Kepada Yang Kukagumi,
entah siapa nama kamu.
-----
Nona,
sudah beberapa minggu kuperhatikan kamu karena hampir tiap pukul
delapan pagi dan sekitar sore hari kamu lewat di jalan depan sana.
Kecuali hari Sabtu dan Minggu, kamu gak pernah keliatan. Karena itu aku
pikir mungkin kamu pekerja kantoran. Tapi lebih mungkin kamu mahasiswi
yang kuliah di universitas di pinggir jalan besar sana.
Sebelum
beberapa hari ini aku ngga pernah liat kamu. Itu bukan salah kamu,
karena sebelumnya jam segitu aku selalu masih tidur. Tiga atau empat jam
sesudah aku mulai tidur, kurang lebih.
Jadi baru
sekitar sebulan ini aja aku ngeliat kamu. Awalnya karena tiba-tiba waktu
subuh aku dapet ide untuk tulisanku, itu bulan lalu. Setelah beberapa
jam aku nulis, niatku jadi ilang, dan akhirnya kubuang juga kertas yang
tadinya udah mulai aku tulisi itu. Udah ampir pukul delapan pagi waktu
itu.
Tapi justru karena itu aku bisa ngeliat kamu.
Sekitar lima belas menit aku nongkrong di depan kosku, tiba-tiba kamu
lewat. Kamu yang manis dan cantik lewat di seberang jalan. Dengan tas
hitam, celana bahan hitam, dan kemeja putih. Tanpa make up. Rambut kamu
masih agak basah, muka kamu jernih, dan entah apa yang membuatku saat
itu juga langsung jatuh cinta padamu. Kontan.
Sejak
beberapa minggu yang lalu itu, aku jadi semangat. Semangat untuk nggak
tidur sampe pagi. Aku begadang sampe pukul delapan pagi meskipun nggak
ada ide mau ngapain dan nggak ada yang mesti aku kerjakan. Tentu aja
ngga ada yang mesti aku kerjakan, karena aku emang nggak punya pekerjaan
tetap.
Memang jadi ngantuk dan aku jadi bangun semakin
siang aja. Kalo dulu aku bangun sekitar pukul dua belas siang, sekarang
aku baru bangun sekitar pukul dua. Tapi itu nggak jadi soal
dibandingkan dengan kebahagiaan yang aku dapet waktu bisa ngeliat kamu,
meski cuma sebentar.
Jujur aja, aku bener-bener jatuh
cinta pada pandangan pertama. Aku emang ngga pernah denger suara kamu,
aku ngga tau nama kamu, apalagi nyentuh kulit kamu. Tapi semua itu mesti
sangat-sangat sempurna. Pasti jadi sempurna begitu semua itu kamu yang
punya, begimanapun keadaannya. Sempurna karena kamu yang memiliki,
karena aku jatuh cinta pada kamu.
Aku nggak sedang
membual, aku sungguh-sungguh. Aku bukan orang yang suka bercanda. Kamu
emang membuatku jatuh cinta. Walaupun kata temanku dulu hatiku seperti
batu dan kata orang tuaku aku sedikit edan, tapi kenyaannya begitu. Aku
jatuh cinta pada kamu.
Tapi jangan kamu kira aku jatuh
cinta cuma pada wajah dan tubuh kamu aja. Aku emang nggak kenal kamu,
ngobrol pun nggak pernah, dan cuma sekali kita ketemu pandang secara
nggak sengaja. Aku jatuh cinta pada setiap hal tentang kamu. Wajah kamu,
rambut kamu, kaki kamu, hidung kamu, mata kamu, bibir kamu, buah dada
kamu, pantat kamu, pinggang kamu, leher kamu, kaki kamu, cara kamu
berjalan, cara kamu berpakaian, cara kamu menghela rambut, bros yang
kadang kamu pakai di bagian atas kemeja kamu, semuanya. Semuanya.
Dan
bukan cuma sewaktu kamu tampil rapih saja aku cinta kamu. Pernah satu
kali kamu lewat sore-sore. Sungguh mengagetkan tapi sayang cuma sekali
itu saja. Kamu pake semacam daster waktu itu, dan rambut kamu digulung
di iket konde. Aku tetap jatuh cinta pada kamu dalam kesederhanaan
seperti itu. Malah justru sebenernya, dengan daster seperti waktu itu,
kamu kelihatan semakin cantik dan luar biasa dan... entahlah, apa ada
kata yang tepat untuk menggambarkannya.
Bukan cuma
hatiku saja yang terkoyak-koyak oleh cinta waktu itu. Untuk selalu jujur
dan terbuka kepada kamu, birahiku pun ikut terbangun melihat penampilan
kamu. Buah dada kamu yang nggak besar itu sungguh lebih indah daripada
kepunyaan Sarah Azhari sekalipun. Pantat kamu yang mungil berisi dan
kencang, leher terbuka, pinggang yang ramping. Semuanya bikin aku
bener-bener pengen meluk kamu, aku membayangkan mencium kamu,
menggendong kamu, membawa kamu ke dalam kamarku, membuka baju kamu,
mengagumi tubuh kamu. Tidak kuteruskan karena bisa jadi tidak sopan
lagi.
Mohon kamu yang manis jangan marah dengan
imajinasiku yang sungguh nakal itu. Tetapi kenyataannya emang sungguh
begitu dan aku nggak nutup-nutupin. Aku mau jujur ke kamu.
Seperti
udah kukatakan, cuma sekali kita pernah ketemu mata. Itu karena waktu
itu ada barang kamu yang jatuh. Kamu ambil sambil sedikit celingukan,
maka bertemulah mata kita. Cuma sekejap, memang. Tapi rasanya buatku
seperti beberapa menit, dan rasanya juga aku rela mati saat itu juga
ketika rasa senang mentok hingga ubun-ubun kepalaku. Entah dengan kamu,
karena setelah itu kamu langsung lanjut jalan lagi seperti nggak terjadi
apa-apa. Padahal kamu baru saja "merobohkan pintu gerbang neraka dan
memasukkan surga ke dalamnya".
Maka aku jadi semakin
rajin begadang hingga pukul delapan pagi, sekadar menunggu kamu lewat,
sekadar berharap kamu lewat dan sekali lagi bertemu mata denganku. Aku
nggak tau apakah kapan-kapan aku bakal melakukan lebih dari sekadar
menunggu, nyoba ngajak kenalan, misalnya. Karena aku tau bahwa aku nggak
tau apakah kamu akan sudi berkenalan denganku.
Yah,
aku cuma seorang penulis lepas, dengan honor yang dateng sekali-kali
kalau ada tulisanku yang dimuat di koran. Atau jasa pengetikan
atau yang lainnya. Aku memang masih melarat. Tapi kamu bisa yakin, aku
akan melakukan apa aja untuk mendongkrak nasibku ini. Kerja banting
tulang, apapun, supaya satu saat kelak aku cukup layak buat
berkenalan sama kamu.
Tapi walaupun begitu, aku tau
perempuan yang begitu sempurna seperti kamu nggak akan ngeliat aku cuma
dari sisi berapa banyak duit yang aku punya, atau dari berapa banyak
baju yang ada di lemariku. Aku tau aku emang melarat, aku juga tau aku
cuma punya empat lembar baju butut dan lima dengan yang kupakai
sekarang. Tapi sekali lagi aku yakin kamu nggak akan ngeliat aku dari
sisi betapa melaratnya aku. Kamu terlalu sempurna untuk jadi perempuan
yang seperti itu. Paling tidak aku berharap kamu nggak seperti itu.
Karena
itu aku tulis surat ini. Hari ini hari Minggu, besok Senin kamu akan
lewat lagi di jalan depan sana. Aku akan kasih surat ini ke kamu, dan
sesudahnya aku nggak tau apa yang bakal terjadi. Tapi aku nggak bisa
terus-menerus seperti ini, suatu waktu perasaanku ini harus
kuberitahukan padamu. Dan besok adalah waktu yang sempurna, kupikir.
Bukan
cuma sebuah perkenalan yang kuharapkan, tentu aja. Kenalan sama kamu
dan kemudian cuma bisa ngeliat kamu dari jauh sama aja dengan memandangi
surga dari dasar neraka. Tentu aja aku mau lebih dari itu. Aku mau kamu jadi kekasihku.
Dan kuberitahu kamu, lebih dari itu adalah aku mau kamu jadi istriku. Aku pikir aku akan ngelamar kamu suatu waktu.
Soal
yang ini aku lebih nggak tau lagi apakah kamu akan mau atau enggak.
Tapi aku nggak terlalu peduli tentang itu. Aku yakin dengan perasaanku,
dan kamu harus tau perasaanku itu. Aku tau tujuan dan takdir hidupku
emang kamu seorang. Nggak lebih.
Somewhere, someday in 2008