Sabtu, 26 Mei 2007

Sindrom Menara Babel (selesai)

Sistem Pendidikan Dan Integrasi Bangsa

Bahwa sindrom menara babel menggerogoti manusia, peradaban dan kebudayaannya. Akibatnya mereka tak lagi mengenal dirinya satu sama lain dan karena itu tercerai-berai. Kenyataannya setelah manusia-manusia berpenyakit itu berpencar ke seluruh bumi, insting dan akal yang mereka miliki memungkinkan mereka tetap berkembang biak dengan pesat dan membangun peradaban dan kebudayaan mereka yang juga terinfeksi.

Dalam sejarah kemanusiaan, selalu ada manusia yang berhasil membebaskan dirinya: dari Musa sampai Muhammad (nabi-nabi), dari Gautama sampai Kong Fu Tze, dari Gandhi, Lincoln sampai Sukarno (negarawan), para filsuf besar dan banyak lagi. Mereka adalah manusia-manusia luar biasa yang menjadi cahaya bagi setiap zamannya dan berusaha menjadi penyembuh. Namun bagaimanapun usaha mereka, untuk bebas dari sindrom ini tetap bergantung pada manusianya sendiri.

Hanya pengetahuanlah obat dari penyakit ini; kesadaran (consentia) yang tanpa akhir yang hanya diperoleh melalui proses belajar tanpa akhir pula. Zaman kita mengenal sistem pendidikan, dibentuk oleh manusia untuk tujuan pengetahuan, tersusun dari elemen-elemen yang bekerja menurut fungsinya masing-masing menurut kaidah-kaidah tertentu. Tetapi iapun dapat terkontaminasi, karena dilahirkan oleh manusia yang juga terinfeksi. Ilustrasi tentang seorang penderita yang pernah saya tulis sebelumnya mencerminkan realitas, fakta dan empirikal sifatnya. Ia sudah melihat penyakit itu dan karena itu ia meratapinya. Halaman-halaman ini tak akan mampu menampung keluhan-keluhan lainnya. Belum lagi bila memakai referensi dari belahan dunia lain, misalnya pandangan tokoh–tokoh sampai kritikan-kritikan para pemikir besar. Pandangan-pandangan mereka telah cukup menyinari lubang-lubang dalam sistem pendidikan di dunia mereka namun belum menghasilkan apa yang kita harapkan. Penyakit ini hanya berubah bentuk ke bentuk yang lain. Lubang-lubang tetap menganga seolah dengan sengaja dipertahankan. Bukan tanpa alasan, saya kira memang tak ada satupun saat ini yang bebas dari sindrom ini. Bahkan agama atas nama moralitas pun sering dijadikan alat kejahatan. Di negara ini, tidak jauh berbeda bahkan lebih parah.

Berikut ini, saya mencoba menyoroti sindrom yang mengakar kuat itu.
Di sebuah negara yang cendekiawannya/ intelektualnya/ para jeniusnya/ tokoh-tokohnya intens menyoroti soal-soal pendidikan bahkan secara keras, masih terdapat banyak bolong-bolong, apalagi di negara kita di mana orang-orang yang berkecimpung pada soal itu hanya mulai berpikir saat menjelang pemilu dan penyusunan anggaran. Memang kita melihat ada beberapa perubahan yang menarik perhatian dewasa ini, antara lain peningkatan anggaran pendidikan dalam APBN dan kontroversi Ujian Akhir Nasional (UAN). Soal perubahan nominal anggaran pendidikan itu, hendaknya tidak disebut peningkatan, kesannya terlalu politis. Saya justru melihat bahwa perubahan itu lebih didasari oleh perubahan kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) dan belum merupakan usaha yang serius untuk melayani masalah-masalah pendidikan. Betapapun besarnya anggaran yang kita alokasikan apabila sistem yang menjadi roh pendidikan menutup mata terhadap ketidak-beresan dirinya maka itu adalah sebuah kesia-siaan, sebut saja misalnya masalah ketidak-beresan itu adalah ketidak-adilan. Siapa yang memiliki hak atas pendidikan bila pendidikan sudah menjadi satu komoditi ekonomi? Inilah salah satu bentuk yang diambil oleh sindrom itu.

Perubahan anggaran dapat kita jadikan indikasi betapa modal telah menjadi kekuatan utama yang menggerakkan pendidikan kita dewasa ini, bukan lagi rasa ingin tahu kebenaran sebagaimana hakikat manusia. Fenomena menjamurnya institusi-institusi pendidikan swasta telah menunjukkan keberadaannya sebagai salah satu komoditas ekonomi prospektif ataupun perubahan status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP). Motif ekonomi telah menjadi titik tolak dan tujuan pendidikan, di masyarakat ada ungkapan "Apa guna pendidikan bila tidak ada uang? Apa guna uang bila tak berpendidikan?" Sebuah jargon, manipulatif dan hegemonik dan sayangnya telah menjadi kesadaran masyarakat secara umum. Apa lacur, toh masyarakatlah yang menilai, membentuk dan menghakimi; 'penguasa sejati' kata demokrasi, tapi benarkah?

Massa manusia seperti binatang, mendekati ciri simpanse tidak tahu apa-apa. Namun unit-unit pembentuk massa ini adalah makhluk netral, ratu lebah yang terhormat, hukumnya: kita dimanfaatkan sebagai atom-atom kasar jika kita belum berfikir. Sesudah kita berfikir maka kita manfaatkan massa itu. (Ralph Waldo Eemerson, Alam dan manusia)


Dewasa ini apakah kita sudah berpikir? Kita sudah berfikir tapi pikiran kita terberi, terprogram, dibentuk. Ada yang menguasai kita, itulah makhluk netral yang menjadi ratu lebah. Ia memang menguasai kita, tetapi iapun dikuasai oleh apa yang dipikirkannya. Lalu bagaimana bila yang dipikirkannya dikuasai oleh kekuatan yang lebih besar dari dia seperti pikiran kita(masyarakat) dikuasai olehnya (sang ratu lebah)? Maka kitalah yang harus menjadi ratu lebah; yang belajar terus-menerus agar tersadar terus-menerus.

Polemik ujian akhir nasional jangan dikira terlepas dari prinsip-prinsip yang digariskan oleh sang ratu lebah yang terhormat dan yang mengendalikannya, iapun bagian dari sistem. Kebijakan ini memang ditelurkan oleh wakil-wakil kita di Dewan Rakyat, tapi mereka pun bukannya tanpa penguasa. Disanapun ada kekuatan dominan.

Agar kritik ini tak berkesan ideologis (kiri, kanan, poros tengah) baiklah kita tinjau menurut kapasitas kita. Apabila alasan penerapan UAN adalah Uji Kompetensi atau Uji kemampuan siswa maka tidak bisa tidak, pertanyaan yang mendasarinya adalah sudah sampai sejauh mana siswa menyerap jenis-jenis pengetahuan yang diberikan? Tentu saja indikator-indikator dari sejauh mana serapan/penguasaan dan jauh yang harus diserap/dikuasai harus jelas.

Bila alasan penerapannya adalah proses saringan maka alasan itu tidak memiliki landasan sama sekali. Saringan untuk apa? Yang berkompeten menyaring dan memberikan penilaian adalah masyarakat, lingkungannya ataupun komunitas di mana ia ingin menjadi bagian. Bila alasannya adalah proses saringan untuk keluar dari institusi pendidikan maka tuduhan bahwa sekolah adalah penjara benar adanya dan sekolah adalah pelanggar HAM yang paling keji, sekolah akan menjadi momok, betapa tidak? Proses itu telah mengambil alih tanggung jawab terhadap integritas manusia yang telah dihakiminya secara paksa.

Kecuali tujuannya tak lebih sebagai fungsi ke dalam untuk menilai, mengevaluasi kualitas persekolahan maka UAN tak bisa diterima. Bila sebuah keharusan (setelah semua prasyarat-prasyarat dipenuhi) penerapan UAN demi penerapan ataupun standarisasi kualitas siswa dari Sabang sampai Merauke maka Ujian Nasional sekolah dapat dilakukan pada tingkat-tingkat atau kelas sebelumnya(I & II) dan sama sekali bukan untuk menentukan lulus tidaknya ia dari sekolah. Karena sekali lagi, lulus atau tidaknya mereka dalam hidup tidak akan ditentukan oleh 'penguasa pendidikan' tetapi oleh masyarakat dan lingkungannya. Toh proses belajar tak pernah berhenti bukan?

Sistem pendidikan memiliki peran yang sangat sentral dalam usaha penyembuhan bangsa kita dari sindrom ini, alasan-alasannya telah dipaparkan sebelumnya. Meski demikian, sistem juga berpotensi mencerai-beraikan bila ia terkontaminasi karena tak ada satu hal pun yang benar-benar bebas di luar kesadaran yang terus menerus. Kita mesti berjaga-jaga selalu. Sindrom ini semacam bahaya laten, ia bisa kambuh kapan saja, yaitu pada saat kesadaran mengalami anti klimaks. Tak ada satu hal pun yang boleh dimapankan, apalagi dikultuskan kecuali kemanusiaan yang mengetahui hakekatnya.

Dalam sejarah berbangsa kita, Soekarno adalah salah seorang tokoh yang pernah terbebas. Ia pernah menjadi ratu lebah kita. Disayangkan, bahwa di akhir hayatnya ia kehabisan tenaga melawan sindrom ini dan kembali tergerogoti. Meski begitu, pada masa-masa kesembuhannya ia melahirkan sebuah konsep: Pancasila, yang sampai saat ini masih tetap merengkuh kita semua meskipun tengah sempoyongan. Timor Timur tak lagi mampu di peluknya, Aceh dan Papua sedang meronta-ronta, potensi-potensi lain di sekitar kita juga sedang mengatur siasat. Bagaimanapun, Pancasila hanyalah sebuah konsepsi yang juga dapat dikuasai oleh sindrom itu. Harus ada yang tetap membuatnya terjaga dari tidur agar tak berakhir Nusantara tercinta ini.

Proses mencari kebenaran sudah menjadi perhatian utama manusia dari segala zaman, itulah fitrah manusia. Amat tak bijak bila tujuan mulia itu dibelokkan dari tujuannya yang semula, maka kitalah pengkhianat-pengkhianat terhadap kemanusiaan kita sendiri yang seharusnya bertanggung jawab atas hal ini.

Kalian yang di istana-istana gading, keluarlah dari persembunyian kalian, tugas memanggil! Kalian yang serakah, menyingkirlah dari jalan-jalan pengetahuan dan sadarlah bahwa kalian tengah bunuh diri tanpa kalian sadari!


Pengetahuan yang memanusia, kita tahu bukankah pengetahuan untuk pengetahuan itu sendiri tetapi pengetahuan yang memaslahatkan segala umat dan membawa rasa syukur segala manusia tanpa kecuali.

Bila tugas pemerintah terlalu banyak atau bila pemerintah tak mampu menangani pendidikan dan persoalan-persoalannya dan ataupun bila pemerintah tak mampu melepaskan diri dari "nafsu-nafsu" (sindrom) yang menguasainya maka kembalikanlah otoritas pengetahuan itu pada para bijak (yang telah sembuh). Siapa para bijak? Para bijak ada di antara kita, bukan di gedung dewan yang terhormat, bukan di istana negara, juga bukan di menara gading tapi yang bijak ada di jalanan, di kolong-kolong jembatan, di rumah-rumah sakit, sedang bersama orang-orang yang lari dari hidup, di sekitar kita berbagi pengetahuan dengan tulus tanpa pamrih, yang berkata bahwa pengetahuan bukan miliknya seorang, bahwa temuan-temuannya bukanlah hak kekayaan intelektualnya (HAKI) sendiri tetapi telah digalinya dari semua manusia dan seluruh alam yang oleh karena itu adalah milik bagi semua semua.

Para bijak akan menerangi kita dengan pengetahuannya tanpa tekanan dari apapun dan siapapun. Mereka takkan menginginkan hidup kita karena mereka telah memiliki hidup sendiri. Mereka juga tak akan menentukan apakah kita lulus atau tidak dengan lembar jawaban pada suatu saat, karena kita sendirilah yang akan mengetahui dan menanggung resiko dari semua itu, maka kitalah yang akan memacu diri untuk meluluskan diri. Tidak akan ada seremoni perpisahan di sekolah-sekolah karena kita akan terus bersama setiap waktu. Kita dapat berjumpa dengan mudah saat membutuhkan mereka ataupun ketika mereka membutuhkan kita. - dream blog -

Senin, 21 Mei 2007

Sindrom Menara Babel (II)

Inilah salah satu penderita syndrom itu, penderita yang mulai menyadari dirinya dan sedang berusaha melihat batas-batas yang mengungkungnya, juga harapan harapan kesembuhannya:


“Satu-satunya alasanku untuk tetap tidak mengambil jarak dengan dunia kampus dan sekolah -Pendidikan- hanyalah karena soal akses. Hal apa yang terkait dengan pengetahuan yang tidak kita dapati di sana? Bukannya aku tak tahu menghargai, aku hanya tak dapat menerima penghargaan yang tak layak aku dapatkan. Aku menyebut itu penghinaan. Akses, sekali lagi soal Akses, akar kesempatan-bukan berarti aku mencuri dari mereka. Aku percaya di dalam diriku ini membara potensi dari segala, gagasan-gagasan meronta minta penyaluran tetapi katupnya seolah tersumbat (syndrom menara babel). Tetapi cukup sudah, aku tak ingin lagi. Aku akan tertunduk di mata mereka selama beberapa masa dan setelahnya, yaitu ketika aku siap, mereka akan kubuat malu melihat masa lalunya.

Lihatlah lepasan-lepasan sekolah itu... Tengoklah sarjana-sarjana itu, bisa apa sekerup tanpa mesin? Tanpa daya? Toh sebuah mesin tetap membutuhkan programmer dan operator.

“Individu kehilangan hakekat dirinya sendiri, namun secara sadar ia anggap dirinya bebas dan hanya tunduk pada dirinya sendiri saja alias terbenam dalam khayal tentang kejayaan individualitas” Erich Fromm, Mendidik si Automaton (manusia-manusia yang terinfeksi syndrom Menara Babel)


Ketika kau tengok pula ke rumahnya, di sana terpampang ijazah dan foto wisuda, sebagai kebanggaan. Tapi benarkah mereka bangga? Yang kulihat hanya rasa malu yang ditutupi dengan make up tebal. Mereka kemudian dicibir oleh masyarakat sendiri, membuat pendidikan tersipu-tersipu dan ketersipuannya itu menghina pengetahuan. Andai pendidikan hari ini surut ke titik nadirnya sekejap saja, maka kita boleh mengharapkan era baru kebangkitan pengetahuan. Ledakan-ledakan kreasi dan penciptaan akan menghiasi hari-hari, struktur masyarakat akan terlepas tak berkait lagi, terombak sampai tak dikenali lagi. Maka akan terlihat bahwa pendidikan sama sekali tak hubung-menghubung dengan status sosial. Saya sama sekali tak sedang mengusung gagasan baru, inilah gagasan usang yang saya angkat kembali dari tumpukan-tumpukan frustasi anak-anak sekolahan, sebagai bentuk protes. Kami tak butuh tanggapan apa-apa, saya hanya sedang menyemangati diri saya sendiri. Tanpa larangan itu pun kami tak akan mengambil apa-apa dari kue masa depan kalian karena kami menginginkan kue kami sendiri, kue yang berasal dari tangan kami sendiri. Mungkin kadang-kadang tak terasa enak tetapi kami akan menikmatinya dengan sangat puas.

Diantara kami ada yang akan bunuh diri, membakar sekolah, mendendam para guru dan dosen, menjadi penjahat di jalan, mengganggu nyenyak tidur kalian, mengendap-ngendap di ruang kerja kalian, menaklukkan anak-anak gadis kalian. Bila tidak maka kamilah yang akan menentukan berapa besar gaji kalian, berapa besar bonus kalian, berapa besar uang belanja isteri dan pacar kalian, proyek-proyek yang kalian tangani, buku-buku yang harus kalian benci dan yang harus kalian baca, dan banyak lagi yang lain. Nantikanlah beberapa masa lagi, sebab itulah cambuk bagi kami, yang akan menjadi pengungkit bagi keputusasaan kami di masa lalu. Maka kita pun telah terhubung dalam sebuah lingkaran setan yang sama, kami adalah bayang-bayang dalam mimpi-mimpi kalian.

Pendidikan kalian melahirkan apa yang kalian sukai dan menggilas siapapun yang tak pantas menerima kesukaan kalian. Jangan menganggap hal ini terlalu mengada-ada; teliti dan amatilah lebih dulu bersama-sama buktinya lalu sesalilah. Pendidikan bagi kalian adalah soal layak atau tidak layaknya kami memperolehnya, tetapi bagi kami adalah bahwa setiap manusia pantas dan berhak. Segala yang kami miliki untuk pendidikan telah kami berikan dan apa yang kembali kepada kami ? Robot-robot bernyawa yang tidak berguna, yang di kepalanya hanya ada uang dan hidup nikmat, tetapi juga frustasi dan terasing. Bukankah kalian telah mengambil hidup anak-anak kami dan menggantikannya dengan ambisi kalian? Dan kalian masih ingin mengutip penghormatan? Bila pada masa kolonial dan sesudahnya (dimana orang-orang yang memegang peranan sesudahnya adalah produk kolonial), kami frustasi oleh sistem ganjaran, sekarangpun masih sama seolah waktu bergerak mundur dengan tata nilai yang samar-samar tak berbeda. Kalau pada masa itu ganjaran adalah cambuk rotan, tinju dan rasa rendah diri sebagai pribumi, maka hari ini ganjarannya adalah nilai yang sentimentil, gilasan sistem penilaian ujian, dan rasa tak berguna sebagai manusia. Maka bila pada masa revolusi amarah dan frustasi kami tersalur di medan perang, hari ini tersalur lewat tawuran di jalanan, narkoba sampai todongan terhadap rasa berkuasa kalian.

Biarkan pendidikan menemui titik baliknya, maka kita boleh mengharapkan era kejayaan ilmu pengetahuan yang baru. bukankah sudah terlalu lama kita hanya mendalami pengetahuan zaman baheula yang mulai mengering? Lambat laun semua itu mulai menjadi mandul diterpa masalah-masalah muthakir. Tetapi rasa-rasanya itu akan sangat sulit sebab telah dipastikan siapa yang boleh membuat temuan baru dan siapa yang hanya berhak menggunakan; juga siapa yang tak punya hak apa-apa, tapi berkewajiban menyukseskan dengan ikhlas ataupun terpaksa bila dibutuhkan.”


Kita berada di suatu masa di mana pendidikan menjadi tiran (oleh dominasi satu kekuatan tertentu); yang tidak berpengetahuan akan dilindas oleh hidupnya sendiri, dunia akan berbalik menaklukkannya. Di alam sadar kita -yakni masyarakat- siapa yang tak butuh pendidikan? Yang tidak berarti telah bersiap untuk tersingkir (baca: mati) secara perlahan-lahan dari kehidupannya di masyarakat. Mengingat nilai sosialnya di masyarakat, setiap keluarga berusaha mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk mendapatkan itu dan bahkan membuat eksistensi keluarganya menjadi terancam. Belum lagi dengan tidak adanya jaminan bahwa setelah semua yang dikorbankannya ia akan mendapatkan harapannya meskipun itu hanyalah selembar ijazah. Maka masyarakat dan ilmu pengetahuan pun menjadi pembunuh berdarah dingin (lihat fakta di sekitar kita) dan telah menjadi akar dari beberapa kejahatan.

Demikian kisahnya, pada detik inipun dia masih terus bergelut dengan penyakitnya. Entah sampai kapan...

(mungkin bersambung) - dream blog -

Rabu, 16 Mei 2007

Sindrom Menara Babel (Babylon Tower Syndrome)

Di dunia kita, dunia yang semakin berbudaya dan beradab, pesan-pesan yang dinyatakan baik secara verbal maupun non verbal selayaknya tetap menghargai kaidah-kaidah adab dan budaya. Tapi dalam situasi tertentu, ketika makna yang seharusnya ditangkap menjadi bias oleh sublimnya adab dan budaya, maka sudah menjadi tugas kita untuk menempatkannya kembali pada proporsinya yang semula dengan bahasa yang dapat dipahaminya, dengan kasar bila perlu. Peradaban dan kebudayaan sublim yang saya maksudkan adalah kebudayaan dan peradaban yang mengawang-awang, jejak-jejaknya jauh meninggalkan kemanusiaan itu sendiri. keadaannya seperti sedang 'Trance' dalam kajian metafisik atau sedang 'On' dalam bahasa para junkyst. Yaitu peradaban dan kebudayaan yang tidak lagi bisa mengidentifikasi anak-anak zamannya dan anak-anak zaman tak lagi saling memahami.

Saya menyebut hal ini sebagai Sindrom Menara Babel (babylon tower syndrom). Sebagaimana sebuah sindrom, ia selamanya adalah kecenderungan, sejenis penyakit. Kondisi ini menggambarkan peradaban dan kebudayaan yang sedang sakit dan manusia yang mereproduksinya pun sedang sakit. Keadaaan ini bukannya tanpa sejarah, dalam kitab-kitab agama Samawi dapat kita temukan kondisi yang agak menyerupai dan dari sanalah sebutan itu saya ambil.

Diceritakan bahwa beberapa lama setelah air bah Nabi Nuh, muka bumi telah seperti sedia kala, manusia dan peradabannya berkembang biak dengan pesat juga dalam dosa. Mereka sudah melupakan penciptanya, melupakan fitrahnya sebagai manusia. Manusia masih bersatu di suatu tempat, berkumpul dengan satu bahasa dan hidup mereka dipenuhi kesenangan duniawi. Hingga suatu ketika, mereka teringat pada air bah yang pernah memusnahkan isi bumi. Lalu berkatalah mereka satu kepada yang lain, “Marilah kita mendirikan sebuah menara yang tingginya mencapai langit agar bila air bah itu datang, kita dapat menyelamatkan diri”.

Maka berkumpullah mereka, memulai proyek besar itu. Bangunan raksasa itu sudah berdiri dengan megah dan kokoh, kian hari kian bertambah. Sang Pencipta murka atas tingkah laku manusia itu dan teringat pada sumpahnya bahwa ia tak akan pernah lagi memusnahkan isi bumi sebelum tiba waktunya. Maka dikacaukannya saja bahasa dari manusia-manusia itu sehingga semua manusia itu tidak lagi bisa saling mengerti, impian mereka pun gagal, proyek itu gagal dan manusia sejak saat itu tercerai berai dan terserak ke seluruh bumi, inilah kisah menara babel itu.

Manusia senantiasa diliputi kecemasan dan rasa takut terhadap akhir kenikmatan, rasa sakit dan kematian. Karena itulah mereka menciptakan utopia; menara yang sampai ke surga. Ia menentang kodratnya sebagai manusia, fitrahnya. Mereka akan melakukan apapun untuk mewujudkannya, tetapi sayang mereka tak lagi satu pengertian; pahaman kemanusiaan. Inilah penyakit kemanusiaan, inilah sindrom menara babel.

Fenomena menara babel memiliki kesamaan dengan masyarakat kita dewasa ini, yakni masyarakat yang melupakan visi kemanusiaannya; bahwa kesatuan dan kesepahamannyalah tentang kemanusiaan mereka yang memungkinkan mereka membangun peradaban dan kebudayaan yang tinggi dan maju. Manusia dari satu budaya, satu peradaban yang meninggalkan kemanusiaannya tak bisa lagi saling memahami mengakibatkan mengakarnya sikap permisif terhadap semua bentuk kejahatan disekitarnya; permusuhan bermotif penguasaan atas kehidupan orang lain. Syndrom itu menggerogoti manusia dan manusiapun menjadi bebal, berhati degil, berjiwa kerdil dan meludahi hakikat kemanusiaannya sendiri.

Tetapi semua penyakit bukannya tanpa obat, kita sedang berusaha mencari obat sekalian dengan dosisnya yang paling tepat. Menurut saya obat atas syndrom ini adalah kesadaran, Conscentia. pertama-tama adalah bahwa kita harus sadar agar mengetahui bahwa kita sedang sakit, kemudian kesadaran ini akan membawa kita kepada pengetahuan tentang penyakit ini. Satu pengetahuan akan menarik pengetahuan yang lain sehingga apa yang kita ketahui tentang penyakit inilah yang akan menjadi obat; obat bagi peradaban dan kebudayaan kita, kemanusiaan kita. Tentu semua ini tak mudah, syndrom menara babel sudah mengakar dalam hidup kita, dalam sistem-sistem yang melingkupi kita termasuk Sistem Pendidikan kita dimana akses terhadap ilmu pengetahuan berdiam diri. Butuh perjuangan dan kerja keras untuk melepaskan diri darinya, juga untuk membersihkan sistem pendidikan kita dari infeksinya; maka dengarkanlah hardikan yang lantang itu, terimalah cambukan pengetahuan atas ketakperdulianmu, resapilah kepedihan dan rasa sakit, istirahatkan dirimu sejenak dari ambisi menara penyelamatmu dan merenunglah!!!

(Bersambung, mungkin) - dream blog -

Sabtu, 05 Mei 2007

Kirimi Aku Kamboja Saja

Pernah di suatu hari, aku mengunjungi Rumah Sakit bersama sahabatku yang seorang dokter muda.

Seharian aku mengamati seluruh aktivitas yang ada di sana dan kudapati wajah-wajah yang ketakutan akan kematian. Di antara mereka ada yang mendadak panik, ada juga yang pasrah. Tetapi ada seseorang yang menarik perhatianku. Setelah melewati antrian dan mendapatkan pelayanan, Ia tak langsung pulang. Satu jam, dua jam, tiga jam sampai ketika Rumah Sakit mulai lengang Ia belum beranjak juga. Aku mendekat dan berbincang-bincang dengannya. Mulanya hanya basa-basi, tetapi sekarang jadi serius. Ia divonis kanker ganas, tapi ia mengeluh tak punya biaya. Karena itu, Ia akan memohon keringanan. Ia percaya bahwa dokter masih bisa menyelamatkan nyawanya.

Ia bercerita kalau ia berasal dari kampung yang jauh, datang ke kota ini untuk kuliah. Tetapi kanker telah menggerogoti hidupnya. Tak beberapa lama kemudian ia mendapatkan giliran tetapi sekali lagi ia harus kecewa. Ia pulang dengan wajah kuyu, langkahnya sempoyongan. Aku mengikutinya, kami bercakap-cakap. Aku salut padanya, meski kesakitan ia tetap berusaha. Aku berjanji padanya untuk membantu mencarikan jalan keluar.

Sehabis makan malam, aku menemui sahabatku dan membicarakan hal itu. Tetapi sahabatku memberi jawaban dengan menggelengkan kepalanya. Ia tak bilang kalau sudah tak bisa ditolong, ia hanya mengatakan kalau biayanya tak kurang dua puluh juta rupiah. Aku merasakan keputusasaan yang dirasakannya, merasa hal ini di luar kemampuanku. Aku punya tabungan, tetapi hanya 1/18 dari biayanya. Aku merengek kepada sahabatku, tetapi ia malah menghardikku, katanya: “Ada banyak orang yang seperti itu, apa kau mau menolong semuanya? Jangan libatkan dirimu, kau bisa gila!”

Aku menyerah, beberapa hari aku tak menemuinya. Aku terus menerus bergumul dengan pikiranku sendiri, lalu terlonjak oleh sebuah ide. Aku bermaksud hendak membawanya ke rumah sakit dengan membayar uang mukanya saja dulu. Yang lain urusan belakang. Pikirku, Aku masih muda dan bebas, karenanya dapat kutanggungkan resiko apapun! Begitu semangat yang membakar hatiku itu. Aku segera berangkat, tetapi setiba di tempat kostnya kulihat pintunya terkunci. Ia sudah tidak ada. Dari tetangga kamarnya kuketahui kalau Ia sudah meninggal dunia kemarin. Aku kaget dan linglung beberapa saat. Ia menitipkan selembar surat untukku, intinya ia senang karena aku peduli. Ia selalu menantikan aku bahkan sampai saat meninggalnya yang hanya dikawani sepi...

Aku masuk ke kamarnya, menangisinya meskipun aku tak terlalu mengenalnya. Ada sesuatu yang menghubungkan kami, penderitaan itu dan kemanusiaan ini. Di sebuah diary ia menuliskan puisinya yang terakhir:

Dok,...
Rumahmu terlalu putih,tak mampu aku menatap
Lihatlah, mataku silau bahkan telah buta
Hingga tak kutemukan jalan, agar boleh sekedar menyapamu
Kakiku terasa berat lagi lamban
Tanganku kurus, terlalu tipis
Tak mampu menjabat tanganmu, ganti terima kasih
Aku pulang saja ya?
Jangan lupa jenguk aku
Tak perlu bawa jarum suntik
Aku lebih suka bunga kamboja