Rabu, 16 Mei 2007

Sindrom Menara Babel (Babylon Tower Syndrome)

Di dunia kita, dunia yang semakin berbudaya dan beradab, pesan-pesan yang dinyatakan baik secara verbal maupun non verbal selayaknya tetap menghargai kaidah-kaidah adab dan budaya. Tapi dalam situasi tertentu, ketika makna yang seharusnya ditangkap menjadi bias oleh sublimnya adab dan budaya, maka sudah menjadi tugas kita untuk menempatkannya kembali pada proporsinya yang semula dengan bahasa yang dapat dipahaminya, dengan kasar bila perlu. Peradaban dan kebudayaan sublim yang saya maksudkan adalah kebudayaan dan peradaban yang mengawang-awang, jejak-jejaknya jauh meninggalkan kemanusiaan itu sendiri. keadaannya seperti sedang 'Trance' dalam kajian metafisik atau sedang 'On' dalam bahasa para junkyst. Yaitu peradaban dan kebudayaan yang tidak lagi bisa mengidentifikasi anak-anak zamannya dan anak-anak zaman tak lagi saling memahami.

Saya menyebut hal ini sebagai Sindrom Menara Babel (babylon tower syndrom). Sebagaimana sebuah sindrom, ia selamanya adalah kecenderungan, sejenis penyakit. Kondisi ini menggambarkan peradaban dan kebudayaan yang sedang sakit dan manusia yang mereproduksinya pun sedang sakit. Keadaaan ini bukannya tanpa sejarah, dalam kitab-kitab agama Samawi dapat kita temukan kondisi yang agak menyerupai dan dari sanalah sebutan itu saya ambil.

Diceritakan bahwa beberapa lama setelah air bah Nabi Nuh, muka bumi telah seperti sedia kala, manusia dan peradabannya berkembang biak dengan pesat juga dalam dosa. Mereka sudah melupakan penciptanya, melupakan fitrahnya sebagai manusia. Manusia masih bersatu di suatu tempat, berkumpul dengan satu bahasa dan hidup mereka dipenuhi kesenangan duniawi. Hingga suatu ketika, mereka teringat pada air bah yang pernah memusnahkan isi bumi. Lalu berkatalah mereka satu kepada yang lain, “Marilah kita mendirikan sebuah menara yang tingginya mencapai langit agar bila air bah itu datang, kita dapat menyelamatkan diri”.

Maka berkumpullah mereka, memulai proyek besar itu. Bangunan raksasa itu sudah berdiri dengan megah dan kokoh, kian hari kian bertambah. Sang Pencipta murka atas tingkah laku manusia itu dan teringat pada sumpahnya bahwa ia tak akan pernah lagi memusnahkan isi bumi sebelum tiba waktunya. Maka dikacaukannya saja bahasa dari manusia-manusia itu sehingga semua manusia itu tidak lagi bisa saling mengerti, impian mereka pun gagal, proyek itu gagal dan manusia sejak saat itu tercerai berai dan terserak ke seluruh bumi, inilah kisah menara babel itu.

Manusia senantiasa diliputi kecemasan dan rasa takut terhadap akhir kenikmatan, rasa sakit dan kematian. Karena itulah mereka menciptakan utopia; menara yang sampai ke surga. Ia menentang kodratnya sebagai manusia, fitrahnya. Mereka akan melakukan apapun untuk mewujudkannya, tetapi sayang mereka tak lagi satu pengertian; pahaman kemanusiaan. Inilah penyakit kemanusiaan, inilah sindrom menara babel.

Fenomena menara babel memiliki kesamaan dengan masyarakat kita dewasa ini, yakni masyarakat yang melupakan visi kemanusiaannya; bahwa kesatuan dan kesepahamannyalah tentang kemanusiaan mereka yang memungkinkan mereka membangun peradaban dan kebudayaan yang tinggi dan maju. Manusia dari satu budaya, satu peradaban yang meninggalkan kemanusiaannya tak bisa lagi saling memahami mengakibatkan mengakarnya sikap permisif terhadap semua bentuk kejahatan disekitarnya; permusuhan bermotif penguasaan atas kehidupan orang lain. Syndrom itu menggerogoti manusia dan manusiapun menjadi bebal, berhati degil, berjiwa kerdil dan meludahi hakikat kemanusiaannya sendiri.

Tetapi semua penyakit bukannya tanpa obat, kita sedang berusaha mencari obat sekalian dengan dosisnya yang paling tepat. Menurut saya obat atas syndrom ini adalah kesadaran, Conscentia. pertama-tama adalah bahwa kita harus sadar agar mengetahui bahwa kita sedang sakit, kemudian kesadaran ini akan membawa kita kepada pengetahuan tentang penyakit ini. Satu pengetahuan akan menarik pengetahuan yang lain sehingga apa yang kita ketahui tentang penyakit inilah yang akan menjadi obat; obat bagi peradaban dan kebudayaan kita, kemanusiaan kita. Tentu semua ini tak mudah, syndrom menara babel sudah mengakar dalam hidup kita, dalam sistem-sistem yang melingkupi kita termasuk Sistem Pendidikan kita dimana akses terhadap ilmu pengetahuan berdiam diri. Butuh perjuangan dan kerja keras untuk melepaskan diri darinya, juga untuk membersihkan sistem pendidikan kita dari infeksinya; maka dengarkanlah hardikan yang lantang itu, terimalah cambukan pengetahuan atas ketakperdulianmu, resapilah kepedihan dan rasa sakit, istirahatkan dirimu sejenak dari ambisi menara penyelamatmu dan merenunglah!!!

(Bersambung, mungkin) - dream blog -

0 komentar: