Jumat, 17 November 2006

Merantau Itu Indah

Ciri orang yang berakal dan berbudaya adalah tidak akan tinggal seterusnya di satu tempat. Meninggalkan tempat tinggalnya untuk mengembara, itulah bagian dari istirahatnya.

Pergilah dengan penuh keyakinan! Niscaya akan engkau temukan pengganti semua yang engkau tinggalkan.

Bekerja keraslah karena hidup akan terasa nikmat setelah bekerja.

Sungguh, aku melihat air yang tergenang dan berhenti, memercikkan bau tak sedap. Andaikan saja ia mengalir, air itu akan terlihat bening dan sehat. Sebaliknya jika engkau biarkan air itu menggenang, ia akan membusuk.

Singa hutan dapat menerkam mangsanya setelah ia tinggalkan sarangnya.

Anak panah tak akan mengenai sasarannya, jika tak beranjak dari busurnya.

Andaikan mentari berhenti selamanya di tengah langit, niscaya umat dari ujung barat sampai ujung timur akan bosan kepadanya.

Emas bagaikan debu, sebelum ditambang sebagai emas. Sedangkan, pohon cendana yang masih tertancap pada tempatnya, tidak ubahnya pohon-pohon untuk kayu bakar.

Jika engkau tinggalkan tempat kelahiranmu, engkau akan temui derajat mulia di tempat yang baru dan engkau bagaikan emas yang sudah terangkat dari tempatnya.

Pergilah merantau untuk mencari kemuliaan karena dalam perjalanan itu ada empat kegunaan; yaitu menghilangkan kesedihan, mendapatkan ilmu, mengagungkan jiwa, dan dapat bergaul dengan orang banyak. (Imam Syafi'i) - dream blog -

Selasa, 14 November 2006

Matikan TV, Nyalakan Hidup!

Di masa sekolah saya sering menonton televisi, tapi sekarang beruntung kalau dua kali seminggu teman-teman mengajak saya "menghirup udara" itu. Jadi tentu saja saya tidak cukup untuk memiliki hak menilai televisi, tapi saya akan berbicara tentangnya sedikit.

Menurut saya, televisi tidak lebih baik daripada 5-10 tahun yang lalu. Seperti dulu, acara televisi dipenuhi dengan artis-artis yang mempunyai fleksibelitas luar biasa untuk berubah bentuk sesuai dengan selera penonton atau kebutuhan pasar; dari peran setan kemudian menjadi berkerudung saat memasuki bulan Ramadhan. Seperti dulu, saya melihat di layar kaca sajian acara remeh temeh bahkan menjijikkan, mulai dari hiruk-pikuk ulangtahun seorang artis pada usianya yang ke-sekian (yeah, like we care!), sampai kisah demi kisah perceraian selebriti papan atas yang semakin membuatku ingin meludah. Lagi seperti dulu, media paling senang membesar-besarkan urusan-urusan seperti goyangan pantat seorang penyanyi dangdut, atau fenomena 'penampakan' dan kemudian mengemasnya seserius atau lebih daripada urusan konflik di Timur-Tengah. Dan ada yang bilang acara TV itu adalah pendidikan. (lha?)

kebanyakan orang yang sentimental dan gampang percaya bisa diyakinkan bahwa TV dalam keadaannya sekarang adalah pendidikan. Tapi barangsiapa mengenal pendidikan dalam maknanya yang sejati, tidak mudah dia ditangkap dengan umpan tersebut. Saya tidak tahu bagaimana 50-100 tahun lagi, tapi dalam keadaannya sekarang acara TV hanya dapat berfungsi sebagai hiburan. Tapi hiburan ini terlalu mahal untuk terus dimanfaatkan. Hiburan ini menyesatkan. Hiburan ini merampas dari para orangtua beribu-ribu pemuda dan pemudi sehat, berbakat, yang jika seandainya tidak mengabdikan diri pada kemampuan berakting kiranya dapat menjadi dokter, guru, hakim yang baik; hiburan inipun merampas dari tangan masyarakat jam-jam pagi, siang, sore dan petang hari yang merupakan waktu terbaik untuk kerja otak dan silaturahmi antar-kawan. Belum lagi saya berbicara tentang pengeluaran uang dan kerugian mental yang diderita oleh pemirsa ketika mereka melihat di layar kaca pembunuhan, hantu-hantu, pantat, atau aib yang tidak terbukti kebenarannya.

Si A temen saya lain lagi pendapatnya. Dia berusaha meyakinkan saya bahwa televisi, dalam keadaannya sekarangpun, lebih tinggi daripada ruang kelas, lebih tinggi daripada buku, lebih tinggi daripada segalanya di dunia. Media televisi adalah kekuatan yang menyatukan semua jenis kesenian di dalam dirinya, sedangkan para artis adalah public-figure. Tidak ada jenis seni dan tidak ada jenis ilmu yang mampu mempengaruhi jiwa manusia secara kuat dan benar sebagaimana layar kaca; karena itu tidak heran bila selebritis kelas atas memperoleh jauh lebih banyak popularitas di kalangan masyarakat dibandingkan ilmuwan atau olahragawan yang baik. Dan tidak ada kegilaan umum yang dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan sebagaimana saat kita mengetahui kelanjutan dari episode ke-x sebuah film sinetron.

Dan pada suatu pagi yang cerah si A pun masuk rombongan tarik suara, dan pergi, kemungkinan ke Jakarta, dengan membawa uang banyak, harapan indah yang masih gelap, dan pandangan aristokratisnya.

Hidup kita telah terwakili oleh sinetron, hasrat kita telah dikontrol oleh iklan. Hidupilah hidup, bukan menontonnya. Membuat hidup menjadi lebih indah, lebih baik daripada menyaksikan ilusinya. Kenyataan untuk dirubah ada di luar sana, bukan tersaji di layar TV.

Matikan TV, nyalakan hidup! 

Sabtu, 11 November 2006

Pengkhianatan Kaum Intelektual di Unhas

Sumber : Fajlurrahman Jurdi ; Sekretaris DPD IMM Sulsel
Pernah dimuat di Fajar; Selasa, 27 Juni 2006

Tulisan ini, sebenarnya tidak ingin memprovokasi siapapun, dan tidak memiliki tendensi apa-apa. Saya teringat dengan tulisan Daniel Bell "The End of Ideology", yang terlalu dini membunuh ideologi atau Francis Fukuyama yang menulis "The End of History", atau Ohmae dengan "The End of Nation State" dan "The Borderless World". Karya Fukuyama "The End Of History" adalah karya monumental yang sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan baik di kalangan ilmuwan Timur maupun Barat. Juga pakar-pakar lain yang menulis "matinya ilmu ekonomi dan "matinya ilmu pengetahuan". Semua barangkali merupakan refleksi kritis dan gugatan radikal terhadap fenomena yang dihadapi, yang dalam banyak hal menimbulkan kekecewaan dan frustrasi.

Karya-karya yang disebutkan di atas paling tidak mewakili alur berpikir tulisan ini, yaitu bagaimana seorang intelektual mampu "menyihir" orang dengan argumentasi, gagasan dan paradigma yang objektif. Seorang intelektual adalah yang memahami realitas sosial sebagai pusat bergetarnya "naluri" kemanusiaan dan realitas sosial yang timpang adalah musuh dan objek kajian kaum intelektual dengan berusaha mencari pemecahan terhadap realitas yang timpang tersebut.

Kaum intelektual merupakan kaum terdidik, pandai, bernaluri, benci terhadap penindasan --penindasan itu atas nama apapun-- dan berusaha untuk mengeluarkan masyarakat dari jeratan sosial yang menghimpit. Seorang intelektual harus memahami idealisme dan pandangan dunia yang dimilikinya sehingga kaum intelektual tidak menjadikan intelektual sebagai alat untuk meraup keuntungan pribadi dengan menjual gelar keintelektualan. Jika itu yang terjadi, maka gelar pengkhianat intelektual harus disandangnya.

Setiap naluri berpikir seorang intelektual seyogyanya berkhidmat kepada masyarakat dan kemanusiaan, serta mencari hakikat kebenaran untuk pembebasan, sehingga dengan demikian seorang intelektual tidak berhenti menjadi intelektual personal -meminjam bahasa Antonio Gramsci di sebut sebagai intelektual tradisional- yaitu seorang intelelektual yang meninggalkan fakta sosial sebagai "kitab sosial" yang merupakan pisau analisis untuk menjawab persoalan masyarakat. Kalau kita meminjam Julien Benda, intelektual yang menyimpang dari kualifikasi tersebut adalah pengkhianat (traitor). Kendati dalam beberapa hal pandangan Benda masih dapat diperdebatkan (debatable) namun esensi argumentasinya adalah betapa pentingnya kaum intelektual memegang teguh idealisme kemanusiaan dan etika otoritas keilmuannya. Dalam bahasa Edward Schills (1972), "Kaum cendekiawan adalah orang-orang yang mencari kebenaran".

Kaum Intelektual Unhas

Unhas tidak diragukan lagi, merupakan tempat para intelektual. Sekalipun variannya berbeda, untuk sementara -dan Insya Allah untuk selamanya- kita bisa mengatakan bahwa Unhas adalah "sarang" para intelektual yang menggunakan "jubah" gelar, mulai dari Profesor, Doktor, dan "segerombolan" yang bergelar magister, semuanya ada di Unhas. Gelar atau embel-embel apapun tidaklah terlalu penting sebenarnya dalam memahami seorang intelektual. Karena seorang intelelektual adalah human transformers, yaitu mereka yang resah menyaksikan penindasan, pengkhianatan dan perampokan sosial dalam masyarakat.

Memahami intelektual sebagai kelompok oposisi terhadap pengkhianatan, penindasan dan perampokan sosial ini menjadi penting untuk kita cermati lebih mendalam, karena proses intelektual akan gagal jika fakta sosial tidak searah dengan cara pandang universal intelektual. Fakta sosial di Unhas bukan hanya memalukan, tetapi juga menjijikkan. Konflik pemilihan dekan fakultas hukum beberapa bulan yang lalu yang berujung pada pembentukan karateker karena masing-masing mempertahankan arogansi intelektualnya adalah fakta sosial yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun, bahwa intelektual digiring ketiang gantungan sejarah oleh mereka yang selalu membusungkan dada sebagai seorang intelektual hanya demi keserakahan kekuasaan. Tawuran, perkelahian dan sadisme yang muncul di kampus ini mempertegas kembali bahwa Unhas merupakan tempat gerombolan intelektual yang tak pernah memahami realitas sosial sebagai sebuah alat rekayasa perubahan. Juga kasus doktor instan yang pernah memenuhi media massa tahun lalu, dan menjadi bahan polemik hingga tidak diketahui dimana ujung penyelesaiannya, juga adalah kenyataan semakin kaburnya makna intelektual yang melekat dalam sanubari mereka yang selalu berteriak tentang intelektual. Kasus Ospek yang seringkali menimbulkan korban jiwa, penindasan massal, perampokan sosial, bandit intelektual, dan bisnis mahasiswa yang telah berubah menjadi dosa warisan merupakan bentuk keserakahan yang tak pernah berakhir. Sekarang media massa sedang gencarnya memberitakan kasus korupsi yang melibatkan mantan dekan di salah satu fakultas yang menegakkan moral bangsa ini, fakultas yang mendidik orang supaya tidak meringkus harta orang lain, fakultas yang selalu meneriakkan demokrasi. Mantan dekan ini di tangkap dan kasusnya sedang disidangkan ? semoga beliau tidak melakukan bentuk pengkhianatan intelektual.

Tetapi selain di atas, apakah selamanya kita tidak berani jujur, bahwa universitas terbesar kawasan timur ini sedang dihinggapi oleh bentuk primordialisme intelektual, bahkan ada yang mensinyalir bahwa di Unhas banyak terbentuk simpul-simpul dinasti intelektual. Satu bentuk pelanggaran terhadap hakikat intelektual yang sesungguhnya.

Di tengah problem seperti itu, akhirnya banyak potensi para Profesor dan Doktor serta "gerombolan magister" yang tidak lagi produktif. Kalau Fukuyama, Daniel Bell, Semuel P. Huntington, Descrates, Vico, Spinoza, Renan, Hegel, Goethe, Nietzsche, dan banyak yang lain dalam sejarah modern Eropa mampu "menyihir" dunia dengan teori-teori mereka, maka para guru besar kita banyak yang asyik masyuk dengan persoalan kekuasaan. Intelektual Unhas masih serakah dengan kekuasaan. Padahal keserakahan itu adalah bencana yang dapat membutakan mata hati, yang tidak mampu menggetarkan jantung dan membunuh nurani untuk tidak mampu memahami tugas dan tanggung jawab yang sesungguhnya.

Seorang intelektual itu kalau kita meminjam Benda, bukanlah manusia biasa. Tetapi intelektual adalah orang atau sekelompok orang yang mampu memahami, merenungi, dan bertindak dengan karakter intelektual dalam memahami fakta sosial. Intelektual harus mampu melahirkan karya-karya besar dengan pikiran-pikiran briliant. Selalu melakukan "teror" wacana, kepada publik dan melakukan transformasi kepada orang lain. Sehingga ia tidak menjadi intelektual personal, yang hanya mengonsumsi sendiri kecerdasan yang dimilikinya. Dalam konteks inilah Unhas telah gagal menjadi pusat lahirnya para intelektual. Banyak guru besar Unhas yang tidak punya karya tulis, bahkan dimuat di koran lokal seperti Fajar, apalagi mau dimuat di koran nasional seperti kompas. Kecuali hanya sedikit dari "sekumpulan" intelektual yang berada di bawah naungan perguruan tinggi ini yang produktif. Sebutlah misalnya Mansur Semma, Adi Suryadi Culla, Ahmad Ali, Dwi A. Tina, dan beberapa nama yang lain. Unhas memang harus jujur, tidak mau menghargai orang-orang cerdas, berapa banyak orang cerdas yang tersingkirkan dari Unhas hanya karena tidak memiliki keluarga di dalamnya atau tidak menjilat pantat dosen yang telah senior.

Padahal seorang intelektual itu menurut Edward Said dalam Reith Lectures nya di BBC tahun 1993, adalah individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan, mengekspresikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi dan pendapatnya kepada publik. Ia tidak harus dan tidak boleh menjilat kepada siapapun, karena itu adalah bentuk penghambaan intelektual. Intelektual adalah orang bebas, ia bebas mengapresiasi, mengkritik, menghujat, dan melawan perampokan sosial dalam masyarakat tanpa beban dan rasa takut akan ancaman karir atau kekuasaan.

Akhirnya, kita berharap, di Unhas tidak ada lagi dosen yang menyiksa mahasiswa hanya karena konflik politik mereka, tidak ada lagi persiapan "segudang" makanan ketika ujian skripsi, tidak ada lagi penerimaan dosen dengan menggunakan IPK (indeks prestasi kedekatan), tidak ada lagi korupsi sebagai bentuk perampokan sosial, tidak ada lagi ospek yang merupakan bentuk penghkianatan intelektual tertinggi di kampus ini, tidak ada lagi tawuran yang merupakan representasi "tukang becak" ala kaum intelektual, dan semoga para Profesor, Doktor dan Magister di Unhas berlomba untuk menjadi pemikir yang akan melakukan "teror" wacana ke publik. Suatu ketika bangsa ini akan menjadi milik kita, dunia ini akan kita genggam, tapi dengan satu syarat; jangan ada pengkhianat intelektual yang lahir dari kampus ini, apalagi sampai menghamba kepada penguasa. - dream blog -

Sabtu, 04 November 2006

Hukum Kausalitas

Hukum kausalitas atau sebab-akibat adalah sebuah dalih populer yang dipakai untuk menyangkal keberadaan Tuhan. Pertanyaan dari mana segala yang ada ini berasal akan berhenti pada satu titik, yaitu kata Tuhan, Tuhan, dan Tuhan... Jika semua ini berasal dari Tuhan, jadi Tuhan berasal dari mana? Berarti ada Tuhan sebelum Tuhan? Bagaimana mematahkan argumen bego ini?

Filsafat materialisme beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada ini sudah ada sejak dulu dan akan terus ada selamanya (tidak ada awal dan akhirnya), dan oleh karena itu, menyangkal proses penciptaan (yang selanjutnya dipakai juga untuk menyangkal keberadaan Sang Pencipta) dan hari kiamat. Mereka berkedok ilmiah dan sains dengan melandaskan diri kepada teori-teori evolusi-nya Darwin. Ironisnya, anggapan ini juga digugurkan oleh penemuan ilmiah terbaru yang terbukti kebenarannya: Teori Big Bang. Teori ini menyatakan bahwa alam semesta ini terbentuk dari peristiwa Ledakan Besar sebuah titik yang bervolume nol dan berkerapatan tak terhingga. Dalam ilmu matematika, nol sama dengan tidak ada, dengan kata lain alam semesta ini pernah tidak ada dan kemudian di-ada-kan oleh kekuatan MahaCerdas, melalui peristiwa Big Bang.

Lagi-lagi waktu membuktikan bahwa filsafat materialisme dan teori Evolusi Darwin tidak lebih dari sampah sejarah. Bahkan lebih tidak berguna dari sampah, karena sampah itu masih bisa didaur-ulang.

Anggaplah sebuah penggaris adalah alam semesta beserta segala isinya. Salah satu ujungnya adalah awal penciptaan dan ujung yang satunya adalah akhir dari alam semesta; jarak antara ujung awal dengan ujung akhir adalah perjalanan waktu atau rentetan peristiwa. Aku berada di luar penggaris itu, sehingga bisa mengetahui peristiwa-peristiwa di bagian manapun dari penggaris itu. Aku mau menganalogikan secara sangat sederhana bagaimana Tuhan melihat alam semesta beserta segala isinya ini. Menurutku begitulah Tuhan melihat semua ini. Tuhan yang menciptakan ruang dan waktu, alam semesta, maka apakah Dia mutlak harus ikut terperangkap di dalam ruang dan waktu, alam semesta ini? Tentu tidak. Sebaliknya, manusia dan segala yang ada ini terikat dalam konteks ruang dan waktu sehingga tidak punya kuasa atas masa lalu dan masa depan. Yang kita punya hanya sekarang.

Kembali, 'hukum kausalitas' jika dieksekusi dengan argumennya sendiri, ujung-ujungnya kembali ke Tuhan. Kesimpulan akhir adalah 'hukum kausalitas' di-ada-kan oleh Tuhan. Nah, sama halnya dengan konsep 'Tuhan yang meng-ada-kan ruang dan waktu maka Dia tidak mutlak harus terperangkap di dalamnya dan terikat di konteksnya', berarti itu juga berlaku kepada hukum kausalitas: 'Tuhan yang meng-ada-kan Hukum Kausalitas maka Dia tidak mutlak harus terperangkap di dalamnya dan terikat di konteksnya'. Atau sederhananya begini, Hukum Kausalitas tidak bisa digunakan untuk menghakimi Tuhan karena secara langsung atau tidak langsung Tuhan-lah yang meng-ada-kan hukum kausalitas itu. Tuhan adalah Pencipta, hukum kausalitas adalah 'yang diciptakan'. Masa' ciptaan mendikte penciptanya? Mungkinkah hukum kausalitas itu, yang ada atas kehendak Tuhan tentunya, bisa menghakimi Tuhan itu sendiri? - dream blog -