Sabtu, 26 Mei 2007

Sindrom Menara Babel (selesai)

Sistem Pendidikan Dan Integrasi Bangsa

Bahwa sindrom menara babel menggerogoti manusia, peradaban dan kebudayaannya. Akibatnya mereka tak lagi mengenal dirinya satu sama lain dan karena itu tercerai-berai. Kenyataannya setelah manusia-manusia berpenyakit itu berpencar ke seluruh bumi, insting dan akal yang mereka miliki memungkinkan mereka tetap berkembang biak dengan pesat dan membangun peradaban dan kebudayaan mereka yang juga terinfeksi.

Dalam sejarah kemanusiaan, selalu ada manusia yang berhasil membebaskan dirinya: dari Musa sampai Muhammad (nabi-nabi), dari Gautama sampai Kong Fu Tze, dari Gandhi, Lincoln sampai Sukarno (negarawan), para filsuf besar dan banyak lagi. Mereka adalah manusia-manusia luar biasa yang menjadi cahaya bagi setiap zamannya dan berusaha menjadi penyembuh. Namun bagaimanapun usaha mereka, untuk bebas dari sindrom ini tetap bergantung pada manusianya sendiri.

Hanya pengetahuanlah obat dari penyakit ini; kesadaran (consentia) yang tanpa akhir yang hanya diperoleh melalui proses belajar tanpa akhir pula. Zaman kita mengenal sistem pendidikan, dibentuk oleh manusia untuk tujuan pengetahuan, tersusun dari elemen-elemen yang bekerja menurut fungsinya masing-masing menurut kaidah-kaidah tertentu. Tetapi iapun dapat terkontaminasi, karena dilahirkan oleh manusia yang juga terinfeksi. Ilustrasi tentang seorang penderita yang pernah saya tulis sebelumnya mencerminkan realitas, fakta dan empirikal sifatnya. Ia sudah melihat penyakit itu dan karena itu ia meratapinya. Halaman-halaman ini tak akan mampu menampung keluhan-keluhan lainnya. Belum lagi bila memakai referensi dari belahan dunia lain, misalnya pandangan tokoh–tokoh sampai kritikan-kritikan para pemikir besar. Pandangan-pandangan mereka telah cukup menyinari lubang-lubang dalam sistem pendidikan di dunia mereka namun belum menghasilkan apa yang kita harapkan. Penyakit ini hanya berubah bentuk ke bentuk yang lain. Lubang-lubang tetap menganga seolah dengan sengaja dipertahankan. Bukan tanpa alasan, saya kira memang tak ada satupun saat ini yang bebas dari sindrom ini. Bahkan agama atas nama moralitas pun sering dijadikan alat kejahatan. Di negara ini, tidak jauh berbeda bahkan lebih parah.

Berikut ini, saya mencoba menyoroti sindrom yang mengakar kuat itu.
Di sebuah negara yang cendekiawannya/ intelektualnya/ para jeniusnya/ tokoh-tokohnya intens menyoroti soal-soal pendidikan bahkan secara keras, masih terdapat banyak bolong-bolong, apalagi di negara kita di mana orang-orang yang berkecimpung pada soal itu hanya mulai berpikir saat menjelang pemilu dan penyusunan anggaran. Memang kita melihat ada beberapa perubahan yang menarik perhatian dewasa ini, antara lain peningkatan anggaran pendidikan dalam APBN dan kontroversi Ujian Akhir Nasional (UAN). Soal perubahan nominal anggaran pendidikan itu, hendaknya tidak disebut peningkatan, kesannya terlalu politis. Saya justru melihat bahwa perubahan itu lebih didasari oleh perubahan kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) dan belum merupakan usaha yang serius untuk melayani masalah-masalah pendidikan. Betapapun besarnya anggaran yang kita alokasikan apabila sistem yang menjadi roh pendidikan menutup mata terhadap ketidak-beresan dirinya maka itu adalah sebuah kesia-siaan, sebut saja misalnya masalah ketidak-beresan itu adalah ketidak-adilan. Siapa yang memiliki hak atas pendidikan bila pendidikan sudah menjadi satu komoditi ekonomi? Inilah salah satu bentuk yang diambil oleh sindrom itu.

Perubahan anggaran dapat kita jadikan indikasi betapa modal telah menjadi kekuatan utama yang menggerakkan pendidikan kita dewasa ini, bukan lagi rasa ingin tahu kebenaran sebagaimana hakikat manusia. Fenomena menjamurnya institusi-institusi pendidikan swasta telah menunjukkan keberadaannya sebagai salah satu komoditas ekonomi prospektif ataupun perubahan status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP). Motif ekonomi telah menjadi titik tolak dan tujuan pendidikan, di masyarakat ada ungkapan "Apa guna pendidikan bila tidak ada uang? Apa guna uang bila tak berpendidikan?" Sebuah jargon, manipulatif dan hegemonik dan sayangnya telah menjadi kesadaran masyarakat secara umum. Apa lacur, toh masyarakatlah yang menilai, membentuk dan menghakimi; 'penguasa sejati' kata demokrasi, tapi benarkah?

Massa manusia seperti binatang, mendekati ciri simpanse tidak tahu apa-apa. Namun unit-unit pembentuk massa ini adalah makhluk netral, ratu lebah yang terhormat, hukumnya: kita dimanfaatkan sebagai atom-atom kasar jika kita belum berfikir. Sesudah kita berfikir maka kita manfaatkan massa itu. (Ralph Waldo Eemerson, Alam dan manusia)


Dewasa ini apakah kita sudah berpikir? Kita sudah berfikir tapi pikiran kita terberi, terprogram, dibentuk. Ada yang menguasai kita, itulah makhluk netral yang menjadi ratu lebah. Ia memang menguasai kita, tetapi iapun dikuasai oleh apa yang dipikirkannya. Lalu bagaimana bila yang dipikirkannya dikuasai oleh kekuatan yang lebih besar dari dia seperti pikiran kita(masyarakat) dikuasai olehnya (sang ratu lebah)? Maka kitalah yang harus menjadi ratu lebah; yang belajar terus-menerus agar tersadar terus-menerus.

Polemik ujian akhir nasional jangan dikira terlepas dari prinsip-prinsip yang digariskan oleh sang ratu lebah yang terhormat dan yang mengendalikannya, iapun bagian dari sistem. Kebijakan ini memang ditelurkan oleh wakil-wakil kita di Dewan Rakyat, tapi mereka pun bukannya tanpa penguasa. Disanapun ada kekuatan dominan.

Agar kritik ini tak berkesan ideologis (kiri, kanan, poros tengah) baiklah kita tinjau menurut kapasitas kita. Apabila alasan penerapan UAN adalah Uji Kompetensi atau Uji kemampuan siswa maka tidak bisa tidak, pertanyaan yang mendasarinya adalah sudah sampai sejauh mana siswa menyerap jenis-jenis pengetahuan yang diberikan? Tentu saja indikator-indikator dari sejauh mana serapan/penguasaan dan jauh yang harus diserap/dikuasai harus jelas.

Bila alasan penerapannya adalah proses saringan maka alasan itu tidak memiliki landasan sama sekali. Saringan untuk apa? Yang berkompeten menyaring dan memberikan penilaian adalah masyarakat, lingkungannya ataupun komunitas di mana ia ingin menjadi bagian. Bila alasannya adalah proses saringan untuk keluar dari institusi pendidikan maka tuduhan bahwa sekolah adalah penjara benar adanya dan sekolah adalah pelanggar HAM yang paling keji, sekolah akan menjadi momok, betapa tidak? Proses itu telah mengambil alih tanggung jawab terhadap integritas manusia yang telah dihakiminya secara paksa.

Kecuali tujuannya tak lebih sebagai fungsi ke dalam untuk menilai, mengevaluasi kualitas persekolahan maka UAN tak bisa diterima. Bila sebuah keharusan (setelah semua prasyarat-prasyarat dipenuhi) penerapan UAN demi penerapan ataupun standarisasi kualitas siswa dari Sabang sampai Merauke maka Ujian Nasional sekolah dapat dilakukan pada tingkat-tingkat atau kelas sebelumnya(I & II) dan sama sekali bukan untuk menentukan lulus tidaknya ia dari sekolah. Karena sekali lagi, lulus atau tidaknya mereka dalam hidup tidak akan ditentukan oleh 'penguasa pendidikan' tetapi oleh masyarakat dan lingkungannya. Toh proses belajar tak pernah berhenti bukan?

Sistem pendidikan memiliki peran yang sangat sentral dalam usaha penyembuhan bangsa kita dari sindrom ini, alasan-alasannya telah dipaparkan sebelumnya. Meski demikian, sistem juga berpotensi mencerai-beraikan bila ia terkontaminasi karena tak ada satu hal pun yang benar-benar bebas di luar kesadaran yang terus menerus. Kita mesti berjaga-jaga selalu. Sindrom ini semacam bahaya laten, ia bisa kambuh kapan saja, yaitu pada saat kesadaran mengalami anti klimaks. Tak ada satu hal pun yang boleh dimapankan, apalagi dikultuskan kecuali kemanusiaan yang mengetahui hakekatnya.

Dalam sejarah berbangsa kita, Soekarno adalah salah seorang tokoh yang pernah terbebas. Ia pernah menjadi ratu lebah kita. Disayangkan, bahwa di akhir hayatnya ia kehabisan tenaga melawan sindrom ini dan kembali tergerogoti. Meski begitu, pada masa-masa kesembuhannya ia melahirkan sebuah konsep: Pancasila, yang sampai saat ini masih tetap merengkuh kita semua meskipun tengah sempoyongan. Timor Timur tak lagi mampu di peluknya, Aceh dan Papua sedang meronta-ronta, potensi-potensi lain di sekitar kita juga sedang mengatur siasat. Bagaimanapun, Pancasila hanyalah sebuah konsepsi yang juga dapat dikuasai oleh sindrom itu. Harus ada yang tetap membuatnya terjaga dari tidur agar tak berakhir Nusantara tercinta ini.

Proses mencari kebenaran sudah menjadi perhatian utama manusia dari segala zaman, itulah fitrah manusia. Amat tak bijak bila tujuan mulia itu dibelokkan dari tujuannya yang semula, maka kitalah pengkhianat-pengkhianat terhadap kemanusiaan kita sendiri yang seharusnya bertanggung jawab atas hal ini.

Kalian yang di istana-istana gading, keluarlah dari persembunyian kalian, tugas memanggil! Kalian yang serakah, menyingkirlah dari jalan-jalan pengetahuan dan sadarlah bahwa kalian tengah bunuh diri tanpa kalian sadari!


Pengetahuan yang memanusia, kita tahu bukankah pengetahuan untuk pengetahuan itu sendiri tetapi pengetahuan yang memaslahatkan segala umat dan membawa rasa syukur segala manusia tanpa kecuali.

Bila tugas pemerintah terlalu banyak atau bila pemerintah tak mampu menangani pendidikan dan persoalan-persoalannya dan ataupun bila pemerintah tak mampu melepaskan diri dari "nafsu-nafsu" (sindrom) yang menguasainya maka kembalikanlah otoritas pengetahuan itu pada para bijak (yang telah sembuh). Siapa para bijak? Para bijak ada di antara kita, bukan di gedung dewan yang terhormat, bukan di istana negara, juga bukan di menara gading tapi yang bijak ada di jalanan, di kolong-kolong jembatan, di rumah-rumah sakit, sedang bersama orang-orang yang lari dari hidup, di sekitar kita berbagi pengetahuan dengan tulus tanpa pamrih, yang berkata bahwa pengetahuan bukan miliknya seorang, bahwa temuan-temuannya bukanlah hak kekayaan intelektualnya (HAKI) sendiri tetapi telah digalinya dari semua manusia dan seluruh alam yang oleh karena itu adalah milik bagi semua semua.

Para bijak akan menerangi kita dengan pengetahuannya tanpa tekanan dari apapun dan siapapun. Mereka takkan menginginkan hidup kita karena mereka telah memiliki hidup sendiri. Mereka juga tak akan menentukan apakah kita lulus atau tidak dengan lembar jawaban pada suatu saat, karena kita sendirilah yang akan mengetahui dan menanggung resiko dari semua itu, maka kitalah yang akan memacu diri untuk meluluskan diri. Tidak akan ada seremoni perpisahan di sekolah-sekolah karena kita akan terus bersama setiap waktu. Kita dapat berjumpa dengan mudah saat membutuhkan mereka ataupun ketika mereka membutuhkan kita. - dream blog -

0 komentar: