Sabtu, 05 Mei 2007

Kirimi Aku Kamboja Saja

Pernah di suatu hari, aku mengunjungi Rumah Sakit bersama sahabatku yang seorang dokter muda.

Seharian aku mengamati seluruh aktivitas yang ada di sana dan kudapati wajah-wajah yang ketakutan akan kematian. Di antara mereka ada yang mendadak panik, ada juga yang pasrah. Tetapi ada seseorang yang menarik perhatianku. Setelah melewati antrian dan mendapatkan pelayanan, Ia tak langsung pulang. Satu jam, dua jam, tiga jam sampai ketika Rumah Sakit mulai lengang Ia belum beranjak juga. Aku mendekat dan berbincang-bincang dengannya. Mulanya hanya basa-basi, tetapi sekarang jadi serius. Ia divonis kanker ganas, tapi ia mengeluh tak punya biaya. Karena itu, Ia akan memohon keringanan. Ia percaya bahwa dokter masih bisa menyelamatkan nyawanya.

Ia bercerita kalau ia berasal dari kampung yang jauh, datang ke kota ini untuk kuliah. Tetapi kanker telah menggerogoti hidupnya. Tak beberapa lama kemudian ia mendapatkan giliran tetapi sekali lagi ia harus kecewa. Ia pulang dengan wajah kuyu, langkahnya sempoyongan. Aku mengikutinya, kami bercakap-cakap. Aku salut padanya, meski kesakitan ia tetap berusaha. Aku berjanji padanya untuk membantu mencarikan jalan keluar.

Sehabis makan malam, aku menemui sahabatku dan membicarakan hal itu. Tetapi sahabatku memberi jawaban dengan menggelengkan kepalanya. Ia tak bilang kalau sudah tak bisa ditolong, ia hanya mengatakan kalau biayanya tak kurang dua puluh juta rupiah. Aku merasakan keputusasaan yang dirasakannya, merasa hal ini di luar kemampuanku. Aku punya tabungan, tetapi hanya 1/18 dari biayanya. Aku merengek kepada sahabatku, tetapi ia malah menghardikku, katanya: “Ada banyak orang yang seperti itu, apa kau mau menolong semuanya? Jangan libatkan dirimu, kau bisa gila!”

Aku menyerah, beberapa hari aku tak menemuinya. Aku terus menerus bergumul dengan pikiranku sendiri, lalu terlonjak oleh sebuah ide. Aku bermaksud hendak membawanya ke rumah sakit dengan membayar uang mukanya saja dulu. Yang lain urusan belakang. Pikirku, Aku masih muda dan bebas, karenanya dapat kutanggungkan resiko apapun! Begitu semangat yang membakar hatiku itu. Aku segera berangkat, tetapi setiba di tempat kostnya kulihat pintunya terkunci. Ia sudah tidak ada. Dari tetangga kamarnya kuketahui kalau Ia sudah meninggal dunia kemarin. Aku kaget dan linglung beberapa saat. Ia menitipkan selembar surat untukku, intinya ia senang karena aku peduli. Ia selalu menantikan aku bahkan sampai saat meninggalnya yang hanya dikawani sepi...

Aku masuk ke kamarnya, menangisinya meskipun aku tak terlalu mengenalnya. Ada sesuatu yang menghubungkan kami, penderitaan itu dan kemanusiaan ini. Di sebuah diary ia menuliskan puisinya yang terakhir:

Dok,...
Rumahmu terlalu putih,tak mampu aku menatap
Lihatlah, mataku silau bahkan telah buta
Hingga tak kutemukan jalan, agar boleh sekedar menyapamu
Kakiku terasa berat lagi lamban
Tanganku kurus, terlalu tipis
Tak mampu menjabat tanganmu, ganti terima kasih
Aku pulang saja ya?
Jangan lupa jenguk aku
Tak perlu bawa jarum suntik
Aku lebih suka bunga kamboja

0 komentar: