Minggu, 31 Oktober 2021

Rindu yang Tumpah dan Jatuh

Aku bertanya-tanya tentang mengapa hujan turun semau-maunya, begitupun jua terik yang telah beberapa masa terakhir tidak lagi sesuai dengan ketika masa kecil dulu.

Dahulu, musim berbagi ruang per sekian masa. Ada waktunya hujan jatuh, ada masanya terik tumpah. Enam bulan, enam bulan. Sekarang, selain tidak lagi terpisah, keduanya semakin sering datang semasa.

Apakah mungkin karena hujan dan terik telah saling bersama? Hingga tumpah dan jatuh tak terpisahkan lagi.

Atau adakah hujan dan terik ini sengaja melakukannya, tumpah dan jatuh bagi para perindu yang senantiasa berdoa untuk segera pulang ke kampung dimana langit dan laut adalah nama yang sama.

Kemungkinan itu niscaya, sampai ada yang mampu menemukan bila ternyata hujan dan terik hanya tersesat, dan tidak menemukan dirinya.

Senin, 18 Oktober 2021

Merantau

La ogi, pada suatu masa terpanggil untuk menguji nasib sebagaimana teman-teman sejawatnya yang telah terlebih dulu sompe'. Ada yang ke Malaysia, Papua, Jawa, dan ada juga yang menyeberang ke tanah misteri seperti yang menjadi arahnya, Kalimantan.

Ketika hendak berangkat, La Ogi sama sekali tak berbekal apa-apa, kecuali keberanian. Izin kepada kedua orang tuanya pu ia tuliskan pada sepucuk surat yang sengaja ia tinggalkan tepat di dekat sarung samping bantal yang biasa Mama La Ogi siapkan untuk anaknya setiap kali membersihkan kamar.

Sebelum subuh La Ogi berangkat. Larik-larik kalimat dalam kertas selembar tulisan tangan La Ogi itu sesekali tersibak angin. La Ogi menggoreskan permohonan, atau yang biasa kita menyebutnya harapan, juga doa-doa.

"Emma', pura metto'ni atikku sompe'. Taddampengekka konarekko laoka temmappesabbi, nasaba' mompo ammeni esse bebbuata' na engka ki terri tassenge', na engkaka matane' salaiki.

Emma', tassengkeruang mana' kasi' ri laleng nafasse' parillau doangeng ta', sarekkuammeng ni engka tokka lau sappa' deceng, mita deceng, sibola deceng, na lisu mappadeceng.

Emma', pura engkani tu ujujung sininna arajangetta', sarekuammeng ni tapada madising-dising maneng, na ta siduppa paemeng mappasiame' sengereng ri tana uddani."

Hingga waktu itu tiba, La Ogi memilih kembali. Orang-orang tertegun. La Ogi pulang bergelimang "kekayaan". Namun apa hendak dikata, ibarat pepatah "sedalam apapun cinta daun kepada ranting, tetap tanah berkuasa, sebab gugur adalah kepastian". Emma' tidak lagi bisa bersua secara lahir dengan La Ogi.

"Emma', engka na ro lau pole. Usabbarakeng meni akkatuongeng'e nennia sukkuru'ka temmaggangka. Saya bisa seperti saat ini bukan karena pintar, berani dan atau pun karena baik, tapi semua ini karena Allah yang menghendaki terkabulnya doa-doa ta' yang tak berhenti", ratap La Ogi terisak di pusara makam ibunya.

Sompe' bagi La Ogi menjelma simpul pengingat akan sesuatu yang pernah maujud dan mengikuti perjalanan ke perjalanan. Tak ubahnya hal yang tak saling mencari, namun sama-sama silih menemukan.