Tampilkan postingan dengan label Celoteh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Celoteh. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Desember 2007

Seru-Seru Dari Balik Kematian

"Si mati, yang malang itu disandanginya dengan kafan perpisahan, kemudian ia masukkan ke liang lahat. Dengan sekuat tenaganya, oleh seluruh kesanggupan yang ia miliki diletakkannya si mati berhati-hati. Iringannya bukan doa-doa, melainkan pedih penyesalan dan urai air mata sebab Ia mati di tanah yang tiada dikenalinya sama sekali.

Tiada pelayat, tak ada kata-kata penghiburan. Tiada kapur barus menusuk hidung, tiada wangi kamboja melainkan rasa nyinyir dan hampa. Seorang diri Ia di tepi kematian. Di atas nisan dituliskannya: O… Belahan Jiwaku Tenanglah Dikau Kini, Tak Perlu Menginginkan Apa-Apa Lagi. Itulah sebutannya, itulah nama yang akan dikenangkannya sepanjang hayatnya.


Ditinggalkannya tempat itu, tapi bukan kembali ke rumah duka melainkan tiada kemana-mana. Sebab sejak saat itu, seluruh sudut kini adalah rumah duka baginya dan seluruh makhluk kini adalah kawan berbagi duka baginya. Tetapi tidak juga ia datang membawa dukanya bagi mereka melainkan mengambil dan mengangkat duka-duka mereka ke atas punggungnya sendiri sehingga terlihatlah oleh mereka itu kalau tiada lagi yang pantas mereka sesali dan tangisi kecuali sang pengelana sendiri.

Dialah sang pengelana lorong-lorong sunyi abadi, yang langkahnya ringkih dan tatapannya kosong. Menyesali nasib, mengeritik takdir. Bahwa kadang nasib ini, takdir itu, tertelan secara paksa dari dan oleh sesama sendiri. Dilagukannya nyanyian ratapan, menikmati pilu.

"Tiada guna empati, tak perlu belas kasih: simpanlah untuk dirimu sebab kelak kau akan butuh. Sungguh semua itu tiada berterima bagiku, sudahkan saja. Karena akupun telah tahu. Dengan apa ‘kan kau bayar kematian kecuali oleh kematian? Akhiri saja duka dan bela sungkawamu. Semua ini, kepura-puraan itu: hanya menyakitkan hatiku. Belumkah petakaku ini telah membuat dirimu tampak? Bukankah dukaku telah melapangkan hatimu, meringankan pikiranmu? Bahwa ada aku yang lebih merana!"

Dengan mulutnya menenteng air liur disusurinya lereng-lereng kenikmatan, tapi mendadak segalanya tampak beku baginya dan olehnya itu tak satu juapun mampu mencairkannya. Dengan peluh yang berteriak-teriak karena kepanasan lalu menguap bersama kabut yang dingin, didakinya gunung gemunung dan dilihatnya kemegahan. Lalu iapun berontak.

"Untuk apa rasa hormat, guna apa ketundukan dan apa guna seluruh dunia bertekuk lutut? Toh semuanya hanyalah telekung kemunafikan dan kacak kepongahan. Seekor semut yang tak mampu menyangga bebanmu, itu yang kau sebut penaklukan? Atau mencocok hidung kerbau raksasa yang tak mampu berpikir bahkan apa dirinya lalu kau sebut dirimu berkuasa? Sungguh pilihanmu hanyalah membagi-bagi harta rampasan kepada mereka yang mengelu-elukan namamu dan setelahnya mencibirmu, ataukah mengembalikannya kepada mereka yang darinya semua itu terampas dan setelahnya tak menganggapmu apa-apa!"

"Bagiku semua itu hanyalah kepalsuan, umpama sebuah batu yang setiap harinya kau injak-injak, kau buangi kotoranmu serta ludah berdahakmu. Lalu dengan kepongahanmu engkau angkat ia dari kejumudan pikiranmu dan kau jadikan hiasan di atas kepalamu dan mengatakan inilah kebahagiaan; seni, keindahan, hidup. Kepadanyalah seharusnya tujuan-tujuan yang sedang kita rancang di arahkan. Lalu apa setelahnya? Kehampaan! Nihil! Sampai kapan kepura-puraanmu akan bertahan? Sampai berhala-berhalamu itu berkata-kata kepadamu dengan kata-kata yang dapat kau indrai?"

Bahkan menurutnya seorang pengingkar Tuhan sekalipun mengangkat tuhan-tuhan lain ke dalam hidupnya, berhala itu. Sementara bagi mereka yang menganggap dirinya ber-Tuhan? Tak jauh berbeda, bila yang pertama menyangkal keberadaan Tuhan, yang terakhir merampoknya.

"Dan kau yang mensucikan kata-katamu sendiri, pikirmu kau pun akan selamat? Ingat-ingatlah apa saja yang telah kau kebiri dari-Nya atau bila tidak, kukatakan satu hal: engkau telah merampok jubah kebesaran Tuhan-mu, dan menyisakan padanya hanya kulit pembalut tulang dan membuatnya terpaksa memperlihatkan segala sesuatu yang tak ingin diperlihatkan-Nya. Kalianlah yang telah menghujat Tuhan, aku hanya menunjukkan kebenarannya. Tetapi bila kalianpun ingin mengambil darahku, halalkanlah bagi kalian dan aku akan memberikannya dengan senyuman."

Dan bagi keduanya, "Sungguh batu-batu ini telah berteriak kepadamu dan memperingatkanmu tetapi tak satu suarapun mampu kau tangkap karena yang kau pahami hanyalah apa yang nikmat bagi dirimu, itulah kedunguan dan kebebalanmu, tak terkecuali kau!"

Dari sana ia bertolak ke jurusan yang lain, selalu saja ada yang diratapinya.

"Ah... bebatuan alangkah malangnya dunia kita. Seperti dirimu yang kadang terinjak kaki-kaki tak tahu diri pada suatu waktu, di waktu yang lain diangkat dan menjadi yang terpenting dari segala yang ada. Tetapi seperti buih-buih di lautan menentang ombak, beitulah kita akan selalu menentang zaman, tak perduli pada akhirnya akan lenyap jua. Dan bila kelak kita sudah punya kekuatan untuk memilih, aku ingin menguap dalam panas dan lenyap, daripada lebur dalam arus yang menyesakkan ini.

Aku memang telah mengubur harapan dan cita-citaku bersama bersama ambisi dunia ini, tetapi lihatlah! Satu asa yang lain tengah mendekatiku. Maka aku takkan kalah oleh keadaan yang telah berpihak ini. Kami akan mampu memilih, karena kami tengah membuat pilihan yang lain. Banyak makhluk akan menjadi seperti kami, membuat pilihan-pilihan mereka sendiri.

Dari setiap arusmu timbul riak, dari setiap riakmu timbul buih. Buih-buih itulah yang kelak akan bangkit bersama kami dan membuat arus besar ini tak lagi berarti. Wahai yang kehilangan harapan! Hai yang ditinggalkan kesempatan lalu kehilangan keinginan! Atas restu siapakan engkau menerima keadaanmu?

Wahai engkau pembuat petaka kami! Yang bercermin di depan luka penderitaan ini! Pikirmu kaukah rupawan dengan riasan-riasan itu? Maka akan kau lihat malapetakamu menjemput, sebab semua telah bangkit melawan engkau bahkan batu-batu ini. Sebab hari-hari kami telah kembali, hari dimana jantung berdegup kencang dalam gairah perlawanan. Mencibirlah, meludahlah dengan dahakmu yang kekuningan itu ke atas kepala kami. Bahkan tumpahkanlah segala kekotoranmu di atas kepala kami sebab bagi kami, semua itu adalah minyak urapan yang berbau harum, baiat atas hari-hari sial kalian.

Pikirmu kemanakah perginya keberanian kami terhadap kematian? Kemanakah dendam-dendam? Kemana doa-doa? Tak perlu kau cari, sebab ia akan datang padamu dalam suara gemuruh yang tak akan kau sangka-sangka, lalu hati kami akan larut dalam sorak-sorai dan gegap-gempita karena itu, setelahnya kami akan larut dalam tangis sesengukan yang tak perlu kau dengar.

Sebab tiada guna empati, tak perlu belas kasih: akan kusimpan untuk diriku sendiri sebab kelak aku pun akan butuh. Sungguh semua itu tiada perlu kau terima, sudahkan saja. Karena kaupun telah tahu. Dengan apa ‘kan kau bayar kematian kecuali oleh kematian? Akhiri saja duka dan bela sungkawa. Semua ini, kepura-puraan itu: hanya menyakitkan hati. Petakamu ini telah membuat diriku tampak. Dukamu telah melapangkan hatiku, meringankan pikiranku. Bahwa ada engkau yang lebih merana!" - dream blog -

Senin, 09 Oktober 2006

Surat Yang Tidak Pernah Sampai

Assalamualaikum.

Sebelumnya aku ingin minta maaf. Aku ingin menceritakan sesuatu kepadamu. Mungkin ini kedengarannya lucu, konyol, bodoh. Tapi hal itu justru sangat mendorongku untuk menuliskan surat ini. Dan sebenarnya aku berharap, kamu tidak akan pernah membuka lembaran ini, karena ada hal di dunia ini yang kita tidak harus mengetahuinya.

Malam itu, aku bermimpi. Aku bermimpi tentang dirimu. Mimpi yang membuatku bahagia bercampur sedih. Bahagia karena aku bersamamu, walaupun hanya dalam mimpi. Sedih, karena ternyata mimpi itu tidak berakhir seperti yang aku inginkan.

Ketika aku terbangun, tiba-tiba aku merasakan kerinduan yang amat sangat kepadamu. Serasa aku ingin kembali ke mimpi itu dan ingin segera bertemu denganmu lagi. Lama sekali aku memandangi langit-langit kamar, berfikir gerangan apa yang aku rasakan? Mengapa tiba-tiba aku merindu? Dan tak terasa aku menitikkan air mata.

Ketahuilah. Akulah orang yang paling sering memandangimu dari kejauhan. Seandainya bangku-bangku kayu itu adalah makhluk hidup, mereka pasti tahu itu. Tiap sudut di lorong-lorong koridor yang suram, mereka akan membenarkan itu. Mereka tahu kalau aku memandangimu lama sekali. Tapi ketika kamu membalas tatapanku, aku tertunduk. Aku merasa tidak pantas disoroti oleh kemilai keindahanmu. Aku memang bodoh. Aku seharusnya mengucapkan salam. Atau paling tidak, memberikan senyuman. Tapi tidak tahu mengapa, aku tidak bisa saja.

Aku menulis ini, aku hanya ingin menumpahkan perasaanku saat ini. Aku tidak berharap kamu membalasnya, atau menyapaku ketika kita bertemu lagi suatu saat nanti. Aku bahkan berharap kamu tidak pernah mengetahui keberadaan tulisan ini. Biarlah kerinduanku ini kutumpahkan lewat tulisan ini. Atau lewat orang-orang dekatku di dunia nyata dan dunia maya.

Selasa, 27 Juni 2006

Kampus Muak!

Aku muak denganmu. Aku muak mendengar celoteh remeh temeh kalian. Aku datang ke sini bukan untuk itu, taukah kalian? Aku dan orang-orang yang kucintai telah berkorban agar aku bisa ada di sini! Tapi ternyata lihat apa yang kudapat.. Sekelompok orang dungu yang berkoar-koar tentang ilmu. Sebentar. Jadi itukah yang kalian sebut ilmu? Heh? Yang benar saja! Itu hanya lelucon yang cocok kau dengungkan untuk anak ingusan, bego!

Aku berpikir, aku ada di sini hanya untuk mendapatkan huruf-huruf atau angka-angka yang sama sekali tak berarti. Aku berada di sini hanya untuk meraih gelar simbolis sampah. Karena aku salah jika aku mengharapkan ilmu di ruang yang penuh dengan kemunafikan ini.

Aku ingin segera pergi dari sini!

----

Hari ini aku kembali jalan-jalan ke salah satu tempat favoritku, sebuah danau buatan di dalam kampus Unhas. Menurutku tempat ini adalah tempat terindah yang ada di kampus Unhas. Suara kicau burung lebih sering terdengar ketimbang suara bising kendaraan, atau suara gosip yang sering terdengar dari koridor-koridor kampus.

Di sini tidak ada kemunafikan. Segala sesuatunya berjalan dengan semestinya. Segala yang ada di sini bertingkah sebagaimana adanya.

Daun-daun melambai lembut tertiup angin, begitulah mereka apa adanya. Capung-capung terbang merendah di atas air. Kaki-kakinya yang kecil mungil menyambar dan membentuk gelombang halus di permukaan air, dan memang begitulah mereka seharusnya. Mereka adalah sesuatu yang mempunyai harga diri.

"Aku mencintai sesuatu yang mempunyai harga diri. Alam memilikinya. Oleh karena itu, aku mencintai alam."

Kampus mulai sesak dengan kepura-puraan. Lihatlah model rambut ala vokalis band yang lagi naik daun. Coba dengar sorak sorai dari kantin. Sekarang mahasiswa lebih senang memegang kartu domino ketimbang buku. Dan lebih parah lagi, celana jeans superketat yang diadopsi dari acara-acara TV, di mana si pemakai tidak canggung sama sekali ketika belahan pantatnya tersingkap. Betapa jelas terlihat kepincangan kampus ini. - dream blog -

Jumat, 28 April 2006

Ironi Negeriku

Indonesia membayar utang luar negeri sebesar Rp71,9 trilyun, yang terdiri dari pembayaran cicilan pokok Rp46,8 trilyun dan pembayaran bunga Rp25,1 trilyun. Beban tersebut setara dengan 2,8 kali pengeluaran pemerintah pusat untuk pendidikan, 10,6 kali pengeluaran pemerintah pusat untuk kesehatan, 32,7 kali pengeluaran pemerintah pusat untuk perumahan dan fasilitas umum, 119,8 kali pengeluaran pemerintah pusat untuk ketenagakerjaan, 27,7 kali pengeluaran pemerintah pusat untuk lingkungan hidup. Ironis memang, tiap rakyat yang ada di sini memikul utang. Bahkan tiap rakyat yang belum ada, dengan kata lain yang belum lahirpun sudah memikul utang. weleh. - dream blog -

Selasa, 17 Januari 2006

Di Sampingmu

Kemarin aku melihat sekelompok mahasiswa yang menghabiskan waktunya di kantin kampus, main domino sambil ngopi dan merokok. Pagi tadi aku melihat ada sekelompok mahasiswi yang menghabiskan waktunya di koridor kampus, menunggu dosen pengajar sambil berharap dia tidak datang mengajar. Baru saja aku melihat ada orang yang menghabiskan waktunya di ruang senat, baca koran sambil mendengar musik yang diputar dari komputer senat.

Tapi, aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu, dinda. Aku ingin duduk tepat di sampingmu walau yang kubisa hanya terdiam dan mematung. Aku ingin berada di dekatmu walau yang kubisa hanya sesekali mencuri pandang ke arah matamu, untuk kemudian kembali menatap ke arah ujung sepatuku yang mulai usang oleh lumpur dan debu. - dream blog -

Selasa, 27 Desember 2005

Dream Blog Launched

The birth day of "Da dream blog diary". Horray!

Hari ini ada satu lagi situs yang mengambil tempat dunia maya hanya untuk memuaskan ego seorang manusia. Aku tak peduli.

Gak ada tiup2 lilin, gak ada potong2 kue.. yang ada cuma seorang pemuda kurus dekil yang sedang memelototi monitor. Rambutnya lepek urakan, bau keringatnya menyengat, jerawatan, celana robek.. Matanya merah dan berair akibat begadang. hyyy... pokoknya sangar deh.

Saatnya untuk istirahat. Ngantukk.