Senin, 12 Maret 2012

Di Balik Jeruji Besi

Robby tertunduk dan sesengukan menangis. Disorot kamera TV dan mata-mata jalang pak polisi yang siap menghajar sewaktu-waktu. Sebelum ditempelengi pak polisi, dia digebuki massa karena mencopet. Mencopet dompet berisi uang dua ratus ribu rupiah. Badan kerempeng jadi babak belur benjut kena bogem di sana-sini. Kamera TV masih menyoroti, pertanyaan-pertanyaan mengalir deras, jadi bahan pemberitaan acara-acara TV yang ngga pernah dia nikmati. Dan pak polisi tampak makin angker.

Robby: Buruh bangunan usia muda. Nyopet dompet karena kepepet untuk kuret sang kekasih yang kepalang bunting. Dompet udah berhasil dibawa lari tunggang-langgang, tapi ternyata masih sial. Puluhan tinju dari belasan orang mendarat di atas kulit, juga di kepala dan wajah; sehingga bibir jontor dan mata bengep pedih nyut-nyutan. Lantas diseret pak polisi ke kantor polisi buat ditanya-tanya sambil digaploki (lagi) sama pak polisi. Wajah jelek amburadul tambah berantakan nggak karuan, rambut awut-awutan, dan rasa-rasanya kepengen pingsan.

Kamera TV sudah pergi dengan hati puas karena abis nyorot seorang copet sampah masyarakat buat ngisi acara kriminal siang di TV. Robby dilempar ke balik jeruji besi, telentang di lantai dan mulai merem melek. Pertama kepikiran bibirnya yang jontor, lantas kepikiran nasib karirnya sebagai tukang copet yang gagal di percobaan pertama, terakhir kepikiran pacarnya yang udah bunting jabang bayi - eh sekarang dianya masuk penjara. Sial bener. Merem melek berlanjut terus dan terus...

------
Keesokan paginya, di balik jeruji di sudut lain;

Akhirnya pagi, entah pukul berapa. Langit meremang biru di balik jeruji besi di seberang ruang. Udara dingin membekukan waktu, membungkus segalanya dalam kebungkaman subuh.

Pening di kepala belum hilang, dan belum kulupakan tampang dua laki-laki yang beberapa hari lalu memukuli, menyeretku ke tempat biadab ini, dan menghancurkan sumber hidupku; gerobak jualanku beserta isinya. Kantuk membayang sejak lama, tetapi mata ini enggan menutup. Tak ada apapun yang kutunggu, hanya sinar mentari pagi yang hangat.

Datanglah ia kini, seberkas sinar putih dari lubang jendela. Perlahan keheningan menguap bersama hari, dan mengendap membatu dalam jiwaku. pikiranku membeku, hanya sepotong tanya yang selalu muncul; bagaimana nasib anakku?