Sabtu, 18 Agustus 2007

Sang Pemburu

Baca sebelumnya: Sang Pemburu (Prolog)

Nafasnya tersengal-sengal, jantungnya berdegup hebat. Rasa lelah mulai menjalari pikirannya. Ingin rasanya ia segera tiba dan terlelap di pembaringan yang hangat. Ah, aku harus bergegas, ia bergumam. Sebentar lagi hari akan gelap. Ia memacu langkahnya. Matahari telah tersangkut di pepohonan, cahayanya menerobos menembus sela-sela dedaunan. Sementara itu kabut mulai turun, udara dingin menyeruak ke paru-parunya, menekan selaput hidung dan tenggorokannya hingga terasa perih. Sesekali giginya gemeletukan tanpa diinginkannya namun ia telah terbiasa, ia tetap berjalan bahkan semakin cepat. Keinginannya untuk segera berdiang di depan api hampir tak tertahankan lagi.


Jalan setapak yang dilaluinya mulai menanjak, langkahnya melambat bahkan semakin lambat saja. “Aku harus segera tiba di puncak tanjakan ini.” Begitu pikirnya. Dipindahkannya tungkai pemikul ke bahu sebelah kirinya, lalu setelah beberapa langkah dipindahkannya lagi ke bahu kanannya. Ketika tinggal beberapa langkah lagi ia segera tiba di puncak, bebannya dihempaskannya ke tanah. Tubuhnya di rebahkannya, bersandar ke sebatang pohon. Ia kembali mengatur nafas. Menghirup udara kuat-kuat, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Hal itu dilakukannya beberapa kali. Matahari sudah hilang tetapi semburat cahayanya masih menghiasi langit di sebelah barat.

Selang beberapa saat, anjing-anjingnya, yang beberapa hari ini menyertainya muncul dari semak-semak. Mereka juga nampak kelelahan, namun tetap lincah dan awas. Ekornya dikibas-kibaskan, lidahnya menjulur-julur. Anjing-anjing itu menghampiri dan menggosok-gosokkan badannya ke kaki tuannya dengan akrab. Dari puncak bukit itu, ia memalingkan pandangannya kearah selatan. Dari kejauhan, kelap-kelip seperti cahaya mulai terlihat, rumah-rumah terlihat samar dan tampak kecil. Kampungnya sudah cukup dekat dan tak beberapa lama lagi ia sampai.

Ia duduk sejenak, bebannya diletakkannya di samping. Tombak yang dijadikannya tungkai pemikul dipancangkannya ke tanah. Dipandanginya barang pikulannya; beberapa kerat sarang madu, seekor babi jantan tambun dan seekor anoa. Ia menghela nafas, lalu tersenyum puas. Isteriku musti bangga bersuamikan aku, anakku musti merengek minta diceriterakan bagaimana aku menaklukkan kedua binatang hebat ini. Semua itu terlintas dalam pikirannya, ia menghela napas lagi.

Dipandanginya kepala Anoa yang legam itu, tanduk runcingnya hampir saja mengambil nyawanya. Ia bergidik membayangkan pergulatannya dengan binatang lincah itu. Binatang yang tetap beringas meski tengah sekarat. Tetapi ia kemudian tersenyum bangga, Anoa adalah gambaran dari kehandalan seorang pemburu. Selain binatang itu sulit ditaklukkan, larinya juga sangat kencang dan hanya keberuntunganlah yang membuatnya dapat disentuh. Ia teringat saat pagi tadi, hari masih gelap dan ia masih terlelap kemudian terbangun oleh riuh suara anjing-anjingnya. Secepat kilat ia segera menyambar senjatanya dan berlari ke arah datangnya suara.

Di sebuah ceruk tebing, ia melihat anjing-anjingnya sedang bergumul dengan seekor binatang berwarna hitam. Anjing-anjingnya terpental ke kiri dan ke kanan, tapi gigi-gigi mereka mencengkeram kuat kulit binatang itu. Setelah sangat dekat dan dirasanya bahwa lemparan tombaknya tak akan meleset lagi, dilepaskanlah tombaknya ke arah jantung binatang itu dengan sekuat tenaga. Bret! Darah tersembur keluar dari celah-celah lubang yang dibuat oleh tombaknya diikuti jerit sang anoa. Tetapi tidak roboh, malah semakin beringas. Anjing yang masih menahannya terpental lepas dengan keras terkena tendangan kaki belakangnya.


Sang pemburu kaget bukan kepalang, anoa itu kini menghambur ke arahnya dengan tanduk yang mengacung kepadanya. Hanya refleks saja yang membuatnya membuang diri ke samping. Namun anoa itu segera berbalik dan kembali menyerang ke arahnya. Beruntunglah, saat itu ia sedang rebah ke tanah sehingga tanduk-tanduk anoa itu lewat hanya beberapa ruas jari di atas perutnya. Pada saat itulah ia menangkap tanduk sang anoa lalu menekan bagian kepala dengan memelintirnya ke tanah. Binatang itu meronta-ronta hendak melepaskan diri, tapi keseimbangannya telah hilang. Ia meronta, berputar. Sang pemburu mengikuti arah gerakannya dengan tekanan yang makin kuat. Anjing-anjingnya membantunya, menggigit, menarik pinggul dan kakinya sehingga anoa itupun jatuh ke tanah. Pada saat itulah, dengan kaki kirinya menginjak leher binatang itu, sang pemburu menarik parang di pinggangnya lalu menghunjamkannya tepat ke arah jantung. Sang anoa merejan, mengejang lalu meregang nyawa karena kehabisan darah.

Sementara babi itupun didapatkannya tidak dengan mudah. Kejadiannya kemarin siang, ketika Ia baru saja mengisi perut dengan bekal terakhirnya. Sebenarnya ia telah putus asa karena belum mendapatkan satu ekor binatang pun. Ia berencana untuk segera pulang saja sebab perburuannya kali ini tidak seperti biasanya. Saat beristirahat, rasa sakit yang amat sangat dari balik punggungnya mengagetkannya. Diamatinya keadaan sekelilingnya dan… Ai! Seekor lebah. Teringatlah olehnya, semalam cuaca terang benderang oleh cahaya bulan purnama. Itu pertanda kalau madu setiap sarang sedang melimpah. Ia mendongakkan kepalanya ke cabang-cabang pohon, menoleh ke kiri dan ke kanan. Tetapi tidak didapatkannya jua yang dicarinya.

Ia lalu berjalan membentuk lingkaran, semakin lama semakin besar lingkaran itu dan semakin jauh ia dari tempatnya semula. Tak lama kemudian, samar-samar telinganya menangkap suara dengungan. Ia mencari asal suara itu, berjalan ke arahnya. Semakin lama, suara dengungan itu semakin banyak dan keras lalu terlihatlah olehnya bonggol besar berwarna hitam menggantung pada cabang sebuah pohon. Ia tersenyum senang. Tak ada binatang, madu juga tidak apa-apa, katanya dalam hati. Ia lalu mulai mengumpulkan ranting-ranting kering dan dedaunan, ditumpuknya tepat dibawah sarang lebah-lebah itu. Tak lupa, dikumpulkannya juga daun-daun yang masih segar bersama ranting-rantingnya. Semua itu ditumpuknya menjadi satu.

Ketika ia hendak mengeluarkan batu api dari kantung kulit di pinggangnya, tiba-tiba terdengar olehnya riuh gonggongan anjing-anjingnya. Ia berhenti sejenak, lalu suara-suara itupun terdengar semakin jelas. Ia berjalan lagi, kemudian tampaklah olehnya di tanah, jejak-jejak baru babi hutan. Hm, ternyata kalian berkumpul di sini. Ia bergumam. Ia mulai berlari dengan tombak di tangannya. Parang yang tergantung di pinggangnya berayun-ayun, semak dan belukar tak lagi diperdulikannya. Duri-duri rotan merobek kulitnya, ia tetap tak perduli. Perhatiannya hanya tertuju pada suara anjing-anjingnya.

Semakin lama ia semakin dekat dengan kegaduhan itu, lalu dilihatnya ketiga anjingnya sedang bergulat dengan seekor babi yang besar. Seekor anjingnya mencengkeram leher, sementara dua ekor yang lainnya menggigit kaki dan pinggulnya. Anjing yang mencengkeram leher sang babi mulai kewalahan, kaki belakangnya terlihat sobek. Darah mengalir dari lukanya. Sang pemburu muncul dan mengayunkan tombak ke arah rusuk depan babi itu. Darah mengucur, Ia tidak melepaskan tombaknya tetapi sebaliknya di tekannya. Karena kaget, babi itu meliuk kearah sang pemburu tetapi ia melompat dengan tombak sebagai tolakan. Karena tekanan yang keras, babi itu pun ambruk ke tanah. Tombak menembus badan babi itu dan tertancap ke tanah. Hanya sesaat saja, babi itu lemas dan mati.

Ia memanggil anjingnya dan memeriksanya satu per satu lalu mencari dedaunan obat luka, dikunyahnya dan ditempelkannya pada luka-luka anjingnya. Setelah mengurus anjing-anjingnya, binatang buruannya itu dibereskannya. Bagian terbaik dari daging diirisnya lalu diberikannya kepada mereka satu-satu sebagai hadiah. Setelah itu, ia kembali ke tempatnya mengumpulkan dedaunan tadinya. Sejenak ia tak melakukan apa-apa, kemudian mengambil rotan-rotan kecil yang bertebaran di sekitarnya sebagai tali lalu diikatnya anjing-anjingnya pada sebatang pohon. Anjing-anjing itu dipagarinya dengan ranting lalu ditutupinya lagi dengan daun-daun yang lebar. Setelah dirasanya semua siap, Ia mulai menyalakan api pada tumpukan itu. Ditambahkannya daun-daun yang masih segar, maka asap putih pekat pun membubung menyapu semua yang berada di atasnya. Lebah-lebah berhamburan, panik dan terbang kian kemari mencari sasaran. Sang pemburu merapat ke nyala api sambil terus menambahkan daun-daunan dan ranting. Setelah dirasanya aman, ia mengeluarkan daun-daun basah yang belum terbakar itu sehingga hanya lidah-lidah api saja yang tersisa. Sang pemburu mendongak ke sarang itu dan amboi… sarang yang tadinya berwarna hitam kelam kini hanya berwarna putih kekuningan saja. Kantung kulit bekas wadah bekalnya disiapkannya, kemudian mulai memanjat lalu mengiris sarang itu dengan hati-hati lalu memasukkannya ke kantung kulitnya. Pada saat itu, hari benar-benar telah gelap. Sang pemburu memutuskan untuk menginap saja di tempat itu. Diambilnya segenggam madu, dimasukkannya ke mulutnya beserta sarangnya dengan lahap. Benar-benar nikmat, itulah makan malamnya. Ia kembali mengambil beberapa batang kayu kering, lalu membuat perapian.

.......................

Ia benar-benar bangga mengingat semua itu, nyeri luka dari kaki dan tangannya akibat duri dan belukar ataupun lebam dan memar di badannya akibat bergumul dengan binatang-binatang buruannya tak pernah dirasakannya. Baginya, semua itu adalah hiasan kelaki-lakiannya.

Wuaaah…ia mulai menguap, ia kembali berdiri lalu mulai berjalan lagi. Kali ini ia menuruni bukit itu, anjing-anjingnya mendahuluinya. Salah satu anjingnya yang terluka oleh taring babi di bagian pahanya tidak mengikuti anjing yang lain berlari tetapi berjalan beriringan dengan sang pemburu. Dalam malam yang mulai gelap itu, sesekali kaki sang pemburu terantuk atau juga terhalang oleh anjingnya. Tetapi kini ia berjalan semakin cepat dari sebelumnya bahkan dengan berlari-lari. Jalanan yang dilaluinya memang bukan lagi tanjakan. Barang-barang bawaannya; daging dan madu yang dipikulnya berayun dan bergoyang seolah menari seirama dengan hatinya yang selalu ceria. Cuaca dingin yang dibawa gelap malam tak dirasakannya, tubuhnya kembali berkeringat sementara kerlap kerlip cahaya dari rumah-rumah yang kini jadi panduannya semakin lama semakin jelas dan terang, semakin besar dan semakin dekat.

Bersambung ke Sang Pemburu (Epilog) - dream blog -