Sabtu, 09 Februari 2008

Sebuah Igauan Panjang Tentang Aborsi

Akan kunamai saja Ia Cioka, aku tak punya artinya tapi bukan berarti aku sepaham dengan Shakespeare tentang arti sebuah nama. Bagiku biarlah kelak Ia yang akan memaknai namanya sendiri, biarpun kehadirannya lebih dari apapun. Tapi ternyata hidup tak selalu diharapkan...

Kubayangkan ia merah, semerah semangatnya pada hidup. Geraknya lincah, bertenaga. Tangannya mengepal bergerak-gerak cepat menantang segala, termasuk aku. Suaranya melengking keras seolah menghardik.


“Wahai hidup kemarilah, bersama kembara kita jelajahi ceruk kepengecutan. Lalu meludah disana! Rentangkan! Rentangkan hijab menembus waktu, biarkan wajah-wajah merona merah dan kepala-kepala yang berpaling dan tertunduk, tegak terangkat. Biarkan rasa malu takluk di duli kaki kita!”

Lanjutnya lagi, “Tuhanmu, Tuhanku. Adakah ia tak menginginkan aku? Sekiranyapun Ia tak menginginkan aku, bagaimana aku bisa datang? Yang haram adalah buku-bukumu, pikiranmu, hatimu, bukan aku!”

Mungkin ia tertidur dan inilah yang sayup kutangkap, Seperti igauan:
“Menjauhlah dari hiruk pikuk, tinggalkanlah sanjungan. Terimalah gunjingan, telanlah cibiran. Semua itu tak akan berarti apa-apa.” Katanya lagi, “Buanglah harapan, lupakanlah mimpi, semua itu hanya akan menjadi bianglala dari hari-hari kita yang mungkin getir esoknya. Kita mengarungi dunia kita sendiri, dunia yang lain; dunia yang boleh kita warnai dengan kelegaan. Setelahnya, segala kekuatiran itu akan melepuh dan menguap bersama kepedihan yang surut ke tepi jiwa.” Sambungnya, “Bukankah aku perlambang keperkasaanmu yang pertama? Tidakkah kau lihat masa mudamu yang jaya di mataku? Ataukah keperkasaan itu jua yang akan meremukkan aku?” Ia merengut, merayu aku.

Oh.. hidup yang cilaka! Apalah dayaku? Baru tahu aku, bakal begini jadinya. Beamu tak terjangkau olehku dan inilah akhirnya.
……………………………………………

Ia terbangun dan mulai merintih, di sela-selanya ia menguap seolah membuang kegetiran yang ditanggungnya. Ia merah, bibirnya merah. matanya berkilat-kilat memancarkan kehidupan, jari-jarinya yang mungil mengepal seolah mencengkeram erat takdir, menantang dunia yang tak menginginkannya. Tetapi ia tak berdaya, ia belum punya pilihan. Karena itu iapun meregang, lemas dan tak bergerak lagi. Seperti pucuk dibantai halimun, terkulai ke tanah dan rebah ke perut bumi.
……………………………………………

Inilah diriku kini, hari-hariku tak pantas lagi disebut kehidupan. Aku telah mati. Aku yang dulu, yang ceria, yang perkasa, yang percaya pada kegemilangan hari esok, telah lenyap. Hilang dalam raung kesakitan dan nyinyir amis darah. warna dan aromanya masuk dan melekat dalam setiap relung jiwaku. Akan kubaui sepanjang hayatku. Siapa yang dapat melepaskan aku? Bahkan debu kotor menari-nari menertawakan aku dengan gelak tawa yang tertahan-tahan oleh kengeriannya.

Inilah diriku kini, burung bul-bul yang dikutuk sendiri. Hidup dalam hari-hari yang getir dan sepi. Hanya bisa mengorek bilur-bilur dicelah kelam malam. Yang baginya; wangi parfum adalah amis nyinyir darah, makanan lezat adalah bara merah dalam perut, canda dan tawa adalah tangis penyesalan dan raungan kepedihan, kehilangan harapan lalu ditinggal kesempatan, yang diazab sesama dan diri sendiri. Seperti si iblis mengharap hukuman, demikian aku menanti keadilan.
………………………………………….

Pada suatu ketika, samar-samar kualami sesuatu dan seperti inilah kira-kira saat itu:
Aku berada didalam diriku dan tak kulihat apapun jua dengan mataku beberapa lama. Aku kaget, kubaui nyinyir amis darah, tapi tak kurasakan apapun. Aku mencari-cari keseluruh penjuru jiwaku, tapi tak kutemukan apa-apa lagi. Samar-samar aku melihat sejumlah orang sedang berkumpul, seseorang diantaranya sedang membacakan kalimat-kalimat tertentu dan orang-orang disekitarnya membalas secara serempak dengan ucapan “Amin” pada akhir setiap kalimatnya. Dalam setiap kalimat-kalimat itu, jiwaku merasakan kengerian. Karena itu, aku berjalan menjauhi mereka, keluar dari tembok-tembok kota. Tapi keadaannya juga hampir sama, disana mataku menangkap kengerian yang lain. Kurasakan dengan jelas, jerit kematian. Raungannya menggetarkan aku. Seorang pemuda dan seorang gadis muda telah menodai kota. Mereka, terhukum itu didera, dilempari sampai mati lalu jasadnya yang hancur dibakar. Kalimat-kalimat yang baru saja kudengar Seolah menjadi kenyataan dalam seketika. Begitu ampuhkah “amin” itu? Jiwaku bergetar hebat, inikah duniaku? Aku benar-benar terpukul, aku tak sanggup lagi menjadi saksi atas semua itu. Aku berpaling, berlari. Aku ingin keluar dari keadaan mengerikan ini, aku tahu ini tidak nyata. Tapi sekali lagi aku tersentak. Di tepi jalan yang kulewati terlihat seorang bocah, setengah telanjang. Meringkuk pada dinding beton, habis menangis dan masih sesengukan. Aku perhatikan di sekujur tubuhnya terdapat bilur-bilur. Berbasa-basi aku bertanya, dan beginilah jawabannya bila aku susun ulang: “Setiap bilur ini aku dapatkan dari setiap rasa malu, bahwa aku ini haram jadah. Lihatlah, dari setiap lukaku mengalir nanah, juga masih mengalir darah segar. Engkau tahu kenapa? Karena setiap kali aku mendapatkan sumpah serapah dari orang-orang yang lewat pada saat itu pulalah timbul luka yang baru. Tetapi kau lihat pula, disekujur tubuhku telah penuh dengan luka dan karena itulah luka-luka ini semakin bertumpuk, berdarah dan bernanah.”

“Karena itukah engkau menangis?” aku bertanya.
“Bukan hanya karena itu, tapi karena semua. Yang sakit bukanlah bilur-bilur ini, tetapi ketakpahaman itu.” Jawabnya sengit, mungkin ia melihat kalau akupun tak paham rasa sakitnya.

Saat hendak berbalik dari tempat itu, ia menghentikan langkahku dengan berujar “Masih ada yang kau tidak ketahui tentang bilur-bilur ini.”
”Apa?”
” Bahwa nanah ini terasa lezat dan darah ini terasa nikmat.” Katanya.
“Kenapa?” tanyaku
“Cicipilah” ujarnya.
Aku menggeleng lalu bertanya sekali lagi ”Aku tak ingin tahu dengan mencicipinya, cukupkan dengan penjelasan saja” kataku.
“Kenapa? jijik? Pikirmu apa alasan orang-orang itu menghina aku? membuat aku malu?” ia berhenti sejenak, memberi aku jeda menyadari diri. Aku menjadi merasa bodoh di hadapannya, aku benar-benar tidak tahu. katanya lagi, ”Mereka, orang-orang itu, suka karena setiap kali mereka menghina aku mereka merasa senang. Senang itu lezat dan nikmat. Kesenangan menjadi tujuan semua orang. Kau sudah paham?” matanya melotot padaku, aku mengangguk-angguk.

“Satu lagi, bagiku penderitaan inipun terasa nikmat tetapi kau perlu bertanya lagi, lanjutkanlah perjalananmu. Carilah jawabanmu sendiri, pikirkan pula jawaban orang lain.” Ia seolah tahu kalau aku masih bingung, aku lalu minta diri.

Ia pun mulai meratap lagi. Bukan karena perihnya luka, tapi karena orang-orang itu. Dalam arah yang kutuju selanjutnya, disebuah perkampungan, samar-samar aku melihat seseorang terusir dari rumahnya. Ia tak terlalu menarik perhatianku karena kulihat cukup tangguh. Dalam percakapanku ia mengatakan bahwa ia tak ingin bertahan, tak mau membuat malu keluarganya. Ada kegeraman dalam dirinya. setelah kutinggalkan di persimpangan, terdengar Ia menyenandungkan kidung-kidungnya, penuh kegeraman. Semakin lama, semakin hilang dan akupun semakin jauh dan semakin lelah. Aku tak mampu lagi melangkah dan terjatuh tak bertenaga lagi.

Kepalaku berat serasa ditindih batu, agak nyeri dibawah kelopak mataku. Ini aku rasakan semenjak peristiwa mengerikan itu. Aku tidak lagi terjaga sepenuhnya, sepanjang hari, sepanjang malam, sehari-hari. Bila mataku kupaksakan menyentuh sesuatu, yang kulihat hanya cicak-cicak tergelak dalam derai tawa. Sesekali dengan sekuat tenaga dan sekuat hati aku ingin bermimpi tetapi kutu-kutu busuk tak mengizinkan aku, para semut bersumpah ingin menggotong aku tetapi aku tak percaya apapun lagi. Sesekali kutepis keinginan mereka dengan jari-jari besarku.

Aku tak lagi pernah tahu, apakah saat ini adalah kemarin atau besok. Tetapi aku juga tak perduli. Semut-semut dan cicak telah menyita perhatianku sepenuhnya. Bila engkau bertanya tentang kesetiaan, mungkin merekalah jawaban itu. Tapi buat apa bertanya? Toh engkau tak kehilangan apa-apa. Sekali-dua ketika mereka mulai terlihat lagi, kadang dadaku memanas, ingin kureamas-remas saja mahluk-mahluk itu, tetapi rasa lemah membangkitkan enggan seketika, begitulah setiap waktu.

Bila rasa lelah dan letih mulai membekap, penglihatanku yang seperti rabun terhadap hari-hariku sepertinya lenyap pelan-pelan. Pada saat-saat seperti itulah mereka satu persatu hadir; mengungkit-ungkit, mendorong, mengangkat bahkan menggigit. Tetapi tak jua mampu membuat aku bergeming. Pada kali lain, aku mencoba bangkit berdiri, segera saja mereka terbirit-birit dengan pasrah dan paksa. Tetapi hanya beberapa saat ketika itu, para cicak bergerombol mengepung aku. Mereka berdecak menggelengkan kepala lalu tergelak dalam derai tawa, menginginkan ketersinggunganku. Aku terpana beberapa saat, aku resapi hinaan itu dan aku temukan ritme dan nada-nadanya tetapi aku masih tak paham. Senandung mereka kumasukkan ke telinga batinku, seluruhnya. Lamat-lamat kurasakan bulu kudukku merinding. Bukan karena takut, tetapi karena aku tertawan oleh pesona; kadang lirih, kadang sinis tetapi indah dan setelah kuselidiki, ternyata hanya punya satu ujung yang masih juga tak kumengerti. Begitu lagi, begitu selalu dan aku masih tak tahu apakah saat ini adalah kemarin atau esok.

Dalam hiruk pikuk yang kecil dan sempit kami ada yang datang, sang Nyamuk. Semut-semut itu bergosip kalau ia datang karena tak disukai dirumah sebelah. Adapun aku, aku tak peduli. Datanglah yang ingin datang, walau petaka sekalipun. Penglihatanku yang seperti rabun terhadap hidup sirna lalu hilang, lenyap. Pada saat itulah sang nyamuk tiba, hampir bersamaan dengan semut-semut itu. Kalau para semut itu tiba tanpa suara, sang nyamuk datang dengan lagu-lagunya yang riang. Aku tak paham maksudnya, tapi nadanya riang dan bersemangat. Ia kadang hinggap di kepalaku, tanganku ataupun kakiku tetapi tak sekalipun ia singgah didepan hatiku. Akupun tak tahu. Kadang aku rasakan ia menggigitku, mencungkilku dan aku membiarkannya saja sama seperti terhadap yang lain. Ia sama saja dengan semut-semut itu, pikirku. Seperti biasanya aku tak bergeming, tapi kali ini lain sama sekali. Aku mencoba melihat semut-semut itu, aku mencari kemana-mana, dibawah ketiakku, ditelingaku, dimulutku, diselangkanganku, disakuku, bahkan diperutku juga. Aku tak melihat yang lain kecuali dua, dijari-jari besarku. Aku kaget, bahkan lagu-lagu para cicak itu tak kuperdulikan lagi. Aku dicekam rasa marah, aku merasa kehilangan, aku merindukan mereka tetapi mereka telah pergi.

Dan inilah akhirnya, semut yang dua itu tak lagi datang dan pergi. Mereka telah tinggal bersamaku. Kadang kuelus-elus kepala mereka dan kamipun tertawa-tawa. Sementara itu, sang nyamuk terlihat makin tambun. Ia tak pernah alpa bahkan kadang datang dengan kawannya yang lain. Mungkin kolega-koleganya, tetapi aku tak perduli padanya. Lagu-lagunya mulai memuakkan aku. Dan para cicak-cicak itu, aku kian akrab dengan mereka. Kadang aku turut bernyanyi bahkan menciptakan lagu-lagu baru. Diwaktu-waktu lainnya, semut yang dua itu juga ambil bagian, kuelus-elus kepala mereka dan kamipun tergelak-gelak dalam derai tawa.

Begitulah hari-hariku akhir-akhir ini, bahkan kubuat jerujiku sendiri; jeruji kami barangkali. Kadang aku teringat pada muda-mudi itu, pada para tukang ceramah itu, pada anak kecil haram jadah itu, juga pada Cioka. Air mata lalu menetes, mencuci hati yang terkoyak, membasuh tangan yang berdarah ini. Aku sudah tak mampu melihat apapun, bahkan apapun aku sudah tak mampu. Semua sudah menjadi gelap. Lalu semut yang dua itu dan para cicak mengangkat aku, kini dengan enteng. Tubuhku telah menjadi ringan. Ambillah, ambil saja semua juga kalian. Aku tak butuh apa-apa lagi untuk diriku. Kami, setelahnya berdendang dengan nada-nada yang tetap sama; lirih, dan nyinyir. - dream blog -

0 komentar: