Jumat, 17 Februari 2006

Cinta

Cinta bukanlah daun yang mudah layu
Melainkan akar yang tertanam kuat
Kuat tak terjamah mimpi-mimpi
Dari para pemimpi yang tak pernah mengerti

Cinta bukanlah laut yang mudah surut
Melainkan karang yang berdiri kokoh
Kokoh tak terusik janji-janji
Dari para penjanji yang tak pernah menepati

Cinta tak seperih tajamnya duri
Melainkan seindah mawar bersemi
Merah mewarnai jiwa
Membawa berlabuh ke surga yang indah

Sabtu, 11 Februari 2006

Feminisme: Revolusi Menuju Kehancuran

Feminisme, ide yang dikembangkan orang-orang kafir {Barat} dalam rangka memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan. Feminisme, gerakan yang lahir akibat rasa 'frustasi' dan 'dendam' terhadap sejarah {Barat} yang tidak memihak kaum perempuan. Perempuan/wanita/awewe, diperlakukan sebagai warga negara kelas dua yang hanya dijadikan objek exploitasi sexual, penindasan dan diskriminasi.

Entah apa yang terjadi di dunia kaum hawa saat ini. Fenomena kekerasan, kemiskinan, diskriminasi, trafficking, menjadi sebuah relitas yang tidak terbantahkan. Ini bukan omong kosong belaka. Laporan UNDP tahun 1996 menyebutkan bahwa 70% dari 1,3 miliar penduduk yang dibawah garis kemiskinan adalah perempuan, 67% penduduk yang buta huruf pun dari kalangan perempuan. Sedangkan hasil angket the Body Shop menunjukkan 9 dari 10 perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan, diskriminasi dan kekerasan, 6 dari 10 perempuan merasa dikekang oleh pasangannya, dan 5 dari 10 responden mengaku tidak bahagia menjadi perempuan. Dalam ekonomi pun diskriminasi terjadi terhadap perempuan, untuk kasus indonesia misalnya, upah perempuan kira-kira hanya 65-70% dari upah laki-laki dan total penghasilan perempuan hanya mencapai 25,3%. Sedang dalam sisi politik perempuan dianggap terdiskriminasi dari sisi kesempatan untuk duduk dalam posisi strategis pemerintahan, misalnya persentase perempuan yang duduk di parlemen di negara jepang hanya 6,7%, Singapura 3,7%, Amerika yang dianggap negara liberal pun hanya sekitar 10,3%, dan Indonesia memimpin dengan jumlah sekitar 12,2%.

Dari fakta-fakta diataslah, para feminis mengasumsikan sesungguhnya kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut. Oleh karena itu pula, feminisme juga sering didefinisikan sebagai suatu ‘kesadaran’ akan penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan yang terjadi baik dalam keluarga, di tempat kerja, maupun di masyarakat dari situlah muncul tindakan sadar untuk mengubah hal tersebut.

Setelah berusaha mencoba mencari akar permasalahannya, maka para kaum feminis menyimpulkan bahwa dominasi budaya patriarkilah sumber permasalahannya. Budaya patriarki mengandung konsep bahwa laki-laki bersifat superioritas dan perempuan lebih bersifat inferior, yang menempatkan laki-laki lebih berkuasa dibandingkan perempuan. Terminologi yang lebih familiar dipakai oleh para feminisuntuk menyebut kondisi ini adalah ketimpangan, ketidakadilan, atau disparitas jender. Karena persoalan jender inilah yang mereka anggap sebagai biang keladi merebakanya stereotype, marjinalisasi, subordinasi dan kekerasan atas perempuan.

Ambivalensi Feminisme

Walau konsep feminisme mereka gaungkan terus menerus, hanya saja konsep kesetaraan jender yang mereka ungkapkan belum bisa menciptakan formula yang masuk diakal, sehingga diantara para feminispun, masih terjadi polemik. Apakah kesetaraan jender berarti memiliki kedudukan yang setara dengan pria di segala sisi kehidupan, tapi mereka pun bingung soalnya disisi lain mereka meminta cuti haid atau hamil yang pria tidak akan pernah dapatkan. Sehingga orang-orang akan bertanya apa sih yang mereka inginkan sebenarnya?.

Efek dari merebaknya ide feminisme ini adalah kehancuran tatanan sosial masyarakat, karena ide feminisme yang menginginkan adanya empowerment (pemberdayaan) terhadap perempuan menuntut adanya kesamaan kedudukan sepenuhnya dengan pria di segala bidang. Padahal mau tidak mau kita harus mengakui bahwa terdapat perbedaan fisik dan psikologis antara perempuan dan pria. Karena perbedaan tersebutlah peran yang diberikan oleh Sang Pencipta berbeda pula. Tidak mungkin pria menggantikan peran melahirkan dari seorang ibu, atau menggantikan peran menyusui.

Kitapun harus memahami bahwa peran yang diberikan kepada perempuan bukanlah peran-peran yang dianggap submarjinal oleh para kaum feminis. Kaum feminis menganggap bahwa peran perempuan sekarang lebih rendah kedudukannya dibanding seorang pria. Padahal kalau mau kita berpikir sekali lagi, sesungguhnya kontribusi perempuan terhadap negara amatlah penting, karena dialah yang melahirkan pemimpin-pemimpin negaranya, dialah yang pertama mengajarakan tentang kasih-sayang, cinta, empati, nilai kebenaran. Jikalau perempuan tidak mau lagi memegang peran penting tersebut, dan menyerahkan perannya tersebut pada lembaga negara alayaknya yang terjadi di Swedia, maka akan dihasilkan suatu generasi yang penuh dengan kekerasan tanpa cinta dan kasih-sayang.

satu hal lagi yang harus kita perhatikan, jika perempuan tidak mau lagi berperan sebagai seorang ibu yang melahirkan dan mendidik anak, niscaya dunia ini benar-benar menuju kebinasaan. Hal ini dapat kita lihat di Negara Jerman, disana tingkat pertambahan penduduknya bernilai minus, hal itu karena mereka baik pria maupun perempuan malas untuk menikah karena mereka bisa memuaskan hasrat seksualnya di luar pernikahan, dan mereka juga tidak mau dibebani tanggung jawab jika mereka sudah menikah terutama mengasuh anak.

Oleh karena itu, ide-ide feminisme merupakan ide yang absurd yang tidak akan menyelesaikan permasalahan, malah memperburuk permasalahan itu sendiri. Konsep tersebut tidak lain adalah konsep yang muncul dari pemikiran yang dangkal (pemikiran yang hanya melihat dari satu fakta tanpa mengkaitakan dengan fakta atau informasi lainnya). Feinisme pun tidak terlepas dari ideologi kapitalisme, yang membuat mereka hanya melihat dari segi untung-ruginya saja menurut pandangan mereka sendiri. Padahal peran perempuan yang mereka anggap rendah tersebut merupakan peran yang amat vital bagi tatanan sosial suatu negara.

Kalau kita mau berpikir jernih dan merenung sesaat, kita akan memahami bahwa tindakan kekerasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan adalah satu fenomena dari banyak fenomena ketidakadilan yang diciptakaan oleh sistem saat ini. Karena sistem saat ini tidak memiliki perangkat-perangkat hukum yang dapat mencegah kekerasan, penindasan, trafficking terhadap perempuan. Sistem sekarang malah membuat perempuan layaknya sebuah komoditas ekonomi, sehingga pengeksploitasian perempuan begitu mudah terjadi. So jika menginginkan solusi, bukanlah dengan memperjuangkan ide-ide feminisme yang menuntut persamaan secara total antara lakai-laki dan perempuan karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan itu berbeda. Tapi yang seharusnya kita lakukan adalah memperjuangkan agar diterapkan sebuah sistem yang dapat mengayomi seluruh rakyatnya termasuk didalamnya kaum perempuan. Dan Revolusi Pemikiran lah Jawabannya.