitraan inilah, yang diolah oleh para kapitalis untuk mengeruk keuntungan.

Citra diri bagi setiap individu merupakan hal yang sangat penting. Setiap hari, individu pada dasarnya hanya bergelut untuk membentuk citra diri yang dikehendaki. Kehidupan di kota di mana waktu berjalan lebih cepat memaksa individu untuk juga mencari simbol-simbol instan untuk mengkreasikan citra dirinya. Dalam pola hidup serba instan itu simbol-simbol materilah yang paling gampang didapatkan. Individu yang lahir dan menceburkan diri pada jaman serba instan ini bakal kerepotan kalau mencari simbol citra diri pada hal-hal esensial non-materi seperti kepribadian, intelektual, nilai-nilai, sikap, karakter dan yang sejenisnya. Ia akan terlihat bodoh di tengah arus konsumerisme yang sebenarnya juga tolol.

"Apa yang aku konsumsi itulah citra diriku"

Individu yang berpunya dalam masyarakat di mana peradabannya tidak dibangun dari tradisi berpikir kritis, slogan semacam itu menimbulkan sebuah sikap paradoks. Sebuah paradoks nyata seperti antrian mobil pribadi di pom bensin pada saat harga BBM akan dinaikkan. Mereka rela mengantri hanya untuk menghemat beberapa ribu rupiah. Pada lain waktu, mereka juga rela mengantri untuk membeli sepotong roti yang bisa berbicara, Breadtalk yang harga sepotongnya lebih mahal dari harga seliter bensin. Lalu jangan heran jika kita mendengar sebuah obrolan berisi padaroks; sumpah serapah sekelompok mahasiswa pada rencana kenaikan harga BBM dan diskusi-diskusi mereka justru berlangsung di tempat-tempat sejenis Starbucks. Lahir generasi yang begitu kencang mempertanyakan kenapa harga BBM naik (cuma beberapa ratus rupiah dalam kisaran tahun yang sebenarnya masih dalam batas wajar) tetapi tidak berani menanyakan kenapa harga secangkir kopi Starbucks cukup untuk membeli lima liter bensin. Atau bagaimana harga untuk konsumsi sebungkus nikotin tiap harinya bisa merampas kasih sayang seorang buruh yang seharusnya bisa membelikan anaknya sepasang sepatu sekolah. Dari lingkar paradok ini lahir generasi tanpa karakter.

***

Gaya hidup sebenarnya adalah simbol dari pemaknaan relasi sosial di antara manusia. Lewat secangkir kopi itu mungkin saja ibuku sedang memotret sebuah ketidakpedulian sosial yang sesungguhnya; gaya hidup bermewah-mewahan. Kemewahan yang dikecap di tengah tangisan bocah-bocah busung lapar, orang-orang sakit yang meninggal di gubuk reot karena tidak mampu berobat dan mungkin tangis sesal bocah-bocah yang tidak mampu bersekolah. Dari tetes kopi starbucks di negeri yang katanya nomor satu dalam bertuhan ini, lahir generasi yang memahami kepedulian hanya sebatas pada kotak amal di masjid. Mereka lupa bahwa gaya hiduplah sebenarnya ukuran bentuk kepedulian sosial. Gaya hidup melahirkan sikap dan tindak keseharian.

Dalam konteks mahalnya harga secangkir kopi barangkali ibuku sedang mempertanyakan begitu mewahnya kehidupan di luar sana. Sebuah kemewahan yang tidak pernah terbayangkan seumur hidup baginya dan mungkin bagi jutaan ibu di pelosok negeri celaka ini. Jutaan ibu yang mungkin membeli sekilo beras paling murah pun tidak sanggup.

Gaya hidup mewah adalah sebuah bentuk ketidakpedulian yang sesungguhnya. Bagi ibuku dan jutaan ibu-ibu yang tinggal di pelosok negeri ini, mungkin berlaku mewah adalah sebuah dosa. Bahkan untuk sekedar mendengar cerita secangkir kopi Starbucks pun ibuku mesti harus sering berucap “astaghfirullah... Gusti Allah...”