Minggu, 09 Desember 2012

Surat Cinta Seorang Edan


Kepada Yang Kukagumi,
entah siapa nama kamu.

-----

Nona, sudah beberapa minggu kuperhatikan kamu karena hampir tiap pukul delapan pagi dan sekitar sore hari kamu lewat di jalan depan sana. Kecuali hari Sabtu dan Minggu, kamu gak pernah keliatan. Karena itu aku pikir mungkin kamu pekerja kantoran. Tapi lebih mungkin kamu mahasiswi yang kuliah di universitas di pinggir jalan besar sana.

Sebelum beberapa hari ini aku ngga pernah liat kamu. Itu bukan salah kamu, karena sebelumnya jam segitu aku selalu masih tidur. Tiga atau empat jam sesudah aku mulai tidur, kurang lebih.

Jadi baru sekitar sebulan ini aja aku ngeliat kamu. Awalnya karena tiba-tiba waktu subuh aku dapet ide untuk tulisanku, itu bulan lalu. Setelah beberapa jam aku nulis, niatku jadi ilang, dan akhirnya kubuang juga kertas yang tadinya udah mulai aku tulisi itu. Udah ampir pukul delapan pagi waktu itu.

Tapi justru karena itu aku bisa ngeliat kamu. Sekitar lima belas menit aku nongkrong di depan kosku, tiba-tiba kamu lewat. Kamu yang manis dan cantik lewat di seberang jalan. Dengan tas hitam, celana bahan hitam, dan kemeja putih. Tanpa make up. Rambut kamu masih agak basah, muka kamu jernih, dan entah apa yang membuatku saat itu juga langsung jatuh cinta padamu. Kontan.

Sejak beberapa minggu yang lalu itu, aku jadi semangat. Semangat untuk nggak tidur sampe pagi. Aku begadang sampe pukul delapan pagi meskipun nggak ada ide mau ngapain dan nggak ada yang mesti aku kerjakan. Tentu aja ngga ada yang mesti aku kerjakan, karena aku emang nggak punya pekerjaan tetap.

Memang jadi ngantuk dan aku jadi bangun semakin siang aja. Kalo dulu aku bangun sekitar pukul dua belas siang, sekarang aku baru bangun sekitar pukul dua. Tapi itu nggak jadi soal dibandingkan dengan kebahagiaan yang aku dapet waktu bisa ngeliat kamu, meski cuma sebentar.

Jujur aja, aku bener-bener jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku emang ngga pernah denger suara kamu, aku ngga tau nama kamu, apalagi nyentuh kulit kamu. Tapi semua itu mesti sangat-sangat sempurna. Pasti jadi sempurna begitu semua itu kamu yang punya, begimanapun keadaannya. Sempurna karena kamu yang memiliki, karena aku jatuh cinta pada kamu.

Aku nggak sedang membual, aku sungguh-sungguh. Aku bukan orang yang suka bercanda. Kamu emang membuatku jatuh cinta. Walaupun kata temanku dulu hatiku seperti batu dan kata orang tuaku aku sedikit edan, tapi kenyaannya begitu. Aku jatuh cinta pada kamu.

Tapi jangan kamu kira aku jatuh cinta cuma pada wajah dan tubuh kamu aja. Aku emang nggak kenal kamu, ngobrol pun nggak pernah, dan cuma sekali kita ketemu pandang secara nggak sengaja. Aku jatuh cinta pada setiap hal tentang kamu. Wajah kamu, rambut kamu, kaki kamu, hidung kamu, mata kamu, bibir kamu, buah dada kamu, pantat kamu, pinggang kamu, leher kamu, kaki kamu, cara kamu berjalan, cara kamu berpakaian, cara kamu menghela rambut, bros yang kadang kamu pakai di bagian atas kemeja kamu, semuanya. Semuanya.

Dan bukan cuma sewaktu kamu tampil rapih saja aku cinta kamu. Pernah satu kali kamu lewat sore-sore. Sungguh mengagetkan tapi sayang cuma sekali itu saja. Kamu pake semacam daster waktu itu, dan rambut kamu digulung di iket konde. Aku tetap jatuh cinta pada kamu dalam kesederhanaan seperti itu. Malah justru sebenernya, dengan daster seperti waktu itu, kamu kelihatan semakin cantik dan luar biasa dan... entahlah, apa ada kata yang tepat untuk menggambarkannya.

Bukan cuma hatiku saja yang terkoyak-koyak oleh cinta waktu itu. Untuk selalu jujur dan terbuka kepada kamu, birahiku pun ikut terbangun melihat penampilan kamu. Buah dada kamu yang nggak besar itu sungguh lebih indah daripada kepunyaan Sarah Azhari sekalipun. Pantat kamu yang mungil berisi dan kencang, leher terbuka, pinggang yang ramping. Semuanya bikin aku bener-bener pengen meluk kamu, aku membayangkan mencium kamu, menggendong kamu, membawa kamu ke dalam kamarku, membuka baju kamu, mengagumi tubuh kamu. Tidak kuteruskan karena bisa jadi tidak sopan lagi.

Mohon kamu yang manis jangan marah dengan imajinasiku yang sungguh nakal itu. Tetapi kenyataannya emang sungguh begitu dan aku nggak nutup-nutupin. Aku mau jujur ke kamu.

Seperti udah kukatakan, cuma sekali kita pernah ketemu mata. Itu karena waktu itu ada barang kamu yang jatuh. Kamu ambil sambil sedikit celingukan, maka bertemulah mata kita. Cuma sekejap, memang. Tapi rasanya buatku seperti beberapa menit, dan rasanya juga aku rela mati saat itu juga ketika rasa senang mentok hingga ubun-ubun kepalaku. Entah dengan kamu, karena setelah itu kamu langsung lanjut jalan lagi seperti nggak terjadi apa-apa. Padahal kamu baru saja "merobohkan pintu gerbang neraka dan memasukkan surga ke dalamnya".

Maka aku jadi semakin rajin begadang hingga pukul delapan pagi, sekadar menunggu kamu lewat, sekadar berharap kamu lewat dan sekali lagi bertemu mata denganku. Aku nggak tau apakah kapan-kapan aku bakal melakukan lebih dari sekadar menunggu, nyoba ngajak kenalan, misalnya. Karena aku tau bahwa aku nggak tau apakah kamu akan sudi berkenalan denganku.

Yah, aku cuma seorang penulis lepas, dengan honor yang dateng sekali-kali kalau ada tulisanku yang dimuat di koran. Atau jasa pengetikan atau yang lainnya. Aku memang masih melarat. Tapi kamu bisa yakin, aku akan melakukan apa aja untuk mendongkrak nasibku ini. Kerja banting tulang, apapun, supaya satu saat kelak aku cukup layak buat berkenalan sama kamu.

Tapi walaupun begitu, aku tau perempuan yang begitu sempurna seperti kamu nggak akan ngeliat aku cuma dari sisi berapa banyak duit yang aku punya, atau dari berapa banyak baju yang ada di lemariku. Aku tau aku emang melarat, aku juga tau aku cuma punya empat lembar baju butut dan lima dengan yang kupakai sekarang. Tapi sekali lagi aku yakin kamu nggak akan ngeliat aku dari sisi betapa melaratnya aku. Kamu terlalu sempurna untuk jadi perempuan yang seperti itu. Paling tidak aku berharap kamu nggak seperti itu.

Karena itu aku tulis surat ini. Hari ini hari Minggu, besok Senin kamu akan lewat lagi di jalan depan sana. Aku akan kasih surat ini ke kamu, dan sesudahnya aku nggak tau apa yang bakal terjadi. Tapi aku nggak bisa terus-menerus seperti ini, suatu waktu perasaanku ini harus kuberitahukan padamu. Dan besok adalah waktu yang sempurna, kupikir.

Bukan cuma sebuah perkenalan yang kuharapkan, tentu aja. Kenalan sama kamu dan kemudian cuma bisa ngeliat kamu dari jauh sama aja dengan memandangi surga dari dasar neraka. Tentu aja aku mau lebih dari itu. Aku mau kamu jadi kekasihku.

Dan kuberitahu kamu, lebih dari itu adalah aku mau kamu jadi istriku. Aku pikir aku akan ngelamar kamu suatu waktu.

Soal yang ini aku lebih nggak tau lagi apakah kamu akan mau atau enggak. Tapi aku nggak terlalu peduli tentang itu. Aku yakin dengan perasaanku, dan kamu harus tau perasaanku itu. Aku tau tujuan dan takdir hidupku emang kamu seorang. Nggak lebih.


Somewhere, someday in 2008

Sabtu, 08 September 2012

I must be in a good place now

Wild apple trees blooming all around
I must be in a good place now
Sunshine coming through
Rainbow colored sky
Paints pretty pictures in my mind

Oh what a good day to go fishing
And catch the sunset in the hills
Dream of my yesterdays and tomorrow
And hope that you'll be with me still

Saw a butterfly and I named it after you
Your name has such a pleasant sound
Love is all around and all I see is you
I must be in a good place now


Bobby Charles

Minggu, 26 Agustus 2012

Seonggok Tinja yang Diberi Nama "Sinetron"

OK let straight to the point.

Sinetron alias sinema elektronik merupakan produksi dalam negeri dengan mutu klitoris kutu busuk. Dari hari ke hari yang dihasilkan cuma tontonan-tontonan goblog yang didominasi oleh bacot-bacotan remaja dengan intonasi yang monoton serta tipikal tatapan-tatapan mata yang belum sekalipun berubah semenjak bertahun-tahun lampau.

Konflik-konflik rumah tangga yang ceritanya aduhai tajir bin gemah ripah loh jinawi, makan pagi pake roti dan garpu plus pisau, diikuti dengan mobil-mobil mentereng yang parkir di depan rumah berpilar dobel seperti istana, ditambahi dengan pembantu rumah tangga yang bolot, serta peran-peran naif ketolol-tololan. Sinetron religi yang BAHLUL!!nya minta ampun. Film horor hantu-hantuan dicampur tetek-tetekan yang menghasilkan film hantu bertetek buatan bangsa kita yang sangat tidak berperikehantuan sama sekali.

Kemudian rumah produksi yang lain membuat lagi yang serupa, tidak lupa menjiplak dari tontonan (yang sesungguhnya tidak kalah goblognya) dari luar negeri, lalu diikuti dengan rumah produksi yang lain, lagi dan lagi.

Kalaupun bukan sinetron kacrut semacam itu yang dilahirkan oleh bangsa ini, paling banter tontonan gosip, reality show, ataupun acara musik lipsync geblek yang tingkat kesontoloyoan dan keidiotannya selalu saling bersaing adu-beradu satu sama lain. Semuanya atas nama selera masyarakat yang "lagi in", yang selain memang goblog bin dungu binti bebal, juga selalu dan dengan manisnya meminta untuk disuapi tontonan yang lebih dungu dan lebih bebal lagi.

Kamis, 05 Juli 2012

Dan

Dan...

Kurasakan pandangannya meneteskan kering air mata, tapi terjatuh hanya di ulu hati. Menyimpan sebuah pengharapan mulia, tentang satu permintaan sederhana yang mungkin tidak mudah dia dapatkan.

"This party is over", tulismu di secarik kertas pada hari yang kau pilih itu.


Semoga hambar segera berlalu, dan mendekatlah rasa. Tenang dan nyamanlah engkau... selalu, sahabatku. Selalu.

Sabtu, 30 Juni 2012

...as the days keep turning into night

Well I have been searching all of my days
All of my days
Many a road, you know
I?ve been walking on
All of my days

And I've been trying to find
What's been in my mind
As the days keep turning into night

Well I have been quietly standing in the shade
All of my days
Watch the sky breaking on the promise that we made
All of this rain

And I've been trying to find
What's been in my mind
As the days keep turning into night

Well many a night I found myself with no friends standing near
All of my days
I cried aloud
I shook my hands
What am I doing here
All of these days

For I look around me
And my eyes confound me
And it's just too bright
As the days keep turning into night

All My Days - Alexi Murdoch

Kamis, 07 Juni 2012

Pencarian

Cinta, apakah yang kau cari? Angin, debur ombak, dan badai yang kau lalui, apa yang kau dambakan?

Cinta, tidakkah kau lelah, tidakkah kau ingin berhenti? Tidakkah matahari akan selalu terbit dan memerah terbenam di pantai manapun?

Cinta, akankah kau temukan apa yang kau cari? Atau kau hanya akan mati dalam sepinya perjalanan dan pencarian, terburu waktu tenggelam dalam birunya lautan?

***

Cinta, pergi dari pantai yang satu ke pantai yang lain. Untuk mencari tempat bernaung, tempat ia bisa hidup dan kemudian mati bersama senyuman. Pencarian akan kedamaian hati, jiwa yang hilang.

Cinta, ialah sang pencari. Yang akan membayar pencariannya dengan kemusnahan sekalipun! Yang akan tetap mencari apa yang mungkin tak akan pernah ditemukannya.

Cinta, pergilah. Tinggalkan apa yang ingin kau tinggalkan, carilah apa yang ingin kau cari, temukan apa yang ingin kau temukan. Wahai pendamba matahari bagi jiwa, sang surya penerang hati!

Minggu, 20 Mei 2012

Bunga-bunga Kesadaran

Di lima bulan pertama dari taun ini sudah terjual kira-kira tiga ratus ribu lebih unit mobil. Sementara target penjualan taun ini adalah enam ratus ribu unit mobil. Satu buah mobil model terbaru bisa berharga lima ratus juta, sementara perkiraan penjualan mobil pada sebuah pameran mobil bisa mencapai trilyunan rupiah.

Itu semua terjadi ketika dua puluh tiga koma sembilan persen (23,9%) dari ibu hamil di Indonesia mengalami kekurangan gizi, ketika di NTT saja ada enam puluh enam ribu enam ratus delapan puluh lima (66.685) orang anak yang mengalami gangguan gizi berstatus dari "kurang gizi" hingga "kwasiorkor", ketika seratus delapan puluh ribu (180.000) anak balita di Indonesia sekarat karena kurang makan setiap tahunnya, ketika empat koma delapan belas juta (4.180.000) orang anak-anak Indonesia harus putus sekolah dan menjadi pekerja anak, ketika dua puluh satu ribu (21.000) anak di bawah delapan belas tahun dilacurkan, ketika seorang pemulung di Jakarta bahkan tidak memiliki uang untuk menguburkan anaknya yang mati, ketika..., ketika..., dan jutaan "ketika" lainnya.

Senin, 12 Maret 2012

Di Balik Jeruji Besi

Robby tertunduk dan sesengukan menangis. Disorot kamera TV dan mata-mata jalang pak polisi yang siap menghajar sewaktu-waktu. Sebelum ditempelengi pak polisi, dia digebuki massa karena mencopet. Mencopet dompet berisi uang dua ratus ribu rupiah. Badan kerempeng jadi babak belur benjut kena bogem di sana-sini. Kamera TV masih menyoroti, pertanyaan-pertanyaan mengalir deras, jadi bahan pemberitaan acara-acara TV yang ngga pernah dia nikmati. Dan pak polisi tampak makin angker.

Robby: Buruh bangunan usia muda. Nyopet dompet karena kepepet untuk kuret sang kekasih yang kepalang bunting. Dompet udah berhasil dibawa lari tunggang-langgang, tapi ternyata masih sial. Puluhan tinju dari belasan orang mendarat di atas kulit, juga di kepala dan wajah; sehingga bibir jontor dan mata bengep pedih nyut-nyutan. Lantas diseret pak polisi ke kantor polisi buat ditanya-tanya sambil digaploki (lagi) sama pak polisi. Wajah jelek amburadul tambah berantakan nggak karuan, rambut awut-awutan, dan rasa-rasanya kepengen pingsan.

Kamera TV sudah pergi dengan hati puas karena abis nyorot seorang copet sampah masyarakat buat ngisi acara kriminal siang di TV. Robby dilempar ke balik jeruji besi, telentang di lantai dan mulai merem melek. Pertama kepikiran bibirnya yang jontor, lantas kepikiran nasib karirnya sebagai tukang copet yang gagal di percobaan pertama, terakhir kepikiran pacarnya yang udah bunting jabang bayi - eh sekarang dianya masuk penjara. Sial bener. Merem melek berlanjut terus dan terus...

------
Keesokan paginya, di balik jeruji di sudut lain;

Akhirnya pagi, entah pukul berapa. Langit meremang biru di balik jeruji besi di seberang ruang. Udara dingin membekukan waktu, membungkus segalanya dalam kebungkaman subuh.

Pening di kepala belum hilang, dan belum kulupakan tampang dua laki-laki yang beberapa hari lalu memukuli, menyeretku ke tempat biadab ini, dan menghancurkan sumber hidupku; gerobak jualanku beserta isinya. Kantuk membayang sejak lama, tetapi mata ini enggan menutup. Tak ada apapun yang kutunggu, hanya sinar mentari pagi yang hangat.

Datanglah ia kini, seberkas sinar putih dari lubang jendela. Perlahan keheningan menguap bersama hari, dan mengendap membatu dalam jiwaku. pikiranku membeku, hanya sepotong tanya yang selalu muncul; bagaimana nasib anakku?

Selasa, 21 Februari 2012

Kesendirian


Kesendirian memberimu ruang dan waktu untuk berbicara pada dirimu sendiri, menggali karakter, dan menyingkap setiap kebohongan yang terpendam dalam kepengecutan peradaban. Membiarkanmu mengenal sosok dirimu yang sejati, sehingga kau dapat mengenal alam dan manusia tempat kau hidup.

Lebih dari itu, kesendirian membiarkanmu menatap langit, pucuk-pucuk daun dan burung gereja di atasnya. Air hujan yang menetes, awan yang berlalu, dan segala yang ada di sekitarmu - sebagai seutuhnya relasi antara dirimu dengan dunia.

Kesendirian adalah tempat dan waktu di mana kau tidak perlu menjadi dunia hanya untuk menjadi dirimu sendiri.

Kalau kau mau.

Minggu, 22 Januari 2012

Miracle In Istanbul

 

Tribute to LFC
Dinding stadion Kemal Ataturk seperti setipis kertas. Dari kamar ganti Liverpool, sorak sorai pemain AC Milan di ruangan yang berbeda begitu jelas terdengar. Semua pemain Liverpool tertunduk lesu. Tak ada yang berani menegakkan kepala. Pada malam final Liga Champions 2004/05 itu, Milan memberikan pukulan telak kepada Liverpool. Milan mampu unggul 3-0 saat jeda. Bek veteran Paolo Maldini membuka keunggulan pada menit pertama pertandingan. Sebelum turun minum, Hernan Crespo menambahnya dengan dua gol. Awal yang sempurna.

Tak mau disetir kemurungan, Rafael Benitez menghimpun nafas dan berdiri di tengah para pemainnya. Sang manajer sadar, dia hanya punya waktu 15 menit untuk mengembalikan kepercayaan diri tim. Ketika berjalan dari bangku cadangan menuju ruang ganti, benak Benitez dipusingkan mencari-cari kalimat dalam bahasa Inggris yang tepat untuk “menghidupkan” para pemainnya. Kalimat yang kemudian meluncur dari mulutnya sederhana saja.

“Jangan tundukkan kepala kalian. Kita Liverpool. Kalian bermain untuk Liverpool. Jangan lupakan itu. Kalian harus tetap menegakkan kepala kalian untuk suporter. Kalian harus melakukkannya untuk mereka”, serunya.

“Kalian tak pantas menyebut kalian pemain Liverpool kalau kepala kalian tertunduk. Kalau kita menciptakan beberapa peluang, kita berpeluang bangkit dalam pertandingan ini. Percaya lah kalian mampu melakukannya. Berikan kesempatan buat kalian sendiri untuk keluar sebagai pahlawan.”

Sebelum tim keluar kamar ganti, Rafa menyusun skema formasi baru di papan tulis. Untuk menghambat Kaka, Rafa meminta Dietmar Hamann bersiap tampil menggantikan Djimi Traore. Namun, ketika diberitahu Steve Finnan mengalami cedera, Benitez memanggil kembali Traore yang sudah mencopot sepatu dan berjalan ke kamar mandi. Keputusan terakhir, Finnan keluar, Hamann masuk.

Rafa sadar, tak ada lagi ruginya mengorbankan seorang pemain bertahan. Liverpool bermain dengan tiga pemain belakang dan kapten Steven Gerrard didorong lebih ke depan. Liverpool memang harus bangkit, sekarang atau tidak sama sekali.

Inilah lima belas menit yang menentukan. Lima belas menit yang mengubah segalanya. Babak kedua menjadi milik Liverpool. Sembilan menit berjalan, Liverpool menyulut sumbu ledak stadion. Dalam rentang enam menit berikutnya, Liverpool ganti mengendalikan situasi. Steven Gerrard memberikan gol inspirasional lewat sundulan kepala menyongsong umpan John Arne Riise. Tak lama berselang, tendangan keras jarak jauh Vladimir Smicer tak dapat ditahan Dida. Belum lagi Milan menata diri, pada menit ke-60, Gerrard dijatuhkan di kotak penalti oleh Gennaro Gattuso. Penalti! Awalnya, eksekusi Xabi Alonso sempat ditahan Dida, tapi bola muntah langsung disambar Alonso.

Cerita belum selesai. Kedudukan 3-3 bertahan hingga 90 menit. Pertandingan diperpanjang hingga 30 menit, tapi tetap tak bisa menentukan pemenang. Juara Liga Champions musim itu pun harus diselesaikan melalui babak adu penalti.

Sebelum “babak perjudian” itu dimulai, Jamie Carragher datang menghampiri kiper Jerzy Dudek. Carra menyarankan Dudek agar melakukan “sesuatu” untuk mengacaukan konsentrasi pemain Milan. Dudek langsung teringat rekaman video yang pernah disaksikannya. Kaki spaghetti! Saat adu penalti final Piala Champions 1984 melawan AS Roma, pendahulu Dudek, Bruce Grobbelaar, memelintir-melintir kakinya. Entah memang berpengaruh atau tidak, Grobbelaar berhasil membawa Liverpool menang dan merebut Piala Champions.

Trik yang sama dipakai Dudek ketika Andriy Shevchenko bertugas sebagai eksekutor terakhir Milan. Terbukti, trik kuno itu berhasil. Eksekusi Sheva mengarah ke tengah gawang dan dengan sebelah tangan, Dudek menahannya. Liverpool pun merajai Eropa! Jerih payah fans Liverpool yang terus menggemuruhkan dukungan untuk klub kesayangan mereka terbayar sudah!

Just possible, just possible. Impossible is nothing!

Mukjizat di Istanbul ini kemudian diabadikan dalam film Fifteen Minutes That Shook The World. Betapa tidak, final Liga Champions musim itu sangat dramatis dan membuktikan segalanya mungkin terjadi di lapangan sepakbola.


Pascafinal Istanbul, hidup tak lagi sama. Tapi, hidup juga berjalan terus. Satu per satu figur pemain heroik, seperti Harry Kewell, Milan Baros, Djibril Cisse, Luis Garcia, Dudek, dan Smicer meninggalkan Anfield dan melanjutkan karir di klub baru.

Sebagian tetap tinggal, terutama Gerrard. Sang kapten sempat disebut-sebut akan hijrah ke Chelsea musim panas 2005 itu. Tapi, Istanbul mengubah segalanya.

“Bagaimana mungkin saya pindah setelah mengalami final seperti ini?” ujar Gerrard.

Arak-arakan bus dengan atap terbuka dan kerumunan satu juta orang, 300 ribu di antaranya memadati St George’s Hall, suatu hari di Mei 2005, pasti takkan pernah dilupakan Liverpudlian sepanjang masa. You'll never, ever, walk alone.

My favorite song, my favorite band, my favorite team, my favorite night.

Jumat, 06 Januari 2012

Kebenaran Semu

Aku seperti bemo atau sendal jepit.
Tubuhku kecil mungil biasa terjepit.
Pada siapa ku mengadu?
Pada siapa ku bertanya?


KOMPAS.com - Jauh sebelum kasus "sandal jepit" merebak, penyanyi kondang Iwan Fals sudah teriak-teriak soal sandal jepit dalam syair lagunya "Besar dan Kecil". Iwan menganalogikan rakyat kecil seperti jendal jepit yang selalu terjepit, diremehkan, lemah, selalu kalah. Seperti sandal jepit, begitulah kenyataan masyarakat kecil jika harus berurusan dengan hukum.

Tidak perlu menutup mata karena kenyataan itu ada di depan mata kita. Aparat negeri ini terkesan lebih suka menjepit rakyat kecil yang sudah biasa menjerit karena ketidakadilan di negeri ini. Mereka terkesan lebih senang membela pejabat dengan kekayaan berlipat, dibandingkan rakyat kecil yang biasa hidup melarat.

Mau bukti? Tengoklah kasus Nenek Minah (55) asal Banyumas yang divonis 1,5 tahun pada 2009, hanya karena mencuri tiga buah Kakao yang harganya tidak lebih dari Rp 10.000. Bahkan, untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek yang sudah renta dan buta huruf itu harus meminjam uang Rp 30.000 untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh.

Yang paling anyar, kasus pencurian sandal jepit yang menjadikan AAL (15) pelajar SMK 3, Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di hadapan meja hijau. Ia dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Hanya gara-gara sandal jepit butut AAL terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara.

Proses hukum atas AAL pun tampak janggal. Ia didakwa mencuri sandal merek Eiger nomor 43. Namun, bukti yang diajukan adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Selama persidangan tak ada satu saksi pun yang melihat langsung apakah sandal merek Ando itu memang diambil AAL di depan kamar Rusdi.

Di persidangan, Rusdi yakin sandal yang diajukan sebagai barang bukti itu adalah miliknya karena, katanya, ia memiliki kontak batin dengan sandal itu. Saat hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar.

AAL memang dibebaskan dari hukuman dan dikembalikan kepada orangtuanya. Namun, majelis hakim memutus AAL bersalah karena mencuri barang milik orang lain.

Mati

Sosiolog dari Universitas Indonesia Imam Prasodjo kepada Kompas.com, Kamis (5/1/2012) di Jakarta mengatakan, hukuman yang diberikan kepada Nenek Minah dan AAL itu menggambarkan bahwa proses hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri. Hukum, kata dia, hanya mengikuti aturan formal, tidak memperhitungkan subtansi dan hati nurani.

"Ancaman lima tahun dan vonis 1,5 tahun itu, bukan masalah Jaksa, Polisi, atau Hakim saja. Tapi mereka semua telah melakukan kesesatan kolektif. Meskipun banyak protes dari masyarakat, mereka masih juga memproses dan memutuskan sesuatu secara tidak sedikitpun ada kesadaran dan evaluasi," kata Imam.

Sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto pun mengatakan hal serupa. Hakim kini dinilainya terlalu legalistik terhadap putusan bersalah rakyat kecil. Hakim tidak mampu memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang terkandung dalam aturan hukum.

"Undang-undang itu dead letter law (hukum yang mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim. Kalau putusannya itu aneh, itu bukan salah undang-undang, melainkan hakim. Hakimnya harus pandai memberi putusan yang bisa diterima," kata Soetandyo.

Meskipun, seyogyanya mencuri atau mengambil barang orang lain sekecil apa pun tanpa izin adalah perbuatan melanggar hukum. Dan hukum harus ditegakkan. Namun, apakah hal itu sudah sesuai rasa keadilan di masyarakat?

Lihat saja bagaimana para pejabat dan koruptor berdasi putih mencuri uang rakyat yang nilainya sebanding dengan jutaan sandal jepit dan kakao itu diperlakukan dengan terhormat oleh aparat. Mereka dapat melanggeng bebas dari hukuman yang tidak terlalu berat. Mereka pun dapat mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.

Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukan koruptor rata-rata hanya dihukum di bawah dua tahun. Pada 2010, sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen hanya dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Sedangkan, 87 kasus divonis 3-5 tahun, 13 kasus atau 2,94 persen divonis 6-10 tahun. Adapun yang dihukum lebih dari 10 tahun hanya dua kasus atau 0,45 persen.

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqqodas pada pertengahan November tahun lalu, mengakui bahwa hukuman untuk koruptor memang rendah. Pengadilan, kata Busyro, seakan-akan tak mencerminkan ideologi hukum yang baik. "Putusan hakim kehilangan roh untuk berpihak pada kepentingan rakyat," kata Busyro.

Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan kini hukum hanya tajam jika kebawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas. Pemerintah, menurut Hikmahanto, seharusnya peka terhadap rasa ketidakadilan yang terus dialami rakyat.

"Saya prihatin. Hakim terlalu legalistik jika pihak yang lemah menjadi terdakwa. Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan kacamata kuda, tetapi seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan melihat konteks," kata Himkmahanto di Jakarta, Kamis.

Keadilan Restoratif

Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyarankan agar aparat penegak hukum menggunakan restorative justice (keadilan restoratif) sebagai penyelesaian alternatif dalam sejumlah kasus kecil seperti yang menimpa AAL maupun Nenek Minah.

Keadilan restoratif adalah konsep pemidanaan yang mengedepankan pemulihan kerugian yang dialami korban dan pelaku, dibanding menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku. Hal itu dimaksudkan agar penyelesaian kasus-kasus kecil tak perlu sampai ke pengadilan, tetapi diselesaikan cukup dengan mediasi. Peradilan anak telah digagas pemerintah belandaskan azas ini.

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar yang turut memperjuangkan penerapan keadilan restoratif mengaku kecewa dengan para penegak hukum yang tidak menggunakan konsep tersebut. Ia menilai, Kementerian Hukum dan HAM pun bertanggunjawab, karena sekarang lebih peduli pada pencitraan, sehingga subtansi rasa keadilan masyarakat tidak tersentuh lagi.

"Sungguh disesalkan, sekarang ini semua penegak hukum mulai lagi kembali ke ego sektoral masing-masing," kata Patrialis.

Sejumlah pandangan, fakta itu, memperlihatkan bahwa keadilan hukum di negeri ini hanya sebatas keadilan sendal jepit, keadilan yang menjepit rakyat kecil. Sungguh ironi, di negeri yang dalam butir-butir dasar negaranya disebut menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perilaku berkeadilan ini, rakyatnya diperlakukan dalam perbedaan kasta besar dan kecil. Penegakan hukum di negeri ini masih sangat diskriminatif. Keras dan tegas untuk rakyat kecil, tapi loyo dan bagai agar-agar bagi kalangan atas.

Mari berdendang bersama Iwan Fals...

Mengapa besar selalu menang.
Bebas berbuat sewenang-wenang.
Mengapa kecil selalu tersingkir.
Harus mengalah dan menyingkir.
Apa bedanya besar dan kecil?




-_-_-_-_-_-_-_-
Kebenaran Semu

Pencuri sendal diancam penjara 5 tahun, dan seorang nenek melarat tua renta maling kakao 3 pcs bakal bertemu ajalnya di dalam penjara. Kita terjebak dalam kebenaran semu.

Kebenaran kecil telah menjadi sedemikian berarti ketika kebenaran yang sejati tampak sudah tidak mungkin lagi terjangkau, atau kita tidak menemukannya di manapun kita mencari, karena ia telah tenggelam tertelan zaman dan arus kegilaan manusia.

Seperti seorang kleptomaniak yang akan mencuri secuil tombol lift sebagai pengganti pemuas nafsunya untuk "melukai" institusi yang lebih besar - sang pemilik gedung - yang tak tersentuh dan tak terjangkau.

Kita berputar-putar dan tergila-gila pada kebenaran-kebenaran yang sepele, yang dengan mudah tampak di depan mata. Bahkan cenderung nampak neurotik ketika kita menjadi sangat-sangat peduli dan keras dalam menjaga agar kebenaran-kebenaran kecil itu terlaksana dengan baik.

Rasionalisasinya adalah mulai dari hal yang kecil, apologinya adalah mulai dari diri sendiri, dan bahasa tingkat tingginya adalah think globally act locally.

Tetapi tidak demikian kenyataannya, kita bukan memulai dari hal yang kecil atau dari diri sendiri, melainkan kita hanya membuat putaran-putaran yang dungu pada hal-hal yang kecil. Kita justru berusaha untuk melupakan segala hal yang esensial, menekannya menjadi ketidaksadaran, dan terus berputar-putar dengan semakin hebat dalam lingkaran kedunguan.

Esensi, yang menjadi masalah dasar dan mendasar, yang menjadi akar dari segala hal yang tampak, yang seharusnya diungkap, justru kita lupakan. Dalam nama kebenaran yang tak berarti.

Kemudian semua itu menjadi baku dengan label hukum dan undang-undang. Maka jerat pasal sekian ayat sekian pun menjadi alasan untuk mengurung sang pencuri sandal selama beberapa lama. Sementara kemiskinan sebagai akibat dari kejahatan manusia atas manusia, yang dilakukan dengan sangat sistematis dan terencana, kita lupakan begitu saja.

Bahkan menjadi haram untuk memikirkannya, bahkan adalah haram untuk mengungkit-ungkit akar kehancuran dunia; adalah tolol dan buang-buang waktu, adalah tidak ekonomis, adalah omong-kosong, dan tidak masuk akal, tidak logis dan absurd, serta tidak perlu dilakukan. Sekali lagi, orang bilang mulailah dari hal yang kecil-kecil.

Maka kegilaan pun menjadi semakin hebat, seperti orang gila yang menolak untuk menyadari kegilaannya dan justru memilih untuk terus mengulangi putaran-putaran kegilaannya seraya merasa diri sebagai orang yang terbijak dan terwaras, yang telah dan akan mengatasi segala permasalahan.