Kamis, 25 September 2014

Merenunglah Dalam keheningan

Sediakan beberapa menit dalam sehari untuk merenung. Lakukan di pagi hari yang tenang, segera setelah bangun tidur. Atau di malam hari, sesaat sebelum beranjak tidur.

Merenunglah dalam keheningan. Jangan gunakan pikiran untuk mencari berbagai jawaban. Dalam perenungan kita tidak mencari jawaban. Cukup berteman dengan ketenangan maka kita akan mendapatkan kejernihan pikiran.

Jawaban berasal dari pikiran kita yang bening. Selama berhari-hari kita disibukkan oleh berbagai hal. Sadarilah bahwa pikiran kita memerlukan istirahat.

Tidak cukup hanya dengan tidur. Kita perlu "tidur dalam keadaan terbangun". Merenunglah, dan dapatkan ketentraman batin.

Pikiran yang digunakan itu bagaikan air sabun yang diaduk dalam sebuah gelas kaca. Semakin banyak sabun yang tercampur semakin keruh air. Semakin cepat kita mengaduk semakin kencang pusaran. Merenung, adalah menghentikan adukan. Dan membiarkan air berputar perlahan. Perhatikan partikel sabun turun satu persatu, menyentuh dasar gelas.

Benar-benar perlahan. Tanpa suara. Bahkan kita mampu mendengar luruhnya partikel sabun. Kini kita mendapatkan air jernih tersisa di permukaan. Bukankah air yang jernih mampu meneruskan cahaya? Demikian halnya dengan pikiran kita yang bening.

Rabu, 03 September 2014

Menghargai Daniel Agger yang Tidak Rasional

Di era modern, di mana hampir setiap pemain sepak bola tampaknya berambisi suatu hari bermain untuk Real Madrid atau Barcelona, Daniel Agger adalah satu dari sedikit orang yang melawan trend. Untuk sebagian besar pemain modern, klub-klub lain dianggap hanya sebagai anak tangga, batu loncatan ke salah satu raksasa La Liga itu. Agger, bagaimanapun, tidak seperti pemain modern; ia adalah karakter yang kompleks yang menghargai kehidupan kampung halaman di atas uang dan piala. Agger memiliki banyak kesempatan untuk meninggalkan Anfield dan merupakan incaran serius dari Barcelona pada lebih dari satu kesempatan, tapi dia tidak tertarik untuk meninggalkan Anfield sampai musim panas ini ketika ia menemukan dirinya merasa tepat untuk pergi.

Cukup mengejutkan mengapa dia memilih kembali ke klub pertamanya, Brondby, ketika di umur 29 tahun di mana ia masih bisa bermain di salah satu klub top Eropa, tapi Agger tidak akan meninggalkan Merseyside untuk pergi ke tempat lain. Dia jelas tidak tertarik bermain untuk salah satu saingan Liverpool di Inggris, itu sudah pasti. Agger tampaknya tidak didorong oleh ambisi prestasi atau motivasi keuangan, ada hal-hal yang lebih penting dalam hidupnya daripada sepakbola. Beberapa pemain hidup dan bernapas dengan bermain bola; lainnya tidak begitu tergantung dengan sepakbola, tapi hanya kebetulan hebat dalam bermain bola. Agger jatuh ke dalam kategori kedua.

Jawaban Agger dari spekulasi yang menghubungkan dia dengan raksasa Catalan hanya dengan mengangkat bahu dan berkata "Terserah klub". Satu-satunya cara ia akan meninggalkan Anfield hanya jika ia tidak lagi diinginkan, dan tidak seperti beberapa pemain yang telah berbagi ruang ganti dengannya selama bertahun-tahun, ia tidak pernah tergoda oleh "rumput tetangga". Ketika dihadapkan dengan tawaran yang lebih baik, sebagian besar pemain mencoba untuk memaksa club dengan cara apapun. Bandingkan perilaku Agger dengan Javier Mascherano misalnya, yang dikabarkan menolak bermain untuk The Reds melawan Manchester City dalam upaya untuk memaksa club agar diizinkan pindah ke Barcelona.

Steve McManaman, Michael Owen, Alvaro Arbeloa dan Xabi Alonso pindah ke Real Madrid, dan tentu saja musim panas ini Luis Suarez mengikuti Mascherano untuk menukar Anfield dengan Camp Nou. Suka atau tidak, sebagian besar pemain melihat Real dan Barca sebagai puncak profesi mereka, tapi tidak untuk Agger. Dia senang berada di Liverpool, dan selama LFC ingin, dia sangat senang untuk tinggal. Prilaku seperti itu akan selalu menimbulkan perasaan cinta fans untuk pemain, terutama jika pemain itu berbakat seeprti Agger.

Ketika Manchester City menginginkannya beberapa tahun yang lalu, ia menjawab dengan menulis tato "YNWA" di ruas jarinya. Ketika itu, Liverpool terpuruk, setelah finish di urutan kedelapan, legenda Kenny Dalglish baru dipecat dan kemudian menunjuk seorang manajer muda dari Swansea City. Beberapa orang akan menyalahkan Agger kenapa tidak pindah ke City sang juara bertahan pada waktu itu, belum lagi kenaikan gaji yang signifikan yang akan dia dapatkan. Tapi seperti saya katakan, Agger tidak seperti kebanyakan pemain modern; dia titisan generasi sebelumnya, pemain yang akan tinggal di klub yang sama untuk sebagian besar karir mereka.

Liverpool telah kehilangan uang dengan memilih untuk menjual ke Brondby karena harga yang jauh lebih rendah dari nilai pasar pemain, tetapi kenyataannya adalah club tidak punya banyak pilihan. Agger ingin pulang dan rela mengalami pemotongan gaji besar-besaran dalam rangka untuk melakukannya. Dia tidak mungkin bermain banyak di Anfield musim ini, setelah tergelincir ke pilihan ke empat sebagai central bek, dan idealnya Liverpool lebih suka menjualnya ke club top Eropa yang mau membayar tinggi untuk Agger yang kualitasnya tidak diragukan lagi. Tapi itu bukan pilihan karena Agger tidak tertarik pergi ke mana pun selain Brondby. Dia bisa saja kembali ke sana di usia lebih tua, tapi dia memilih kembali di saat ia masih memiliki tenaga tersisa untuk bermain di Brondby.

Dia meninggalkan Anfield sebagai tokoh populer setelah hampir sembilan tahun di klub dan akan selalu mendapat sambutan hangat kapanpun dia kembali. Dia bermain di Final Liga Champions tahun 2007, ketika AC Milan membalaskan dendam pada The Reds atas kekalahan mereka di Istanbul dua tahun sebelumnya. Gol Agger di leg kedua semifinal yang menyebabkan kemenangan adu penalti atas Chelsea yang memastikan tempat Liverpool di final liga Champion. Gol pertama yang ia kantongi sungguh mengesankan, tendangan voli jarak jauh 30-yard melawan West Ham di depan tribun The Kop.

Dia bisa saja masih salah satu yang terbaik andai ia bisa menghindari cedera, tapi selama delapan musim ia berada di klub, ia telah kehilangan banyak tenaga. Tubuhnya, sayangnya, tidak mampu lagi memenuhi tuntutan bermain sepak bola terutama di Liga Inggris, sesuatu yang ia akui ketika menjelaskan keputusannya untuk pergi, "aku tidak akan tinggal jika hanya membebani club". Tapi setiap kali ia diberi kesempatan untuk bermain, dia tampak berkelas. Dia tidak melakukan kesalahan, ia berjuang bergelut dengan striker yang lebih kuat, lebih muda, lebih besar - karena Daniel Agger adalah seorang pemain sepak bola yang baik. Di sisi lain, ia juga hanya seorang fans setia dan seorang seniman tatto yang tidak melihat Liga Premier dan Liverpool hanya sebagai batu loncatan ke Bernabeu atau Camp Nou. Aku hanya berharap ada lebih banyak pemain seperti dia. Good luck, Dan.

"Saya tak akan pergi ke tempat lain kecuali pulang ke klub masa kecilku"

*****
Tidak Rasional


Mari bersikap adil. Harus dipahami dengan jujur bahwa keputusan Fernando Torres menyeberang ke Chelsea tiga musim kemarin adalah hal yang rasional. Sudut pandang perkembangan karir marilah kita pakai.

Harus jujur diakui, kala itu Liverpool adalah sebuah klub besar yang sedang tidak besar atau sedang berpayah-payah untuk kembali besar. Kemudian Chelsea adalah klub yang terus menapaki jalan menuju puncak serta bisa menawarkan uang dan masa depan.

Kita yang sudah bekerja pastilah paham, karir yang terus menanjak adalah bagian dari kehidupan orang dewasa yang katanya menyenangkan tapi susah dilakoni. Dan atas nama itulah andai Torres memajang profilnya di Linkedin, orang yang objektif akan sepakat bahwa pria Madrid ini membuat keputusan yang terukur dengan mempertimbangkan untung-rugi dengan cermat. Terserah jika mau bilang Torres tak bisa benar-benar menikmati trofi Liga Champions dan Liga Europa cuma karena dia bukan pilihan utama. Yang sudah jelas dua trofi tadi berhak ia cantumkan di resume-nya.

Rasionalitas adalah pilihan Torres. Dan jangan keburu sewot, toh dia pindah dari Atletico Madrid ke Liverpool juga demi trofi. Atletico semasa Torres di sana masih berada di jaman jahiliyah. Jangankan berburu trofi, mencari tempat di kualifikasi LC saja susahnya bukan main. Dan dia sendiri mengakui kepindahannya dari Vicente Calderon ke Anfield didorong nafsu mencari kejayaan.

Sayangnya sama seperti Christopher Columbus, dia kesasar. Mendarat di klub yang salah jika melihat keinginannya semula. Liverpool juga miskin trofi saat itu. Tim lamanya malah juara LE edisi 2009/2010, mengalahkan Liverpool di semifinal.

Sekali lagi, saat dia pindah ke Chelsea dan mendapatkan trofi mayor itu adalah keputusan yang tepat karena sangat rasional.

Hanya saja, di sepakbola rasionalitas itu kerap membosankan.

*****

Zlatan Ibrahimovic adalah salah satu yang paling pandai membaca dan mengukur peluang calon klubnya. Dia hampir selalu juara di mana pun berlabuh. Tapi di mata fans sepakbola, dia pemain yang membosankan. Tanya saja para Juventini, baik yang garis keras maupun garis lunak. Berani taruhan sunat sekali lagi mereka pasti lebih menyukai Gianluigi Buffon atau Alessandro Del Piero yang mau menemani Si Nyonya Tua turun kasta.

Loyalitas pernah menjadi sebuah komoditas sebelum digusur oleh rasionalitas. Membela klub kampung  halaman adalah sebuah impian. Mengabdi lama pada satu klub adalah sebuah kebanggaan. Beberapa pemain barangkali pernah berpikir menjadi pesepakbola itu mirip seperti PNS, ngapain pusing-pusing mikir pindah organisasi.

Respek untuk Daniel Agger yang mau sedikit primitif dengan menomerberapakan rasionalitas.

*****

Saya tak percaya Agger sudah tak punya peminat. Sekedar Valencia, AS Monaco, atau Benfica pasti mau memakai jasanya asal sesuai skema permainan dan anggaran. Manchester City, Bayer Munchen dan Barcelona adalah club yang ingin meminangnya di musim-musim lalu. Dan memilih Brondby, klub asalnya, adalah sebuah bentuk loyalitas.

Sebelum itu, tato sudah menjadi propaganda Agger untuk menunjukkan loyalitasnya pada Liverpool. Ada tato YNWA di kepalan tinju Agger. Jangan sampai kena tonjok Agger, bisa-bisa ada cap mirroring YNWA di pipi kalian.

Tato bisa jadi propaganda loyalitas. Jika harus menato tubuh dengan sebuah nama, kita tentu akan memilih seseorang yang sangat berarti. Ibu, bapak, istri, calon istri, anak. Konyol kalau menato nama gebetan yang masih diambang PHP (pemberi harapan palsu) atau HTML (hatiku milikmu).

Agger memilih Brondby karena barangkali ia enggan munafik menato kepalannya yang lain dengan HALA (Real Madrid), VISCA (Barca), AMUNT (Valencia), atau AING (Persib). Sudah cukuplah dengan YNWA.

Di masa modern ini, Agger adalah individu langka. Ibrahimovic dan Torres mungkin bakal sulit paham kenapa dia memilih pulang ke Denmark, mendapat gaji yang lebih sedikit, dan bermain di liga yang cuma populer di kandang sendiri. Kapitalisme dan komersialisme juga bakal sulit paham di isi kepala Agger.

Tapi anak lokal macam Paolo Maldini dan Iker Muniain pasti bisa maklum. Mereka yang pernah pulang kampung seperti Gabi tentu paham juga. Dan muka-muka yang suka teriak saat nobar Liverpool lawan xxx pasti ikut paham dan mesam-mesem sendiri.