Senin, 21 Mei 2007

Sindrom Menara Babel (II)

Inilah salah satu penderita syndrom itu, penderita yang mulai menyadari dirinya dan sedang berusaha melihat batas-batas yang mengungkungnya, juga harapan harapan kesembuhannya:


“Satu-satunya alasanku untuk tetap tidak mengambil jarak dengan dunia kampus dan sekolah -Pendidikan- hanyalah karena soal akses. Hal apa yang terkait dengan pengetahuan yang tidak kita dapati di sana? Bukannya aku tak tahu menghargai, aku hanya tak dapat menerima penghargaan yang tak layak aku dapatkan. Aku menyebut itu penghinaan. Akses, sekali lagi soal Akses, akar kesempatan-bukan berarti aku mencuri dari mereka. Aku percaya di dalam diriku ini membara potensi dari segala, gagasan-gagasan meronta minta penyaluran tetapi katupnya seolah tersumbat (syndrom menara babel). Tetapi cukup sudah, aku tak ingin lagi. Aku akan tertunduk di mata mereka selama beberapa masa dan setelahnya, yaitu ketika aku siap, mereka akan kubuat malu melihat masa lalunya.

Lihatlah lepasan-lepasan sekolah itu... Tengoklah sarjana-sarjana itu, bisa apa sekerup tanpa mesin? Tanpa daya? Toh sebuah mesin tetap membutuhkan programmer dan operator.

“Individu kehilangan hakekat dirinya sendiri, namun secara sadar ia anggap dirinya bebas dan hanya tunduk pada dirinya sendiri saja alias terbenam dalam khayal tentang kejayaan individualitas” Erich Fromm, Mendidik si Automaton (manusia-manusia yang terinfeksi syndrom Menara Babel)


Ketika kau tengok pula ke rumahnya, di sana terpampang ijazah dan foto wisuda, sebagai kebanggaan. Tapi benarkah mereka bangga? Yang kulihat hanya rasa malu yang ditutupi dengan make up tebal. Mereka kemudian dicibir oleh masyarakat sendiri, membuat pendidikan tersipu-tersipu dan ketersipuannya itu menghina pengetahuan. Andai pendidikan hari ini surut ke titik nadirnya sekejap saja, maka kita boleh mengharapkan era baru kebangkitan pengetahuan. Ledakan-ledakan kreasi dan penciptaan akan menghiasi hari-hari, struktur masyarakat akan terlepas tak berkait lagi, terombak sampai tak dikenali lagi. Maka akan terlihat bahwa pendidikan sama sekali tak hubung-menghubung dengan status sosial. Saya sama sekali tak sedang mengusung gagasan baru, inilah gagasan usang yang saya angkat kembali dari tumpukan-tumpukan frustasi anak-anak sekolahan, sebagai bentuk protes. Kami tak butuh tanggapan apa-apa, saya hanya sedang menyemangati diri saya sendiri. Tanpa larangan itu pun kami tak akan mengambil apa-apa dari kue masa depan kalian karena kami menginginkan kue kami sendiri, kue yang berasal dari tangan kami sendiri. Mungkin kadang-kadang tak terasa enak tetapi kami akan menikmatinya dengan sangat puas.

Diantara kami ada yang akan bunuh diri, membakar sekolah, mendendam para guru dan dosen, menjadi penjahat di jalan, mengganggu nyenyak tidur kalian, mengendap-ngendap di ruang kerja kalian, menaklukkan anak-anak gadis kalian. Bila tidak maka kamilah yang akan menentukan berapa besar gaji kalian, berapa besar bonus kalian, berapa besar uang belanja isteri dan pacar kalian, proyek-proyek yang kalian tangani, buku-buku yang harus kalian benci dan yang harus kalian baca, dan banyak lagi yang lain. Nantikanlah beberapa masa lagi, sebab itulah cambuk bagi kami, yang akan menjadi pengungkit bagi keputusasaan kami di masa lalu. Maka kita pun telah terhubung dalam sebuah lingkaran setan yang sama, kami adalah bayang-bayang dalam mimpi-mimpi kalian.

Pendidikan kalian melahirkan apa yang kalian sukai dan menggilas siapapun yang tak pantas menerima kesukaan kalian. Jangan menganggap hal ini terlalu mengada-ada; teliti dan amatilah lebih dulu bersama-sama buktinya lalu sesalilah. Pendidikan bagi kalian adalah soal layak atau tidak layaknya kami memperolehnya, tetapi bagi kami adalah bahwa setiap manusia pantas dan berhak. Segala yang kami miliki untuk pendidikan telah kami berikan dan apa yang kembali kepada kami ? Robot-robot bernyawa yang tidak berguna, yang di kepalanya hanya ada uang dan hidup nikmat, tetapi juga frustasi dan terasing. Bukankah kalian telah mengambil hidup anak-anak kami dan menggantikannya dengan ambisi kalian? Dan kalian masih ingin mengutip penghormatan? Bila pada masa kolonial dan sesudahnya (dimana orang-orang yang memegang peranan sesudahnya adalah produk kolonial), kami frustasi oleh sistem ganjaran, sekarangpun masih sama seolah waktu bergerak mundur dengan tata nilai yang samar-samar tak berbeda. Kalau pada masa itu ganjaran adalah cambuk rotan, tinju dan rasa rendah diri sebagai pribumi, maka hari ini ganjarannya adalah nilai yang sentimentil, gilasan sistem penilaian ujian, dan rasa tak berguna sebagai manusia. Maka bila pada masa revolusi amarah dan frustasi kami tersalur di medan perang, hari ini tersalur lewat tawuran di jalanan, narkoba sampai todongan terhadap rasa berkuasa kalian.

Biarkan pendidikan menemui titik baliknya, maka kita boleh mengharapkan era kejayaan ilmu pengetahuan yang baru. bukankah sudah terlalu lama kita hanya mendalami pengetahuan zaman baheula yang mulai mengering? Lambat laun semua itu mulai menjadi mandul diterpa masalah-masalah muthakir. Tetapi rasa-rasanya itu akan sangat sulit sebab telah dipastikan siapa yang boleh membuat temuan baru dan siapa yang hanya berhak menggunakan; juga siapa yang tak punya hak apa-apa, tapi berkewajiban menyukseskan dengan ikhlas ataupun terpaksa bila dibutuhkan.”


Kita berada di suatu masa di mana pendidikan menjadi tiran (oleh dominasi satu kekuatan tertentu); yang tidak berpengetahuan akan dilindas oleh hidupnya sendiri, dunia akan berbalik menaklukkannya. Di alam sadar kita -yakni masyarakat- siapa yang tak butuh pendidikan? Yang tidak berarti telah bersiap untuk tersingkir (baca: mati) secara perlahan-lahan dari kehidupannya di masyarakat. Mengingat nilai sosialnya di masyarakat, setiap keluarga berusaha mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk mendapatkan itu dan bahkan membuat eksistensi keluarganya menjadi terancam. Belum lagi dengan tidak adanya jaminan bahwa setelah semua yang dikorbankannya ia akan mendapatkan harapannya meskipun itu hanyalah selembar ijazah. Maka masyarakat dan ilmu pengetahuan pun menjadi pembunuh berdarah dingin (lihat fakta di sekitar kita) dan telah menjadi akar dari beberapa kejahatan.

Demikian kisahnya, pada detik inipun dia masih terus bergelut dengan penyakitnya. Entah sampai kapan...

(mungkin bersambung) - dream blog -

0 komentar: