Selasa, 27 Juni 2006

Kampus Muak!

Aku muak denganmu. Aku muak mendengar celoteh remeh temeh kalian. Aku datang ke sini bukan untuk itu, taukah kalian? Aku dan orang-orang yang kucintai telah berkorban agar aku bisa ada di sini! Tapi ternyata lihat apa yang kudapat.. Sekelompok orang dungu yang berkoar-koar tentang ilmu. Sebentar. Jadi itukah yang kalian sebut ilmu? Heh? Yang benar saja! Itu hanya lelucon yang cocok kau dengungkan untuk anak ingusan, bego!

Aku berpikir, aku ada di sini hanya untuk mendapatkan huruf-huruf atau angka-angka yang sama sekali tak berarti. Aku berada di sini hanya untuk meraih gelar simbolis sampah. Karena aku salah jika aku mengharapkan ilmu di ruang yang penuh dengan kemunafikan ini.

Aku ingin segera pergi dari sini!

----

Hari ini aku kembali jalan-jalan ke salah satu tempat favoritku, sebuah danau buatan di dalam kampus Unhas. Menurutku tempat ini adalah tempat terindah yang ada di kampus Unhas. Suara kicau burung lebih sering terdengar ketimbang suara bising kendaraan, atau suara gosip yang sering terdengar dari koridor-koridor kampus.

Di sini tidak ada kemunafikan. Segala sesuatunya berjalan dengan semestinya. Segala yang ada di sini bertingkah sebagaimana adanya.

Daun-daun melambai lembut tertiup angin, begitulah mereka apa adanya. Capung-capung terbang merendah di atas air. Kaki-kakinya yang kecil mungil menyambar dan membentuk gelombang halus di permukaan air, dan memang begitulah mereka seharusnya. Mereka adalah sesuatu yang mempunyai harga diri.

"Aku mencintai sesuatu yang mempunyai harga diri. Alam memilikinya. Oleh karena itu, aku mencintai alam."

Kampus mulai sesak dengan kepura-puraan. Lihatlah model rambut ala vokalis band yang lagi naik daun. Coba dengar sorak sorai dari kantin. Sekarang mahasiswa lebih senang memegang kartu domino ketimbang buku. Dan lebih parah lagi, celana jeans superketat yang diadopsi dari acara-acara TV, di mana si pemakai tidak canggung sama sekali ketika belahan pantatnya tersingkap. Betapa jelas terlihat kepincangan kampus ini. - dream blog -

Selasa, 20 Juni 2006

Di Balik Kontes Adu Bakat

Dari awal saya jujur tidak suka dengan acara-acara seperti kontes AFI. Mereka menjual mimpi kepada para pemuda Indonesia. Dengan iming-iming menjadi orang terkenal, menjadi artis, kebanyakan dari kami mengorbankan apa yang kami miliki, tapi lihat hasilnya. Re-post dari postingan udung.blogspot.com ini mungkin dapat membuka mata kita pada realitas yang terjadi.

-------

Dibalik Kontes Adu Bakat

re-post dari postingan kaskus.com
http://kaskus.com/showthread.php?t=314260
dari irchfan - Radmilla, Node A Level IV Kampus FEMA IPB

Derita para Peserta AFI

Dua hari yang lalu gw ketemu dengan salah seorang personel AFI (Akademi Fantasi Indosiar). Selain lepas kangen (he..he) gw juga dapat cerita seru dari kehidupan mereka.

Di balik image mereka yang gemerlap saat manggung atau ketika nongol di teve, kehidupan artis AFI sangat memprihatinkan.

Banyak di antara mereka yang hidup terlilit utang ratusan juta rupiah. Pasalnya, orang tua mereka ngutang ke sana-sini buat menggenjot sms putera-puteri mereka. Bisa dipastikan tidak ada satu pun kemenangan AFI itu yang berasal dari pilihan publik. Kemenangan mereka ditentukan seberapa besar orang tua mereka sanggup menghabiskan uang untuk sms. Orang tua Alfin dan Bojes abis 1 M. Namun mereka orang kaya, biarin aja.

Yang kasian mah, yang kaga punya duit. Fibri (AFI 2005) yang tereliminasi di minggu-minggu awal kini punya utang 250 juta. Dia sekarang hidup di sebuah kos sederhana di depan Indosiar. Kosnya emang sedikit mahal RP 500.000. Namun itu dipilih karena pertimbangan hemat ongkos transportasi. Kos itu sederhana (masih bagusan kos gw gitu loh), bahkan kamar mandi pun di luar. Makannya sekali sehari. Makan dua kali sehari sudah mewah buat Fibri. Kaga ada dugem and kehidupan glamor, lha makan aja susah.

Ada banyak yang seperti Fibri. Sebut saja intan, Nana, Yuke, Eki, dll.

Mereka teikat kontrak ekslusif dengan manajemen Indosiar. Jadi, kaga bisa cari job di luar Indosiar. Bayaran di Indonesiar sangat kecil. Lagian pembagian job manggung sangat tidak adil. Beberapa artis AFI seperti Jovita dan Pasya kebanjiran job, sementara yang lain kaga dapat/jarang dapat job. Maklum artisnya sudah kebanyakan. Makanya buat makan aja mereka susah. Temen gw malah sering dijadiin tempat buat minjem duit. Minjemnya bahkan cuma Rp 100.000. Buat makan gitu loh. Mereka ga berani minjem banyak karena takut ga bisa bayar.

Ini benar-benar proyek yang tidak manusiawi. Para orang tua dan anak Indonesia dijanjikan ketenaran dan kekayaan lewat sebuah ajang adu bakat di televisi. Mereka dikontrak ekslusif selama dua tahun oleh Indosiar. Namun tidak ada jaminan hidup sama sekali. Mereka hanya dibayar kalo ada manggung. Itu pun kecil sekali, dan tidak menentu. Buruh pabrik yang gajinya Rp 900.000 jauh lebih sejahtera daripada mereka.

Nah acara ini dan acara sejenis masih banyak, Pildacil juga begitu. Kasian orang tua dan anak yang rela antre berjam-jam untuk sebuah penipuan seperti ini. Seorang anak pernah menangis tersedu-sedu saat tidak lolos dalam audisi AFI. Padahal dia beruntung. Kalau dia sampai masuk, bisa dibayangkan betapa dia akan membuat orang tuanya punya utang yang melilit pinggang, yang tidak akan terbayar sampai kontraknya habis.

*************************************
beda AFI, & mungkin IDOL di Indonesia ama di Amrik...

masih berminat untuk ikutan kontes adu bakat ?? - dream blog -

Selasa, 06 Juni 2006

Hari Ulang Tahun

Seharusnya kita tidak usah begitu peduli dengan hari lahir atau hari ulang tahun kita, yang kedatangannya setahun sekali itu. Tapi kita seharusnya jauh lebih peduli dengan hari mati atau ajal kita, yang kedatangannya bisa kapan saja.