Sabtu, 02 Desember 2006

Bayang-Bayang Kenangan

Di rumah, di kampung, segalanya telah berjalan seperti biasa pada musim kemarau; kipas dinyalakan, dan di pagi hari, ketika anak-anak kecil bersiap ke sekolah, suasana gelap, dan para orangtua membenarkan letak topi anak-anaknya yang agak miring. Udara mulai dingin. Ketika hujan pertama turun, dan untuk pertama kali payung difungsikan, enak rasanya memandang bumi yang basah, atap-atap basah. Napas terasa empuk, nyaman, dan saat itulah terkenang masa muda. Pohon-pohon Beringin yang basah oleh embun beku memancarkan wajah lembut. Pohon-pohon itu terasa lebih akrab pada jiwa dibandingkan manusia-manusia yang satu-dua mulai terlihat berlalu-lalang di jalan, dan karena keakraban itu tidak ingin rasanya aku mengingat tentang kuliahku yang belum juga kelar.

Aku besar di Sengkang. Aku tiba kembali di kota itu pada suatu hari yang cerah, dingin. Ketika aku sudah mengenakan jaket, menelusuri Jl. Pahlawan, dan pada petang hari mendengar suara adzan mesjid, perjalanan yang belum lama kulakukan dan tempat-tempat yang pernah kukunjungi kehilangan segala pesonanya. Sedikit demi sedikit aku pun tenggelam dalam kehidupan kota Sengkang; dengan lahap aku habiskan dua koran sehari. Aku sudah hendak pergi ke pinggir sungai Walennae, Clasic Disc, undangan Akiqah, dan aku merasa tersanjung melihat rumahku didatangi oleh sahabat-sahabat lama, dan di Clasic aku bermain kartu dengan para penganggur.

Lewat sekitar sebulan, terasa olehku hari-hari yang masih terselimut kabut kenangan, dan hanya sesekali nongol dalam mimpi dengan senyum menyentuh, seperti mimpi-mimpi yang lain. Tapi lewat daripada sebulan datanglah musim hujan menggigit, dan di dalam kenangan segalanya tampak terang, seakan baru kemarin aku berpisah dengan hari-hari itu. Kenangan itu menyala terus makin lama makin hebat. Apakah di tengah keheningan malam terdengar suara keponakan-keponakanku yang sedang mempersiapkan pelajaran, apakah terdengar olehku lagu nostalgia atau bunyi mesin dari bawah rumah, atau dengungan angin hujan di atap rumah, kembali tiba-tiba aku hidup dalam kenangan tentang segalanya: apa yang terjadi di sekolah, pagi hari berkabut di Pattirosompe bersama saudaraku tercinta, becak pengangkut yang datang dari pasar Sentral. Lama aku berjalan mondar-mandir di kamarku, mengingat, dan tersenyum, dan kemudian ingatanku berubah menjadi kenangan, dan apa yang sudah berlalu dalam angan-angan itu pun bercampur dengan yang akan datang.

Kenangan-kenangan itu bukannya terlihat olehku dalam mimpi, tapi mengikutiku ke mana-mana seperti bayangan, dan menghantuiku. Dengan mata terkatup aku dapat melihat hari-hari itu sebagaimana adanya, dan tampak lebih indah, lebih muda, lebih mesra daripada waktu itu; dan aku sendiri pun merasa lebih baik daripada waktu itu. Saban malam kenangan itu memandangku dari lemari pakaian, dari rak-rak buku, dari langit-langit kamar, dan aku mendengar senandungnya, gemerisik mesra suaranya. Di Makassar, dengan perasaanku aku mengikuti hari, mencari, tidak adakah di antara hari-hari ini yang mirip hari itu... Bahkan aku sudah tenggelam dalam hasrat kuat untuk berbagi kenangan dengan seseorang. Namun di kost tidak mungkin aku bicara tentang cerianya, sedang di luar kost, tidak ada orang lain. Tidak mungkin hal itu dibicarakan dengan tetangga, tidak juga di kampus. Dan lagi, apa yang harus dibicarakan? Apakah memang ada sesuatu yang indah, puitis, atau edukatif, ataukah itu sekedar hal yang menarik, dalam hubungan dengan kenangan?

Maybe next year will be better than the last. - dream blog -

0 komentar: