Senin, 08 Juni 2009

Hari Jadi Yang Tepat Untuk Berduka

Hari ini tepat pada umurku yang ke-25. Seharusnya aku berbahagia, tapi tidak. Kemarin, tepatnya 6 Juni dini hari aku dikejutkan oleh kabar bahwa salah seorang temanku, Wache, meninggal. Aku benar-benar tidak menyangka, sungguh. Baru beberapa hari yang lalu kami duduk bersama di depan teras, bicara, tertawa. Ketika kami mengunjungi kuburnya, aku seakan belum percaya kalau ia meninggalkan kami. Kuremas tanah kuburnya, seperti mimpi. "Ah, benarkah ia sudah terbaring di balik tumpukan tanah ini?" Gumamku. Berkali-kali aku mencoba meyakinkan diri ini kalau ini hanya mimpi, dan semoga aku cepat terbangun darinya. Tapi tidak. Ini memang kenyataan, dan kami menangis dalam hati...

Kami menangis. Penyakit yang hanya aku kenal 'maag' itu merenggut nyawanya. Tapi kenapa mesti secepat ini? Masih banyak cita-cita yang dia belum raih, terlalu banyak hal-hal baik yang dia tinggalkan di belakang. Pertanyaan manusiawi itu terus menghinggapiku sampai sekarang. Logikaku hanya bisa mencoba untuk menghibur sisi perasaanku.

Ibunya, sambil sesekali menghapus air matanya yang masih mengalir, bercerita. Beberapa hari ini dia begitu rajin membersihkan rumah, sesuatu yang keluar dari kebiasan normalnya. Ia rajin mengepel lantai, membersihkan tangan, mencuci muka. Sebuah pertandakah ini? Seakan-akan dia merasa akan ada banyak tamu yang datang. Sebuah pertanyaan darinya yang Ibunya sungguh tidak menyangka akan benar terjadi, "Ma, apakah aku akan segera mati?" kata ibunya, menirukan perkataan anaknya sehari sebelum kematiannya.

Kami semua ntrenyuh, tersengat mendengar kisah-kisah kecil itu. Pertemuan terakhir kami dengannya, ketika dia pamit mau pulang ke rumah Ibunya.

"Wache, kapanko ke sini lagi? Jangko lama-lama nah, seminggu mo!".

"Ndak kembali-kembali ma'!" katanya sambil tersenyum. Namun jawaban itu hanya kami pikir tidaklah lebih dari sebuah candaan, seperti candaan-candaan kecil yang sering terlontar antara kami. Sungguh kami tidak menyangka kalau itu adalah terakhir kalinya melihatnya.

Kugenggan nisannya seakan menggenggam tangannya. Erat, lebih erat lagi. Selepas melayat, kami hanya terdiam, seakan-akan tiap-tiap kami mencoba untuk mengumpulkan serpihan-serpihan kecil kenangan ketika bersamanya. Wache sudah pergi. Istirahatlah yang tenang sahabatku, saudariku. Kami akan mengenang saat-saat bersamamu, dari kenal, hingga kau tiada. Kami semua memang menyayangimu, tetapi ternyata Allah lebih sayang kepadamu. Semoga kau tenang di sana, dan mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Selamat jalan, Wache.
Rest in peace...

0 komentar: