Minggu, 16 Desember 2007

Sang Pemburu (Epilog)

Baca dulu: Sang Pemburu (Prolog), dan Sang Pemburu

Matahari bersinar cerah, menerpa dedaunan. Butir-butir embun berkilau bagai mutiara. Ia perhiasan pagi. Seekor pipit terbang sendiri, celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan. Tidak tenang, hinggap pada sebuah ranting semak. Sesekali berkicau, tetapi bukan bernyanyi; seperti memanggil-manggil. Tak lama setelahnya, serombongan pipit lain menghampirinya lalu keadaanpun menjadi ramai dalam kicau, riang dan gembira. Lompat ke sana kemari, dari ranting yang satu ke ranting yang lain. Tak lama, rombongan itupun terbang bersamaan ke arah datangnya rombongan itu.

Di bawah mereka, air berarak tak sabar. Dorong mendorong, sesekali buih tumbuh dari riaknya lalu lenyap dalam desau. Suara-suara pipit juga tertelan olehnya tetapi tak lama dan lama kelamaan nyanyian mereka terdengar dengan lebih jelas. Mereka terbang semakin jauh, garis-garis membentuk kotak mulai tampak di bawahnya. Semakin dekat, kotak-kotak itu semakin hilang digantikan dengan hamparan hijau kekuningan. Rombongan itu terbang rendah lalu hinggap dan menyatu dalam hamparan. Mereka berpesta dengan lagu-lagu riang yang tanpa akhir. Tapi pesta itu tak berlangsung lama, sebuah suara teriakan yang keras merusak pesta. Para pipit seketika kacau balau, melesat ke langit membelah awan.

"Hush! Hush!" seorang petani terlihat gusar, ia tak rela padi-padiannya dipanen para pipit sebelum dirinya. Besok baru padi-padi ini dipanen, setelah itu kalian baru boleh mengambil bagian. Petani itu menggumam sendiri. Para pipit yang terserak panggil memanggil dan kembali menyatu sebagai kawanan di angkasa biru lalu menukik dan hinggap pada sebuah pohon. Suasana mereka riuh seolah sedang saling bercerita kepanikan masing-masing.

Sementara itu, di hamparan yang lain segerombolan orang sedang larut dalam hiruk pikuk musim panen. Menuai bulir-bulir dan mengumpulkannya jadi satu. Harum aroma jerami menusuk semangat dan harapan mereka. Anak-anak tak mau ketinggalan dalam keriangan; berkejaran di pematang, meniup bunyi-bunyian dari batang jerami, mengumpulkan bulir-bulir yang tercecer, bermain-main dengan kerbau yang sedang memakan jerami.

Di sudut hamparan yang lainnya, seorang anak kecil sedang berkejaran dengan dua ekor anjing berwarna putih dan hitam di atas pematang. Anak itu juga masih belia. Sepertinya sedang bermain-main dengan riang, tetapi juga berteriak-teriak "Hush! Hush!" kemudian kembali lagi ke sebuah rumah sawah tak berdinding di tengah hamparan itu. Ia bertelanjang dada. Pada pinggulnya melilit pewo, celana yang terbuat dari kulit kayu.

Ketika tiba di pondok, ia berseru-seru "Ibu!, ibu!...kami sudah lelah, lapar!". Seorang perempuan muda lalu terlihat menuruni tangga, membasuh kaki dan tangan anak kecil itu. "Naiklah, biar ibu yang menghalau burung-burung itu." Katanya sambil mengangkat anaknya "Makan yang banyak, supaya kamu cepat besar." Ujarnya lagi sambil menyuapi anaknya. Setelah anak itu selesai makan, sang ibu melanjutkan pekerjaannya. Rupanya ia sedang merajut daun pandan dan rotan. Bermacam-macam yang sudah dirajutnya; bakul, topi lebar, tikar.

Menjelang sore, mereka baru kembali ke rumah, sang anak memberi makan ayam-ayam sedangkan ibunya membersihkan diri di pancuran lalu duduk-duduk di beranda menikmati senja.

Sang anak berdiam di depan lalikan, mempermainkan ranting kayu yang sedang terbakar. Sesekali kepalanya menoleh ke arah pintu. Ia seperti sedang kesal, hatinya galau. Anak anjingnya melolong-lolong, seperti sedang menangis. Mungkin mereka sedang merindukan induknya seperti ia sedang menantikan ayahnya. Ibunya membawakan anak-anak anjing itu air nasi yang dicampurnya dengan kaldu daging, anak-anak anjing itupun berhenti melolong. Tetapi wajah sang anak tetap murung.

Sementara itu, ibunya yang sedang sibuk memasak makan malam sebenarnya juga sedang gelisah. Bukan baru sekali ini, melainkan setiap kali suaminya pergi berburu. Terlalu banyak yang mulai ditakutkannya; dirinya dan anaknya, suaminya. Ia sesengukan. Tetapi karena tak mau anaknya mengetahui kegundahannya, buru-buru ia menarik nafas lalu menghembuskannya keras-keras seolah sedang batuk. Ia menoleh pada anaknya lalu kaget karena ternyata anaknya sedang memperhatikannya, mereka saling bertatapan. Ia kikuk, tak sepatah katapun mampu diucapkannya untuk mengalihkan suasana. Sang anak mendekati dan merangkul Ibunya, mereka pun larutlah dalam satu perasaan tanpa kata-kata.

Setelah suasana hatinya agak tenang, sang Ibu pun bertanya "Kamu sudah lapar?" Sang anak hanya menggeleng. Ibunya kembali terdiam, ia tahu benar perasaan anaknya. Meski masih kecil, ia telah mampu memikirkan hal-hal yang dekat dengan dirinya, mengidentikkan perasaannya dengan perasaan mereka, menganggap mereka itu bagian dari dirinya. Tak perduli itu binatang, tumbuhan maupun kawan-kawan sebayanya.

Ia teringat, pernah suatu kali seorang kawannya dicubit sampai menangis oleh Ibunya karena tidak menggembalakan kerbaunya. Anaknya marah dan berteriak-teriak meminta agar telinga temannya dilepaskan. Apalagi dengan anak-anak anjingnya?  Memikirkan semua itu, hatinya kembali tenang, kesedihannya berganti pikiran-pikiran tentang akan seperti apa anaknya kelak.

Sang anak sebenarnya telah tertidur di bahu Ibunya ketika tiba-tiba riuh rendah anjing-anjingnya mengagetkannya. Dengan sigap, Ia berlari kearah pintu. "Ibu! Bapak pulang! Bapak pulang!" serunya kegirangan meski ayahnya belum muncul dan baru anjing-anjingnya yang tiba mendahuluinya. Bagi mereka, hal itu adalah pertanda kalau Sang Pemburu sudah pulang. Tak lama kemudian, ayahnya telah terlihat di tangga.

"Panggil ibumu, bantu bapak." Kata ayahnya kepadanya, tetapi yang diperintah malah berlari ke kolong rumah. "Kekasihku!, bantu saya mengangkat barang-barang ini!" serunya memanggil isterinya.

Malam itu, sebuah keluarga kembali berkumpul. Semua kekuatiran seolah luruh seketika. Larut dalam malam kebahagiaan. Berbumbu madu beraroma harum daging diselingi cerita Sang Pemburu kepada keluarganya, disambut kekaguman dan rasa bangga anak dan isteri.

-----

Selalu begitu, begitu selalu. Meski begitu, siapa yang bisa meluruhkan kegundahan? walau kekuatiran mereka polos dan sederhana saja, tidakkah itu pertanda? Bahkan binatang ternak memiliki naluri yang sama. Dan Sang Pemburu? Ia pun hidup dalam bayang-bayang kebetulan, tak lebih. Ia hanya bisa meraba-raba bahasa alamnya.

Ketika rembulan tampak sebagai sabit, separuh atau bak penampih sang dewata, ia menunjukkan pesannya sendiri. Angin gemunung membawa wanginya sendiri, tergantung ia berhembus dari mana. Arak-arakan awan dilangit, garangnya sang mentari, cerahnya pagi atau muramnya senja membawa pesan cuaca bagi mereka. Rangkaian bintang gemintang tampil mengabarkan pesan kapan mereka sebaiknya berburu dan kapan sebaiknya menyemai. Bahkan riak dan desau air juga adalah pesan yang lain. Kesemua itu pertanda, alam tak pernah alpa menghadirkannya.

Mereka ini pun telah maklum. Sayang, di hati anak-anak matahari itu sudah mulai tertambat jarak. Jarak yang lambat laun mulai membelah diri...

0 komentar: