Jumat, 18 Agustus 2006

Kita Belum Merdeka!

Bulan Agustus, bagi bangsa Indonesia, tentu merupakan bulan yang istimewa, mengingat pada bulan itu dirayakan Hari Kemerdekaan bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945. Mulai dari RT sampai tingkat nasional, berbagai kegiatan meramaikan hari istimewa itu. Kegiatannya juga macam-macam, mulai dari renungan, doa, sampai tentu saja dangdutan yang diiringi dengan kemaksiatan. Di antara hiruk-pikuk perayaan tersebut, pertanyaan yang pantas kita lontarkan adalah, benarkah kita sudah merdeka? Apa yang kita dapat setelah 61 tahun kita merdeka?

Kita bisa mengevaluasi perjalanan bangsa ini melalui tujuan-tujuan yang ditulis oleh para pendiri negara ini saat memerdekakan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dalam pembukaan UUD 1945, "Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia...".

Tentu saja, tidak begitu sulit kita mengatakan, bahwa tujuan-tujuan tersebut belum tercapai, meskipun sudah 61 tahun kita 'merdeka'.

Pertama, memajukan kesejahteraan umum. Dengan jumlah penduduk miskin yang besar, ditambah tingginya biaya hidup, kesejahteraan rakyat Indonesia sangatlah rendah. Berdasarkan The Imperative for Reform yang dikeluarkan oleh World Bank, dengan standar garis kemiskinan adalah pendapatan $2 (sekitar Rp17.000) perhari, pada tahun 2002 terdapat 55,1% penduduk Indonesia yang terkategori miskin. Itupun kalau dihitung dengan rata-rata, karena tentu saja tidak semua rakyat Indonesia berpenghasilan Rp17.000,- perhari atau Rp510.000,- perbulan. Dengan pendapatan yang demikian rendah, jangankan untuk kebutuhan kesehatan, pendidikan, atau kebutuhan sekunder, kebutuhan primer untuk makan, pakaian, dan rumah saja sulitnya luar biasa. Kesejahteraan semakin terpuruk dengan diabaikannya kebutuhan asasi rakyat seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan transportasi.

Kondisi kesejahteraan yang rendah ini tidak bisa dilepaskan dari ekonomi global Indonesia yang anjlok. Posisi utang Indonesia sangat luar biasa, yaitu sekitar Rp745,- triliun utang luar negeri dan Rp655,- triliun dalam negeri. Selain jepitan utang, Indonesia juga menghadapi dilema pengangguran. Republika (Rabu, 18/06/2003) melaporkan bahwa pada tahun 2002 pertumbuhan sektor manufaktur hanya 2,7% dan sektor pertanian hanya 2,5%. Kedua sektor ini termasuk tulang punggung sektor real dan penampung tenaga kerja terbesar. Rendahnya pertumbuhan pada sektor ini telah menyebabkan pengangguran meningkat dari 8% menjadi 9,1% pada tahun 2002 dan diperkirakan akan mencapai 10% pada tahun 2003.

Kedua, mencerdaskan kehidupan bangsa. Sungguh mengejutkan, justru saat ini Indonesia mengalami kemunduran dalam bidang SDM yang paling tidak mencerminkan keberhasilan pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian The Political And Economic Risk Consultancy (PERC) pertengahan september 2001, SDM Indonesia paling rendah di antara 12 negara Asia; bahkan lebih rendah dari Vietnam yang baru lepas dari konflik perang. Belum lagi kualitas Perguruan Tinggi Indonesia yang jauh tertinggal. Jangan dibandingkan dengan pendidikan tinggi di Eropa dan Amerika. Pada tingkat Asia saja, total skor yang diperoleh dari keseluruhan kriteria, menempatkan UI pada peringkat 61, sementara UGM pada peringkat 68 (www.depdiknas.go.id). Ironisnya, dengan alasan untuk meningkatkan mutu, komersialisasi pendidikan malah semakin menjadi-jadi. Sudah SDM rendah, pendidikan pun semakin mahal.

Ketiga, melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan ini tentu saja berhubungan dengan kemampuan politik luar negeri Indonesia. Secara faktual, kemampuan politik luar negeri Indonesia pun jauh merosot. Kalau pada masa Orde Baru, Indonesia masih di-'tua'-kan dalam gerakan Non-Blok, saat ini Indonesia tidak banyak dianggap lagi di dunia Internasional. Logikanya, sederhana saja, bagaimana mungkin bisa berpengaruh di dunia Internasional, kalau kondisi nasionalnya saja berantakan. Contoh sederhana, pelanggaran pesawat F-18 Hornet milik AS yang memasuki wilayah kedaulatan Indonesia merupakan bukti rendahnya penghargaan bangsa-bangsa lain terhadap Indonesia. Jangankan mengecam, berkomentar saja pemimpin negeri ini tidak bisa.

Tidak hanya gagal mencapai tujuannya, kemerdekaan Indonesia juga telah mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang tidak beradab dan bermoral. Atas dasar kemerdekaan berekspresi, kemaksiatan dilembagakan. Di negeri yang mayoritas Muslim ini, eksploitasi seksual yang dilakukan oleh artis-artis malah dibela habis-habisan. Pelacuran berkembang, seakan tidak bisa dihentikan. Gaya hidup seks bebas, homoseksual, gay, pornografi, dan lain-lain dengan bangganya dipertontonkan kepada publik atas nama 'kebebasan'. Sekali lagi, ini terjadi di Indonesia yang mayoritas Muslim. Ekses yang nyata dari kebebasan ini adalah tingkat pemerkosaan yang terus meningkat, terutama pada anak-anak. Data Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan Anak (PKT) RSCM Jakarta hingga oktober 2002 mencatat 284 korban kekerasan berupa perkosaan terhadap anak perempuan di bawah 18 tahun. Sebelumnya, tahun 2001 terjadi 103 kasus. Berdasarkan catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), yang dilaporkan menonjol adalah kasus kekerasan seksual (sexual abuse). Dalam kurun waktu antara 1992-2002, yayasan ini mencatat kasus kekerasan seksual 2611 kasus, (65,8 persen) dari 3969 kasus kekerasan seksual dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlah itu, 75 persen korbannya adalah anak perempuan (Bali Post, 5/02/2003).

Ketimpangan sosialpun menjadi sesuatu yang nyata. Seakan tidak peduli banyak rakyat yang miskin, sekelompok orang konglomerat dan perusahaan asing, atas nama kebebasan pemilikan, menguasai sumber-sumber kekayaan alam di Indonesia secara rakus; tanpa peduli bahwa kekayaan alam tersebut sesungguhnya merupakan hak rakyat. Tidak aneh, meskipun Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya, rakyatnya miskin.

Sumberdaya alam Indonesia sangat besar dan melimpah sehingga dunia menyebutnya sebagai negara super biodiversity. Luas Indonesia hampir 1,3 persen dari wilayah bumi dengan 17.000 pulau. Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis yang kaya dengan beraneka ragam flora dan fauna. Menurut World Bank (1994) Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang terbesar di Asia-Pasifik, yaitu kurang lebih 115 juta hektar. Indonesia juga merupakan negara yang memiliki pesisir terpanjang di dunia, yaitu 81.000 kilometer atau sekitar 14% dari seluruh pesisir di dunia. Potensi kandungan ikannya mencapai 6,2 juta ton pertahun atau setara dengan Rp 74 triliun pertahun. Kandungan emasnya, yang di bumi Papua saja yang dikelola PT. Freeport Indonesia, disinyalir termasuk yang terbesar di dunia. McMoran Gold and Coper telah menanamkan investasi yang sangat besar untuk aktivitas produksi PT. Freeport di Papua.

Potensi sumberdaya alam yang demikian besar ternyata tidak menambah apapun bagi rakyat selain kemelaratan yang terus menghimpitnya. Bulan lalu para petani di Semarang, Jawa Tengah, melakukan aksi pembakaran gabah. Membanjirnya beras impor telah merontokkan harga gabah hingga jatuh menjadi Rp900 perkilogram (Republika, 17/06/03). Harga ini jauh di bawah biaya produksi tanam dan biaya pupuk. Sebenarnya, kebijakan impor beras bukan untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, tetapi lebih demi pencarian keuntungan yang lebih besar dan cepat. Melalui kegiatan impor ini miliaran rupiah mengalir dengan cepat ke sebagian kantong pejabat Dolog/Bulog dan kalangan importir yang saling menggurita sebagai mafia. Ketika petani menjerit mengharapkan peran pemerintah melalui Bulog, justru pemerintah menginstruksikan Bulog untuk memberikan $26 juta (Rp213,- miliar) sebagai uang muka pembelian Sukhoi dari Rusia. Sejak Orde Baru hingga masa reformasi ini, Bulog lebih berfungsi sebagai sapi perahan daripada sebagai lembaga yang peduli terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani.

Rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai $8 miliar (Kompas, 10/02/2001). Dari hasil tersebut hanya 17% yang masuk ke kas negara, sedangkan sisanya sebesar 83% masu ke kantong pengusaha HPH. Eksploitasi hutan oleh pengusaha HPH akan menyebabkan kepunahan hutan di Sumatera pada tahun 2005, sedangkan hutan di Kalimantan akan punah pada tahun 2010. Sementara itu, hampir semua sumur minyak di Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak asing Exxon/Caltex, Atlantic Richfield/Arco, dan Mobil Oil.

Sistem ekonomi kapitalisme liberal inilah yang telah menenggelamkan masyarakat Indonesia ke dalam krisis multidimensional yang berkepanjangan. Sistem ini hanya membuat sebagian orang saja (baca: para kapitalis) yang menikmati pengeksploitasian kekayaan umum berupa sumberdaya alam, sementara rakyat jatuh terpuruk dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Posisi utang Indonesia sangat luar biasa.

Para konglomerat, artis, dan selebriti, pejabat publikpun tidak malu mempertontonkan kerakusan dan kemewahannya di hadapan rakyat yang menderita. Ini bisa dilihat dari daftar kekayaan yang tercatat (tentunya belum tentu semuanya jujur) oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN); pejabat memiliki dana miliaran, rumah mewah, mobil mewah, dan tanah berhektar-hektar. Betapa ironisnya, saat rakyat banyak menahan sakitnya karena biaya obat mahal, seorang artis merayakan ulangtahunnya yang ke-17 dengan biaya 1 miliar. Inikah hasil kemerdekaan kita?

Dihimpun dari berbagai sumber. - dream blog -

0 komentar: