Selasa, 14 November 2006

Matikan TV, Nyalakan Hidup!

Di masa sekolah saya sering menonton televisi, tapi sekarang beruntung kalau dua kali seminggu teman-teman mengajak saya "menghirup udara" itu. Jadi tentu saja saya tidak cukup untuk memiliki hak menilai televisi, tapi saya akan berbicara tentangnya sedikit.

Menurut saya, televisi tidak lebih baik daripada 5-10 tahun yang lalu. Seperti dulu, acara televisi dipenuhi dengan artis-artis yang mempunyai fleksibelitas luar biasa untuk berubah bentuk sesuai dengan selera penonton atau kebutuhan pasar; dari peran setan kemudian menjadi berkerudung saat memasuki bulan Ramadhan. Seperti dulu, saya melihat di layar kaca sajian acara remeh temeh bahkan menjijikkan, mulai dari hiruk-pikuk ulangtahun seorang artis pada usianya yang ke-sekian (yeah, like we care!), sampai kisah demi kisah perceraian selebriti papan atas yang semakin membuatku ingin meludah. Lagi seperti dulu, media paling senang membesar-besarkan urusan-urusan seperti goyangan pantat seorang penyanyi dangdut, atau fenomena 'penampakan' dan kemudian mengemasnya seserius atau lebih daripada urusan konflik di Timur-Tengah. Dan ada yang bilang acara TV itu adalah pendidikan. (lha?)

kebanyakan orang yang sentimental dan gampang percaya bisa diyakinkan bahwa TV dalam keadaannya sekarang adalah pendidikan. Tapi barangsiapa mengenal pendidikan dalam maknanya yang sejati, tidak mudah dia ditangkap dengan umpan tersebut. Saya tidak tahu bagaimana 50-100 tahun lagi, tapi dalam keadaannya sekarang acara TV hanya dapat berfungsi sebagai hiburan. Tapi hiburan ini terlalu mahal untuk terus dimanfaatkan. Hiburan ini menyesatkan. Hiburan ini merampas dari para orangtua beribu-ribu pemuda dan pemudi sehat, berbakat, yang jika seandainya tidak mengabdikan diri pada kemampuan berakting kiranya dapat menjadi dokter, guru, hakim yang baik; hiburan inipun merampas dari tangan masyarakat jam-jam pagi, siang, sore dan petang hari yang merupakan waktu terbaik untuk kerja otak dan silaturahmi antar-kawan. Belum lagi saya berbicara tentang pengeluaran uang dan kerugian mental yang diderita oleh pemirsa ketika mereka melihat di layar kaca pembunuhan, hantu-hantu, pantat, atau aib yang tidak terbukti kebenarannya.

Si A temen saya lain lagi pendapatnya. Dia berusaha meyakinkan saya bahwa televisi, dalam keadaannya sekarangpun, lebih tinggi daripada ruang kelas, lebih tinggi daripada buku, lebih tinggi daripada segalanya di dunia. Media televisi adalah kekuatan yang menyatukan semua jenis kesenian di dalam dirinya, sedangkan para artis adalah public-figure. Tidak ada jenis seni dan tidak ada jenis ilmu yang mampu mempengaruhi jiwa manusia secara kuat dan benar sebagaimana layar kaca; karena itu tidak heran bila selebritis kelas atas memperoleh jauh lebih banyak popularitas di kalangan masyarakat dibandingkan ilmuwan atau olahragawan yang baik. Dan tidak ada kegilaan umum yang dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan sebagaimana saat kita mengetahui kelanjutan dari episode ke-x sebuah film sinetron.

Dan pada suatu pagi yang cerah si A pun masuk rombongan tarik suara, dan pergi, kemungkinan ke Jakarta, dengan membawa uang banyak, harapan indah yang masih gelap, dan pandangan aristokratisnya.

Hidup kita telah terwakili oleh sinetron, hasrat kita telah dikontrol oleh iklan. Hidupilah hidup, bukan menontonnya. Membuat hidup menjadi lebih indah, lebih baik daripada menyaksikan ilusinya. Kenyataan untuk dirubah ada di luar sana, bukan tersaji di layar TV.

Matikan TV, nyalakan hidup! 

0 komentar: