Kamis, 26 Agustus 2010

Let me go home

Menjelang lebaran kali ini aku harus pulang ke rumah. Rumah? I don't even know where is my real home? Is it Java, Sulawesi, or here, Kalimantan? Makin lama sudah gak jelas lagi rumah itu sebenarnya di mana. Mungkin suatu saat nanti aku akan membangun rumahku sendiri di suatu tempat yang bisa jadi tidak di salah satu pulau itu. Mungkinkah? Iya kah? Di suatu saat ketika aku sudah menjadi orang dewasa-sejati (karena saat ini aku, dari lubuk hati yang paling dalam, belum mengaku dewasa, apalagi menjadi dewasa-sejati), suatu saat di mana aku siap untuk menjadi "imam" sejati, setidaknya imam untuk satu keluarga kecil. Mungkin. I hope so.

Tapi semua itu saat ini tidak menjadi masalah. Atau belum menjadi masalah. Saat ini rumahku masih di sana, di tempat kedua orang tuaku berada. A place where I belong to. Setidaknya untuk sekarang. Dan aku tidak mau memikirkan saat di mana rumah itu tidak menjadi rumahku lagi, suatu masa yang akan menjadi paling sulit dalam hidupku pastinya.

Tidak terasa aku sudah setahun di Balikpapan. Sampai sekarang kota ini belum bisa membuatku jatuh cinta. Kota ini belum bisa meluluhkan hatiku, seperti Makassar atau Sengkang yang dulu pernah aku cintai. Meski begitu, kota ini memberikan beberapa pelajaran baru untuk jiwaku. For being stronger, patient, and mature. Thanks to Balikpapan, terlepas dari keburukanmu, terlepas dari ke-opportunis-an pendudukmu.

Akhir-akhir ini selalu itu yang terngiang dalam benakku. Aku harus pulang. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika kali ini aku tidak pulang. Aku harus bertemu kedua orang tuaku. Dan semakin hari semakin dekat dengan hari H kepulanganku, aku semakin 'homesick'. Aku selalu membayang-bayangkan apa yang terjadi saat nanti kali pertama aku mengetuk pintu rumah itu. Aku terlalu takut. Aku takut hal-hal buruk terjadi kepada ibuku. Aku takut dia tidak bisa menahan kerinduan dan kesedihan yang dia simpan sekian lamanya padaku, hingga dia roboh tak berdaya di depanku. Aku SANGAT takut. Aku tidak ingin dramatisasi dalam bentuk apapun pada kedatanganku nanti. Aku ingin semuanya berjalan biasa saja, tidak ada yang spesial, tidak ada air mata. Itu lebih baik, jauh lebih baik. I beg you dear God, demi Ibuku.

Kemarin ibuku menelpon. Oh i can't believe i write this in my blog. Ah who care lah, i'll keep writing. Di sela-sela pembicaraan kami, Beliau menangis. Kamu tahu, bagiku saat dia menangis itu adalah hal tersedih sepanjang tahun ini. Itulah hal yang paling menguras air mataku. Mendengar suara sesenggukan itu di ujung telpon. Saat itu aku benar-benar sadar betapa kasih sayang beliau tak bisa ditukar dengan apapun. Sampai kita sama-sama terlarut dalam diam, tanpa kata.

Aku berusaha mengatur nafasku, mencoba menyembunyikan kenyataan bahwa aku pun menangis di sini. Berusaha kedengaran 'biasa saja', biar kelihatan 'tegar'. Mencoba mengecilkan suaraku, berharap beliau mengira sinyal sedang tidak stabil, hingga aku bisa menyembunyikan suara ingusku yang mulai mengalir karena menangis. Itulah aku malam itu, seorang pembohong sejati. LOSERRR

Look, i have to stop writing this, karena kni leherku mulai terasa berat, dongkol. OK, see u next time.

HOME..... soon.

Rabu, 23 Juni 2010

Menyelami makna di balik tiap kejadian

Di suatu siang yang terik, saat aku berada di dalam mobil angkot yang berhenti di persimpangan lampu merah. Debu jalanan, bau asap knalpot, dan penjaja koran serta para pengemis adalah pemandangan yang biasa di salah satu sudut di kota Makassar. Aku ingat seorang anak kecil berpakaian lusuh menggendong bayi datang meminta-minta kepada kami para penumpang.

Seorang ibu-ibu penumpang memberi uang recehan kepada pengemis kecil itu. Seratus dua ratus rupiah. Anak itu mengambilnya, sekian detik memandangi uang itu. Tapi betapa terkejutnya kita ketika dia melemparkan uang pemberian itu ke arah orang yang memberinya. Yah, dengan cara yang amat emosional dia melempar uang itu ke dalam mobil angkot ini dan berlari pergi. Seketika kami mengumpat. "sikulu, nda taunya terima kasih, sudah dikasih uang malah dilempar kembali. Mending nda usah se kasi skalian".

Atau kisah ini, saat aku masih tinggal di pondokan dekat kampusku. Tiba-tiba saja ada aksi saling kejar-kejaran antara seorang pemuda berkaos hitam dengan dua atau tiga orang. Aku serta-merta ikut melihat dan mencari tau apa yang terjadi. kejar-kejaran itu terjadi sampai keluar area pondokan, hingga jumlah yang mengejar semakin banyak. Pemuda itu terjebak di sebuah bangunan yang belum jadi dan memanjat ke atasnya. Puluhan orang berkumpul di bawah dan beberapa orang ikut memanjat. Pemuda itu dilempari hingga jatuh ke tanah, disambut keroyokan orang-orang yang sudah menunggu sedari tadi di bawah. Belakangan kutau ternyata pemuda itu mencuri. Apa yang ia curi? Sekantong besar nasi ayam dari warung tak jauh dari pondokan. Seorang pemuda versus orang banyak dalam perebutan atas sekantong nasi bungkus. Whew.

Dari kejadian itu, dengan serta merta kita mencap pemuda itu tak lebih dari seorang maling, penjahat, kriminal. "Harus dihukum, biar jera." "Kalo dibiarin, semua orang bisa ikutan jadi maling". Sebagian lagi dari kita mungkin akan sedikit lebih mengedepankan rasa iba. "Sudahlah, kasih saja. Kasian". "Cuma nasi bungkus harus dipukuli sampai segitunya".

Tapi apakah kejadian itu hanya sesederhana kelihatannya? Berapa banyak dari kita yang mau menyelami makna dari kejadian itu lebih dalam lagi? Apakah kejadian itu hanya berarti: Seorang pemuda mencuri makanan dari warung sebelah dan karenanya, harus dihukum. Was just that it? Nasi bungkus adalah nasi bungkus, bukan emas atau harta. Jelas bahwa pemuda itu mencuri bukan untuk kekuasaan atau kemewahan, jelas sekali.

Kenapa dia mencuri? Hal apa yang membuat dia nekat meresikokan nyawanya hanya untuk mendapatkan sekantong nasi bungkus? Maka kita akan menemukan jawaban yang tipikal: untuk mengisi perut, untuk bertahan hidup, karena dia melarat, miskin, tidak mampu membelinya sehingga dia harus menggadaikan moralnya dengan mencurinya, dan semacamnya. Ada satu kata penting: MISKIN.

Bahkan tak banyak dari kita yang sudi melihat realita dramatis ini: dia mencuri sekedar untuk bertahan hidup. Bukan demi kekuasaan dan kemewahan, kukatakan sekali lagi. Aku bukannya membenarkan perilaku mencuri. Mencuri itu salah. Tapi mari kita ubah logika kita yang lucu, untuk tidak mengatakan menyesatkan: Menghukum seorang pencuri yang mencuri untuk bertahan hidup. Kenapa kubilang logika ini lucu? Akankah pencurian atas dasar untuk bertahan hidup akan terberantaskan hanya dengan menghukum, memukuli, membunuh, memenjarakan si pencuri? NEVER. Akan tetap ada pencuri-pencuri lain yang tetap akan mencuri karena memang mereka melakukannya untuk bertahan hidup. Kalaupun seandainya para pencuri itu jera karena melihat pencuri lain dihukum sedemikian rupa, hal itu malah akan memberikan kesengsaraan yang lebih dalam pada hidup mereka.

Maka kita akan tergerak untuk mengajukan pertanyaan selanjutnya: kenapa dia miskin? Mendengar pertanyaan itu, kita tiba-tiba seperti berada di padang yang luas, tak ada tanda, tak ada sinyal. Ada banyak hal yang tak terhingga yang bisa menjadi penyebab orang menjadi miskin. Tapi mari kita mengambil jawabannya dengan memberikan pertanyaan balik: apa yang harus kita tempuh agar tidak miskin? Maka kita dapat mengambil jawaban yang paling umum:

1. Sekolah setinggi-tingginya
2. Rajin menabung
3. Hidup hemat
4. Bekerja keras
5. Berpikiran inovatif

Sekarang mari kita kaji poin-poin di atas dengan cara random. Sekolah mana sih yang mampu dibiayai oleh seorang yang mencuri nasi untuk bertahan hidup? Bisakah kita lihat bahwa jangankan sekolah, untuk makan pun dia harus mencuri? Sekolah, bekerja, berpikiran inovatif adalah alur logika yang umum dalam masyarakat, dimana kita sekolah sehingga mendidik pikiran kita untuk maju dan kemudian karenanya kita bisa mendapatkan pekerjaan yang layak nantinya. Tapi itu tidak berlaku lagi bagi si miskin; karena dia tidak mungkin bisa sekolah, maka konsekuensinya adalah tidak akan ada pekerjaan layak baginya.

Bahkan bagi si miskin yang berpekerjaan seorang buruh pun, belum cukup bisa untuk menikmati sekolah. Coba kita tanyakan, kehidupan macam apa yang bisa ia nikmati dari hasilnya bekerja sebagai buruh? Masih tersisakah penghasilannya untuk ditabung sehingga dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah?

Apa lagi yang dapat ditabung oleh seorang melarat yang untuk mendapatkan sekantong nasi bungkus saja harus mencuri? Pun, apa lagi yang dapat dihemat? Menabung dan hidup hemat bagi mereka sama saja dengan bunuh diri, itu hanya berlaku bagi mereka yang punya sesuatu lebih untuk ditabung, punya sesuatu kelebihan untuk dihemat. Tapi tidak bagi si miskin, yang tidak bisa menumpuk harta karena tidak ada yang tersisa untuk ditabung, tidak ada yang tersisa untuk dihemat. Sekali lagi, acara menabung dan penghematan dalam kehidupan mereka sama saja dengan menyuruh mereka untuk mati segera.

Lalu kenapa mereka hanya bisa menjadi buruh dan semacamnya? Ya sudah jelas karena tingkat pendidikan mereka hanya memungkinkan untuk mendapat pekerjaan seperti itu. Sampai di sini, jika ada orang yang tetap berkomentar, "makanya itu sekolah yang tinggi biar dapat kerjaan yang layak! Bukan jadi buruh", orang ini sungguh goblok. Tolol dan bebal. Tidakkah kita sudah bisa melihat bahwa kehidupan bagi mereka bagaikan lingkaran setan yang hanya berputar-putar pada urusan memberi makan dan memberi makan, bertahan hidup dan bertahan hidup lagi? Dari satu generasi ke generasi selanjutnya, turun-temurun? Jadi menuntut mereka untuk mengutamakan pendidikan dalam kehidupan mereka adalah sebuah kebebalan yang tak terhingga.

Kemudian mereka dituntut untuk berpikiran inovatif, kreatif, atas dasar ketiadaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan layak dan berpendidikan. Mereka dituntut untuk menciptakan terobosan-terobosan baru dalam hidup mereka sehingga mereka bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan, bisa menabung untuk sekolah, bisa berpekerjaan baik. Maka si miskin ini, mereka akan kembali dipersalahkan atas kemiskinannya ketika mereka "tidak mampu berinovasi". Jadi mereka miskin karena kebodohan mereka sendiri.

Tapi kubilang, inovasi apa yang dapat dipikirkan oleh seorang buruh melarat, yang lulusan SD, mentok-mentoknya SMA. Alam berpikir mereka jelas berbeda dengan mereka yang lulusan sarjana dengan titel MBA, MSI, AMD, dan lain-lain. Alam berpikir mereka masih berkutat pada level yang paling rendah; tentang bagaimana bertahan hidup. Jangan samakan dengan kita yang masih punya banyak waktu luang untuk berfikir jernih. Mungkin kita masih cukup tenang dan tidak dihantui dengan segala permasalahan 'bertahan hidup di level yang paling rendah', mungkin kita masih punya ruang kamar yang nyaman sehingga kita masih bisa kreatif.

Sekarang masih bisakah kita berpikir inovatif, kreatif, kalau dari menit ke menit yang ada dalam otak kita masih juga pertanyaan yang sama yang tak kunjung mendapatkan jawaban: "besok makan apa aku ini..."? Ya, pertanyaan sederhana itu, sebuah pertanyaan tingkat ecek-ecek, bukan pertanyaan yang ada dalam otak kita orang-orang berada. Bukan pertanyaan seperti, "bagaimana aku bisa menggandakan hasil bisnisku dalam dua bulan?", atau "akan kularikan ke mana uang ini hingga bisa berbunga paling tinggi?", atau ... dst. Jauh, berbeda dari itu. Jadi karena itu menuntut mereka untuk berpikiran inovatif, maju, dan semacamnya sekali lagi adalah suatu tuntutan yang bodoh.

Artinya, setelah kita selami jawaban-jawaban di atas (sekolah, menabung, berhemat, bekerja, berpikir inovatif) ternyata kita temui bahwa itu tidak memungkinkan untuk dilakukan oleh si miskin. Si miskin tidak bisa sekolah, dan oleh karenanya tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, tidak memungkinkan untuk menabung apalagi berhemat, pun tidak mampu berpikir inovatif; di mana cara-cara itu yang harus ditempuh untuk tidak miskin. Dan oleh karenanya, maka si miskin akan tetap menjadi miskin.

Maka serta-merta kita memasuki sebuah padang yang lebih luas lagi, di mana semuanya tampak sama, menyesatkan hingga kita tidak mendapat ujungnya dan tidak bisa keluar darinya. Padang ini adalah sebuah sistem. Suatu sistem yang memang membutuhkan si miskin untuk tetap miskin agar roda raksasa penggerak sistem ini dapat terus bergerak. Sebuah sistem global dan canggih yang memang membutuhkan orang-orang yang tidak mampu untuk meningkatkan taraf hidupnya sehingga tujuan awal sistem ini dapat terwujudkan.

Jadi ini adalah tentang suatu sistem.

Seketika timbul kengerian tentang masa depan dunia di bawah sistem ini. Di sisi lain timbul kegelian melihat sekelumit kejadian kecil ini: sebuah pencurian nasi bungkus di salah satu sudut kota Makassar, di balik segala yang tampak, yang dilihat sebagai suatu kejadian yang dingin dan mati, kecil tak berarti, suatu kejadian kriminal biasa, ternyata juga adalah suatu rangkaian panjang sebab-akibat yang berakar pada suatu sistem sosial-ekonomi-politik global dan terorganisir; Kapitalisme.

Jadi apabila kita masih saja tidak sudi untuk melihat lebih dalam apa yang menjadi penyebab yang melatari suatu kejadian, maka kita akan tetap tersesat dalam padang luas itu tanpa ada titik terang. Akarnyalah yang harus dibongkar, bukan pencuri nasi bungkus itu karena pencuri akan tetap selalu ada hingga sumbernya musnah.

Minggu, 20 Juni 2010

Dunia yang kutau

Aku ingat perkataan temanku, bahwa hidup hanya sekedar perpindahan dari satu masalah ke masalah yang lain. Atau dengan kata lain, tidak ada manusia yang tidak punya masalah. Seperti yang terjadi pada kehidupan kami, di sini. Salah seorang teman kerjaku telah dinyatakan 'out' dari tempat kerja kami, disusul beberapa lagi yang lainnya. Dan mungkin ke depannya dia, mereka, lagi, dan tidak menutup kemungkinan, my own ass. Lagi dan lagi. This new boss kicking our asses out of his new empire.

Let's move to other topic. Orang lagi seru-serunya ngikutin perkembangan kasus Luna-Ariel-Cut tari. Ariel dan Luna ketahuan bersetubuh setelah videonya tersebar di Internet. Tidak lama kemudian ketahuan pula bahwa Ariel dan Cut Tari bersetubuh, juga setelah videonya tersebar. Intinya, Luna Maya dan Cut Tari disetubuhi oleh Ariel. Dan itu baru yang ketahuan. Berapa banyak lagi selebriti yang fucking each other? Merekakah publik figur itu?
I saw their faces on TV. Wow luar biasa suami si Cut Tari itu nyantai abis, bahkan setelah tau istrinya abis dipake sama orang lain. Anjrit tau ngga loe? Aku membaca komentar dari selebriti lain, "how pity", they said, for Luna and Ariel. Mereka korban, katanya lagi. Mereka dibela. Setelah semuanya jelas.. MEREKA TETAP DIBELA. Why? How? Inilah dunia yang kutau.

Baca berita tentang tentara Israel yang membunuh para aktivis kemanusiaan? Sekarang sudah gak kedengaran lagi kelanjutan kisahnya. Sama seperti kisah tragist kematian Rachel Corrie. Terakhir yang aku tau, Israel menolak diinvestigasi oleh pihak PBB. Dan PBB cuma bisa bilang, "yo wess". Setelah itu, kita dilenakan oleh gegap gempitanya Piala Dunia 2010. Semua orang telah lupa. It's just that simple. Yang luar biasa dari itu adalah bukan betapa bisanya kita lupa, tapi lebih kepada betapa MUDAHnya kita lupa. Inilah dunia yang kutau.

Aku mengenal seorang wanita cantik, sebut saja namanya Layla. Dia orang bule, yang datang dan menetap di Indonesia. Segera setelah dia mengenal segala sesuatu tentang Indonesia, dia jatuh cinta. Tak lama kemudian dia memeluk Islam. Dan dengan semangat menggebu, dia kembali ke tanah kelahirannya, membawa keyakinan barunya ke lingkungan yang sangat asing untuk perubahan yang dia pilih itu. Pun dia tak berhenti berdakwah, membuat kami sedunia salut kepadanya. But what happen next? Last time i checked, she turned to atheist! Holy cow! Why? How? She said, 'cause i don't believe in God, any God, anymore. It's just that simple. Ada lelucon kalau dia berubah karena kecewa atas kematian anjing peliharaannya.

This is the world I know. Ketika kamu memikirkannya, lebih mendalam, kamu akan gila sendiri. Jadi lepaskanlah, jalani rutinitasmu seperti biasanya. Tenang saja, kita akan cepat lupa. Kita adalah manusia, makhluk yang paling pelupa yang pernah ada. Pikirkan saja bagaimana bertahan hidup, cari uang, menabung. Pikirkan target yang ditetapkan atasan, sudah tercapai belum? Segera setelah kita sibuk oleh rutinitas kita masing-masing, lupalah kita. Tertidur.. lelap.

Tapi ada yang aneh. Aku tertidur tapi seperti masih terjaga. Mataku terpejam, tapi aku masih bisa melihat sekeliling. Insomnia. Aku hanya ingin tidur lelap seperti orang kebanyakan... Why can't I?

Lets move to the first topic. We'll wiped out. Setiap hari dihantui rasa ketakutan. Inikah hari terakhir kami di sini? Masih bisakah kita bertahan di sini sampai bulan depan? Dan pertanyaan-pertanyaan semacamnya. Setiap hari bisa saja kita dipanggil untuk menandatangani 'kertas' biadab itu. Kondisi kerja yang sangat tidak kondusif. But nevermind. Let's face it, nothing to loose. Aku tidak takut kehilangan pekerjaan, aku hanya takut kehilangan kepercayaan.

Sabtu, 26 Desember 2009

Yeah, That Sucks Too!

"sebenarnya gini mam, sayang klo km dsini. km kan bisa dapat lebih dari ini, ya kl bisa.. Sambil jalan aja. Klo ada yg lain yg lebih baik, ambil aja." Kata salah satu penjual mobil di kantorku. Bener. Gajiku hampir sama dengan OB. Kerja lebih sibukan aku malah. RODI jaman londo. That sucks man.

----------------

Tiap hari aku selalu dengar lagu "Mahluk tuhan paling seksi" dari belakang meja kerjaku, 27 kali sehari ada kali ya. "Taimu seksi, itu terbukti, dari caramu, memberaki aku." That song bitched me so much. Yeah that sucks man. Hate that song.

----------------

Oh hari-hariku, kenapa kau begitu monoton? This is the prime of my life, my 25 years old.. seperempat abad sudah. Harusnya sesemangat hentakan cupid dead-nya Extreme. Harusnya sengotot carlos teves di MU. Kok malah kemayu gini.

----------------

Yeah that suck too.

----------------

Tapi nothing to lose, man. Kaki udah terlanjur berpijak di tanah ini. Gak akan ada kata mundur. That's all. Now lets continue this adventure, make some money and find some girls for wives...

Senin, 19 Oktober 2009

Hari Pertama Kerja

19 Oktober, 2009. Hari ini adalah hari pertama aku kerja. Aku keterima di Adira Finance. Sebelumnya sudah melewati beberapa tahap proses seleksi yang cukup menantang. Posisiku sebagai back office. Gaji pertama standar, namun cukup buat biaya hidup aku yang masih lajang ini, dan inipun masih berstatus training selama 3 bulan. Tidak masalah.

Hari pertama, perkenalan. Orang-orang di Adira humoris. Aku sudah mengenal beberapa orang, meskipun sebagian lainnya aku masih lupa nama-namanya. Kebiasaan burukku, tidak bisa mengingat nama orang dengan baik. Setelah itu, pengenalan cara kerja. Relatif mudah, meskipun masih agak bingung. Mudahnya, kita tinggal masukin data-data di kertas ke komputer. Itu aja. Agak bingung karena masih banyak variabel yang belum saya ketahui dari aplikasi itu. Tinggal dibiasakan saja.

*****

Kalo dipikir-pikir, hidup itu sederhana ya? Kita lahir, belajar bicara, bertumbuh, sekolah setinggi-tingginya, bekerja, menikah, berketurunan, tua dan mati (umumnya). Kita dituntut untuk meraih cita-cita, keinginan kita yang paling tinggi. Namun yang sering aku tanyakan dalam hati, setelah kita mendapatkan segala yang kita ingini di dunia ini, lalu apa? Jauh-jauh kucari-cari jawabannya, ternyata dia ada di rumah kayu itu. Rumah yang penuh kenangan, di dalamnya ada.. ah andai saja ada nabi dari kalanngan perempuan, Pasti dia adalah nabi. Nabi yang diutus untukku dan keluargaku. Dia adalah ibuku. Ya, dia telah menjawabnya jauh hari sebelum aku dewasa, bahkan.

Setelah kita mendapatkan apa yang kita ingini di hidup ini, lalu apa? Setelah kita bisa membeli apa yang kita ingin beli, setelah kita menjadi dermawan paling besar, setelah kita mampu membahagiakan siapapun yang ingin kita bahagiakan, setelah kita mendapat jabatan paling puncak, dan seterusnya.. selanjutnya apa?

Bersyukur.

Ya, that's it. Lalu kita bersyukur. Sederhana, kan?

Sabtu, 22 Agustus 2009

Selamat datang Ramadhan

Ramadhan, sebuah bulan suci bagi umat muslim. Selamat datang kembali... Aku cinta kamu, Ramadhan.

Kamis, 06 Agustus 2009

Hore,... online lagi

Akhirnya aku bisa online lagi. Utk sementara aku main di warnet, rencananya aku mau pasang internetan di rumah. Tapi belum soalnya baru nyampe sebulan ini di Balikpapan, beres-beres dulu. Keliling2 kota, biar tau jalan. Balikpapan sih, bersih... dan nyaman. Tapi dibanding Makassar, masih kalah rame. Terus terang, lama tigngal di Makassar membuat aku agak kurang betah di sini. Maklum, pendatang baru.

Masalahnya skrg, ngurus KTP di sini kok njlimet ya. Bertele-tele. Yah, Bukan birokrasi namanya kalo gak merepotkan dan bertele-tele. Here it is the indonesian justice. Pengurusan KTP di Balikpapan ini bener-bener bikin pusing. Udah hampir sebulan aku ngurus belum selesai juga. Ampun. Mana duit udah mulai menipis. Penghasilan dari Lionbridge.com semakin menurun. Upahku 2 bulan ini ditahan karena katanya performa kerjaku menurun. Usaha adsense ku juga stagnan, gak pernah update blog-blogku lagi.. Belum lagi aku resign dari ISC, soalnya aku pindah ke balikpapan, jadi gak bisa ikutan jobnya lagi. Pundi-pundi penghasilanku kian hari kian berkurang... ampun!

Di sini, aku kadang mreasa kesepian. Gak kayak di makassar, banyak temen. Di sini aku cuma ber-5 ama keluarga kakakku. Sementara di luar sana, aku cuma kenal ama salah satu temen kuliahku dulu yg juga kerja di sini, plus pak RT (akibat dari pengurusan KTP biadab itu). Sehari-hariku sementara cuma bantu-bantu pekerjaan rumah, kalo lagi kosong, paling mainin si Jack (gitarku maksudnya). Daripada bete, mending belajar bikin lagu ah...

Selasa, 30 Juni 2009

Mau ke Balikpapan

Inikah waktu yang tepat untuk meninggalkan Makassar? Kota yang aku tinggali selama 6 tahun ini terasa sudah begitu akrab denganku. Keakraban ini membuatku merasa berat untuk meninggalkannya. Di sini sudah ada banyak teman, sahabat, saudara, orang-orang yang sering bersamaku. Sudah ada banyak tempat-tempat yang sering kudatangi, tempat yang sering kugunakan untuk berkumpul bersama orang-orang akrabku. Dan sekarang aku seakan berada di persimpangan jalan; ke Balikpapan dengan segala sesuatunya yang baru, atau tetap di Makassar dengan segala sesuatunya yang sama.

Aku dipanggil oleh kakakku yang tinggal di Balikpapan. Kakakku itu kerja dan menetap di sana bersama keluarganya. Katanya di sana banyak perusahaan, kotanya bersih, penduduknya ramah. Pokoknya di sana peluangnya lebih bagus untuk masa depan ketimbang Makassar. Ah, Balikpapan, kaukah tempat persinggahanku selanjutnya?

Kata orang bijak, kalau kita hanya tinggal di satu tempat terus-menerus, kita seakan-akan membaca buku hanya satu halaman saja. Benar juga, bukankah Tuhan menciptakan bumi ini begitu luas, betapa sayangnya kalau seumur-umur kita tidak pernah menginjakkan kaki di bagian bumi yang lain? Dan lagian apa yang aku tunggu di sini, di kota ini? Memang di sini aku punya pekerjaan, dan aku bahagia dengan itu. Tapi lihatlah, apakah ia bisa membuat bahagia orang-orang yang kelak akan menjadi bagian hidupku? Istriku, anak-anakku kelak, mereka harus terpikirkan semenjak saat ini. Kalau saja tidak ada yang namanya berkeluarga, maka apa yang aku dapatkan saat ini sudah lebih dari cukup; sebuah penghasilan dan lingkungan bersahabat. Tapi nyatanya tidak, hidup tidak sesederhana itu.

Maka marilah kita menentukan pilihan, mantapkan hati, dan ambil tindakan. Setidaknya ada yang aku harap di sana, di tempat baruku. Yah, harapan. Harapanlah yang selalu membuatku, kamu, kita semua, bisa membentuk hidup ini seperti sekarang ini.

Kalau aku jadi berangkat, mungkin dalam waktu dekat ini, aku ingin lama di sana. Aku ingin membuat diriku menyimpan kerinduan yang amat sangat kepada seisi Makassar, baru aku akan pulang. Agar dapat kunikmati saat di mana aku kembali ke kota ini, sebuah kerinduan yang membuncah!

Senin, 08 Juni 2009

Hari Jadi Yang Tepat Untuk Berduka

Hari ini tepat pada umurku yang ke-25. Seharusnya aku berbahagia, tapi tidak. Kemarin, tepatnya 6 Juni dini hari aku dikejutkan oleh kabar bahwa salah seorang temanku, Wache, meninggal. Aku benar-benar tidak menyangka, sungguh. Baru beberapa hari yang lalu kami duduk bersama di depan teras, bicara, tertawa. Ketika kami mengunjungi kuburnya, aku seakan belum percaya kalau ia meninggalkan kami. Kuremas tanah kuburnya, seperti mimpi. "Ah, benarkah ia sudah terbaring di balik tumpukan tanah ini?" Gumamku. Berkali-kali aku mencoba meyakinkan diri ini kalau ini hanya mimpi, dan semoga aku cepat terbangun darinya. Tapi tidak. Ini memang kenyataan, dan kami menangis dalam hati...

Kami menangis. Penyakit yang hanya aku kenal 'maag' itu merenggut nyawanya. Tapi kenapa mesti secepat ini? Masih banyak cita-cita yang dia belum raih, terlalu banyak hal-hal baik yang dia tinggalkan di belakang. Pertanyaan manusiawi itu terus menghinggapiku sampai sekarang. Logikaku hanya bisa mencoba untuk menghibur sisi perasaanku.

Ibunya, sambil sesekali menghapus air matanya yang masih mengalir, bercerita. Beberapa hari ini dia begitu rajin membersihkan rumah, sesuatu yang keluar dari kebiasan normalnya. Ia rajin mengepel lantai, membersihkan tangan, mencuci muka. Sebuah pertandakah ini? Seakan-akan dia merasa akan ada banyak tamu yang datang. Sebuah pertanyaan darinya yang Ibunya sungguh tidak menyangka akan benar terjadi, "Ma, apakah aku akan segera mati?" kata ibunya, menirukan perkataan anaknya sehari sebelum kematiannya.

Kami semua ntrenyuh, tersengat mendengar kisah-kisah kecil itu. Pertemuan terakhir kami dengannya, ketika dia pamit mau pulang ke rumah Ibunya.

"Wache, kapanko ke sini lagi? Jangko lama-lama nah, seminggu mo!".

"Ndak kembali-kembali ma'!" katanya sambil tersenyum. Namun jawaban itu hanya kami pikir tidaklah lebih dari sebuah candaan, seperti candaan-candaan kecil yang sering terlontar antara kami. Sungguh kami tidak menyangka kalau itu adalah terakhir kalinya melihatnya.

Kugenggan nisannya seakan menggenggam tangannya. Erat, lebih erat lagi. Selepas melayat, kami hanya terdiam, seakan-akan tiap-tiap kami mencoba untuk mengumpulkan serpihan-serpihan kecil kenangan ketika bersamanya. Wache sudah pergi. Istirahatlah yang tenang sahabatku, saudariku. Kami akan mengenang saat-saat bersamamu, dari kenal, hingga kau tiada. Kami semua memang menyayangimu, tetapi ternyata Allah lebih sayang kepadamu. Semoga kau tenang di sana, dan mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Selamat jalan, Wache.
Rest in peace...

Jumat, 05 Juni 2009

Tribute to Ibu Prita

Masa sih orang dipenjara cuman karena judul email. Lha wong orang cuma memberi keluhan kok. Khan wajar, kalo kita konsumen mengeluh kepada penyedia jasa, apalagi kalo kita konsumen merasa dirugikan. Kayak gak pernah denger istilah "keluhan konsumen" aja. Justru seharusnya keluhan itu ditanggapi dengan baik, bukannya malah menuntut ganti rugi dengan alasan "pencemaran nama baik"... Konsumen bicara, masuk penjara. Edan.

Blunder, menurutku itu yang justru dilakukan oleh RS Omni sekarang ini. Pilihan untuk menempuh jalur hukum ini justru akan menjadi bumerang buat RS Omni. Mereka gak sadar malah mencemarkan nama baiknya sendiri, karena dengan begini serangan bakalan datang dari segala penjuru, internet dan media. Kasus ini justru mengundang lebih banyak lagi simpati terhadap Ibu Prita. RS Omni mau gak mau sekarang harus menghadapi serangan dari segala arah, terutama aksi pemboikotan. Orang bakalan ilfeel berobat ke sana.

Udah lah. Aku gak mau ngomong banyak. Takut dituntut juga. Itu aja banner yang bilang "say no to RS Omni Tangerang" udah bahaya.

"Anakku, kalo besar nanti jangan jadi dokter yah. Jadilah seperti Ibu Prita, yang lantang menyuarakan haknya..."