Rabu, 06 Juli 2011

Sopir Angkot

Terminal Batu Ampar, jalur angkot. Malam ini sepi, hitam mulai mati, jalan rusak masih tetap rusak. Kios-kios di kanan kiri, lagu karaoke dangdut masih digeber, tukang cukur, warteg, dan wc umum masih pada tempatnya. Di dalam angkot juga sepi, cuma ada aku dan seorang penumpang. Hanya ada aku, penumpang di sebelahku, dan rokok di mulutku.

Mataku mulai lelah rasanya. Keringat dan debu jadi lapisan tambahan di seluruh permukaan kulitku.

Pom bensin.. samping Kebun Sayur.. RE Martadinata.. jalan kulewati satu per satu. Basah dan hitam, kota ini bungkam dan kaku tak bergerak malam ini. Pertigaan depan Benakutai, akhirnya di penyeberangan jalan di depan Ramayana penumpang di sebelahku turun. Sekarang aku sendirian.

Terus menapaki jalan-jalan hitam keras dengan roda mobil ringsek ini. Hotel Blue Sky, lampu merah, kantor pos, pasar Rapak, Ramayana lagi... Sudirman, BP, ke kiri... berputar, kiri, dan kembali terminal lagi. Ini aku ulang-ulang setiap hari.

Pagi buta hingga malam hitam seperti sekarang. Panas dan hujan basah. Debu, angin, semua yang di jalanan. Polisi-polisi sialan, orang-orang dalam mobil mewah, penumpangku, jalanan rusak di terminal, dan bosku yang selalu menagih setoran. Setiap hari.

Kadang bosan juga. Lelah.

Terlebih tulang punggungku yang terus menerus kuletakkan di kursi kemudi sialan ini. Pantatku serasa ingin meledak, dan kakiku sungguh berteriak minta tolong karena pedal kopling yang terus-menerus minta kuinjak.

Entah apa yang ada di dalam kepalaku. Kuulang-ulang rute gila ini setiap hari, kuhirup debu dan asap, kumasukkan dalam paru-paruku, kutempel di kulitku yang hitam legam. Tidak lupa kumasukkan ke dalam mataku hingga coklat.

Apa yang setiap hari kulakukan ini benar-benar membuatku muak. Tapi aku harus jalan terus. Supaya ada yang bisa dimakan oleh istriku besok, ia sedang sakit sekarang. Juga untuk anak-anakku, tentu. Dan uang sekolah mereka... ah, entah tentang itu...

Mungkin aku memang telah gagal. Atau ditakdirkan untuk gagal. Anak-anakku kelak akan jadi orang sepertiku lagi, apa yang dapat diharapkan oleh seorang lulusan SD seperti mereka? Yah, aku punya khayalan, tapi aku tidak menjadikannya impian... itu gila... aku bisa gila kalau mengharapkan khayalan-khayalanku terjadi.

Yang berani aku harapkan hanyalah, ada uang untuk menebus obat istriku, dan ada yang dapat dimakan oleh anak-anakku.

Memikirkan ini membuatku ingin tidur dan tidak perlu bangun lagi. Hidup ini melelahkan buatku, kau tahu.

Entahlah... aku hanya bisa menyetir.