Di suatu siang yang terik, saat aku berada di dalam mobil angkot yang berhenti di persimpangan lampu merah. Debu jalanan, bau asap knalpot, dan penjaja koran serta para pengemis adalah pemandangan yang biasa di salah satu sudut di kota Makassar. Aku ingat seorang anak kecil berpakaian lusuh menggendong bayi datang meminta-minta kepada kami para penumpang.
Seorang ibu-ibu penumpang memberi uang recehan kepada pengemis kecil itu. Seratus dua ratus rupiah. Anak itu mengambilnya, sekian detik memandangi uang itu. Tapi betapa terkejutnya kita ketika dia melemparkan uang pemberian itu ke arah orang yang memberinya. Yah, dengan cara yang amat emosional dia melempar uang itu ke dalam mobil angkot ini dan berlari pergi. Seketika kami mengumpat. "sikulu, nda taunya terima kasih, sudah dikasih uang malah dilempar kembali. Mending nda usah se kasi skalian".
Atau kisah ini, saat aku masih tinggal di pondokan dekat kampusku. Tiba-tiba saja ada aksi saling kejar-kejaran antara seorang pemuda berkaos hitam dengan dua atau tiga orang. Aku serta-merta ikut melihat dan mencari tau apa yang terjadi. kejar-kejaran itu terjadi sampai keluar area pondokan, hingga jumlah yang mengejar semakin banyak. Pemuda itu terjebak di sebuah bangunan yang belum jadi dan memanjat ke atasnya. Puluhan orang berkumpul di bawah dan beberapa orang ikut memanjat. Pemuda itu dilempari hingga jatuh ke tanah, disambut keroyokan orang-orang yang sudah menunggu sedari tadi di bawah. Belakangan kutau ternyata pemuda itu mencuri. Apa yang ia curi? Sekantong besar nasi ayam dari warung tak jauh dari pondokan. Seorang pemuda versus orang banyak dalam perebutan atas sekantong nasi bungkus. Whew.
Dari kejadian itu, dengan serta merta kita mencap pemuda itu tak lebih dari seorang maling, penjahat, kriminal. "Harus dihukum, biar jera." "Kalo dibiarin, semua orang bisa ikutan jadi maling". Sebagian lagi dari kita mungkin akan sedikit lebih mengedepankan rasa iba. "Sudahlah, kasih saja. Kasian". "Cuma nasi bungkus harus dipukuli sampai segitunya".
Tapi apakah kejadian itu hanya sesederhana kelihatannya? Berapa banyak dari kita yang mau menyelami makna dari kejadian itu lebih dalam lagi? Apakah kejadian itu hanya berarti: Seorang pemuda mencuri makanan dari warung sebelah dan karenanya, harus dihukum. Was just that it? Nasi bungkus adalah nasi bungkus, bukan emas atau harta. Jelas bahwa pemuda itu mencuri bukan untuk kekuasaan atau kemewahan, jelas sekali.
Kenapa dia mencuri? Hal apa yang membuat dia nekat meresikokan nyawanya hanya untuk mendapatkan sekantong nasi bungkus? Maka kita akan menemukan jawaban yang tipikal: untuk mengisi perut, untuk bertahan hidup, karena dia melarat, miskin, tidak mampu membelinya sehingga dia harus menggadaikan moralnya dengan mencurinya, dan semacamnya. Ada satu kata penting: MISKIN.
Bahkan tak banyak dari kita yang sudi melihat realita dramatis ini: dia mencuri sekedar untuk bertahan hidup. Bukan demi kekuasaan dan kemewahan, kukatakan sekali lagi. Aku bukannya membenarkan perilaku mencuri. Mencuri itu salah. Tapi mari kita ubah logika kita yang lucu, untuk tidak mengatakan menyesatkan: Menghukum seorang pencuri yang mencuri untuk bertahan hidup. Kenapa kubilang logika ini lucu? Akankah pencurian atas dasar untuk bertahan hidup akan terberantaskan hanya dengan menghukum, memukuli, membunuh, memenjarakan si pencuri? NEVER. Akan tetap ada pencuri-pencuri lain yang tetap akan mencuri karena memang mereka melakukannya untuk bertahan hidup. Kalaupun seandainya para pencuri itu jera karena melihat pencuri lain dihukum sedemikian rupa, hal itu malah akan memberikan kesengsaraan yang lebih dalam pada hidup mereka.
Maka kita akan tergerak untuk mengajukan pertanyaan selanjutnya: kenapa dia miskin? Mendengar pertanyaan itu, kita tiba-tiba seperti berada di padang yang luas, tak ada tanda, tak ada sinyal. Ada banyak hal yang tak terhingga yang bisa menjadi penyebab orang menjadi miskin. Tapi mari kita mengambil jawabannya dengan memberikan pertanyaan balik: apa yang harus kita tempuh agar tidak miskin? Maka kita dapat mengambil jawaban yang paling umum:
1. Sekolah setinggi-tingginya
2. Rajin menabung
3. Hidup hemat
4. Bekerja keras
5. Berpikiran inovatif
Sekarang mari kita kaji poin-poin di atas dengan cara random. Sekolah mana sih yang mampu dibiayai oleh seorang yang mencuri nasi untuk bertahan hidup? Bisakah kita lihat bahwa jangankan sekolah, untuk makan pun dia harus mencuri? Sekolah, bekerja, berpikiran inovatif adalah alur logika yang umum dalam masyarakat, dimana kita sekolah sehingga mendidik pikiran kita untuk maju dan kemudian karenanya kita bisa mendapatkan pekerjaan yang layak nantinya. Tapi itu tidak berlaku lagi bagi si miskin; karena dia tidak mungkin bisa sekolah, maka konsekuensinya adalah tidak akan ada pekerjaan layak baginya.
Bahkan bagi si miskin yang berpekerjaan seorang buruh pun, belum cukup bisa untuk menikmati sekolah. Coba kita tanyakan, kehidupan macam apa yang bisa ia nikmati dari hasilnya bekerja sebagai buruh? Masih tersisakah penghasilannya untuk ditabung sehingga dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah?
Apa lagi yang dapat ditabung oleh seorang melarat yang untuk mendapatkan sekantong nasi bungkus saja harus mencuri? Pun, apa lagi yang dapat dihemat? Menabung dan hidup hemat bagi mereka sama saja dengan bunuh diri, itu hanya berlaku bagi mereka yang punya sesuatu lebih untuk ditabung, punya sesuatu kelebihan untuk dihemat. Tapi tidak bagi si miskin, yang tidak bisa menumpuk harta karena tidak ada yang tersisa untuk ditabung, tidak ada yang tersisa untuk dihemat. Sekali lagi, acara menabung dan penghematan dalam kehidupan mereka sama saja dengan menyuruh mereka untuk mati segera.
Lalu kenapa mereka hanya bisa menjadi buruh dan semacamnya? Ya sudah jelas karena tingkat pendidikan mereka hanya memungkinkan untuk mendapat pekerjaan seperti itu. Sampai di sini, jika ada orang yang tetap berkomentar, "makanya itu sekolah yang tinggi biar dapat kerjaan yang layak! Bukan jadi buruh", orang ini sungguh goblok. Tolol dan bebal. Tidakkah kita sudah bisa melihat bahwa kehidupan bagi mereka bagaikan lingkaran setan yang hanya berputar-putar pada urusan memberi makan dan memberi makan, bertahan hidup dan bertahan hidup lagi? Dari satu generasi ke generasi selanjutnya, turun-temurun? Jadi menuntut mereka untuk mengutamakan pendidikan dalam kehidupan mereka adalah sebuah kebebalan yang tak terhingga.
Kemudian mereka dituntut untuk berpikiran inovatif, kreatif, atas dasar ketiadaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan layak dan berpendidikan. Mereka dituntut untuk menciptakan terobosan-terobosan baru dalam hidup mereka sehingga mereka bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan, bisa menabung untuk sekolah, bisa berpekerjaan baik. Maka si miskin ini, mereka akan kembali dipersalahkan atas kemiskinannya ketika mereka "tidak mampu berinovasi". Jadi mereka miskin karena kebodohan mereka sendiri.
Tapi kubilang, inovasi apa yang dapat dipikirkan oleh seorang buruh melarat, yang lulusan SD, mentok-mentoknya SMA. Alam berpikir mereka jelas berbeda dengan mereka yang lulusan sarjana dengan titel MBA, MSI, AMD, dan lain-lain. Alam berpikir mereka masih berkutat pada level yang paling rendah; tentang bagaimana bertahan hidup. Jangan samakan dengan kita yang masih punya banyak waktu luang untuk berfikir jernih. Mungkin kita masih cukup tenang dan tidak dihantui dengan segala permasalahan 'bertahan hidup di level yang paling rendah', mungkin kita masih punya ruang kamar yang nyaman sehingga kita masih bisa kreatif.
Sekarang masih bisakah kita berpikir inovatif, kreatif, kalau dari menit ke menit yang ada dalam otak kita masih juga pertanyaan yang sama yang tak kunjung mendapatkan jawaban: "besok makan apa aku ini..."? Ya, pertanyaan sederhana itu, sebuah pertanyaan tingkat ecek-ecek, bukan pertanyaan yang ada dalam otak kita orang-orang berada. Bukan pertanyaan seperti, "bagaimana aku bisa menggandakan hasil bisnisku dalam dua bulan?", atau "akan kularikan ke mana uang ini hingga bisa berbunga paling tinggi?", atau ... dst. Jauh, berbeda dari itu. Jadi karena itu menuntut mereka untuk berpikiran inovatif, maju, dan semacamnya sekali lagi adalah suatu tuntutan yang bodoh.
Artinya, setelah kita selami jawaban-jawaban di atas (sekolah, menabung, berhemat, bekerja, berpikir inovatif) ternyata kita temui bahwa itu tidak memungkinkan untuk dilakukan oleh si miskin. Si miskin tidak bisa sekolah, dan oleh karenanya tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, tidak memungkinkan untuk menabung apalagi berhemat, pun tidak mampu berpikir inovatif; di mana cara-cara itu yang harus ditempuh untuk tidak miskin. Dan oleh karenanya, maka si miskin akan tetap menjadi miskin.
Maka serta-merta kita memasuki sebuah padang yang lebih luas lagi, di mana semuanya tampak sama, menyesatkan hingga kita tidak mendapat ujungnya dan tidak bisa keluar darinya. Padang ini adalah sebuah sistem. Suatu sistem yang memang membutuhkan si miskin untuk tetap miskin agar roda raksasa penggerak sistem ini dapat terus bergerak. Sebuah sistem global dan canggih yang memang membutuhkan orang-orang yang tidak mampu untuk meningkatkan taraf hidupnya sehingga tujuan awal sistem ini dapat terwujudkan.
Jadi ini adalah tentang suatu sistem.
Seketika timbul kengerian tentang masa depan dunia di bawah sistem ini. Di sisi lain timbul kegelian melihat sekelumit kejadian kecil ini: sebuah pencurian nasi bungkus di salah satu sudut kota Makassar, di balik segala yang tampak, yang dilihat sebagai suatu kejadian yang dingin dan mati, kecil tak berarti, suatu kejadian kriminal biasa, ternyata juga adalah suatu rangkaian panjang sebab-akibat yang berakar pada suatu sistem sosial-ekonomi-politik global dan terorganisir; Kapitalisme.
Jadi apabila kita masih saja tidak sudi untuk melihat lebih dalam apa yang menjadi penyebab yang melatari suatu kejadian, maka kita akan tetap tersesat dalam padang luas itu tanpa ada titik terang. Akarnyalah yang harus dibongkar, bukan pencuri nasi bungkus itu karena pencuri akan tetap selalu ada hingga sumbernya musnah.
Rabu, 23 Juni 2010
Menyelami makna di balik tiap kejadian
Kategori: Opini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
test.. keren bro. keep it up
Posting Komentar