Jumat, 02 Maret 2007

Ukurlah Bayang-Bayang Setinggi Badan

(cerpen perdana)

Tempat tinggal kami dulunya hingga kini terbuat dari sisa-sisa kayu, bambu, kulit kayu, dan atapnya terbuat dari daun sagu yang dianyam sehingga tak tembus cahaya matahari ataupun air hujan. Bahan-bahan itu disusun sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah rumah. Di ruang tamu, pada sebilah papan yang berfungsi sebagai dinding terpampang tulisan ayahku “Ukurlah Bayang-bayang Setinggi Badan”. Sejak aku bisa membaca, aku selalu berusaha mengejanya berulang-ulang agar bisa menangkap maknanya, tapi tak pernah bisa kumengerti. Pernah suatu kali aku mencoba memikirkannya, kepalaku mendadak pusing; maka semenjak saat itu aku mencoba menghindarinya dan berhenti memikirkannya. Tetapi setiap kali aku berada di ruangan itu, tulisan itu terus menerus menggangguku, dan setiap kali aku mengalihkan pandangan ke sesuatu yang lain, ada perasaan kalau tulisan-tulisan itu sedang memperhatikan aku.

Pernah suatu kali, aku bertanya pada ibuku, mengapa rumah kami begitu jelek dan rumah kawan-kawanku lebih bagus. Tetapi ibu hanya memberi jawaban bahwa biarlah kelak aku yang akan menggantikannya dengan rumah yang lebih bagus. Maka semenjak saat itu, aku mempunyai obsesi sendiri, sebuah rumah bagus tanpa tulisan yang membuatku pusing itu.

Keadaan keluarga kami semakin terpuruk saja. Panen dari sawah kami yang tak seberapa luas semakin berkurang, pekerjaan memburuh juga semakin sedikit, sementara aku sudah hampir sekolah. Ibuku memiliki waktu lebih banyak dirumah, biasanya bila tak membuat anyaman kami belajar membaca. Apa saja yang ada kami baca bersama, koran-koran bekas dari pasar, buku-buku lusuh ayah, ataupun kitab suci.

Tetapi angin segar berhembus dari orang-orang kampung, bahwa sebentar lagi tepat di desa kami akan dibuka sebuah perkebunan kelapa sawit lengkap dengan pabriknya. Orang-orang kampung bermimpi bahwa kehidupan mereka segera akan berubah, akan menjadi lebih sejahtera. Ayahku hanya tenang-tenang saja, bahkan lebih banyak diam. Pada suatu sore, ketika kami baru selesai makan malam, seseorang yang akhir-akhir ini sibuk berkunjung dari satu rumah ke rumah lain singgah juga di rumah kami. Ayahku terlibat pembicaraan serius dengannya, aku tak paham apa yang mereka bicarakan. Juga aku tak paham mengapa tanah kami di kaki gunung itu, yang biasa kami tanami jagung, sayur-sayuran dan lainnya kini ditanami kelapa sawit dan kami tak pernah mengunjunginya lagi.

Pada hari yang lainnya, singgah pula seseorang yang berseragam ke kampung kami dan setelah orang itu pergi, tersiar kabar kalau ia membutuhkan tenaga orang-orang kampung untuk membuka lahan. Karena waktu itu adalah musim kering dan tak ada air untuk mengairi sawah, orang-orang kampung mengambil kesempatan itu biarpun lokasinya sudah sangat jauh dan medannya sulit. Memang ada diantara mereka yang berbisik-bisik, mengapa mereka baru dapat kesempatan setelah beberapa lama dan lahan yang harus dibuka sudah tidak mampu menggunakan alat berat? Tetapi apa lacur, dari pada tak ada kesempatan sama sekali. Toh hitung-hitung partisipasi yang dibutuhkan tatkala yang lain tak mampu melakukannya memiliki kebanggaan tersendiri. Maka para pria, tua dan muda dengan bersenjatakan kampak setiap paginya berbondong-bondong menuju hutan, memenuhi panggilan pembangunan, termasuk ayahku.

Bila senja tiba aku menantikan kepulangan ayah di beranda. Saat-saat itu paling kutunggu, biasanya ayah membawa sesuatu yang selalu aku sukai. Bila bukan madu, buah-buahan atau telur burung-burung. Sebab itu, pekerjaan baru ayahku memberikan kesenangan baru bagiku, juga cerita-ceritanya sebelum tidur. Kadang tentang pohon-pohon yang baru ditebangnya, tentang buah rotan, tentang madu dan banyak lagi.

Baru beberapa lama sejak mereka terlibat pekerjaan itu, hal-hal yang tak pernah dipikirkan dan diharapkan orang-orang desa terjadilah. Satu satu korban berjatuhan, kecelakaan mewarnai hari-hari. Kami anak-anak, menyaksikannya dengan sangat jelas. Korban-korban itu diangkut melalui kampung kami. Ada yang ditandu dengan kayu, ditandu dengan kain sarung, digendong. Ada yang mati, patah dan terluka parah, cacat seumur hidup. Katanya tertimpa pohon, jatuh ke tebing, tertusuk kayu, terperosok ke api pembakaran. Tetapi semua itu tak membuat penduduk kampung jera. Tak ada yang berusaha mencari bantuan pengobatan medis bagi yang masih hidup, tak ada yang meminta sekedar uang penghibur kesedihan bagi keluarga yang berduka. Apalagi asuransi.

Mereka hanya berpikir bahwa hal itu adalah resiko dari pekerjaan mereka, lagi pula mereka tidak dipaksa untuk ikut. Maka begitulah, mereka tetap 'berpartisipasi' dengan semangat pantang mundur. Isi perut keluarga lebih penting dari pada nyawa mereka, begitupun ayahku. Entah sudah berapa di antara mereka yang jadi korban, di kampung kami saja dua orang telah mati, dua orang tidak menentu nasibnya dan empat orang yang pasti cacat belum juga sembuh. Belum lagi di kampung-kampung lain.

Hingga suatu ketika, aku dan beberapa kawan sedang bermain di bawah sebuah pohon, kami mendengar hiruk pikuk orang-orang menuju rumahku, kami segera berlari mendekat. Aku serta merta kaget juga ketakutan, mendengar raungan tangis histeris ibuku. Aku mendekatinya, ia memelukku. Aku melihat ayahku tak sadarkan diri, tapi tubuhnya gemetar dan bergetar hebat tanpa suara apapun dari mulutnya. Aku dengar dari pembicaraan orang-orang yang mengelilingi kami bahwa ayahku tertimpa pohon yang ditebangnya, beliau berlari ke arah yang salah ketika pohonnya tumbang. Ibuku hanya pasrah, aku bingung sementara orang-orang yang mengelilingi kami tak tahu apa yang harus dilakukan.

Tak berapa lama, pamanku pun tiba. Ia lalu membalik posisi ayahku, kemudian terlihatlah tulang belakangnya menyembul. Pamanku hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda seriusnya kecelakaan ayahku dan berkata “hanya Tuhanlah yang akan mampu menyelamatkan nyawanya.” Ia berdoa, kami berdoa. Pamanku mengoleskan minyak dari akar-akaran ke punggung ayahku pagi dan sore, sementara ayahku tetap tak sadarkan diri. Aku dan ibu benar-benar pasrah, tak punya daya. Rumah sakit terlalu jauh, juga jauh dari kemampuan kami. Dua hari kemudian, ayahkupun sadarkan diri, dan enam bulan kemudian, beliau sudah pulih dan mampu berdiri lagi. Selama masa-masa itu, ibukulah yang menghidupi kami, dan kini ayahku telah mampu mengambil tanggung jawab keluarga lagi. Tapi tinggi ayahku kini berkurang lima senti meter, tulang juga menyembul dari punggungnya sebagai kenangan.

Proyek pembukaan lahan dan penanaman sudah selesai dan aku sudah tidak mengingat kebunku lagi, juga ayahku yang sepertinya sudah melupakan hari kemarin begitu saja. Kecelakaan yang pernah dialaminya tak membuatnya membenci keberadaan pabrik dan perkebunan itu sama sekali. Terbukti hanya beberapa hari setelah sembuh, beliau kembali memburuh, menjadi kuli bangunan pada perusahaan itu sampai pekerjaan tak ada lagi.

Pabrik sudah mulai beroperasi, kami sudah lupa bahwa keberadaannya akan membawa kesejahteraan pada kami. Aku sudah mulai bersekolah, ayah dan ibuku kini lebih sering di sawah. Ayahku yang sudah cacat itu, yang gerakannya semakin lambat saja dan sesekali anggota badannya gemetaran tanpa diinginkannya, tetap berjuang keras untuk menyekolahkan aku. Kadang-kadang beliau menjadi bahan olok-olok penduduk kampung, terlebih anak-anak. Semua itu membuat hatiku sakit, aku yang kecil sudah mengenal kebencian oleh rasa malu.

Dan kemalangan-kemalangan lain seolah ingin terus menghimpit kami semakin menepi dari hidup, tetapi kami tak menyerah. Pabrik telah berdiri di samping kami, memuntahi kami dengan bau busuk, membunuh ikan-ikan kami dan membuat padi-padi kami tak mau tumbuh lagi. Saluran yang sampai ke laut itu membuat air tak mau singgah lagi di sawah-sawah kami. Bila musim hujan tiba, kamipun bersiap untuk musim tanam yang baru. Tapi tanah kami hanya basah pada pagi harinya dan kerontang pada sore harinya.

Pada perayaan kemerdekaan berikutnya, Bapak camat yang lain datang lagi bersama orang dinas pertanian, membawa mantra kesejahteraan. Sekali lagi kami menanam kelapa hibrida di tanah kami dan kami tak tahu harus makan apa untuk menunggu buah kelapa itu sampai lima tahun lagi. Tetapi ayahku yang luar biasa memang tahu mengukur bayang-bayang setinggi badannya. mencari lahan bagi hasil untuk diolah biarpun hanya setengah hektar disamping memburuh untuk makan kami sehari-hari. Aku masih belum paham arti tulisan pada dinding itu, aku melanjutkan pendidikan dengan bekerja keras ditambah hasil keringat orang tuaku. Tetapi ibuku mulai sakit sakitan, ayahkupun semakin lemah.

Menjelang perayaan kemerdekaan berikutnya, aku menyelesaikan sekolahku. Tetapi ibuku telah direnggut dariku. Penyakit yang hanya kami kenali sebagai maag menghancurkan ususnya. Ibuku seorang wanita yang luar biasa bagiku. Aku masih ingat, pernah suatu ketika, saat beliau masih sehat aku pulang sebelum jam pulang dengan menangis karena diolok-olok dan dipukuli kawanku. Beliau menyeret aku kembali ke sekolah, memarahi anak-anak nakal itu dan berpesan padaku “kau mesti bisa membela diri sendiri karena kau punya kehormatan; kau tak makan dari tangan mereka, tak mengutip apa-apa dari mereka.” Beliau seorang yang punya kehormatan. Dan aku dengan kehormatan pula berusaha melanjutkan pendidikan dari tenaga yang kumiliki.

Tahun-tahun berlalu, buah kelapa sudah dipanen, tetapi akan diapakan? Penduduk kampung merengut sebab pabrik yang dijanjikan akan menampung buah kelapa mereka tak datang-datang. Banyak diantara mereka yang gelap mata lalu menebangi kelapa-kelapa mereka. Untunglah kakao ayahku sudah memberi hasil, cukup untuk makan dan sekolah adik-adikku. Pendidikan menengahku kuselesaikan dan akupun di terima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri. Tetapi hanya kuliah kerja nyata saja yang kuselesaikan, ayah mengeluh kakao kami sudah tak memberikan apa-apa.

Aku kesulitan memperoleh pekerjaan, aku pernah mengusahakan beasiswa tapi rupanya beasiswa di kampus sudah berempunya. Kemudian kuputuskan mundur dari pendidikanku. aku tak ingin mengorbankan apa-apa lagi untuk obsesiku. Aku segera kembali ke kampung, telah banyak yang berubah. Juga pandangan orang-orang kampung terhadapku, tetapi aku tak mau ambil pusing. Aku menoleh pada tulisan itu, ia seperti tersenyum padaku dan akupun tersenyum padanya. Aku sudah memahaminya, tinggallah keinginan akan sebuah rumah baru dalam kenangan mimpiku, tetapi aku tak meyesal.

Perayaan kemerdekaan datang lagi, aku dinyatakan drop out dari perguruan tinggiku. Anak-anak sekolah larut dalam hiruk pikuk perayaannya, lomba-lomba diselenggarakan. Artis-artis ibu kota dipanggil untuk memeriahkannya. Tetapi hatiku hampa, selengang rumah kami. Ayahku kini semakin tua, rumah kami juga. Dengan kayu-kayu sisa, bambu dan kulit kayu yang baru kemudian kubentuk sebuah rumah baru. Lalu pada dinding di ruang tamunya kutuliskan “Ukurlah Bayang-Bayang Setinggi Badan”, sebab aku pun telah paham maknanya. 

0 komentar: