Minggu, 09 Desember 2012

Surat Cinta Seorang Edan


Kepada Yang Kukagumi,
entah siapa nama kamu.

-----

Nona, sudah beberapa minggu kuperhatikan kamu karena hampir tiap pukul delapan pagi dan sekitar sore hari kamu lewat di jalan depan sana. Kecuali hari Sabtu dan Minggu, kamu gak pernah keliatan. Karena itu aku pikir mungkin kamu pekerja kantoran. Tapi lebih mungkin kamu mahasiswi yang kuliah di universitas di pinggir jalan besar sana.

Sebelum beberapa hari ini aku ngga pernah liat kamu. Itu bukan salah kamu, karena sebelumnya jam segitu aku selalu masih tidur. Tiga atau empat jam sesudah aku mulai tidur, kurang lebih.

Jadi baru sekitar sebulan ini aja aku ngeliat kamu. Awalnya karena tiba-tiba waktu subuh aku dapet ide untuk tulisanku, itu bulan lalu. Setelah beberapa jam aku nulis, niatku jadi ilang, dan akhirnya kubuang juga kertas yang tadinya udah mulai aku tulisi itu. Udah ampir pukul delapan pagi waktu itu.

Tapi justru karena itu aku bisa ngeliat kamu. Sekitar lima belas menit aku nongkrong di depan kosku, tiba-tiba kamu lewat. Kamu yang manis dan cantik lewat di seberang jalan. Dengan tas hitam, celana bahan hitam, dan kemeja putih. Tanpa make up. Rambut kamu masih agak basah, muka kamu jernih, dan entah apa yang membuatku saat itu juga langsung jatuh cinta padamu. Kontan.

Sejak beberapa minggu yang lalu itu, aku jadi semangat. Semangat untuk nggak tidur sampe pagi. Aku begadang sampe pukul delapan pagi meskipun nggak ada ide mau ngapain dan nggak ada yang mesti aku kerjakan. Tentu aja ngga ada yang mesti aku kerjakan, karena aku emang nggak punya pekerjaan tetap.

Memang jadi ngantuk dan aku jadi bangun semakin siang aja. Kalo dulu aku bangun sekitar pukul dua belas siang, sekarang aku baru bangun sekitar pukul dua. Tapi itu nggak jadi soal dibandingkan dengan kebahagiaan yang aku dapet waktu bisa ngeliat kamu, meski cuma sebentar.

Jujur aja, aku bener-bener jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku emang ngga pernah denger suara kamu, aku ngga tau nama kamu, apalagi nyentuh kulit kamu. Tapi semua itu mesti sangat-sangat sempurna. Pasti jadi sempurna begitu semua itu kamu yang punya, begimanapun keadaannya. Sempurna karena kamu yang memiliki, karena aku jatuh cinta pada kamu.

Aku nggak sedang membual, aku sungguh-sungguh. Aku bukan orang yang suka bercanda. Kamu emang membuatku jatuh cinta. Walaupun kata temanku dulu hatiku seperti batu dan kata orang tuaku aku sedikit edan, tapi kenyaannya begitu. Aku jatuh cinta pada kamu.

Tapi jangan kamu kira aku jatuh cinta cuma pada wajah dan tubuh kamu aja. Aku emang nggak kenal kamu, ngobrol pun nggak pernah, dan cuma sekali kita ketemu pandang secara nggak sengaja. Aku jatuh cinta pada setiap hal tentang kamu. Wajah kamu, rambut kamu, kaki kamu, hidung kamu, mata kamu, bibir kamu, buah dada kamu, pantat kamu, pinggang kamu, leher kamu, kaki kamu, cara kamu berjalan, cara kamu berpakaian, cara kamu menghela rambut, bros yang kadang kamu pakai di bagian atas kemeja kamu, semuanya. Semuanya.

Dan bukan cuma sewaktu kamu tampil rapih saja aku cinta kamu. Pernah satu kali kamu lewat sore-sore. Sungguh mengagetkan tapi sayang cuma sekali itu saja. Kamu pake semacam daster waktu itu, dan rambut kamu digulung di iket konde. Aku tetap jatuh cinta pada kamu dalam kesederhanaan seperti itu. Malah justru sebenernya, dengan daster seperti waktu itu, kamu kelihatan semakin cantik dan luar biasa dan... entahlah, apa ada kata yang tepat untuk menggambarkannya.

Bukan cuma hatiku saja yang terkoyak-koyak oleh cinta waktu itu. Untuk selalu jujur dan terbuka kepada kamu, birahiku pun ikut terbangun melihat penampilan kamu. Buah dada kamu yang nggak besar itu sungguh lebih indah daripada kepunyaan Sarah Azhari sekalipun. Pantat kamu yang mungil berisi dan kencang, leher terbuka, pinggang yang ramping. Semuanya bikin aku bener-bener pengen meluk kamu, aku membayangkan mencium kamu, menggendong kamu, membawa kamu ke dalam kamarku, membuka baju kamu, mengagumi tubuh kamu. Tidak kuteruskan karena bisa jadi tidak sopan lagi.

Mohon kamu yang manis jangan marah dengan imajinasiku yang sungguh nakal itu. Tetapi kenyataannya emang sungguh begitu dan aku nggak nutup-nutupin. Aku mau jujur ke kamu.

Seperti udah kukatakan, cuma sekali kita pernah ketemu mata. Itu karena waktu itu ada barang kamu yang jatuh. Kamu ambil sambil sedikit celingukan, maka bertemulah mata kita. Cuma sekejap, memang. Tapi rasanya buatku seperti beberapa menit, dan rasanya juga aku rela mati saat itu juga ketika rasa senang mentok hingga ubun-ubun kepalaku. Entah dengan kamu, karena setelah itu kamu langsung lanjut jalan lagi seperti nggak terjadi apa-apa. Padahal kamu baru saja "merobohkan pintu gerbang neraka dan memasukkan surga ke dalamnya".

Maka aku jadi semakin rajin begadang hingga pukul delapan pagi, sekadar menunggu kamu lewat, sekadar berharap kamu lewat dan sekali lagi bertemu mata denganku. Aku nggak tau apakah kapan-kapan aku bakal melakukan lebih dari sekadar menunggu, nyoba ngajak kenalan, misalnya. Karena aku tau bahwa aku nggak tau apakah kamu akan sudi berkenalan denganku.

Yah, aku cuma seorang penulis lepas, dengan honor yang dateng sekali-kali kalau ada tulisanku yang dimuat di koran. Atau jasa pengetikan atau yang lainnya. Aku memang masih melarat. Tapi kamu bisa yakin, aku akan melakukan apa aja untuk mendongkrak nasibku ini. Kerja banting tulang, apapun, supaya satu saat kelak aku cukup layak buat berkenalan sama kamu.

Tapi walaupun begitu, aku tau perempuan yang begitu sempurna seperti kamu nggak akan ngeliat aku cuma dari sisi berapa banyak duit yang aku punya, atau dari berapa banyak baju yang ada di lemariku. Aku tau aku emang melarat, aku juga tau aku cuma punya empat lembar baju butut dan lima dengan yang kupakai sekarang. Tapi sekali lagi aku yakin kamu nggak akan ngeliat aku dari sisi betapa melaratnya aku. Kamu terlalu sempurna untuk jadi perempuan yang seperti itu. Paling tidak aku berharap kamu nggak seperti itu.

Karena itu aku tulis surat ini. Hari ini hari Minggu, besok Senin kamu akan lewat lagi di jalan depan sana. Aku akan kasih surat ini ke kamu, dan sesudahnya aku nggak tau apa yang bakal terjadi. Tapi aku nggak bisa terus-menerus seperti ini, suatu waktu perasaanku ini harus kuberitahukan padamu. Dan besok adalah waktu yang sempurna, kupikir.

Bukan cuma sebuah perkenalan yang kuharapkan, tentu aja. Kenalan sama kamu dan kemudian cuma bisa ngeliat kamu dari jauh sama aja dengan memandangi surga dari dasar neraka. Tentu aja aku mau lebih dari itu. Aku mau kamu jadi kekasihku.

Dan kuberitahu kamu, lebih dari itu adalah aku mau kamu jadi istriku. Aku pikir aku akan ngelamar kamu suatu waktu.

Soal yang ini aku lebih nggak tau lagi apakah kamu akan mau atau enggak. Tapi aku nggak terlalu peduli tentang itu. Aku yakin dengan perasaanku, dan kamu harus tau perasaanku itu. Aku tau tujuan dan takdir hidupku emang kamu seorang. Nggak lebih.


Somewhere, someday in 2008