Kamis, 22 November 2007

Beton Tambun

Palem, sepupu nyiur
Tambur dikau dihimpit beton
Tak bebas, menyuntai daunmu terkulai

Palem, sepupu nyiur
Ada kulihat sedikit keanggunan
Meski tersamar keangkuhan tembok kota - dream blog -

Sabtu, 17 November 2007

Ngidam (cerpen)

Sisa-sisa keramaian belum terlihat jejaknya berangkat pulang. Kekagetan retina akibat kilat kamera bahkan masih memeluk urat-urat mata. Tetapi angin dingin sudah tak sabar hendak menjadi saksi atas malam kebahagiaan sang pengantin, lewat kisi-kisi bilik yang telah disiapkan untuknya sejak awal mula sebuah rumah. Keinginannya adalah mendahului sang perjaka menghirup aroma selaput keperawanan sang dara, aroma kembang tujuh rupa. Kelenjar kencingnya seolah-olah hendak meledak oleh kedongkolan yang tak sabar melihat wajah-wajah sumringah hadirin. Tidak seperti wajah kedua mempelai yang nampak kuyu akibat kelelahan yang dipanggulnya sejak pagi.

Ketika roda-roda malam mulai merambat miring melampaui siku-siku, akhirnya keramaian itupun lenganglah sudah sebab kedua mempelai telah diarak ke rumah mempelai perempuan. Langsung ke bilik pengantin. “Nah…akhirnya tiba juga yang ku inginkan, gumam sang bayu dalam jerit dedaunan akibat terinjak olehnya di samping bilik.

Kepalanya sudah menyembul dari kisi-kisi bilik itu ketika Bahrul, sang mempelai pria, minta obat gosok ke orang rumah. Bahrul bilang isterinya pegal-pegal, sang mertua hanya manggut-manggut. Sang bayu tak setuju lalu menyenggol daun jendela, menggoyang-goyangkannya bersungut. Tak mau ia bila keindahan malam pertama ini dinodai oleh bau menyengat ramuan minyak yang menusuk hidung itu. Apa daya, ia hanyalah samun yang hendak menyambar dalam pertolongan tenggat.

Tetapi tenggat yang dinantikannya tak kunjung tiba, malah kini justeru si bahrul yang meloroti gaun pengantinnya sendiri lalu lelap dalam usapan isterinya.
“Dasar pembual!” umpatnya dari balik bilik.

Dalam waktunya yang sekarat karena dipatuk kokok ayam, ia meronta-ronta lalu mencubit daun jendela agar berteriak membangunkan si Bahrul. Tetapi usahanya sia-sia sebab yang diterimanya hanyalah dengkur. Ia tumpas dalam penantiannya, terpanggang matahari lapar.


Si Bahrul pulas, seluruh badannya basah berkilap minyak. Sementara isterinya, terbangun paksa oleh genit matahari timur yang merangsang bulir-bulir air dari kelopak-kelopak kainnya.

“Lha, Widya... Bahrul bilang badanmu pegal-pegal minta dipijat, kok gaunnya belum dicopot juga?” suara ibunya menyergap dari meja makan yang terletak di sudut lain ruang keluarga mereka. Ia hanya menjawab dengan menyodorkan botol obat gosok sambil memijat-mijat lehernya sebagai isyarat agar dipijat.
“Memangnya suami kamu tidak bisa?”
“Bisa, tapi mijit yang lain”, katanya genit.
Ibunya tersenyum, “Dasar laki-laki” katanya.
Bahrul pun bangun, kemudian langsung mandi. Wajahnya lebih segar sekarang. Sarapan sudah disediakan isterinya, tetapi ia hanya mengangkat gelas kopi. Setelah berpakaian rapi, Ia pamit hendak keluar. Kepada mertuanya yang mencegatnya dengan tanda tanya, ia cuma bilang mau ke kampus, tanpa mengharapkan reaksi reaksi apa-apa.

Pada sebuah restoran, Ia memarkirkan kendaraanya lalu berhenti dan langsung mencari sebuah meja. Seseorang sudah menunggunya.

“Pagi!” katanya.
“Bagaimana kabar isteri kamu?” sambut orang itu.
“Biasa saja.” Katanya sambil menyulut sebatang sigaret pada mulutnya, menghembuskannya kuat-kuat.
“Apa selentingan yang aku dengar itu benar?”.
“Yang mana?” bahrul balik bertanya seolah bingung.
“Yang...” katanya sambil memperagakan sebuah gerak tangan di depan perutnya, tapi Bahrul langsung menimpali:
“Yang benar itu, aku belum tidur dengannya sejak akad nikah sebab selalu ingat sama kamu” katanya sambil memencet hidung orang itu.
“Ih! Sudah punya isteri masih genit, soal kamu sudah tidur dengannya atau belum bukan urusanku.”
“Kalau begitu urusan kamu apa?”
“Jatahku!” jawabnya bengis.

Sepeninggal Bahrul suaminya, Widya tampak gelisah dan uring-uringan sebab tak ada tempat berkeluh kesah. Semua orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tak ada seorang pun yang tahu kegundahan hatinya, tak ada seorang pun yang mau memahami apa yang diinginkannya, juga ayah dan ibunya. Kalau tidak tiduran, ia mondar-mandir atau menatap kosong dari balik jendela. Hatinya memendam kuatir dari ketakpastian yang sedang menderanya. Ia pernah berpikir bahwa hanya dengan pernikahanlah maka Bahlul akan dapat ditaklukkannya. Tapi kenyataannya? Saat ini memang sudah menjadi suaminya yang sah namun bukannya semakin perduli dan sayang padanya, malah semakin liar dan acuh.
”Jalan yang kupilih inikah buntu? Ahh.. walau buntu bagaimanapun aku harus bertahan, aku tak akan pernah mau diceraikan. Sudah kepalang basah sejak mula, Bahrul harus tetap bertanggung jawab. Tanggungannya tak akan terlepas oleh apapun.” gumamnya.

Menjelang sore hari Bahrul baru pulang, bersiul-siul ceria dan lebih cerah yang disambut mata merah dan sembab isterinya.

“Dari mana saja kamu seharian?” Isterinya bertanya dengan nada kesal.
Bahrul tak mengacuhkannya dengan gumam sebuah lagu yang sedang hits.
“Kamu pasti dari menemui perempuan itu.” isterinya mulai menangis.
“Memang kenapa kalau aku menemui dia, hah? Kan, sebelum kita nikah aku sudah bilang kalau aku tidak mencintai kamu dan karena itu sebaiknya kita putus saja. Tetapi kamu malah mau mati kalau aku tidak bertanggung jawab dengan segera menikahi kamu.” damprat Bahrul.
”Kalau begitu, sekarang akupun akan mati!” isterinya mengancam.
”hah?”Bahrul kaget mendengar ancaman itu, ancaman yang sama yang membuatnya kehabisan akal dan membuatnya takluk oleh perempuan itu. Beberapa hari selanjutnya Ia tak kemanapun, giliran Bahrul yang uring-uringan dan tampak lesu, kuyu seperti kehabisan tenaga.
Tiga hari kemudian, Widya muntah-muntah. Tetapi Bahrul terlihat santai saja, hanya keluarga isterinya yang terlihat sibuk. Mertuanya bilang mungkin cuma masuk angin saja karena terlalu sering mandi. Tapi sudah seharian mual-mual saja kerjanya dan belum makan apapun. Segala macam obat masuk angin sudah diberikan tapi hasilnya nihil.

Orang rumah yang selalu sibuk dengan kegiatannya masing-masing mulai kuatir melihat keadaan Widya pada suatu Minggu pagi. pada hari itu, Mertua si bahrul bangun lebih pagi dan menunggu saat-saat keluarnya Bahrul dari kamarnya. Hanya beberapa saat, yang ditunggu sudah keluar dengan tampang yang lebih parlente dari biasanya.
“Bagaimana tesis kamu?”.
“Eh, Ayah! Anu, sudah beberapa hari saya urus tapi belum kelar-kelar, maklum, dosen pembimbing saya sedang sibuk proyek” Bahrul menjawab gagap.
“Ada baiknya isteri kamu diperiksakan ke dokter, sudah beberapa hari saya amati ia tersiksa.” Bahrul ingin membantah, Tapi lidahnya kelu. Ia merasa ditegur lalu buru-buru ke kamarnya lagi tanpa sepatah kata pun.
“Ayahmu mau kita ke dokter, bersiap-siaplah! Saya masih punya banyak urusan.” katanya pada isterinya dengan kasar.
Dengan sempoyongan, isterinya bangkit dari pembaringan dan berhias seadanya lalu menyandang tas tangannya. mereka berangkat. Pada waktu tengah hari yaitu sekembalinya dari dokter dengan membawa jambu keprok yang dibelinya, Bahrul yang telah berada pada puncak kedongkolannya akhirnya kambuh dengan kebiasaan lamanya, hanya saja waktunya paling-paling dua sampai tiga jam. Sudah lima hari kejadian yang sama sepertinya hanya terulang saja, sedangkan ’masuk angin’ isterinya kadang berhenti kadang kambuh.

Pada suatu hari bahrul pulang membawa sekeranjang mangga muda.
“Pesanan isterimu ?” Tanya mertuanya yang menyambutnya dengan wajah sumringah.
Bahrul hanya mengangguk karena disergap gugup.
“Tidak usah gugup, santai saja. Mengetahui kita akan menjadi ayah untuk pertama kalinya memang mendebarkan, tapi itu hal yang wajar saja.”
Bahrul mengangguk lagi seolah membenarkan lalu segera berlalu ke kamar dengan pisau dapur
“Loh,…jambu keprok saya mana?” Sergah isterinya.
Bahrul keluar lagi, hendak mencari yang diminta isterinya, beberapa saat kemudian Ia kembali dengan sekeranjang jambu keprok.
Di hari lain masih dalam bulan itu, Bahrul tetap larut dalam kebiasaan ‘keluar beberapa jamnya,’ sementara kian hari tubuh isterinya kian tipis sebab tiap hari makan hati, dimulai sejak malam pertama resepsi pernikahan mereka. Bayang-bayang kelesuan dan kelelahan pada hari yang melelahkan itu seolah belum hilang juga hingga saat ini entah sampai kapan.
“Kamu suka betul makan mangga, Kira-kira seperti apa nantinya cucu saya ya?” Kata ibunya pada suatu hari ketika melihat mangga di keranjang tinggal tiga biji. Mendengar itu, isteri bahrul mengerutkan dahi tak mengerti.
“Cucu ?”
“Ya, cucu. Kamukan sedang hamil toh ?”
Isteri bahrul makin mengerutkan dahinya tak mengerti, ia menggeleng.
“Ya ampun, saya makan jambu keprok itu karena kawan saya bilang kandungannya ada yang mirip zat pada tomat, bisa menetralisir asam lambung. Tempo hari dokter bilang saya menderita maag kronis.”
“Maag kronis kok makan mangga muda banyak begitu ?” Ibunya ganti bingung.
“Mangga muda itu, bukan aku yang makan, tapi suamiku”
“Lho? Jadi kamu tidak hamil? Benar? Kalau begitu, apa yang terjadi dengan Bahrul?” Ibunya masih tidak percaya. Wajah yang sumringah hendak menimang cucu sudah sirna ganti kecewa.

Lewat magrib, Bahrul pulang menenteng mangga muda dan langsung ke kamar, disambut oleh amarah dan tangis histeris isterinya. Ribut-ribut dan cek-cok terjadi semalaman. Pagi-pagi betul, tatkala belum satupun orang rumah yang terjaga Bahrul keluar tergesa sehingga mertuanya tak sempat menyapanya. Pada sore harinya, Bahrul tak pulang. Juga ketika hari telah pagi kembali.

Pagi itu, Isteri bahrul mengunci diri di kamar dan tak pernah keluar lagi, sesekali mengerang-ngerang lalu suaranya hilang. Pada pukul 08:00 rumah lengang, orang rumah berangkat kerja, tinggal pembantu saja yang berada di rumah. Pukul 13:00, pembantu rumah menggedor-gedor kamar isteri Bahrul untuk makan siang tapi tak ada jawaban, ia mengintip dari celah daun jendela dan melihat isteri bahrul tengah tertidur. Pukul 16:00, mertua Bahrul laki dan perempuan pulang dari kantor, gelisah karena anaknya masih mengunci diri dan pembantu bilang belum makan apapun. Pukul 18:00 Mertua si bahrul menggedor-gedor pintu, tetapi sia-sia. Akhirnya, diputuskanlah untuk membuka pintu secara paksa. Mertua si bahrul meraung histeris menyaksikan anaknya terlentang di pembaringan, urat nadinya putus. pembantu rumah menghubungi pak RT. Sesaat kemudian, polisi tiba. Begitulah kesaksian pembantu rumah tangga dalam kesaksiannya kepada polisi yang memeriksanya.

Hasil visum dokter menyatakan kalau Isteri bahrul meninggal karena kehabisan darah, dipastikan bunuh diri. Dalam rahim korban juga ditemukan janin yang sedang tumbuh, usianya sebulan lebih. Mertua bahrul protes sebab dokter yang pernah memeriksa anaknya cuma mendiagnosis maag kronis. Sang dokterpun diperiksa, ternyata ada persekongkolan antara sang dokter dengan Bahrul maka keduanya ditahan. Sementara mereka ditahan, Bahrul meminta dibelikan mangga muda. Empat bulan kemudian kasus mereka disidangkan. Si Dokter dihadirkan sebagai saksi pada pengadilan dengan Bahrul sebagai terdakwanya, demikian juga sebaliknya. Dalam persidangan, terlihat perut sang dokter buncit sedangkan Bahrul tak tahan ingin makan mangga muda.