Rabu, 30 Januari 2008

Generasi Whatever

Gue bisa bilang kalo generasi sekarang adalah generasi yang gak punya karakter. Soalnya menurut gue, generasi sekarang kurang bisa menunjukkan sesuatu yang signifikan. Let's say dari masalah gaya.

Biarpun jaman sekarang untuk urusan style nomer satu, tetep aja kalo mau diperhatikan semuanya seragam. Kaos, boxer, semuanya beli di Distro. Boxer dibalut celana skinny jins yang tentunya pemakaian boxer harus kelihatan. Sepatu keds macam convers, vans, dan tentunya gaya rambut mohawk lancip ke atas.


Buat yang cewek juga, semua baju bisa beli di distro, celana skinny, dan tentunya sepatu teplek ala ballerina. Buat aksesoris kalung bebatuan. Dan gaya yang gak boleh ketinggalan: handphone! Biar pulsa tiris, paling gak bisa ngobrol selama 2 detik. Huahhahaha tai, tai.

Dengan gaya yang nyaris seragam, tentunya yang jadi "pusat" siapa lagi kalo bukan mereka yang dikasih kelebihan fisik. Kalo nongkrong bareng, pasti yang jadi perhatian cuma mereka yang punya muka cantik, ato ganteng. Dan menurut gue, demi menang dalam persaingan, elo harus tau apa potensi lo. Tampang pas-pasan, kantong gak tebel-tebel amat, peralatan gaul juga seadanya. Kekurangan kayak gitu harus bisa diakalin biar terlihat kinclong.

Semakin sadar ama potensi lo, semakin buat lo jadi jutawan. Coba saja liat demam distro belakangan ini. Jutawan-jutawan muda yang ada di balik nama-nama distro dan clothing company, adalah salah satu contoh mereka yang mampu melihat peluang. Dan jangan kemudian loe ikut-ikutan untuk bermimpi memiliki distro juga. Karena kalo udah begini nggak ubahnya lo ama pengekor, percuma baca tulisan gue.

Well, gue bisa bilang jama sekarang ni adalah jaman yang paling enak buat ngelakuin sesuatu. Semua ada di depan mata, peluang banyak. Tinggal masalahnya elo berani kagak mengambil resiko. Berani menjadi Trend Setter ketimbang menjadi pengikut belaka. Yang penting elo kudu berani nentuin sikap. Berani mengambil resiko ato gak.

Ketika gagal, kita jadi bisa belajar. Kenapa kita bisa gagal, dan membuat kita sadar kalo kita tidak boleh ngulangin kegagalan itu lagi. Nah sekarang marilah kita membuat diri kita lebih "kinclong" lagi, dengan sebuah perbuatan yang berbeda dari yang sudah dilakukan. Jangan sampe generasi kita, cuman jadi generasi whatever, generasi yang bisanya cuma mikir "gimana ya kalo gue bikin gini... nantinya gimana ya?". Jadi siap gak jadi generasi kinclong? Sekian dan terima kasih (halah kok kayak kata sambutan perbaikan gedung?) - dream blog -

Senin, 28 Januari 2008

Sindrom "Botol"

Botol merupakan sebuah benda berbahan gelas/kaca yang berfungsi sebagai wadah minuman. Botol mengingatkan kita pada istilah tersendiri bagi kalangan preman (botol minuman), di samping itu istilah botol juga sangat akrab bagi clubbers, khususnya kota Makassar.

Seiring dengan perkembangan jaman, istilah "botol" kini telah memasuki dunia fashion (desain celana). "Celana botol", begitu orang-orang menyebutnya, adalah model celana yang lagi ngetrend hari ini, dengan ukuran yang kecil, bawahan yang kecil, ketat membalut pinggul hingga kaki. Kaos junkiest, sweater, sepatu ala balerina (sepatu kets bagi kalangan cowok) dan ikat pinggang besar adalah pasangan wajib dalam penggunaan celana botol. Ditambah lagi potongan rambut nge-bob dan celana kolor boxer yang sedikit nampak di atas pinggul. Suitt suiiitt... sexy bukan?

Sebagian orang akan berpikir, generasi hari ini tidak berkarakter, norak, plagiat, dan lain sebagainya. Namun bukan masalah bagi kalangan penggemarnya. Mereka akan berkata, "Inilah kami, generasi yang lahir di masa kini. Toh generasi yang lalu, pernah lahir dengan celana model senapan dengan kemeja kotak-kotak dan kacamata rayban".

Apa yang salah dengan hal ini? Bukankah tiap jaman akan lahir dengan generasi dan trend yang berbeda? Layak tidaknya suatu hal hanya ada di tangan konsumen. Perkembangan jaman yang diikuti dengan generasi dan trend yang berbeda senantiasa menjadi bahan perdebatan. Entah ditinjau dari etis tidaknya, layak tidaknya, atau bahkan rasional tidaknya.

Di luar dari itu, coba kita lihat suatu hal unik yang ditampakkan oleh penggemar trend hari ini, khususnya wanita. Tidak dapat dipungkiri, memang pada umumnya wanita penggemar celana botol memiliki bentuk pinggul dan kaki yang indah, namun sejengkal di atas pinggul, tampak timbunan lemak menyerupai tas pinggang yang tak ingin ketinggalan tuk diperhatikan.

Besarnya keinginan generasi hari ini dalam mengikuti trend mampu membutakan mereka akan adanya setumpuk lemak yang perlu dibakar. Setahu saya kaum wanita menginginkan bentuk perut yang rata dan langsing. Ataukah tumpukan lemak di perut juga telah menjadi trend masa kini? I dunno.

Sedianya lingkaran kecil botol berada di bagian atas dan lingkaran besar berada di bagian bawah. Berbeda dengan celana botol, yang lingkaran kecilnya berada di bawah dan lingkaran besarnya berada di atas. Lantas mengapa dikatakan celana botol?

Jika ada waktu senggang, luangkan waktu untuk mampir ke kafe dan memesan sepiring makanan tanpa lemak serta sebotol minuman tanpa celana.

NB: Sepuluh tanya menyertai celana botol
1. Bagaimana kalau kebanjiran selutut?
2. Bagaimana kalau kebelet pengen boker?
3. Apakah aliran darah ke kaki tidak terganggu?
4. Ikat pinggangnya ada, tapi kok celananya masih kedodoran?
5. Btw, CD nya sengaja dipamerin ya?
6. Bagi yang gemuk, apa gak takut ama penjual sate?
7. Celana second kan lebih lentur dan ringan, kenapa bukan itu aja?
8. Apa gak risih, lekuk tubuhnya jadi tontonan orang (palagi pake napsu?)
9. Ada gak ya jilbab yang model botol?
10. Emang enak ya pake celana botol, ato cuman ikut-ikutan aja?
- dream blog -

Jumat, 25 Januari 2008

Kemarau

Ia berbisik sesekali mendesau
Kepada masa yang mendengkur panjang
Dijawab oleh igauan tanah dan bebatu
Dalam butir-butir keringat dikiranya anak hujan
Sejak kapan berangkat, ia tak tahu
Sebab suaranya mulai parau
Seringkali di sepanjang jalan
Dikecupnya kehangatan dedaunan
Yang bersorak ke arahnya lantang
Sebelum diminum matahari telanjang
- dream blog -

Kamis, 10 Januari 2008

Get Ready fo da new Lifeee

Hip hip hurray... Kemarin nilai mata kuliah sudah keluar dan hasilnya lumayan memuaskan. Sekarang IPK sudah melewati target. Dan kini tinggal ujian meja alias sidang akhir... huiii swenenge atikyw. Dan yang lebih menyenangkan lagi, kalau aku bisa dapat nilai A untuk skripsiku... IPK-ku bakalan melonjak jauh melewati perkiraanku. Dan satu lagi, kalaupun nilai itu dirubah menjadi yang terendah... IPK-ku tidak sampai anjlok melewati batas targetku. Sip....

Tapi bukan berarti aku begitu mendewakan sistem penilaian yang dibuat oleh sekolah. Tidak mutlak seorang dengan nilai terbaik adalah yang terbaik. Justru mungkin malah sebaliknya. Sebenarnya, tidak berarti huruf-huruf dan angka-angka itu. Itu tidak lebih dari interpretasi para penentu kebijakan nilai yang juga manusia biasa, yang juga berarti tidak luput dari kekeliruan. Bahkan lebih sering keliru ketimbang benarnya. Bukankah persepsi manusia itu sifatnya relatif? Misalnya, pernah, Ichal salah satu temanku tidak diluluskan pada salah satu mata kuliah, padahal menurut persepsi kami dia paling berhak dapat nilai terbaik. Tapi kenyataannya menunjukkan bahwa persepsi kami dengan persepsi dosen berbanding terbalik seperti hitam dan putih, ada dan tiada, atas dan bawah. Tolak ukur kami dengan dosen dalam memberi penilaian mungkin berbeda, tapi kami tidak habis pikir parameter apa yang digunakan dosen sampai-sampai tidak meluluskan Ichal. Padahal jika menggunakan tolak ukur pada umumnya, dia sudah pantas lulus, meskipun tidak dengan nilai memuaskan. Akhirnya kami sampai pada kesimpulan bahwa tolak ukur dosen itu karena Ichal jeleeek. Udah hitam, kriting, pendek, idup lagi. hihihihihihi sori cal

Setelah aku pikir-pikir sampai jungkir balik (halah), aku memutuskan untuk tidak mau lagi melanjutkan studiku ke jenjang yang lebih tinggi. Ketika aku wisuda nanti, cukup sampai di situlah urusanku dengan dunia sekolah. Aku tidak ingin mengorbankan apa-apa lagi dari kedua orang tuaku. Sudah saatnya untuk mengambil langkah yang aku rasa paling tepat demi pembangunan mimpiku. Tapi bukan berarti aku berhenti dari dunia pendidikan. Bagiku pendidikan adalah seumur hidup, dan pendidikan tidak sama dengan sekolah. Aku bisa mendapatkan ilmu meski bukan di sekolah. Bahkan menurutku ilmu justru lebih banyak tersebar di luar ruang-ruang sekolah. Minimal, kalaupun suatu saat nanti aku berubah pikiran dan ingin melanjutkan sekolah, pastinya 1). biaya dari diri sendiri; dan 2). tidak akan lanjut di Indonesia. Kecuali negeri ini bertobat dan kemudian bangkit dari kebobrokannya. bagaimana tidak, sudah mahal, kualitas jeblok.

Kemarin, salah satu teman dari Equilibrium (komunitas peduli alam di kampusku) menikah. Namanya jen, dia adalah 'Ibu' kami kalau sedang mendaki gunung. Meskipun di puncak udara dingin, ransum pas-pasan, tapi kalau ada Jen, pasti makanannya enak. Salah satu dari segelintir cewek yang punya hobi naik gunung. Tapi meskipun dia cewek, kemampuan fisiknya mirip Flinstones. Kita udah ngos-ngosan sampai nafas bunyi peluit, dia masih biasa saja. Ini cewek apa batu ya? Sampai hari pernikahannya kemarin, aku baru yakin kalo Jen itu bener-bener cewek. Acaranya berlangsung di gedung mewah, sangat meriah. Makanannya super enak, dan pakaian para undangan begitu mewah. kondisi ini begitu jauh berbeda ketika kami sama-sama di puncak. Dan ternyata Jen bisa juga ya pake bedak. Selamat yah, Jen... Setelah pensiun dari mendaki gunung, akhirnya giliran kamu yang didaki! xiixixxixixi.. Mungkin di lain kesempatan, aku ingin upload hasil foto-foto kami di acara pernikahannya kemarin. - dream blog -