Selasa, 19 Desember 2006

Kesadaran Kemanusiaan

Aku berada di antara kehidupan kotaku yang modern dan kehidupan di desa. Mereka sederhana dan bersahaja. Kadang di malam-malam gelap yang sunyi, aku masih bertanya, yang manakah kehidupan? Padahal akupun tahu, indraku seluruhnya menyampaikan kalau kaki, kepala, tangan, seluruh tubuhku lahir tatkala modernitas tengah menggerogoti seluruh sudut ke-kampung-an dan melahapnya hidup-hidup. Seluruhnya, pranata dan perkakas budayanya, tak kecuali agama. Aku lahir dalam jaman tunggang langsung sambil jungkir balik, aku tahu tapi yang manakah pegangan?


Awalnya aku berpijak pada satu tonggak yang kukira kokoh, tapi ternyata tunggangnya ia tak punya seperti untaian tentakel gurita, ia melambai mencari-cari dan menemukan sesuatu lalu mengatakan bahwa inilah yang patut dijadikan pegangan dan pada saat yang lain lagi merengkuh sesuatu yang lain dan menjadikannya pula pegangan yang lain. ‘Sesuatu’ yang digenggamnya itu, kadang ambigu, hingga kadang pula standar ganda tak dapat dihindarinya. Manusia macam apa yang membangun dan dibangunkan oleh keadaan macam ini?

Ada juga sesuatu yang lain, hampir semua orang menggenggaminya erat hingga hidup pun dikorbankan untuk itu. Bukan hanya hidupnya sendiri, melainkan hidup seluruh dunia bila perlu. Sekilas tampak mengejar keseimbangan dan memang itulah yang menjadi kesadaran mereka, tetapi bagiku tampak sebagai pelampiasan hasrat. Hasrat apa saja; keinginan, dendam, kehormatan, ketiadaan… . menolak kejahatan dengan melakukan kejahatan adalah watak fatalis, watak fatalis tak berbeda sama sekali dengan kejahatan sendiri.

Aku lelah oleh paradoks umat manusia. Aku yakin, aku tak sendiri. Aku tahu bahkan filosof, teolog, ilmuwan, dan teoritikus, ulama dan rohaniawan, semua orang yang terus berfikir bergumul dengan hal ini pula sampai akhir hidupnya, juga para sufi dan nabi. Yesus mengutuk sebuah pohon ara karena tak mampu memberi satu buah pun untuk rasa laparnya, Muhammad mengharamkan babi untuk tubuh umatnya. Tapi semua itu tak bisa menjadi alasan untuk berkata lanjutkan saja hidupmu tanpa soalan-soalan itu, kenyatannya semua manusia-manusia besar pun mempersoalkannya, kenyataan-kenyataan selalu muncul sebagai masalah. Maka saya tetap mempersoalkannya bahwa ada keadaan yang lebih baik dari kenyataan ini tapi kenapa ini yang kita adakan?

Kita berpengharapan terhadap suatu keadaan, termasuk utopi sebagai salah satu. Pengharapan itu, keinginan yang hadir tidak dengan serta-merta tanpa melalui proses sadar. Harapan itu, keinginan itu adalah keadaan yang pernah sangat dekat dengan kita, entah itu melalui bantuan panca indera atau bahkan pernah kita alami meski sesaat, pun halnya dengan utopi. Tetapi manusia terlanjur telah membuat pembeda, sekat, pembatas. Bukan hanya beberapa tapi sejumlah tak terhingga sehingga kita mesti berhati-hati terhadap watak fatalis bahwa di dunia ini hanya dirimulah yang boleh kau percayai, setiap manusia adalah rintangan-rintanganmu atas sesuatu yang terbatas sehingga harus dapat kau lenyapkan atau setidaknya kau manipulasi.

Semakin kompleks kehidupan ini semakin jauhlah kesadaran. Maka persaingan, kompetisi atas hidup adalah watak fatalis yang utama. Betapa tidak? Bahkan agamapun dimanipulasi atau bila tidak, dijadikan alat manipulasi atas kesadaran makhluk untuk memenangkan persaingan. Sepatutnyakah? Betapa mahal kesadaran. Tapi betapapun mahalnya, untuk memperolehnya tak perlu merogoh kocek sekian juta seperti kesadaran manipulatif yang diperjualbelikan oleh institusi pendidikan, kau hanya harus setia dan konsisten pada kesadaran hidupmu yang pertama, kesadaran kemanusiaan.

Bahwa dalam kehidupan ini, semua makhluk berproses, tak ada subjek apalagi objek. Menjadi khalifah di atas muka bumi tidak berarti pengabsahan bagi manusia untuk menjadi subjek dan karenanya boleh menentukan pantas atau tidak pantasnya ’seekor’ nyawa dilenyapkan. Bahkan Tuhan tidak mengambil posisi subjek dalam kehidupan kita, yang akan turut campur ketika kita hendak membantai seorang bocah dengan kelaparan atau menyarangkan sebutir peluru algojo di kepala seseorang, atau tebasan pedang di leher musuh kita, atau ketika kita hendak melampiaskan hasrat seksual atau ketika memberi makan anak yatim, atau ketika hendak menyeberangkan seorang nenek di lalu lintas yang ramai, dan seterusnya. Sekali lagi, memang ia mengatakan jangan atau silahkan, tetapi ia memberi pilihan dan kesempatan.

Sekali lagi, tetaplah setia dan konsisten kepada para kesadaran yang pertama atas kehidupan, kesadaran kemanusiaan, bahwa kau hanyalah setitik debu di bumi ini, yang bila angin berhembus maka kaupun akan lenyap dan tempatmu tidak akan mengenalmu lagi. Bila masih tak bisa kau rasakan jua kesadaran itu, cobalah sesekali mendaki gunung. Seorang diri atau bersama kawan-kawanmu maka akan kau lihat sebesar apa dirimu dalam hamparan alam semesta. Atau bila tak sanggup, kecaplah kehidupan pedalaman yang murni, maka kau akan lihat inilah manusia yang sungguh; dan kesadaranmu pun tumbuh dan dipulihkan.

Kesadaran yang datang terlambat selalu hadir sebagai penyesalan, penyesalan yang akan datang selamanya melalui ratapan-ratapan, seperti diriku. - 

Sabtu, 16 Desember 2006

Mempertanyakan Jati Diri Sebagai Bangsa & Jati Diri Sebagai Individu

Sedang membaca Koran? Kalau masih punya sedikit waktu sempatkanlah mengamat-amati keadaan sekitar, misalnya pada tong sampah-sampah kita. Apa yang terlihat? Manusia yang tengah memakan sampah. Di kolong-kolong dan jembatan, rumah? Di perempatan jalan, pengemis dan pengamen. Sekarang mari kita coba-coba bertanya pada orang-orang yang mungkin kita tanyai, “kerja apa, dimana?”… . Pengangguran nyata. Di pelosok-pelosok desa, petani. “Luas lahannya berapa?” … . Pengangguran terselubung. Sayangnya kita tidak punya angka-angka yang pasti tentang berapa jumlahnya, ada yang bilang data-data BPS (Balai Pusat Statistik) sulit dipercaya kevalidan datanya kecuali kantornya telah membuka cabang sampai ke tingkat RT/RW.

**

Bencana, bencana dan bencana… sangat marak akhir-akhir ini, booming. Sampai-sampai ada yang mengatakan kalau negeri ini adalah negeri bencana. Kelaparan, kekeringan, banjir, longsor, gunung meletus, gempa dan tsunami. Menurut pengalaman, bencana di Negara kita sudah selalu pasti dibarengi efek kompleks, efek dan kompleks. Efeknya yang pasti adalah korban jiwa dan harta benda, beban mental korban dan beban keuangan Negara. Kompleksnya bermacam-macam, tergantung pada kompetensi dan spesialisasi pendidikan pengidap kompleksnya. Tetapi sifatnya yang paling mencolok adalah kompleks proyek dengan berbagai turunannya seperti KKN dan penyalahgunaan wewenang.

**

Salah seorang dosen saya pernah mengatakan kalau bangsa ini menderita sejenis bisul yang kronis, sulit disembuhkan. Menggerogoti sekujur tubuhnya. Mulai dari Aceh, Jawa, Sulawesi, Ambon, sampai Papua. Malahan sudah ada bahagian tubuhnya yang sudah diamputasi, antara lain Timor Timur, Sipadan dan Ligitan dan entah bahagian mana lagi yang segera menyusul.

**

Lain lagi halnya dengan yang satu ini, seorang Ibu yang tak mengenal dan dikenal anaknya sendiri dan bahkan Sang Anak tak lagi mengenali dirinya sendiri. Sang Anak tumbuh menjadi kikuk, gagap, gagu, peniru dan pemalu. Ia tahu keadaannya, maka dicobanya menutupi kekurangannya itu dengan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, dengan segala cara. Kemudian ia tampil dalam berbagai bentuk dan topeng, sangat simpatik. Maka segera saja ia berterima bagi yang lain dan bahkan menjadi penguasa segala bidang kehidupan. Tak perlu lagi dipertanyakan kenapa, kemunafikan saling dukung mendukung lalu makan memakan. Inilah hasil demokrasi, senjata yang amat beringas ditangan orang-orang jahat dan setetes air zam-zam di tangan orang-orang baik.

**

Dahulu, kejahatan terpencil seperti jeritan, kini universal seperti sains. Albert Camus meneriakkannya hampir enam puluh tahun yang lalu, adakah yang berubah? Perubahannya hanyalah bahwa kini kejahatan tampil dengan wajah yang lebih lembut, mengambil bentuk dalam etika, budaya dan bahkan agama. Bukankah wajah sang jahat kadang tampil di hadapan kita sebagai pahlawan?

**

Inikah wajah Ibu Pertiwi, ibu kita?

**

Andai hari ini adalah 55 tahun yang lalu, mungkin semarak panji-panji dan pekik merdeka masih akan menggelorakan semangat dan harapan. Tetapi kini lihatlah, Ia berkawan ragu. Inikah buah kemerdekaan? Untuk apa Nasionalisme bila ia mengusir aku dari tanahku, tumpah darahku sendiri? Buat apa primordialisme bila yang diberikannya padaku bukannya jati diri melainkan ketertundukan dan ketaklukan? Apa urusan nasionalisme mempertanyakan agama, dan asal usul suku kami? - dream blog -

Selasa, 12 Desember 2006

Pesan & Kesan Buat Calon Dekan

Fakultas Ekonomi Unhas adalah fakultas tertua di Unhas, dan Unhas adalah Universitas terbesar di Indonesia Timur. Oleh karena itu Fakultas Ekonomi senantiasa membutuhkan pemimpin yang merupakan Intelektual tercerahkan (Rauzan Fikr). Terkait dengan hal tersebut, hari selasa (12 Des 2006) adalah hari yang sangat menentukan bagi FE Unhas kedepan, karena pada hari tersebut akan dilakukan pemilihan Dekan.

Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda tentang Dekan yang ideal. Begitu pula dengan Mahasiswa yang merupakan stackholeder terbesar. Oleh karena itu dari lembaga kemahasiwaan telah melakukan suatu proses untuk menampung aspirasi di tingkatan keluarga mahasiswa.

Salah satu masalah yang dihadapi oleh fakultas saat ini adalah minimnya fasilitas, banyaknya dosen malas, adanya beberapa dosen yang kurang cerdas mengajar, ada pula beberapa dosen yang menomorsatukan kepentingan proyek dari pada mengajar. Selain itu mahasiswa sebagai anak didik senantiasa berharap para dosen yang dalam hal ini juga sebagai orang tua di kampus agar kiranya dapat menjadi teladan bagi seluruh stackholder.

Yang menjadi kesedihan juga di tingkatan mahasiswa adalah mulai tertutupnya ruang-ruang musyawarah di kampus, hal tersebut bisa terlihat dari adanya beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh birokrat kampus yang dimana kebijakan tersebut bersentuhan langsung dengan mahasiswa namun tidak melibatkan mahasiswa yang dalam hal ini lembaga kemahasiwaan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, di beberapa fakultas adanya pola-pola militeristik yang digunakan untuk melihat suatu masalah/menafsirkan suatu fakta sosial. Hal tersebut terlihat dengan dijatuhkannya sanksi skorsing kepada sekitar 30 orang mahasiswa Fisip Unhas, serta sekitar 20 orang mahasiswa Tekhnik Unhas yang menjalankan agenda pengkaderan awal lembaganya. Yang kita harapkan bersama adalah adanya sikap dewasa oleh masing-masing pihak, baik mahasiwa maupun birokrat ketika terjadi perbedaan perspektif. Dimana pendekatan rasionalitas yang dalam hal ini metode dialog agar kiranya dapat diutamakan.

Dalam kajian lembaga kemahasiswaan, yang perlu juga dipikirkan oleh Dekan terpilih ke depan adalah bagaimana FE Unhas mampu melahirkan Sarjana-sarjana yang memiliki kualitas pada wilayah Cognitif (pengetahuan), afektif (watak) dan Psikimotorik (Skiil). Selain hal tersebut, yang perlu juga untuk dikaji kedepan adalah tentang paradigma dominan yang digunakan oleh FE Unhas dalam kurikulumnya. Di mana lebih banyak menggunakan paradigma positivistik (Newtonian maupun Cartesian) dalam melihat permasalahan ekonomi. Ajaran tersebut biasa kita sebut dengan ajaran kapitalisme. Sehingga tidak mengherankan kemudian ketika output yang dihasilkan oleh Fakultas ini adalah Ekonom-ekonom serakah, yang berwatak individualis, dan berjiwa pragmatis. Yang kita harapkan bersama kedepan adalah adanya kurikulum ekonomi yang menggunakan paradigma Holistik sehingga wacana yang dikaji oleh mahasiswa lebih berwarna, dan memliki keberpihakan yang jelas terhadap agenda-agenda kerakyatan. Yakni Ekonom-ekonom yang siap menjawab realitas kemiskinan yang masih menjadi warna dominan di bangsa ini.

Yang diharapkan juga dari dekan terpilih adalah dekan yang memiliki pandangan positif terhadap lembaga kemahasiwaan. Meskipun kami sadari bahwa ada beberapa mahasiswa yang terlibat di lembaga kemahasiwaan yang masih memberi citra negatif seperti pengurus yang kuliahnya tidak beres. Namun perlu dipahami bahwa di lembaga kemahasiswaan kami senantiasa belajar tentang kedewasan, belajar berbeda pendapat/berkompromi, belajar untuk bicara atau tampil didepan orang banyak. Dan hal lain yang tak kalah pentingnya adalah jaringan yang kami peroleh, baik dengan mahasiswa sefakultas, maupun fakultas lain serta kampus lain. Termasuk jaringan dengan dosen-dosen, pengusaha serta para pejabat-pejabat (yang penting tidak menjadi penjilat), karena persentuhan kami pada suatu kegiatan seperti seminar, dll.

Yang kami harapkan dari pesta demokrasi yang akan diadakan hari selasa (12 Des 2006) adalah adanya pemilih-pemilih rasional, dan berpihak pada nilai. Bukan mendahulukan ego jurusan, suku maupun kelompok. Karena kami sebagai mahasiswa yang dalam hal ini sebagai anak didik senantiasa merindukan keteladanan dari bapak dan ibu dosen. Kami mahasiswa juga berharap agar semua konflik yang pernah ada, baik konflik personal maupun kelompok agar kiranya dapat diselesaikan secara dewasa demi FE Unhas ke depan. Sebagaimana kata seorang bijak: "kita harus berhenti menggunjing kegelapan, saatnya kita menyalakan lilin". - dream blog -

Sabtu, 02 Desember 2006

Bayang-Bayang Kenangan

Di rumah, di kampung, segalanya telah berjalan seperti biasa pada musim kemarau; kipas dinyalakan, dan di pagi hari, ketika anak-anak kecil bersiap ke sekolah, suasana gelap, dan para orangtua membenarkan letak topi anak-anaknya yang agak miring. Udara mulai dingin. Ketika hujan pertama turun, dan untuk pertama kali payung difungsikan, enak rasanya memandang bumi yang basah, atap-atap basah. Napas terasa empuk, nyaman, dan saat itulah terkenang masa muda. Pohon-pohon Beringin yang basah oleh embun beku memancarkan wajah lembut. Pohon-pohon itu terasa lebih akrab pada jiwa dibandingkan manusia-manusia yang satu-dua mulai terlihat berlalu-lalang di jalan, dan karena keakraban itu tidak ingin rasanya aku mengingat tentang kuliahku yang belum juga kelar.

Aku besar di Sengkang. Aku tiba kembali di kota itu pada suatu hari yang cerah, dingin. Ketika aku sudah mengenakan jaket, menelusuri Jl. Pahlawan, dan pada petang hari mendengar suara adzan mesjid, perjalanan yang belum lama kulakukan dan tempat-tempat yang pernah kukunjungi kehilangan segala pesonanya. Sedikit demi sedikit aku pun tenggelam dalam kehidupan kota Sengkang; dengan lahap aku habiskan dua koran sehari. Aku sudah hendak pergi ke pinggir sungai Walennae, Clasic Disc, undangan Akiqah, dan aku merasa tersanjung melihat rumahku didatangi oleh sahabat-sahabat lama, dan di Clasic aku bermain kartu dengan para penganggur.

Lewat sekitar sebulan, terasa olehku hari-hari yang masih terselimut kabut kenangan, dan hanya sesekali nongol dalam mimpi dengan senyum menyentuh, seperti mimpi-mimpi yang lain. Tapi lewat daripada sebulan datanglah musim hujan menggigit, dan di dalam kenangan segalanya tampak terang, seakan baru kemarin aku berpisah dengan hari-hari itu. Kenangan itu menyala terus makin lama makin hebat. Apakah di tengah keheningan malam terdengar suara keponakan-keponakanku yang sedang mempersiapkan pelajaran, apakah terdengar olehku lagu nostalgia atau bunyi mesin dari bawah rumah, atau dengungan angin hujan di atap rumah, kembali tiba-tiba aku hidup dalam kenangan tentang segalanya: apa yang terjadi di sekolah, pagi hari berkabut di Pattirosompe bersama saudaraku tercinta, becak pengangkut yang datang dari pasar Sentral. Lama aku berjalan mondar-mandir di kamarku, mengingat, dan tersenyum, dan kemudian ingatanku berubah menjadi kenangan, dan apa yang sudah berlalu dalam angan-angan itu pun bercampur dengan yang akan datang.

Kenangan-kenangan itu bukannya terlihat olehku dalam mimpi, tapi mengikutiku ke mana-mana seperti bayangan, dan menghantuiku. Dengan mata terkatup aku dapat melihat hari-hari itu sebagaimana adanya, dan tampak lebih indah, lebih muda, lebih mesra daripada waktu itu; dan aku sendiri pun merasa lebih baik daripada waktu itu. Saban malam kenangan itu memandangku dari lemari pakaian, dari rak-rak buku, dari langit-langit kamar, dan aku mendengar senandungnya, gemerisik mesra suaranya. Di Makassar, dengan perasaanku aku mengikuti hari, mencari, tidak adakah di antara hari-hari ini yang mirip hari itu... Bahkan aku sudah tenggelam dalam hasrat kuat untuk berbagi kenangan dengan seseorang. Namun di kost tidak mungkin aku bicara tentang cerianya, sedang di luar kost, tidak ada orang lain. Tidak mungkin hal itu dibicarakan dengan tetangga, tidak juga di kampus. Dan lagi, apa yang harus dibicarakan? Apakah memang ada sesuatu yang indah, puitis, atau edukatif, ataukah itu sekedar hal yang menarik, dalam hubungan dengan kenangan?

Maybe next year will be better than the last. - dream blog -