Kamis, 26 Agustus 2010

Let me go home

Menjelang lebaran kali ini aku harus pulang ke rumah. Rumah? I don't even know where is my real home? Is it Java, Sulawesi, or here, Kalimantan? Makin lama sudah gak jelas lagi rumah itu sebenarnya di mana. Mungkin suatu saat nanti aku akan membangun rumahku sendiri di suatu tempat yang bisa jadi tidak di salah satu pulau itu. Mungkinkah? Iya kah? Di suatu saat ketika aku sudah menjadi orang dewasa-sejati (karena saat ini aku, dari lubuk hati yang paling dalam, belum mengaku dewasa, apalagi menjadi dewasa-sejati), suatu saat di mana aku siap untuk menjadi "imam" sejati, setidaknya imam untuk satu keluarga kecil. Mungkin. I hope so.

Tapi semua itu saat ini tidak menjadi masalah. Atau belum menjadi masalah. Saat ini rumahku masih di sana, di tempat kedua orang tuaku berada. A place where I belong to. Setidaknya untuk sekarang. Dan aku tidak mau memikirkan saat di mana rumah itu tidak menjadi rumahku lagi, suatu masa yang akan menjadi paling sulit dalam hidupku pastinya.

Tidak terasa aku sudah setahun di Balikpapan. Sampai sekarang kota ini belum bisa membuatku jatuh cinta. Kota ini belum bisa meluluhkan hatiku, seperti Makassar atau Sengkang yang dulu pernah aku cintai. Meski begitu, kota ini memberikan beberapa pelajaran baru untuk jiwaku. For being stronger, patient, and mature. Thanks to Balikpapan, terlepas dari keburukanmu, terlepas dari ke-opportunis-an pendudukmu.

Akhir-akhir ini selalu itu yang terngiang dalam benakku. Aku harus pulang. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika kali ini aku tidak pulang. Aku harus bertemu kedua orang tuaku. Dan semakin hari semakin dekat dengan hari H kepulanganku, aku semakin 'homesick'. Aku selalu membayang-bayangkan apa yang terjadi saat nanti kali pertama aku mengetuk pintu rumah itu. Aku terlalu takut. Aku takut hal-hal buruk terjadi kepada ibuku. Aku takut dia tidak bisa menahan kerinduan dan kesedihan yang dia simpan sekian lamanya padaku, hingga dia roboh tak berdaya di depanku. Aku SANGAT takut. Aku tidak ingin dramatisasi dalam bentuk apapun pada kedatanganku nanti. Aku ingin semuanya berjalan biasa saja, tidak ada yang spesial, tidak ada air mata. Itu lebih baik, jauh lebih baik. I beg you dear God, demi Ibuku.

Kemarin ibuku menelpon. Oh i can't believe i write this in my blog. Ah who care lah, i'll keep writing. Di sela-sela pembicaraan kami, Beliau menangis. Kamu tahu, bagiku saat dia menangis itu adalah hal tersedih sepanjang tahun ini. Itulah hal yang paling menguras air mataku. Mendengar suara sesenggukan itu di ujung telpon. Saat itu aku benar-benar sadar betapa kasih sayang beliau tak bisa ditukar dengan apapun. Sampai kita sama-sama terlarut dalam diam, tanpa kata.

Aku berusaha mengatur nafasku, mencoba menyembunyikan kenyataan bahwa aku pun menangis di sini. Berusaha kedengaran 'biasa saja', biar kelihatan 'tegar'. Mencoba mengecilkan suaraku, berharap beliau mengira sinyal sedang tidak stabil, hingga aku bisa menyembunyikan suara ingusku yang mulai mengalir karena menangis. Itulah aku malam itu, seorang pembohong sejati. LOSERRR

Look, i have to stop writing this, karena kni leherku mulai terasa berat, dongkol. OK, see u next time.

HOME..... soon.