Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Desember 2007

Sang Pemburu (Epilog)

Baca dulu: Sang Pemburu (Prolog), dan Sang Pemburu

Matahari bersinar cerah, menerpa dedaunan. Butir-butir embun berkilau bagai mutiara. Ia perhiasan pagi. Seekor pipit terbang sendiri, celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan. Tidak tenang, hinggap pada sebuah ranting semak. Sesekali berkicau, tetapi bukan bernyanyi; seperti memanggil-manggil. Tak lama setelahnya, serombongan pipit lain menghampirinya lalu keadaanpun menjadi ramai dalam kicau, riang dan gembira. Lompat ke sana kemari, dari ranting yang satu ke ranting yang lain. Tak lama, rombongan itupun terbang bersamaan ke arah datangnya rombongan itu.

Di bawah mereka, air berarak tak sabar. Dorong mendorong, sesekali buih tumbuh dari riaknya lalu lenyap dalam desau. Suara-suara pipit juga tertelan olehnya tetapi tak lama dan lama kelamaan nyanyian mereka terdengar dengan lebih jelas. Mereka terbang semakin jauh, garis-garis membentuk kotak mulai tampak di bawahnya. Semakin dekat, kotak-kotak itu semakin hilang digantikan dengan hamparan hijau kekuningan. Rombongan itu terbang rendah lalu hinggap dan menyatu dalam hamparan. Mereka berpesta dengan lagu-lagu riang yang tanpa akhir. Tapi pesta itu tak berlangsung lama, sebuah suara teriakan yang keras merusak pesta. Para pipit seketika kacau balau, melesat ke langit membelah awan.

"Hush! Hush!" seorang petani terlihat gusar, ia tak rela padi-padiannya dipanen para pipit sebelum dirinya. Besok baru padi-padi ini dipanen, setelah itu kalian baru boleh mengambil bagian. Petani itu menggumam sendiri. Para pipit yang terserak panggil memanggil dan kembali menyatu sebagai kawanan di angkasa biru lalu menukik dan hinggap pada sebuah pohon. Suasana mereka riuh seolah sedang saling bercerita kepanikan masing-masing.

Sementara itu, di hamparan yang lain segerombolan orang sedang larut dalam hiruk pikuk musim panen. Menuai bulir-bulir dan mengumpulkannya jadi satu. Harum aroma jerami menusuk semangat dan harapan mereka. Anak-anak tak mau ketinggalan dalam keriangan; berkejaran di pematang, meniup bunyi-bunyian dari batang jerami, mengumpulkan bulir-bulir yang tercecer, bermain-main dengan kerbau yang sedang memakan jerami.

Di sudut hamparan yang lainnya, seorang anak kecil sedang berkejaran dengan dua ekor anjing berwarna putih dan hitam di atas pematang. Anak itu juga masih belia. Sepertinya sedang bermain-main dengan riang, tetapi juga berteriak-teriak "Hush! Hush!" kemudian kembali lagi ke sebuah rumah sawah tak berdinding di tengah hamparan itu. Ia bertelanjang dada. Pada pinggulnya melilit pewo, celana yang terbuat dari kulit kayu.

Ketika tiba di pondok, ia berseru-seru "Ibu!, ibu!...kami sudah lelah, lapar!". Seorang perempuan muda lalu terlihat menuruni tangga, membasuh kaki dan tangan anak kecil itu. "Naiklah, biar ibu yang menghalau burung-burung itu." Katanya sambil mengangkat anaknya "Makan yang banyak, supaya kamu cepat besar." Ujarnya lagi sambil menyuapi anaknya. Setelah anak itu selesai makan, sang ibu melanjutkan pekerjaannya. Rupanya ia sedang merajut daun pandan dan rotan. Bermacam-macam yang sudah dirajutnya; bakul, topi lebar, tikar.

Menjelang sore, mereka baru kembali ke rumah, sang anak memberi makan ayam-ayam sedangkan ibunya membersihkan diri di pancuran lalu duduk-duduk di beranda menikmati senja.

Sang anak berdiam di depan lalikan, mempermainkan ranting kayu yang sedang terbakar. Sesekali kepalanya menoleh ke arah pintu. Ia seperti sedang kesal, hatinya galau. Anak anjingnya melolong-lolong, seperti sedang menangis. Mungkin mereka sedang merindukan induknya seperti ia sedang menantikan ayahnya. Ibunya membawakan anak-anak anjing itu air nasi yang dicampurnya dengan kaldu daging, anak-anak anjing itupun berhenti melolong. Tetapi wajah sang anak tetap murung.

Sementara itu, ibunya yang sedang sibuk memasak makan malam sebenarnya juga sedang gelisah. Bukan baru sekali ini, melainkan setiap kali suaminya pergi berburu. Terlalu banyak yang mulai ditakutkannya; dirinya dan anaknya, suaminya. Ia sesengukan. Tetapi karena tak mau anaknya mengetahui kegundahannya, buru-buru ia menarik nafas lalu menghembuskannya keras-keras seolah sedang batuk. Ia menoleh pada anaknya lalu kaget karena ternyata anaknya sedang memperhatikannya, mereka saling bertatapan. Ia kikuk, tak sepatah katapun mampu diucapkannya untuk mengalihkan suasana. Sang anak mendekati dan merangkul Ibunya, mereka pun larutlah dalam satu perasaan tanpa kata-kata.

Setelah suasana hatinya agak tenang, sang Ibu pun bertanya "Kamu sudah lapar?" Sang anak hanya menggeleng. Ibunya kembali terdiam, ia tahu benar perasaan anaknya. Meski masih kecil, ia telah mampu memikirkan hal-hal yang dekat dengan dirinya, mengidentikkan perasaannya dengan perasaan mereka, menganggap mereka itu bagian dari dirinya. Tak perduli itu binatang, tumbuhan maupun kawan-kawan sebayanya.

Ia teringat, pernah suatu kali seorang kawannya dicubit sampai menangis oleh Ibunya karena tidak menggembalakan kerbaunya. Anaknya marah dan berteriak-teriak meminta agar telinga temannya dilepaskan. Apalagi dengan anak-anak anjingnya?  Memikirkan semua itu, hatinya kembali tenang, kesedihannya berganti pikiran-pikiran tentang akan seperti apa anaknya kelak.

Sang anak sebenarnya telah tertidur di bahu Ibunya ketika tiba-tiba riuh rendah anjing-anjingnya mengagetkannya. Dengan sigap, Ia berlari kearah pintu. "Ibu! Bapak pulang! Bapak pulang!" serunya kegirangan meski ayahnya belum muncul dan baru anjing-anjingnya yang tiba mendahuluinya. Bagi mereka, hal itu adalah pertanda kalau Sang Pemburu sudah pulang. Tak lama kemudian, ayahnya telah terlihat di tangga.

"Panggil ibumu, bantu bapak." Kata ayahnya kepadanya, tetapi yang diperintah malah berlari ke kolong rumah. "Kekasihku!, bantu saya mengangkat barang-barang ini!" serunya memanggil isterinya.

Malam itu, sebuah keluarga kembali berkumpul. Semua kekuatiran seolah luruh seketika. Larut dalam malam kebahagiaan. Berbumbu madu beraroma harum daging diselingi cerita Sang Pemburu kepada keluarganya, disambut kekaguman dan rasa bangga anak dan isteri.

-----

Selalu begitu, begitu selalu. Meski begitu, siapa yang bisa meluruhkan kegundahan? walau kekuatiran mereka polos dan sederhana saja, tidakkah itu pertanda? Bahkan binatang ternak memiliki naluri yang sama. Dan Sang Pemburu? Ia pun hidup dalam bayang-bayang kebetulan, tak lebih. Ia hanya bisa meraba-raba bahasa alamnya.

Ketika rembulan tampak sebagai sabit, separuh atau bak penampih sang dewata, ia menunjukkan pesannya sendiri. Angin gemunung membawa wanginya sendiri, tergantung ia berhembus dari mana. Arak-arakan awan dilangit, garangnya sang mentari, cerahnya pagi atau muramnya senja membawa pesan cuaca bagi mereka. Rangkaian bintang gemintang tampil mengabarkan pesan kapan mereka sebaiknya berburu dan kapan sebaiknya menyemai. Bahkan riak dan desau air juga adalah pesan yang lain. Kesemua itu pertanda, alam tak pernah alpa menghadirkannya.

Mereka ini pun telah maklum. Sayang, di hati anak-anak matahari itu sudah mulai tertambat jarak. Jarak yang lambat laun mulai membelah diri...

Sabtu, 17 November 2007

Ngidam (cerpen)

Sisa-sisa keramaian belum terlihat jejaknya berangkat pulang. Kekagetan retina akibat kilat kamera bahkan masih memeluk urat-urat mata. Tetapi angin dingin sudah tak sabar hendak menjadi saksi atas malam kebahagiaan sang pengantin, lewat kisi-kisi bilik yang telah disiapkan untuknya sejak awal mula sebuah rumah. Keinginannya adalah mendahului sang perjaka menghirup aroma selaput keperawanan sang dara, aroma kembang tujuh rupa. Kelenjar kencingnya seolah-olah hendak meledak oleh kedongkolan yang tak sabar melihat wajah-wajah sumringah hadirin. Tidak seperti wajah kedua mempelai yang nampak kuyu akibat kelelahan yang dipanggulnya sejak pagi.

Ketika roda-roda malam mulai merambat miring melampaui siku-siku, akhirnya keramaian itupun lenganglah sudah sebab kedua mempelai telah diarak ke rumah mempelai perempuan. Langsung ke bilik pengantin. “Nah…akhirnya tiba juga yang ku inginkan, gumam sang bayu dalam jerit dedaunan akibat terinjak olehnya di samping bilik.

Kepalanya sudah menyembul dari kisi-kisi bilik itu ketika Bahrul, sang mempelai pria, minta obat gosok ke orang rumah. Bahrul bilang isterinya pegal-pegal, sang mertua hanya manggut-manggut. Sang bayu tak setuju lalu menyenggol daun jendela, menggoyang-goyangkannya bersungut. Tak mau ia bila keindahan malam pertama ini dinodai oleh bau menyengat ramuan minyak yang menusuk hidung itu. Apa daya, ia hanyalah samun yang hendak menyambar dalam pertolongan tenggat.

Tetapi tenggat yang dinantikannya tak kunjung tiba, malah kini justeru si bahrul yang meloroti gaun pengantinnya sendiri lalu lelap dalam usapan isterinya.
“Dasar pembual!” umpatnya dari balik bilik.

Dalam waktunya yang sekarat karena dipatuk kokok ayam, ia meronta-ronta lalu mencubit daun jendela agar berteriak membangunkan si Bahrul. Tetapi usahanya sia-sia sebab yang diterimanya hanyalah dengkur. Ia tumpas dalam penantiannya, terpanggang matahari lapar.


Si Bahrul pulas, seluruh badannya basah berkilap minyak. Sementara isterinya, terbangun paksa oleh genit matahari timur yang merangsang bulir-bulir air dari kelopak-kelopak kainnya.

“Lha, Widya... Bahrul bilang badanmu pegal-pegal minta dipijat, kok gaunnya belum dicopot juga?” suara ibunya menyergap dari meja makan yang terletak di sudut lain ruang keluarga mereka. Ia hanya menjawab dengan menyodorkan botol obat gosok sambil memijat-mijat lehernya sebagai isyarat agar dipijat.
“Memangnya suami kamu tidak bisa?”
“Bisa, tapi mijit yang lain”, katanya genit.
Ibunya tersenyum, “Dasar laki-laki” katanya.
Bahrul pun bangun, kemudian langsung mandi. Wajahnya lebih segar sekarang. Sarapan sudah disediakan isterinya, tetapi ia hanya mengangkat gelas kopi. Setelah berpakaian rapi, Ia pamit hendak keluar. Kepada mertuanya yang mencegatnya dengan tanda tanya, ia cuma bilang mau ke kampus, tanpa mengharapkan reaksi reaksi apa-apa.

Pada sebuah restoran, Ia memarkirkan kendaraanya lalu berhenti dan langsung mencari sebuah meja. Seseorang sudah menunggunya.

“Pagi!” katanya.
“Bagaimana kabar isteri kamu?” sambut orang itu.
“Biasa saja.” Katanya sambil menyulut sebatang sigaret pada mulutnya, menghembuskannya kuat-kuat.
“Apa selentingan yang aku dengar itu benar?”.
“Yang mana?” bahrul balik bertanya seolah bingung.
“Yang...” katanya sambil memperagakan sebuah gerak tangan di depan perutnya, tapi Bahrul langsung menimpali:
“Yang benar itu, aku belum tidur dengannya sejak akad nikah sebab selalu ingat sama kamu” katanya sambil memencet hidung orang itu.
“Ih! Sudah punya isteri masih genit, soal kamu sudah tidur dengannya atau belum bukan urusanku.”
“Kalau begitu urusan kamu apa?”
“Jatahku!” jawabnya bengis.

Sepeninggal Bahrul suaminya, Widya tampak gelisah dan uring-uringan sebab tak ada tempat berkeluh kesah. Semua orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tak ada seorang pun yang tahu kegundahan hatinya, tak ada seorang pun yang mau memahami apa yang diinginkannya, juga ayah dan ibunya. Kalau tidak tiduran, ia mondar-mandir atau menatap kosong dari balik jendela. Hatinya memendam kuatir dari ketakpastian yang sedang menderanya. Ia pernah berpikir bahwa hanya dengan pernikahanlah maka Bahlul akan dapat ditaklukkannya. Tapi kenyataannya? Saat ini memang sudah menjadi suaminya yang sah namun bukannya semakin perduli dan sayang padanya, malah semakin liar dan acuh.
”Jalan yang kupilih inikah buntu? Ahh.. walau buntu bagaimanapun aku harus bertahan, aku tak akan pernah mau diceraikan. Sudah kepalang basah sejak mula, Bahrul harus tetap bertanggung jawab. Tanggungannya tak akan terlepas oleh apapun.” gumamnya.

Menjelang sore hari Bahrul baru pulang, bersiul-siul ceria dan lebih cerah yang disambut mata merah dan sembab isterinya.

“Dari mana saja kamu seharian?” Isterinya bertanya dengan nada kesal.
Bahrul tak mengacuhkannya dengan gumam sebuah lagu yang sedang hits.
“Kamu pasti dari menemui perempuan itu.” isterinya mulai menangis.
“Memang kenapa kalau aku menemui dia, hah? Kan, sebelum kita nikah aku sudah bilang kalau aku tidak mencintai kamu dan karena itu sebaiknya kita putus saja. Tetapi kamu malah mau mati kalau aku tidak bertanggung jawab dengan segera menikahi kamu.” damprat Bahrul.
”Kalau begitu, sekarang akupun akan mati!” isterinya mengancam.
”hah?”Bahrul kaget mendengar ancaman itu, ancaman yang sama yang membuatnya kehabisan akal dan membuatnya takluk oleh perempuan itu. Beberapa hari selanjutnya Ia tak kemanapun, giliran Bahrul yang uring-uringan dan tampak lesu, kuyu seperti kehabisan tenaga.
Tiga hari kemudian, Widya muntah-muntah. Tetapi Bahrul terlihat santai saja, hanya keluarga isterinya yang terlihat sibuk. Mertuanya bilang mungkin cuma masuk angin saja karena terlalu sering mandi. Tapi sudah seharian mual-mual saja kerjanya dan belum makan apapun. Segala macam obat masuk angin sudah diberikan tapi hasilnya nihil.

Orang rumah yang selalu sibuk dengan kegiatannya masing-masing mulai kuatir melihat keadaan Widya pada suatu Minggu pagi. pada hari itu, Mertua si bahrul bangun lebih pagi dan menunggu saat-saat keluarnya Bahrul dari kamarnya. Hanya beberapa saat, yang ditunggu sudah keluar dengan tampang yang lebih parlente dari biasanya.
“Bagaimana tesis kamu?”.
“Eh, Ayah! Anu, sudah beberapa hari saya urus tapi belum kelar-kelar, maklum, dosen pembimbing saya sedang sibuk proyek” Bahrul menjawab gagap.
“Ada baiknya isteri kamu diperiksakan ke dokter, sudah beberapa hari saya amati ia tersiksa.” Bahrul ingin membantah, Tapi lidahnya kelu. Ia merasa ditegur lalu buru-buru ke kamarnya lagi tanpa sepatah kata pun.
“Ayahmu mau kita ke dokter, bersiap-siaplah! Saya masih punya banyak urusan.” katanya pada isterinya dengan kasar.
Dengan sempoyongan, isterinya bangkit dari pembaringan dan berhias seadanya lalu menyandang tas tangannya. mereka berangkat. Pada waktu tengah hari yaitu sekembalinya dari dokter dengan membawa jambu keprok yang dibelinya, Bahrul yang telah berada pada puncak kedongkolannya akhirnya kambuh dengan kebiasaan lamanya, hanya saja waktunya paling-paling dua sampai tiga jam. Sudah lima hari kejadian yang sama sepertinya hanya terulang saja, sedangkan ’masuk angin’ isterinya kadang berhenti kadang kambuh.

Pada suatu hari bahrul pulang membawa sekeranjang mangga muda.
“Pesanan isterimu ?” Tanya mertuanya yang menyambutnya dengan wajah sumringah.
Bahrul hanya mengangguk karena disergap gugup.
“Tidak usah gugup, santai saja. Mengetahui kita akan menjadi ayah untuk pertama kalinya memang mendebarkan, tapi itu hal yang wajar saja.”
Bahrul mengangguk lagi seolah membenarkan lalu segera berlalu ke kamar dengan pisau dapur
“Loh,…jambu keprok saya mana?” Sergah isterinya.
Bahrul keluar lagi, hendak mencari yang diminta isterinya, beberapa saat kemudian Ia kembali dengan sekeranjang jambu keprok.
Di hari lain masih dalam bulan itu, Bahrul tetap larut dalam kebiasaan ‘keluar beberapa jamnya,’ sementara kian hari tubuh isterinya kian tipis sebab tiap hari makan hati, dimulai sejak malam pertama resepsi pernikahan mereka. Bayang-bayang kelesuan dan kelelahan pada hari yang melelahkan itu seolah belum hilang juga hingga saat ini entah sampai kapan.
“Kamu suka betul makan mangga, Kira-kira seperti apa nantinya cucu saya ya?” Kata ibunya pada suatu hari ketika melihat mangga di keranjang tinggal tiga biji. Mendengar itu, isteri bahrul mengerutkan dahi tak mengerti.
“Cucu ?”
“Ya, cucu. Kamukan sedang hamil toh ?”
Isteri bahrul makin mengerutkan dahinya tak mengerti, ia menggeleng.
“Ya ampun, saya makan jambu keprok itu karena kawan saya bilang kandungannya ada yang mirip zat pada tomat, bisa menetralisir asam lambung. Tempo hari dokter bilang saya menderita maag kronis.”
“Maag kronis kok makan mangga muda banyak begitu ?” Ibunya ganti bingung.
“Mangga muda itu, bukan aku yang makan, tapi suamiku”
“Lho? Jadi kamu tidak hamil? Benar? Kalau begitu, apa yang terjadi dengan Bahrul?” Ibunya masih tidak percaya. Wajah yang sumringah hendak menimang cucu sudah sirna ganti kecewa.

Lewat magrib, Bahrul pulang menenteng mangga muda dan langsung ke kamar, disambut oleh amarah dan tangis histeris isterinya. Ribut-ribut dan cek-cok terjadi semalaman. Pagi-pagi betul, tatkala belum satupun orang rumah yang terjaga Bahrul keluar tergesa sehingga mertuanya tak sempat menyapanya. Pada sore harinya, Bahrul tak pulang. Juga ketika hari telah pagi kembali.

Pagi itu, Isteri bahrul mengunci diri di kamar dan tak pernah keluar lagi, sesekali mengerang-ngerang lalu suaranya hilang. Pada pukul 08:00 rumah lengang, orang rumah berangkat kerja, tinggal pembantu saja yang berada di rumah. Pukul 13:00, pembantu rumah menggedor-gedor kamar isteri Bahrul untuk makan siang tapi tak ada jawaban, ia mengintip dari celah daun jendela dan melihat isteri bahrul tengah tertidur. Pukul 16:00, mertua Bahrul laki dan perempuan pulang dari kantor, gelisah karena anaknya masih mengunci diri dan pembantu bilang belum makan apapun. Pukul 18:00 Mertua si bahrul menggedor-gedor pintu, tetapi sia-sia. Akhirnya, diputuskanlah untuk membuka pintu secara paksa. Mertua si bahrul meraung histeris menyaksikan anaknya terlentang di pembaringan, urat nadinya putus. pembantu rumah menghubungi pak RT. Sesaat kemudian, polisi tiba. Begitulah kesaksian pembantu rumah tangga dalam kesaksiannya kepada polisi yang memeriksanya.

Hasil visum dokter menyatakan kalau Isteri bahrul meninggal karena kehabisan darah, dipastikan bunuh diri. Dalam rahim korban juga ditemukan janin yang sedang tumbuh, usianya sebulan lebih. Mertua bahrul protes sebab dokter yang pernah memeriksa anaknya cuma mendiagnosis maag kronis. Sang dokterpun diperiksa, ternyata ada persekongkolan antara sang dokter dengan Bahrul maka keduanya ditahan. Sementara mereka ditahan, Bahrul meminta dibelikan mangga muda. Empat bulan kemudian kasus mereka disidangkan. Si Dokter dihadirkan sebagai saksi pada pengadilan dengan Bahrul sebagai terdakwanya, demikian juga sebaliknya. Dalam persidangan, terlihat perut sang dokter buncit sedangkan Bahrul tak tahan ingin makan mangga muda.

Sabtu, 18 Agustus 2007

Sang Pemburu

Baca sebelumnya: Sang Pemburu (Prolog)

Nafasnya tersengal-sengal, jantungnya berdegup hebat. Rasa lelah mulai menjalari pikirannya. Ingin rasanya ia segera tiba dan terlelap di pembaringan yang hangat. Ah, aku harus bergegas, ia bergumam. Sebentar lagi hari akan gelap. Ia memacu langkahnya. Matahari telah tersangkut di pepohonan, cahayanya menerobos menembus sela-sela dedaunan. Sementara itu kabut mulai turun, udara dingin menyeruak ke paru-parunya, menekan selaput hidung dan tenggorokannya hingga terasa perih. Sesekali giginya gemeletukan tanpa diinginkannya namun ia telah terbiasa, ia tetap berjalan bahkan semakin cepat. Keinginannya untuk segera berdiang di depan api hampir tak tertahankan lagi.


Jalan setapak yang dilaluinya mulai menanjak, langkahnya melambat bahkan semakin lambat saja. “Aku harus segera tiba di puncak tanjakan ini.” Begitu pikirnya. Dipindahkannya tungkai pemikul ke bahu sebelah kirinya, lalu setelah beberapa langkah dipindahkannya lagi ke bahu kanannya. Ketika tinggal beberapa langkah lagi ia segera tiba di puncak, bebannya dihempaskannya ke tanah. Tubuhnya di rebahkannya, bersandar ke sebatang pohon. Ia kembali mengatur nafas. Menghirup udara kuat-kuat, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Hal itu dilakukannya beberapa kali. Matahari sudah hilang tetapi semburat cahayanya masih menghiasi langit di sebelah barat.

Selang beberapa saat, anjing-anjingnya, yang beberapa hari ini menyertainya muncul dari semak-semak. Mereka juga nampak kelelahan, namun tetap lincah dan awas. Ekornya dikibas-kibaskan, lidahnya menjulur-julur. Anjing-anjing itu menghampiri dan menggosok-gosokkan badannya ke kaki tuannya dengan akrab. Dari puncak bukit itu, ia memalingkan pandangannya kearah selatan. Dari kejauhan, kelap-kelip seperti cahaya mulai terlihat, rumah-rumah terlihat samar dan tampak kecil. Kampungnya sudah cukup dekat dan tak beberapa lama lagi ia sampai.

Ia duduk sejenak, bebannya diletakkannya di samping. Tombak yang dijadikannya tungkai pemikul dipancangkannya ke tanah. Dipandanginya barang pikulannya; beberapa kerat sarang madu, seekor babi jantan tambun dan seekor anoa. Ia menghela nafas, lalu tersenyum puas. Isteriku musti bangga bersuamikan aku, anakku musti merengek minta diceriterakan bagaimana aku menaklukkan kedua binatang hebat ini. Semua itu terlintas dalam pikirannya, ia menghela napas lagi.

Dipandanginya kepala Anoa yang legam itu, tanduk runcingnya hampir saja mengambil nyawanya. Ia bergidik membayangkan pergulatannya dengan binatang lincah itu. Binatang yang tetap beringas meski tengah sekarat. Tetapi ia kemudian tersenyum bangga, Anoa adalah gambaran dari kehandalan seorang pemburu. Selain binatang itu sulit ditaklukkan, larinya juga sangat kencang dan hanya keberuntunganlah yang membuatnya dapat disentuh. Ia teringat saat pagi tadi, hari masih gelap dan ia masih terlelap kemudian terbangun oleh riuh suara anjing-anjingnya. Secepat kilat ia segera menyambar senjatanya dan berlari ke arah datangnya suara.

Di sebuah ceruk tebing, ia melihat anjing-anjingnya sedang bergumul dengan seekor binatang berwarna hitam. Anjing-anjingnya terpental ke kiri dan ke kanan, tapi gigi-gigi mereka mencengkeram kuat kulit binatang itu. Setelah sangat dekat dan dirasanya bahwa lemparan tombaknya tak akan meleset lagi, dilepaskanlah tombaknya ke arah jantung binatang itu dengan sekuat tenaga. Bret! Darah tersembur keluar dari celah-celah lubang yang dibuat oleh tombaknya diikuti jerit sang anoa. Tetapi tidak roboh, malah semakin beringas. Anjing yang masih menahannya terpental lepas dengan keras terkena tendangan kaki belakangnya.


Sang pemburu kaget bukan kepalang, anoa itu kini menghambur ke arahnya dengan tanduk yang mengacung kepadanya. Hanya refleks saja yang membuatnya membuang diri ke samping. Namun anoa itu segera berbalik dan kembali menyerang ke arahnya. Beruntunglah, saat itu ia sedang rebah ke tanah sehingga tanduk-tanduk anoa itu lewat hanya beberapa ruas jari di atas perutnya. Pada saat itulah ia menangkap tanduk sang anoa lalu menekan bagian kepala dengan memelintirnya ke tanah. Binatang itu meronta-ronta hendak melepaskan diri, tapi keseimbangannya telah hilang. Ia meronta, berputar. Sang pemburu mengikuti arah gerakannya dengan tekanan yang makin kuat. Anjing-anjingnya membantunya, menggigit, menarik pinggul dan kakinya sehingga anoa itupun jatuh ke tanah. Pada saat itulah, dengan kaki kirinya menginjak leher binatang itu, sang pemburu menarik parang di pinggangnya lalu menghunjamkannya tepat ke arah jantung. Sang anoa merejan, mengejang lalu meregang nyawa karena kehabisan darah.

Sementara babi itupun didapatkannya tidak dengan mudah. Kejadiannya kemarin siang, ketika Ia baru saja mengisi perut dengan bekal terakhirnya. Sebenarnya ia telah putus asa karena belum mendapatkan satu ekor binatang pun. Ia berencana untuk segera pulang saja sebab perburuannya kali ini tidak seperti biasanya. Saat beristirahat, rasa sakit yang amat sangat dari balik punggungnya mengagetkannya. Diamatinya keadaan sekelilingnya dan… Ai! Seekor lebah. Teringatlah olehnya, semalam cuaca terang benderang oleh cahaya bulan purnama. Itu pertanda kalau madu setiap sarang sedang melimpah. Ia mendongakkan kepalanya ke cabang-cabang pohon, menoleh ke kiri dan ke kanan. Tetapi tidak didapatkannya jua yang dicarinya.

Ia lalu berjalan membentuk lingkaran, semakin lama semakin besar lingkaran itu dan semakin jauh ia dari tempatnya semula. Tak lama kemudian, samar-samar telinganya menangkap suara dengungan. Ia mencari asal suara itu, berjalan ke arahnya. Semakin lama, suara dengungan itu semakin banyak dan keras lalu terlihatlah olehnya bonggol besar berwarna hitam menggantung pada cabang sebuah pohon. Ia tersenyum senang. Tak ada binatang, madu juga tidak apa-apa, katanya dalam hati. Ia lalu mulai mengumpulkan ranting-ranting kering dan dedaunan, ditumpuknya tepat dibawah sarang lebah-lebah itu. Tak lupa, dikumpulkannya juga daun-daun yang masih segar bersama ranting-rantingnya. Semua itu ditumpuknya menjadi satu.

Ketika ia hendak mengeluarkan batu api dari kantung kulit di pinggangnya, tiba-tiba terdengar olehnya riuh gonggongan anjing-anjingnya. Ia berhenti sejenak, lalu suara-suara itupun terdengar semakin jelas. Ia berjalan lagi, kemudian tampaklah olehnya di tanah, jejak-jejak baru babi hutan. Hm, ternyata kalian berkumpul di sini. Ia bergumam. Ia mulai berlari dengan tombak di tangannya. Parang yang tergantung di pinggangnya berayun-ayun, semak dan belukar tak lagi diperdulikannya. Duri-duri rotan merobek kulitnya, ia tetap tak perduli. Perhatiannya hanya tertuju pada suara anjing-anjingnya.

Semakin lama ia semakin dekat dengan kegaduhan itu, lalu dilihatnya ketiga anjingnya sedang bergulat dengan seekor babi yang besar. Seekor anjingnya mencengkeram leher, sementara dua ekor yang lainnya menggigit kaki dan pinggulnya. Anjing yang mencengkeram leher sang babi mulai kewalahan, kaki belakangnya terlihat sobek. Darah mengalir dari lukanya. Sang pemburu muncul dan mengayunkan tombak ke arah rusuk depan babi itu. Darah mengucur, Ia tidak melepaskan tombaknya tetapi sebaliknya di tekannya. Karena kaget, babi itu meliuk kearah sang pemburu tetapi ia melompat dengan tombak sebagai tolakan. Karena tekanan yang keras, babi itu pun ambruk ke tanah. Tombak menembus badan babi itu dan tertancap ke tanah. Hanya sesaat saja, babi itu lemas dan mati.

Ia memanggil anjingnya dan memeriksanya satu per satu lalu mencari dedaunan obat luka, dikunyahnya dan ditempelkannya pada luka-luka anjingnya. Setelah mengurus anjing-anjingnya, binatang buruannya itu dibereskannya. Bagian terbaik dari daging diirisnya lalu diberikannya kepada mereka satu-satu sebagai hadiah. Setelah itu, ia kembali ke tempatnya mengumpulkan dedaunan tadinya. Sejenak ia tak melakukan apa-apa, kemudian mengambil rotan-rotan kecil yang bertebaran di sekitarnya sebagai tali lalu diikatnya anjing-anjingnya pada sebatang pohon. Anjing-anjing itu dipagarinya dengan ranting lalu ditutupinya lagi dengan daun-daun yang lebar. Setelah dirasanya semua siap, Ia mulai menyalakan api pada tumpukan itu. Ditambahkannya daun-daun yang masih segar, maka asap putih pekat pun membubung menyapu semua yang berada di atasnya. Lebah-lebah berhamburan, panik dan terbang kian kemari mencari sasaran. Sang pemburu merapat ke nyala api sambil terus menambahkan daun-daunan dan ranting. Setelah dirasanya aman, ia mengeluarkan daun-daun basah yang belum terbakar itu sehingga hanya lidah-lidah api saja yang tersisa. Sang pemburu mendongak ke sarang itu dan amboi… sarang yang tadinya berwarna hitam kelam kini hanya berwarna putih kekuningan saja. Kantung kulit bekas wadah bekalnya disiapkannya, kemudian mulai memanjat lalu mengiris sarang itu dengan hati-hati lalu memasukkannya ke kantung kulitnya. Pada saat itu, hari benar-benar telah gelap. Sang pemburu memutuskan untuk menginap saja di tempat itu. Diambilnya segenggam madu, dimasukkannya ke mulutnya beserta sarangnya dengan lahap. Benar-benar nikmat, itulah makan malamnya. Ia kembali mengambil beberapa batang kayu kering, lalu membuat perapian.

.......................

Ia benar-benar bangga mengingat semua itu, nyeri luka dari kaki dan tangannya akibat duri dan belukar ataupun lebam dan memar di badannya akibat bergumul dengan binatang-binatang buruannya tak pernah dirasakannya. Baginya, semua itu adalah hiasan kelaki-lakiannya.

Wuaaah…ia mulai menguap, ia kembali berdiri lalu mulai berjalan lagi. Kali ini ia menuruni bukit itu, anjing-anjingnya mendahuluinya. Salah satu anjingnya yang terluka oleh taring babi di bagian pahanya tidak mengikuti anjing yang lain berlari tetapi berjalan beriringan dengan sang pemburu. Dalam malam yang mulai gelap itu, sesekali kaki sang pemburu terantuk atau juga terhalang oleh anjingnya. Tetapi kini ia berjalan semakin cepat dari sebelumnya bahkan dengan berlari-lari. Jalanan yang dilaluinya memang bukan lagi tanjakan. Barang-barang bawaannya; daging dan madu yang dipikulnya berayun dan bergoyang seolah menari seirama dengan hatinya yang selalu ceria. Cuaca dingin yang dibawa gelap malam tak dirasakannya, tubuhnya kembali berkeringat sementara kerlap kerlip cahaya dari rumah-rumah yang kini jadi panduannya semakin lama semakin jelas dan terang, semakin besar dan semakin dekat.

Bersambung ke Sang Pemburu (Epilog) - dream blog -

Sabtu, 14 Juli 2007

Sang Pemburu [Prolog]

Di suatu kala, waktu dimana titisan To Manurung memerintah tana Luwu’, tersuratlah sebuah kisah dari mereka; orang-orang yang memilih menjadi sekehendak apapun dirinya. Mengingkari takdir yang diletakkan di wajah mereka, orang-orang yang senang membuat takdir sendiri. Mereka adalah orang-orang yang lari dari sepenggal hidup menuju hidup sepenuh hidup: hidup yang menyemesta.

Di bawah keakraban matahari, dibelai sang rembulan, dalam dekapan rimba raya, dipandu bintang gemintang. Dan bila angin musim pun berubah, langit memberi pengajaran, bumi menempa hidup. Lalu jadilah mereka itu, anak-anak matahari. Yang langkahnya seperti siang dan malam, berkulit cuaca. Dinantikannya pagi sepenuh harapan, disongsongnya fajar dengan semangat sesegar embun pagi, dari dilaluinya dengan girang. Lalu terlelap dalam malam-malam kesyukuran.

Ladang-ladang mereka menggeliat di musim tanam, sawah-sawah mereka menarikan tarian ibu mengandung. Ketika musim panen tiba dapur-dapur mengepul sepanjang hari.

Tikar-tikar jamuan dihamparkan. Di setiap rumah Sengo dilantunkan, semua orang; besar-kecil, tua-muda, ma’kuranjen . Kaki-kaki dengan ketukan dan gerak tertentu menghentak lantai sampai rumah seakan hendak rubuh--tarian kesyukuran atas hidup sepenuh hidup.

Lalu hidup pun terus berputar, anak-anak lahir dan menjadi dewasa, orang-orang dewasa menemui kesudahan satu demi satu. Ya! Sesederhana itu. Tak ada kekuatiran, hanya kepolosan yang satu dengan kepolosan yang lain. Bergerak selaras dalam harmoni.

Sampai suatu ketika, kejahatan datang dari tempat-tempat yang jauh. Menghinggapi hati anak-anak matahari itu, membuat jiwa-jiwa mereka menjadi kerdil. Tunas-tunas pun layu sebelum tumbuh, teruna-teruna patah terkulai. Kehidupan pun menjadi suram...

Bersambung ke Sang Pemburu, kemudian Sang Pemburu (Epilog) - dream blog -

Rabu, 18 April 2007

Sarimin Minta Sekolah

(2nd Cerpen)
Bungkam, bukanlah diam. Bungkam, ingin meledak. Bahkan sebuah rumah yang kita sepikan di pojok itu menyimpan lidah api. Akan membakar rerumputan kering di suatu saat, tak terkira.

---

“Sekolah, hanya bikin orang malas dan rakus, jahat, juga suka menipu. Lihat saja, anak-anak muda di dekat pasar itu! kerjanya hanya menggoda perempuan, kalau tidak mabuk-mabukan lalu memalak kuda. Ingat kau, sawah kita yang sekarang berdiri kantor desa? Dulunya, orang-orang sekolahan itu bilang untuk kesejahteraan kampung kita. Tapi apa? Tempat untuk mengumpulkan upeti dari rumah kita sendiri. ”katanya dengan berang.

“Apa itu berarti sekolah yang membuat mereka seperti itu dan karenanya anak kita tak boleh sekolah?“

“Jangan bilang mereka itu tak sekolah sepertiku, aku kenal mereka seperti semua orang-orang di kampung ini juga mengenali kebodohanku”

“Aku pernah sekolah di SD, tapi aku tak seperti mereka?”

“Kubilang tidak, si Olan tetap tak boleh sekolah. Mereka bukan saja sudah sekolah di SD, bahkan lebih tinggi dan paling tinggi. Kau tidak seperti mereka karena kau isteriku.” Katanya gusar pada isterinya.

“Apa kau tidak kasihan pada anak kita?”

“Belikan dia seragam yang paling bagus, tapi bukan untuk sekolah.” Katanya lebih lunak.

“Lalu untuk apa?” isterinya bingung.

“Untuk menggembalakan kerbau, dia akan suka. Oh ya, tembakauku hampir habis, jangan lupa.” ujarnya menutup pembicaraan.

Ia berangkat dengan memanggul kapak di punggung, nampaknya hendak ke hutan. Dari kejauhan, terlihat olehnya si Olan anaknya yang baru berumur 6 tahun sedang becengkrama bersama beberapa kawannya di atas punggung kerbau. Hatinya kembali galau oleh percakapannya dengan isterinya, percakapan yang telah berulang sampai puluhan kali. Wajah orang-orang kampungnya melintas di kepalanya, membuat bulu kuduknya bergidik dongkol dalam kemuakan. Ia tak habis pikir. Dahulu, ketika baru beberapa orang yang bersekolah, tak ada kebencian sedikitpun terhadap mereka. Kini, saat hampir dirinya saja yang tak pernah sekolah kecuali anak-anak kecil itu, semua orang menganggapnya dungu dan bodoh. “Apa untungnya bisa baca dan tulis? Apakah bisa menghasilkan makan untuk anak dan isteri? Padahal aku mampu lakukan semua hal yang bisa mereka lakukan kecuali membaca dan menulis. Dan lagi, belum tentu mereka bisa lakukan apa yang bisa aku lakukan seahli aku.” gumamnya.

Bias-bias matahari pagi mulai menembus lubang-lubang langit di pepohonan. Badannya basah oleh peluh sedangkan embun pagi belum lagi menguap dari urat-urat daun yang berserakan di tanah. Ranting-ranting kayu dikumpulkannya, beberapa pohon kayu kering tumbang oleh kapak lalu dibelahnya. Binatang-binatang hutan kaget dan ketakutan akibat kegaduhan yang dibuatnya pada pagi itu, beberapa ekor burung berkelebat panik dari sebuah pohon dan dua ekor burung hantu menjerit-jerit marah seolah merasa terancam tapi tak diacuhkannya. Kayu-kayu yang dikumpulkannya sudah menumpuk setinggi lutut, ia mulai lelah. Tapi ia tidak berhenti dari pekerjaannya. Kini ia malah mencari rotan kecil buat pengikat. Jerit burung hantu terus mengganggu telinganya, tapi ia hanya bisa mengumpat lalu kembali untuk mengikat kayu-kayunya.

Tumpukan kayu itu dibaginya menjadi dua tempat, ranting pemikul yang cukup kuat sepanjang kedua depa tangannya diletakkannya sebagai antara lalu diikatnya kedua tumpukan itu pada masing-masing ujung pemikulnya. Ia sudah siap berangkat pulang dengan pikulan di punggung, tapi urung oleh suara burung.

“Mungkinkah anak-anak burung itu menjerit-jerit karena terjatuh ke tanah?“ Pikirnya.
“Ah… si Olan mungkin suka punya burung hantu.”

Ia lalu mencari suara itu, berputar-putar sambil menyibak semak-belukar. Tak beberapa lama yang ditemukannya bukannya anak burung hantu dengan sayap dan bulu-bulu coklatnya melainkan sesuatu yang hitam seperti bayi.

“Ai, orok setan?” Ia terpekik bergetar, lalu diperhatikannya lagi lebih dekat. Rupanya seekor bayi lutung yang ditinggal kawanannya. Dengan ragu-ragu ia meraihnya, ada kengerian kalau-kalau makhluk itu tiba-tiba saja menggigit tangannya. Tapi tidak, bayi lutung itu seperti acuh saja.

Pikulan kayu dihempaskannya didekat tangga dapur lalu bergegas menuju beranda rumah, isterinya menyambutnya dengan tatapan bertanya-tanya. Ia membuka sarung yang dikalungkannya di lehernya.

“Bayi monyet?” isterinya bertanya.

Ia hanya mengangguk kebingungan tanpa suara. Isterinya cekikikan melihat tingkah suaminya dan lalu tersedak karena tawa yang ditahannya di leher, sebab wajah suaminya terlihat gusar merasa ditertawakan.

“Si Olan pasti senang, tapi bagaimana kita memeliharanya?” katanya mengembalikan suasana. Suaminya menggeleng lalu berkata sambil berlalu kalau ia hendak memanggil si Olan.

Tak beberapa lama kemudian si Olan muncul bersama kawan-kawannya. Mula-mula tak ada yang berani terlalu dekat, tapi lama-lama anak-anak itu bergantiaan mengelusnya.

“Ia minta susu!” kata seorang anak.
“Bu, ia minta susu!” seru Olan pada ibunya.
“Hah?” ayahnya kaget.
“Kasih saja susu kerbau,” kata ibunya dari dapur.
Ayahnya kemudian bergegas menuju kawanan kerbau, hendak memerah susunya.
“Siapa namanya bu?” Olan bertanya.
“Panggil saja Sarimin.” Kata ibunya yang teringat pementasan topeng monyet di pasar.

Hari itu dunia kanak-kanak di kampung si Olan geger terbahak-bahak. “Si Olan punya adik berwajah lutung, namanya Sarimin.” Begitu bunyi kabar yang menggemparkan itu. Tetangga-tetangganya banyak yang datang, ada yang tersenyum dikulum, ada pula yang mengumpat dan mencibir. Ayah si Olan seharian seperti orang linglung, ia kembali menjadi pusat perhatian dan bahan olok-olok orang kampung. “Keluarga itu tak bisa membedakan manusia yang hidup di rumah dan lutung yang hidup di pepohonan, monyet dikasih susu kerbau, monyet pakai baju.” Begitu kata celaan yang keluar dari mulut orang-orang kampung sambil terbahak-bahak.

---

Beberapa bulan telah lewat, keluarga itu mulai terbiasa dengan keberadaan monyet Sarimin. Tapi ada yang berubah, Ayah si Olan kini lebih sering diam dan agak kurus. Isterinya terus-menerus dihantui rasa cemas melihat perubahan suaminya, karena itu ikut kurus. Sarimin si monyet kini lebih besar serta kuat dan lebih sering bergantung di ketiak Olan, sedangkan anak itu juga agak kurus karena perhatiannya kini terbagi kepada kerbau dan monyetnya. Kian hari keluarga itu makin terkucil saja dari kehidupan kampungnya. Selain karena tidak tahan oleh gunjingan, juga karena semakin menarik diri dari pergaulan. Hanya Ibu si olan saja yang tetap ke pasar untuk menjual dan membeli keperluan yang benar-benar dibutuhkan, kadang disertai bonus umpatan gratis.

“Si Olan dengan kerbau-kerbaunya sudah kelas berapa?” atau “Si Olan dapat nilai berapa hari ini dari gurunya si kerbau?”. Ia hanya menjawab bahwa jumlah kerbau si Olan kini enam ekor ditambah empat anaknya yang masih menyusu. Begitulah, keluarga itu sudah menjadi bahan olok-olok yang nikmat. Dijamin, bahkan oleh tukang cerita yang terburuk sekalipun akan sanggup membuat perut terkocok sampai keram sehingga saraf-saraf yang tegang setelah seharian berburu kesempatan dalam persaingan bagaimanapun ketatnya akan kembali santai.

---

Pada suatu hari Olan mulai jenuh dengan seragamnya yang mulai lusuh, karena itu ia meminta dibelikan yang baru. Maka Ibunya pun membelikannya pada keesokan harinya. Seragamnya yang lama kini dikenakan oleh Sarimin si monyet. Tetapi hanya beberapa lama kemudian Olan mulai merajuk lagi minta disekolahkan bersama kawan-kawannya, si Sarimin ikut-ikutan. Ibunya hanya mengatakan kepadanya agar bersabar, bahwa ia akan bersekolah juga seperti yang lain bila sudah waktunya. Olan malah merengek, ia merajuk sampai ayahnya tiba. Mata Ayahnya merah oleh amarah melihat Olan dan si Sarimin yang berseragam itu minta sekolah dan ia lebih marah lagi karena mendengar langsung permintaan itu dari anaknya sendiri. Sekelebat ia meraih rotan lalu mencambuki dan mencincang-cincang tubuh anaknya itu bagai kesetanan sambil menumpahkan kekesalan yang sekian lama tertumpuk di hatinya:

“Bahkan kau anakku sendiri, hendak menjadi bahagian dari mereka? Tidakkah kau lihat mata mereka menatap kita seperti kotoran, Hah? Kau anakku hendak minta sekolah lalu setelah berpendidikan maka kembali mengumpat kami yang tak tahu apa yang kau tahu? Kalianlah yang mengadakan kedunguan lalu meletakkannya di wajahku sambil terbahak-bahak dengan telunjuk di hidungku! Aku tidak dungu, Ibumu tidak bodoh, keluargaku bukan keluarga binatang!”

Disepaknya jauh-jauh Sarimin si monyet yang terjatuh dari ketiak Olan, binatang itu menjerit melengking karena kesakitan. Olan berteriak ampun. Ia tenggelam dalam lautan pedih dan ketakutan melihat keberingasan ayahnya. Tubuhnya lunglai tak bertenaga, terhempas telentang ke lantai. Seragamnya sobek-sobek terkena sabetan rotan. Ibunya hanya bisa histeris sedari tadi, tak mampu melindungi anaknya. Ayahnya kemudian menyudut di pojok bertelekung lutut, dan menangis. Amarah yang sekian lama dipendamnya, akhirnya tumpah pada anak yang ingin dijaganya dari yang menurutnya kejahatan sekolah. Beberapa tetangga yang mendengar keributan itu berseliweran di jalan, mengintai. Mereka mulai bergunjing lagi bahwa keluarga dungu itu mulai sakit gila.

Orang-orang di rumah itu diliputi nelangsa, sendiri merasai penderitaannya.

Keadaan sunyi senyap, sudah malam. Lengang. Hanya sesekali terdengar suara sesengukan. Sariminlah yang pertama kali membuat gerakan dengan mengorek-ngorek tubuh Olan yang akhirnya siuman. Ia tersadar tengah terbaring di pangkuan ibunya. Ayahnya di sudut ruangan, mulai menyadari dirinya.

“Kerbauku belum kuantar pulang” kata Olan sambil merintih. Ayahnya yang mendengar itu lalu menyergapnya tiba-tiba dengan pelukan, tangisnya pecah lagi, ibunya juga.

“Maafkan ayah nak, ayah tak bermaksud menyakitimu”

“Tapi ayah mencambukiku sangat keras” Olan protes.

Ayahnya tak tahu harus mengatakan apa, ia memang tak bermaksud dan tidak pernah mau menyakiti anak yang dicintainya, tapi kenyataannya ia menyakitinya.

“Ayahmu tidak sadar” kata ibunya, ayahnya mengangguk membenarkan tetapi anak-anak tak paham apa itu sadar dan tidak sadar. Ia terdiam sementara nafasnya masih tersengal sesengukan. Keesokan harinya matahari datang seolah tak terjadi apa-apa. Semua terlihat biasa saja kecuali luka di sekujur tubuh si Olan.

Ibunya sudah pulang dari pasar, mereka baru saja usai makan siang ketika disodorkannya sebuah seragam baru kepada anak semata wayangnya itu, tetapi ditolaknya.

“Aku tak mau sekolah lagi, seragamnya kasih ke Sarimin saja”

“Tidak apa-apa kalau tidak mau sekolah, belajar tidak harus sekolah. Ibu bisa mengajarimu apa saja, bapakmu juga.”

“Bapak dan ibu jadi guruku?” katanya girang.

Ibunya mengangguk.

“Kalau begitu, aku dengan Sarimin jadi muridnya”

Olan mulai riang lagi. Diceritakannya pada kawan-kawanya kalu ia pun akan segera sekolah, ibu dan bapaknya yang jadi gurunya. Kawan-kawannya yang masih berseragam sebab baru saja pulang dari sekolah terbahak-bahak mendengar itu.

“Ibumu jadi guru apa, bapakmu bisa mengajar apa?”

“Ibuku pandai membaca, menulis dan bernyanyi seperti guru yang kalian ceritakan, bapakku bisa mengajariku olahraga berenang, berburu, memanjat, menombak, lari. Semua itu olahraga juga, bukan?”

“Tapi di sekolah kami bermain bola, kami punya seragam olahraga dan ruang kelas.” Kata seorang anak.

“Aku dan Sarimin bakal dibelikan, juga bola. Ruang kelasku adalah alam ini. Apa di sekolah kalian juga belajar berenang di sungai dan berburu di hutan?”
Anak-anak itu terdiam menggeleng.

“Kalau begitu, sekolahku nantinya lebih baik dari sekolah kalian. Kalian musti minta agar diajari berenang dan berburu.”
Anak-anak itu mengangguk setuju.

Sejak hari itu kawan-kawan Olan lebih banyak mendengarkan Olan dan tidak lagi menjadikannya bahan olok-olok. Kadang ketika sedang bercengkrama dengan keluarga mereka masing-masing tak jarang mereka melontarkan pujian pada Olan yang disambut protes dari orang tua mereka.

Kini Olan benar-benar sudah berhenti menginginkan untuk sekolah bersama kawan-kawannya. Ia benar-benar menikmati kesibukan barunya itu. Pelajaran yang paling disukainya adalah berenang dan berburu. Ia kembali ke keriangan-keriangan lamanya yang tanpa seragam. Hanya si Sarimin saja yang seolah sudah kepincut menjadi anak sekolahan, sebab seragam yang dikenakannya tak mau dilepaskannya sama sekali meskipun telah kumal dan kotor. Bila sesekali saat bermain Olan berusaha mengambil seragam itu, Sarimin akan marah.

Seperti itulah, kemana pun mereka pergi si Sarimin tak pernah alpa dengan seragamnya. Si Sarimin pulalah yang seolah-olah sedang mengusik kebanggaan orang-orang kampung pada sekolah. Dalam kepala mereka timbul pula kejengkelan pada keluarga Olan yang dungu itu. Sebab menurut mereka, Ayah si olan sengaja mengolok-olok mereka dengan monyet berseragamnya. Beberapa kali orang-orang kampung mencoba melucuti pakaian si Sarimin tapi monyet itu melakukan perlawanan sehingga selalu saja bisa menyelamatkan diri dan makin jengkellah mereka.

Ayah si Olan, sekarang menjadi lebih menahan diri, hal-hal yang tak disukainya ditelannya saja. Tak pernah lagi ditanggapinya cacian orang-orang kampungnya, juga tentang protes mereka atas seragam si sarimin. Ia menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan-kegiatannya. Ia larut dalam semua kegiatan-kegiatan itu sehingga terlihat jelas keseriusannya dan melimpahlah hasil yang didapatkannya lebih dari yang diharapkannya.

Ia memiliki semangat, yaitu semangat untuk menunjukkan kepada anak dan isterinya bahwa menjadi orang 'dungu' dan 'bodoh' bukanlah sesuatu yang buruk. Lebih dari itu sedari kecil di dadanya sudah terpatri semangat kegeraman terhadap pandangan orang-orang kampungnya yang picik dan kerdil.

---

“Sedikit-sedikit keadaan ini tak tertahan lagi olehku.” Katanya kepada isterinya pada suatu ketika.
“Aku ingin menyerah, aku tahu selama ini kalian menanggungkan penderitaan yang dialamatkan kepadaku.”
Isterinya hanya terdiam.

“Lumbung kita dipenuhi makanan, kerbau-kerbau Olan selalu bertambah sepanjang tahun. Tak akan pernah habis lalu membuat kita mati dalam kekurangan kecuali kita tak mampu menjaganya. Tetapi apa arti semua itu bila hati ini tak tenteram?”

Isterinya tetap diam, ia juga diam. Kini hanya suara Olan dan si Sarimin saja yang memecah keheningan rumah itu, mereka bergulingan sambil cekikikan geli tertusuk rumput halaman.

“Lihatlah keceriaan anak itu, seperti tak menanggungkan apa-apa. Tetapi aku tahu ia mengetahui semuanya. Ia tahu kenapa kawannya yang paling akrab hanyalah si Sarimin. Andai monyet itu tak ada, aku tak akan sanggup melihat kemurungan di wajahnya.”

“Ia sudah tak menginginkan sekolah bersama kawan-kawannya lagi.” Kata isterinya.

“Ia mencintaiku. Aku pernah seperti dirinya, makanya aku tahu. Aku lebih memilih ayahku ketimbang keinginan mereka atasku untuk menjadi seperti mereka meskipun akhirnya terenggut dariku.”

“Apa rencanamu?”

“Membuat orang-orang kampung berhenti membenci kita.”

“Si Olan boleh sekolah?“ Tanya isterinya.
Suaminya hanya menggeleng.

“Sepanjang hidupku telah kuhabiskan membuat mereka tidak mengolok-olok kita dengan memperlihatkan bahwa kita sungguh tidak bodoh dan dungu melalui apa yang kita punya. Tapi keadaannya tetap sama. Meskipun begitu, Olan tetap tidak boleh sekolah selama aku masih sanggup membuat kita mampu menghindarkan diri dari kehidupan mereka.”

---

Beberapa hari kemudian, di suatu pagi ketika ia hendak berangkat ke hutan mencari kayu, seseorang berseragam muncul dan memberitahukan agar semua orang kampung berkumpul di balai desa. Awalnya ia urung hendak ikut. Tetapi isterinya membujuknya, maka ia pun berangkatlah. Di sana orang-orang kampung telah hadir di depan Pak Camat yang baru saja mulai berpidato.

“Di kampung ini ada yang suka berburu?” Tanya Pak Camat dalam pidatonya.

“Ada Pak!!!” koor penduduk kampung sambil menunjuk Ayah si Olan dengan mata. Ayah si olan mukanya merah padam.

“Kalau Penebang kayu?”

“Ada Pak!!! Ini orangnya, sedang bawa kampak.” Teriak salah seorang penduduk lagi. Wajah Ayah si olan semakin gelap saja.

“Akhir-akhir ini, daerah kita banyak dilanda bencana. Kalau bukan banjir, kekeringan. Betul tidak?”

“Betuuul!” koor hadirin lagi.

“Itu semua disebabkan oleh rusaknya lingkungan kita, yaitu habisnya pohon-pohon di hutan akibat penebangan liar seperti yang dilakukan oleh bapak ini. Selain kerusakan itu, satwa-satwa liar juga semakin punah oleh banyaknya perburuan liar.” Katanya sambil mengarahkan pandangannya ke arah Ayah si Olan dengan maksud supaya kata-katanya dicamkan. Tetapi, ekspresinya terlalu kelihatan sehingga membuat hadirin mentertawakan Ayah si Olan sebagai tanda setuju akan makna tatapan itu ditambah kejengkelan mereka terhadapnya.

Ayah si olan semakin merah padam, ia marah lalu berdiri, katanya:
“ Kalian orang-orang sekolahan, melihat kebodohan dan kedunguanku, aku mengenali kecerdikan kalian. Kecerdikan yang sama sejak ayahku dan nenek moyangku. Memang, saya selalu ke hutan hendak mengambil kayu bakar untuk dapur isteriku. Memang, saya sesekali berburu ke hutan untuk makanan anak dan isteriku. Kalian menanggungkan semua kerusakan itu atasku dan saya tidak bisa mengelak. Saya mengambil kayu dan berburu binatang, senjataku kapak dan tombak, tetapi kalian menggunakan mesin dan senapan. Saya hanya mampu mengambil sedikit dengan kapak kecilku ini, kalian mengambil semuanya. Saya mendapatkan satu ekor saja sudah bahagia dan merasa beruntung, kalian mendapatkan sepuluh belum juga puas malah merasa sial. Kalian memang hebat dan pintar.” Katanya marah sambil menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan, tetapi para hadirin malah cengengesan meskipun dipaksakan. “Bisa juga dia bicara.” Begitu bisik-bisik mereka.

“Tenang! Tenang!” Pak Camat menenangkan suasana.

“Aku sudah tahu, ada di antara kalian yang tidak akan terima. Tetapi ini bukan tuduhan tak beralasan, banyak atau sedikit yang kalian ambil, tetap kalian adalah perusak. Karena itu kalian harus berhenti.” Katanya tegas.

Ayah si olan sedang berpikir tentang dengan apa isterinya akan memasak makanan bila ia berhenti mengambil kayu, ketika Pak Camat melanjutkan pidatonya lagi.

“Perusakan hanya pekerjaan orang-orang bodoh dan tolol yang tak berpendidikan sehingga tak mampu berpikir bahwa semua itu tidak hanya merusak dirinya saja tetapi semua orang.” Hujat Pak camat lantang.

Kontan tawa pecah di seluruh ruangan itu mendengar kata-kata ‘bodoh dan tolol’ serta ‘tak berpendidikan’ dari Pak camat, keriuhannya menghujam kehormatan Ayah si Olan. Perasaan terhina yang telah dirasakannya sepanjang hidupnya kembali terluka.

“Dia memang tidak pernah sekolah Pak!” seru salah seseorang melampiaskan kekesalannya pada Ayah si Olan, disambut tawa hadirin. Pak camat manggut-manggut dengan senyum dikulum.

Ayah si olan seperti tersengat kemarahannya yang membuncah. Tanpa kesadaran lagi diayunkannya kapaknya ke arah orang itu sambil menghambur ke arahnya, buk!

Orang itu tersungkur berlumuran darah sebab terkena lemparan tepat di kepalanya. Dengan cepat, Ayah si olan meraih kampak itu lagi lalu mengejar Pak camat yang sedang panik dan bingung menyaksikan peristiwa itu.

Bret!

Sabetan kapak yang keras itu menyobek pipi kanan Pak camat hingga tembus ke sebelah kiri. Kapak itu masih hendak berayun ketika dua orang pengawal camat menangkapnya dari belakang lalu melumpuhkan ayah si Olan.

Kejadiannya begitu cepat, hadirin yang tadinya tunggang-langgang kini mengerumuni mobil polisi yang hendak mengangkut ayah si Olan itu. Umpatan dan cacian kembali mengiringinya.

---

EPILOG

Sebelas tahun berlalu sejak kejadian di balai desa itu, gerbang sebuah Rumah Tahanan terbuka dan seseorang dengan tubuh ringkih melangkah gontai. Ia berpikir, mungkinkah anak dan isterinya sedang menanti-nantikan kedatangannya? Angin segar dihirupnya nikmat di sepanjang jalan menuju rumahnya, pulang. Sebelas tahun, tak sekali pun terlihat olehnya wajah mereka, juga rumahnya. Diingatnya, sesekali bila kawan seselnya menerima kunjungan keluarga dan orang-orang yang dicintainya, keinginannya untuk bertemu mereka juga muncul dengan sangat kuat. Tapi akhirnya dimakluminya juga keadaannya, sebab ada begitu banyak kemungkinan yang tak dapat dipahaminya dengan pasti.

“Olan!” serunya di tangga rumah yang samar-samar mulai tak dikenalinya lagi. Seorang perempuan, muncul di pintu diikuti oleh seorang pria pula.

“Ah… aku kira rumah ini bukan rumahku lagi!” serunya senang. Tapi wanita setengah baya itu tiba-tiba pingsan tak sadarkan diri.

Dari pria yang semula dikiranya anaknya itu diketahuinya kalau perempuan yang dahulu isterinya itu bukanlah isterinya kini, sebab ia sudah bersuami lagi. Ia kaget, tetapi berusaha untuk tetap tenang. Jadinya, tak terlihat kegusaran sedikitpun di wajahnya. Ia sekarang lebih matang. Tetapi ketika diketahuinya bahwa si Olan anaknya tinggal di kota karena sedang bersekolah pada sebuah SMU, ia mulai tak tenang. Wajahnya kuyu oleh kesedihan, lalu menitikkan air mata dan menangis. Ia tak habis pikir kalau inilah buah dari segala pengorbanannya.

Seekor monyet mendekat ke arahnya, Sarimin. Bulu-bulunya ada yang sudah berwarna putih. Seragam yang dikenakannya sudah compang-camping, kumal dan bau karena tak terawat. Ia menjadi semakin sedih menyaksikan keadaan itu, semua telah berubah, tetapi dirasanya seperti baru kemarin. Perasaan hampa memenuhi hatinya, lalu berkata:

“Tak ada alasan lagi padaku atas apapun jua.” gumamnya pada dirinya sendiri.

Sementara perempuan yang sudah asing baginya itu belum sadarkan diri, Ia pun meninggalkan rumah itu dengan membawa beberapa perkakas yang masih dikenalinya sebagai miliknya. Ia berjalan hingga kelelahan menuju sebuah rumah sawah yang sudah mulai rapuh dan lapuk, sebuah gubuk yang berdiri di atas sebidang tanah yang dahulunya menjadi sumber nafkah bagi ia dan keluarganya. Dikibaskannya debu-debu ngengat yang mengotori balai-balai, lalu merebahkan badannya di atasnya.

Dilihatnya kelam menari-nari di ujung hari berpesta bersama rona senja, menyambut malam yang gulita. Dan dilihatnya pula, bayang-bayang kenangan berlari mengarak kebusukan di atas kepala yang kuatir, hendak menggerogoti jiwanya. Sebentuk kerinduan akan semua masa-masa itu menyelinap di antara hati, hati yang telah menjadi pengecut, sebab renta oleh waktu. Tapi dengan sisa-sisa ketegaran masa mudanya, dihempaskannya jua godaan-godaan itu lalu bergumam sendiri:

“Oh, dunia! Bagaimana akan kau tebus semua yang telah kau renggut dariku? Karena bahkan seluruh milikmu tak akan kuanggap cukup untuk menyempurnakan hari-hariku yang mulai ditelan getir... agar kembali kegairahanku, demi keceriaanmu?”

Sarimin tua tiba-tiba muncul dan mengambil tempat di sampingnya. Ia menoleh ke arahnya, lalu tersenyum melihat tingkah Sarimin yang kegelian oleh kutu-kutu di punggungnya. Angin gunung berhembus ringan membuai penghuni gubuk yang muram itu dalam mimpi-mimpi yang akan menyata keesokan paginya dan keesokan pagi selanjutnya, setidaknya, di gubuk itu tak akan ada yang mati dalam kesepian kecuali salah satunya...

Jumat, 02 Maret 2007

Ukurlah Bayang-Bayang Setinggi Badan

(cerpen perdana)

Tempat tinggal kami dulunya hingga kini terbuat dari sisa-sisa kayu, bambu, kulit kayu, dan atapnya terbuat dari daun sagu yang dianyam sehingga tak tembus cahaya matahari ataupun air hujan. Bahan-bahan itu disusun sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah rumah. Di ruang tamu, pada sebilah papan yang berfungsi sebagai dinding terpampang tulisan ayahku “Ukurlah Bayang-bayang Setinggi Badan”. Sejak aku bisa membaca, aku selalu berusaha mengejanya berulang-ulang agar bisa menangkap maknanya, tapi tak pernah bisa kumengerti. Pernah suatu kali aku mencoba memikirkannya, kepalaku mendadak pusing; maka semenjak saat itu aku mencoba menghindarinya dan berhenti memikirkannya. Tetapi setiap kali aku berada di ruangan itu, tulisan itu terus menerus menggangguku, dan setiap kali aku mengalihkan pandangan ke sesuatu yang lain, ada perasaan kalau tulisan-tulisan itu sedang memperhatikan aku.

Pernah suatu kali, aku bertanya pada ibuku, mengapa rumah kami begitu jelek dan rumah kawan-kawanku lebih bagus. Tetapi ibu hanya memberi jawaban bahwa biarlah kelak aku yang akan menggantikannya dengan rumah yang lebih bagus. Maka semenjak saat itu, aku mempunyai obsesi sendiri, sebuah rumah bagus tanpa tulisan yang membuatku pusing itu.

Keadaan keluarga kami semakin terpuruk saja. Panen dari sawah kami yang tak seberapa luas semakin berkurang, pekerjaan memburuh juga semakin sedikit, sementara aku sudah hampir sekolah. Ibuku memiliki waktu lebih banyak dirumah, biasanya bila tak membuat anyaman kami belajar membaca. Apa saja yang ada kami baca bersama, koran-koran bekas dari pasar, buku-buku lusuh ayah, ataupun kitab suci.

Tetapi angin segar berhembus dari orang-orang kampung, bahwa sebentar lagi tepat di desa kami akan dibuka sebuah perkebunan kelapa sawit lengkap dengan pabriknya. Orang-orang kampung bermimpi bahwa kehidupan mereka segera akan berubah, akan menjadi lebih sejahtera. Ayahku hanya tenang-tenang saja, bahkan lebih banyak diam. Pada suatu sore, ketika kami baru selesai makan malam, seseorang yang akhir-akhir ini sibuk berkunjung dari satu rumah ke rumah lain singgah juga di rumah kami. Ayahku terlibat pembicaraan serius dengannya, aku tak paham apa yang mereka bicarakan. Juga aku tak paham mengapa tanah kami di kaki gunung itu, yang biasa kami tanami jagung, sayur-sayuran dan lainnya kini ditanami kelapa sawit dan kami tak pernah mengunjunginya lagi.

Pada hari yang lainnya, singgah pula seseorang yang berseragam ke kampung kami dan setelah orang itu pergi, tersiar kabar kalau ia membutuhkan tenaga orang-orang kampung untuk membuka lahan. Karena waktu itu adalah musim kering dan tak ada air untuk mengairi sawah, orang-orang kampung mengambil kesempatan itu biarpun lokasinya sudah sangat jauh dan medannya sulit. Memang ada diantara mereka yang berbisik-bisik, mengapa mereka baru dapat kesempatan setelah beberapa lama dan lahan yang harus dibuka sudah tidak mampu menggunakan alat berat? Tetapi apa lacur, dari pada tak ada kesempatan sama sekali. Toh hitung-hitung partisipasi yang dibutuhkan tatkala yang lain tak mampu melakukannya memiliki kebanggaan tersendiri. Maka para pria, tua dan muda dengan bersenjatakan kampak setiap paginya berbondong-bondong menuju hutan, memenuhi panggilan pembangunan, termasuk ayahku.

Bila senja tiba aku menantikan kepulangan ayah di beranda. Saat-saat itu paling kutunggu, biasanya ayah membawa sesuatu yang selalu aku sukai. Bila bukan madu, buah-buahan atau telur burung-burung. Sebab itu, pekerjaan baru ayahku memberikan kesenangan baru bagiku, juga cerita-ceritanya sebelum tidur. Kadang tentang pohon-pohon yang baru ditebangnya, tentang buah rotan, tentang madu dan banyak lagi.

Baru beberapa lama sejak mereka terlibat pekerjaan itu, hal-hal yang tak pernah dipikirkan dan diharapkan orang-orang desa terjadilah. Satu satu korban berjatuhan, kecelakaan mewarnai hari-hari. Kami anak-anak, menyaksikannya dengan sangat jelas. Korban-korban itu diangkut melalui kampung kami. Ada yang ditandu dengan kayu, ditandu dengan kain sarung, digendong. Ada yang mati, patah dan terluka parah, cacat seumur hidup. Katanya tertimpa pohon, jatuh ke tebing, tertusuk kayu, terperosok ke api pembakaran. Tetapi semua itu tak membuat penduduk kampung jera. Tak ada yang berusaha mencari bantuan pengobatan medis bagi yang masih hidup, tak ada yang meminta sekedar uang penghibur kesedihan bagi keluarga yang berduka. Apalagi asuransi.

Mereka hanya berpikir bahwa hal itu adalah resiko dari pekerjaan mereka, lagi pula mereka tidak dipaksa untuk ikut. Maka begitulah, mereka tetap 'berpartisipasi' dengan semangat pantang mundur. Isi perut keluarga lebih penting dari pada nyawa mereka, begitupun ayahku. Entah sudah berapa di antara mereka yang jadi korban, di kampung kami saja dua orang telah mati, dua orang tidak menentu nasibnya dan empat orang yang pasti cacat belum juga sembuh. Belum lagi di kampung-kampung lain.

Hingga suatu ketika, aku dan beberapa kawan sedang bermain di bawah sebuah pohon, kami mendengar hiruk pikuk orang-orang menuju rumahku, kami segera berlari mendekat. Aku serta merta kaget juga ketakutan, mendengar raungan tangis histeris ibuku. Aku mendekatinya, ia memelukku. Aku melihat ayahku tak sadarkan diri, tapi tubuhnya gemetar dan bergetar hebat tanpa suara apapun dari mulutnya. Aku dengar dari pembicaraan orang-orang yang mengelilingi kami bahwa ayahku tertimpa pohon yang ditebangnya, beliau berlari ke arah yang salah ketika pohonnya tumbang. Ibuku hanya pasrah, aku bingung sementara orang-orang yang mengelilingi kami tak tahu apa yang harus dilakukan.

Tak berapa lama, pamanku pun tiba. Ia lalu membalik posisi ayahku, kemudian terlihatlah tulang belakangnya menyembul. Pamanku hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda seriusnya kecelakaan ayahku dan berkata “hanya Tuhanlah yang akan mampu menyelamatkan nyawanya.” Ia berdoa, kami berdoa. Pamanku mengoleskan minyak dari akar-akaran ke punggung ayahku pagi dan sore, sementara ayahku tetap tak sadarkan diri. Aku dan ibu benar-benar pasrah, tak punya daya. Rumah sakit terlalu jauh, juga jauh dari kemampuan kami. Dua hari kemudian, ayahkupun sadarkan diri, dan enam bulan kemudian, beliau sudah pulih dan mampu berdiri lagi. Selama masa-masa itu, ibukulah yang menghidupi kami, dan kini ayahku telah mampu mengambil tanggung jawab keluarga lagi. Tapi tinggi ayahku kini berkurang lima senti meter, tulang juga menyembul dari punggungnya sebagai kenangan.

Proyek pembukaan lahan dan penanaman sudah selesai dan aku sudah tidak mengingat kebunku lagi, juga ayahku yang sepertinya sudah melupakan hari kemarin begitu saja. Kecelakaan yang pernah dialaminya tak membuatnya membenci keberadaan pabrik dan perkebunan itu sama sekali. Terbukti hanya beberapa hari setelah sembuh, beliau kembali memburuh, menjadi kuli bangunan pada perusahaan itu sampai pekerjaan tak ada lagi.

Pabrik sudah mulai beroperasi, kami sudah lupa bahwa keberadaannya akan membawa kesejahteraan pada kami. Aku sudah mulai bersekolah, ayah dan ibuku kini lebih sering di sawah. Ayahku yang sudah cacat itu, yang gerakannya semakin lambat saja dan sesekali anggota badannya gemetaran tanpa diinginkannya, tetap berjuang keras untuk menyekolahkan aku. Kadang-kadang beliau menjadi bahan olok-olok penduduk kampung, terlebih anak-anak. Semua itu membuat hatiku sakit, aku yang kecil sudah mengenal kebencian oleh rasa malu.

Dan kemalangan-kemalangan lain seolah ingin terus menghimpit kami semakin menepi dari hidup, tetapi kami tak menyerah. Pabrik telah berdiri di samping kami, memuntahi kami dengan bau busuk, membunuh ikan-ikan kami dan membuat padi-padi kami tak mau tumbuh lagi. Saluran yang sampai ke laut itu membuat air tak mau singgah lagi di sawah-sawah kami. Bila musim hujan tiba, kamipun bersiap untuk musim tanam yang baru. Tapi tanah kami hanya basah pada pagi harinya dan kerontang pada sore harinya.

Pada perayaan kemerdekaan berikutnya, Bapak camat yang lain datang lagi bersama orang dinas pertanian, membawa mantra kesejahteraan. Sekali lagi kami menanam kelapa hibrida di tanah kami dan kami tak tahu harus makan apa untuk menunggu buah kelapa itu sampai lima tahun lagi. Tetapi ayahku yang luar biasa memang tahu mengukur bayang-bayang setinggi badannya. mencari lahan bagi hasil untuk diolah biarpun hanya setengah hektar disamping memburuh untuk makan kami sehari-hari. Aku masih belum paham arti tulisan pada dinding itu, aku melanjutkan pendidikan dengan bekerja keras ditambah hasil keringat orang tuaku. Tetapi ibuku mulai sakit sakitan, ayahkupun semakin lemah.

Menjelang perayaan kemerdekaan berikutnya, aku menyelesaikan sekolahku. Tetapi ibuku telah direnggut dariku. Penyakit yang hanya kami kenali sebagai maag menghancurkan ususnya. Ibuku seorang wanita yang luar biasa bagiku. Aku masih ingat, pernah suatu ketika, saat beliau masih sehat aku pulang sebelum jam pulang dengan menangis karena diolok-olok dan dipukuli kawanku. Beliau menyeret aku kembali ke sekolah, memarahi anak-anak nakal itu dan berpesan padaku “kau mesti bisa membela diri sendiri karena kau punya kehormatan; kau tak makan dari tangan mereka, tak mengutip apa-apa dari mereka.” Beliau seorang yang punya kehormatan. Dan aku dengan kehormatan pula berusaha melanjutkan pendidikan dari tenaga yang kumiliki.

Tahun-tahun berlalu, buah kelapa sudah dipanen, tetapi akan diapakan? Penduduk kampung merengut sebab pabrik yang dijanjikan akan menampung buah kelapa mereka tak datang-datang. Banyak diantara mereka yang gelap mata lalu menebangi kelapa-kelapa mereka. Untunglah kakao ayahku sudah memberi hasil, cukup untuk makan dan sekolah adik-adikku. Pendidikan menengahku kuselesaikan dan akupun di terima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri. Tetapi hanya kuliah kerja nyata saja yang kuselesaikan, ayah mengeluh kakao kami sudah tak memberikan apa-apa.

Aku kesulitan memperoleh pekerjaan, aku pernah mengusahakan beasiswa tapi rupanya beasiswa di kampus sudah berempunya. Kemudian kuputuskan mundur dari pendidikanku. aku tak ingin mengorbankan apa-apa lagi untuk obsesiku. Aku segera kembali ke kampung, telah banyak yang berubah. Juga pandangan orang-orang kampung terhadapku, tetapi aku tak mau ambil pusing. Aku menoleh pada tulisan itu, ia seperti tersenyum padaku dan akupun tersenyum padanya. Aku sudah memahaminya, tinggallah keinginan akan sebuah rumah baru dalam kenangan mimpiku, tetapi aku tak meyesal.

Perayaan kemerdekaan datang lagi, aku dinyatakan drop out dari perguruan tinggiku. Anak-anak sekolah larut dalam hiruk pikuk perayaannya, lomba-lomba diselenggarakan. Artis-artis ibu kota dipanggil untuk memeriahkannya. Tetapi hatiku hampa, selengang rumah kami. Ayahku kini semakin tua, rumah kami juga. Dengan kayu-kayu sisa, bambu dan kulit kayu yang baru kemudian kubentuk sebuah rumah baru. Lalu pada dinding di ruang tamunya kutuliskan “Ukurlah Bayang-Bayang Setinggi Badan”, sebab aku pun telah paham maknanya.