Di masa sekolah saya sering menonton televisi, tapi sekarang beruntung kalau dua kali seminggu teman-teman mengajak saya "menghirup udara" itu. Jadi tentu saja saya tidak cukup untuk memiliki hak menilai televisi, tapi saya akan berbicara tentangnya sedikit.
Menurut saya, televisi tidak lebih baik daripada 5-10 tahun yang lalu. Seperti dulu, acara televisi dipenuhi dengan artis-artis yang mempunyai fleksibelitas luar biasa untuk berubah bentuk sesuai dengan selera penonton atau kebutuhan pasar; dari peran setan kemudian menjadi berkerudung saat memasuki bulan Ramadhan. Seperti dulu, saya melihat di layar kaca sajian acara remeh temeh bahkan menjijikkan, mulai dari hiruk-pikuk ulangtahun seorang artis pada usianya yang ke-sekian (yeah, like we care!), sampai kisah demi kisah perceraian selebriti papan atas yang semakin membuatku ingin meludah. Lagi seperti dulu, media paling senang membesar-besarkan urusan-urusan seperti goyangan pantat seorang penyanyi dangdut, atau fenomena 'penampakan' dan kemudian mengemasnya seserius atau lebih daripada urusan konflik di Timur-Tengah. Dan ada yang bilang acara TV itu adalah pendidikan. (lha?)
kebanyakan orang yang sentimental dan gampang percaya bisa diyakinkan bahwa TV dalam keadaannya sekarang adalah pendidikan. Tapi barangsiapa mengenal pendidikan dalam maknanya yang sejati, tidak mudah dia ditangkap dengan umpan tersebut. Saya tidak tahu bagaimana 50-100 tahun lagi, tapi dalam keadaannya sekarang acara TV hanya dapat berfungsi sebagai hiburan. Tapi hiburan ini terlalu mahal untuk terus dimanfaatkan. Hiburan ini menyesatkan. Hiburan ini merampas dari para orangtua beribu-ribu pemuda dan pemudi sehat, berbakat, yang jika seandainya tidak mengabdikan diri pada kemampuan berakting kiranya dapat menjadi dokter, guru, hakim yang baik; hiburan inipun merampas dari tangan masyarakat jam-jam pagi, siang, sore dan petang hari yang merupakan waktu terbaik untuk kerja otak dan silaturahmi antar-kawan. Belum lagi saya berbicara tentang pengeluaran uang dan kerugian mental yang diderita oleh pemirsa ketika mereka melihat di layar kaca pembunuhan, hantu-hantu, pantat, atau aib yang tidak terbukti kebenarannya.
Si A temen saya lain lagi pendapatnya. Dia berusaha meyakinkan saya bahwa televisi, dalam keadaannya sekarangpun, lebih tinggi daripada ruang kelas, lebih tinggi daripada buku, lebih tinggi daripada segalanya di dunia. Media televisi adalah kekuatan yang menyatukan semua jenis kesenian di dalam dirinya, sedangkan para artis adalah public-figure. Tidak ada jenis seni dan tidak ada jenis ilmu yang mampu mempengaruhi jiwa manusia secara kuat dan benar sebagaimana layar kaca; karena itu tidak heran bila selebritis kelas atas memperoleh jauh lebih banyak popularitas di kalangan masyarakat dibandingkan ilmuwan atau olahragawan yang baik. Dan tidak ada kegilaan umum yang dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan sebagaimana saat kita mengetahui kelanjutan dari episode ke-x sebuah film sinetron.
Dan pada suatu pagi yang cerah si A pun masuk rombongan tarik suara, dan pergi, kemungkinan ke Jakarta, dengan membawa uang banyak, harapan indah yang masih gelap, dan pandangan aristokratisnya.
Hidup kita telah terwakili oleh sinetron, hasrat kita telah dikontrol oleh iklan. Hidupilah hidup, bukan menontonnya. Membuat hidup menjadi lebih indah, lebih baik daripada menyaksikan ilusinya. Kenyataan untuk dirubah ada di luar sana, bukan tersaji di layar TV.
Matikan TV, nyalakan hidup!
Selasa, 14 November 2006
Matikan TV, Nyalakan Hidup!
/ Selasa, November 14, 2006 0 komentar
Kategori: Opini
Sabtu, 11 November 2006
Pengkhianatan Kaum Intelektual di Unhas
Pernah dimuat di Fajar; Selasa, 27 Juni 2006
Tulisan ini, sebenarnya tidak ingin memprovokasi siapapun, dan tidak memiliki tendensi apa-apa. Saya teringat dengan tulisan Daniel Bell "The End of Ideology", yang terlalu dini membunuh ideologi atau Francis Fukuyama yang menulis "The End of History", atau Ohmae dengan "The End of Nation State" dan "The Borderless World". Karya Fukuyama "The End Of History" adalah karya monumental yang sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan baik di kalangan ilmuwan Timur maupun Barat. Juga pakar-pakar lain yang menulis "matinya ilmu ekonomi dan "matinya ilmu pengetahuan". Semua barangkali merupakan refleksi kritis dan gugatan radikal terhadap fenomena yang dihadapi, yang dalam banyak hal menimbulkan kekecewaan dan frustrasi.
Karya-karya yang disebutkan di atas paling tidak mewakili alur berpikir tulisan ini, yaitu bagaimana seorang intelektual mampu "menyihir" orang dengan argumentasi, gagasan dan paradigma yang objektif. Seorang intelektual adalah yang memahami realitas sosial sebagai pusat bergetarnya "naluri" kemanusiaan dan realitas sosial yang timpang adalah musuh dan objek kajian kaum intelektual dengan berusaha mencari pemecahan terhadap realitas yang timpang tersebut.
Kaum intelektual merupakan kaum terdidik, pandai, bernaluri, benci terhadap penindasan --penindasan itu atas nama apapun-- dan berusaha untuk mengeluarkan masyarakat dari jeratan sosial yang menghimpit. Seorang intelektual harus memahami idealisme dan pandangan dunia yang dimilikinya sehingga kaum intelektual tidak menjadikan intelektual sebagai alat untuk meraup keuntungan pribadi dengan menjual gelar keintelektualan. Jika itu yang terjadi, maka gelar pengkhianat intelektual harus disandangnya.
Setiap naluri berpikir seorang intelektual seyogyanya berkhidmat kepada masyarakat dan kemanusiaan, serta mencari hakikat kebenaran untuk pembebasan, sehingga dengan demikian seorang intelektual tidak berhenti menjadi intelektual personal -meminjam bahasa Antonio Gramsci di sebut sebagai intelektual tradisional- yaitu seorang intelelektual yang meninggalkan fakta sosial sebagai "kitab sosial" yang merupakan pisau analisis untuk menjawab persoalan masyarakat. Kalau kita meminjam Julien Benda, intelektual yang menyimpang dari kualifikasi tersebut adalah pengkhianat (traitor). Kendati dalam beberapa hal pandangan Benda masih dapat diperdebatkan (debatable) namun esensi argumentasinya adalah betapa pentingnya kaum intelektual memegang teguh idealisme kemanusiaan dan etika otoritas keilmuannya. Dalam bahasa Edward Schills (1972), "Kaum cendekiawan adalah orang-orang yang mencari kebenaran".
Kaum Intelektual Unhas
Unhas tidak diragukan lagi, merupakan tempat para intelektual. Sekalipun variannya berbeda, untuk sementara -dan Insya Allah untuk selamanya- kita bisa mengatakan bahwa Unhas adalah "sarang" para intelektual yang menggunakan "jubah" gelar, mulai dari Profesor, Doktor, dan "segerombolan" yang bergelar magister, semuanya ada di Unhas. Gelar atau embel-embel apapun tidaklah terlalu penting sebenarnya dalam memahami seorang intelektual. Karena seorang intelelektual adalah human transformers, yaitu mereka yang resah menyaksikan penindasan, pengkhianatan dan perampokan sosial dalam masyarakat.
Memahami intelektual sebagai kelompok oposisi terhadap pengkhianatan, penindasan dan perampokan sosial ini menjadi penting untuk kita cermati lebih mendalam, karena proses intelektual akan gagal jika fakta sosial tidak searah dengan cara pandang universal intelektual. Fakta sosial di Unhas bukan hanya memalukan, tetapi juga menjijikkan. Konflik pemilihan dekan fakultas hukum beberapa bulan yang lalu yang berujung pada pembentukan karateker karena masing-masing mempertahankan arogansi intelektualnya adalah fakta sosial yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun, bahwa intelektual digiring ketiang gantungan sejarah oleh mereka yang selalu membusungkan dada sebagai seorang intelektual hanya demi keserakahan kekuasaan. Tawuran, perkelahian dan sadisme yang muncul di kampus ini mempertegas kembali bahwa Unhas merupakan tempat gerombolan intelektual yang tak pernah memahami realitas sosial sebagai sebuah alat rekayasa perubahan. Juga kasus doktor instan yang pernah memenuhi media massa tahun lalu, dan menjadi bahan polemik hingga tidak diketahui dimana ujung penyelesaiannya, juga adalah kenyataan semakin kaburnya makna intelektual yang melekat dalam sanubari mereka yang selalu berteriak tentang intelektual. Kasus Ospek yang seringkali menimbulkan korban jiwa, penindasan massal, perampokan sosial, bandit intelektual, dan bisnis mahasiswa yang telah berubah menjadi dosa warisan merupakan bentuk keserakahan yang tak pernah berakhir. Sekarang media massa sedang gencarnya memberitakan kasus korupsi yang melibatkan mantan dekan di salah satu fakultas yang menegakkan moral bangsa ini, fakultas yang mendidik orang supaya tidak meringkus harta orang lain, fakultas yang selalu meneriakkan demokrasi. Mantan dekan ini di tangkap dan kasusnya sedang disidangkan ? semoga beliau tidak melakukan bentuk pengkhianatan intelektual.
Tetapi selain di atas, apakah selamanya kita tidak berani jujur, bahwa universitas terbesar kawasan timur ini sedang dihinggapi oleh bentuk primordialisme intelektual, bahkan ada yang mensinyalir bahwa di Unhas banyak terbentuk simpul-simpul dinasti intelektual. Satu bentuk pelanggaran terhadap hakikat intelektual yang sesungguhnya.
Di tengah problem seperti itu, akhirnya banyak potensi para Profesor dan Doktor serta "gerombolan magister" yang tidak lagi produktif. Kalau Fukuyama, Daniel Bell, Semuel P. Huntington, Descrates, Vico, Spinoza, Renan, Hegel, Goethe, Nietzsche, dan banyak yang lain dalam sejarah modern Eropa mampu "menyihir" dunia dengan teori-teori mereka, maka para guru besar kita banyak yang asyik masyuk dengan persoalan kekuasaan. Intelektual Unhas masih serakah dengan kekuasaan. Padahal keserakahan itu adalah bencana yang dapat membutakan mata hati, yang tidak mampu menggetarkan jantung dan membunuh nurani untuk tidak mampu memahami tugas dan tanggung jawab yang sesungguhnya.
Seorang intelektual itu kalau kita meminjam Benda, bukanlah manusia biasa. Tetapi intelektual adalah orang atau sekelompok orang yang mampu memahami, merenungi, dan bertindak dengan karakter intelektual dalam memahami fakta sosial. Intelektual harus mampu melahirkan karya-karya besar dengan pikiran-pikiran briliant. Selalu melakukan "teror" wacana, kepada publik dan melakukan transformasi kepada orang lain. Sehingga ia tidak menjadi intelektual personal, yang hanya mengonsumsi sendiri kecerdasan yang dimilikinya. Dalam konteks inilah Unhas telah gagal menjadi pusat lahirnya para intelektual. Banyak guru besar Unhas yang tidak punya karya tulis, bahkan dimuat di koran lokal seperti Fajar, apalagi mau dimuat di koran nasional seperti kompas. Kecuali hanya sedikit dari "sekumpulan" intelektual yang berada di bawah naungan perguruan tinggi ini yang produktif. Sebutlah misalnya Mansur Semma, Adi Suryadi Culla, Ahmad Ali, Dwi A. Tina, dan beberapa nama yang lain. Unhas memang harus jujur, tidak mau menghargai orang-orang cerdas, berapa banyak orang cerdas yang tersingkirkan dari Unhas hanya karena tidak memiliki keluarga di dalamnya atau tidak menjilat pantat dosen yang telah senior.
Padahal seorang intelektual itu menurut Edward Said dalam Reith Lectures nya di BBC tahun 1993, adalah individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan, mengekspresikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi dan pendapatnya kepada publik. Ia tidak harus dan tidak boleh menjilat kepada siapapun, karena itu adalah bentuk penghambaan intelektual. Intelektual adalah orang bebas, ia bebas mengapresiasi, mengkritik, menghujat, dan melawan perampokan sosial dalam masyarakat tanpa beban dan rasa takut akan ancaman karir atau kekuasaan.
Akhirnya, kita berharap, di Unhas tidak ada lagi dosen yang menyiksa mahasiswa hanya karena konflik politik mereka, tidak ada lagi persiapan "segudang" makanan ketika ujian skripsi, tidak ada lagi penerimaan dosen dengan menggunakan IPK (indeks prestasi kedekatan), tidak ada lagi korupsi sebagai bentuk perampokan sosial, tidak ada lagi ospek yang merupakan bentuk penghkianatan intelektual tertinggi di kampus ini, tidak ada lagi tawuran yang merupakan representasi "tukang becak" ala kaum intelektual, dan semoga para Profesor, Doktor dan Magister di Unhas berlomba untuk menjadi pemikir yang akan melakukan "teror" wacana ke publik. Suatu ketika bangsa ini akan menjadi milik kita, dunia ini akan kita genggam, tapi dengan satu syarat; jangan ada pengkhianat intelektual yang lahir dari kampus ini, apalagi sampai menghamba kepada penguasa. - dream blog -
Sabtu, 04 November 2006
Hukum Kausalitas
Hukum kausalitas atau sebab-akibat adalah sebuah dalih populer yang dipakai untuk menyangkal keberadaan Tuhan. Pertanyaan dari mana segala yang ada ini berasal akan berhenti pada satu titik, yaitu kata Tuhan, Tuhan, dan Tuhan... Jika semua ini berasal dari Tuhan, jadi Tuhan berasal dari mana? Berarti ada Tuhan sebelum Tuhan? Bagaimana mematahkan argumen bego ini?
Filsafat materialisme beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada ini sudah ada sejak dulu dan akan terus ada selamanya (tidak ada awal dan akhirnya), dan oleh karena itu, menyangkal proses penciptaan (yang selanjutnya dipakai juga untuk menyangkal keberadaan Sang Pencipta) dan hari kiamat. Mereka berkedok ilmiah dan sains dengan melandaskan diri kepada teori-teori evolusi-nya Darwin. Ironisnya, anggapan ini juga digugurkan oleh penemuan ilmiah terbaru yang terbukti kebenarannya: Teori Big Bang. Teori ini menyatakan bahwa alam semesta ini terbentuk dari peristiwa Ledakan Besar sebuah titik yang bervolume nol dan berkerapatan tak terhingga. Dalam ilmu matematika, nol sama dengan tidak ada, dengan kata lain alam semesta ini pernah tidak ada dan kemudian di-ada-kan oleh kekuatan MahaCerdas, melalui peristiwa Big Bang.
Lagi-lagi waktu membuktikan bahwa filsafat materialisme dan teori Evolusi Darwin tidak lebih dari sampah sejarah. Bahkan lebih tidak berguna dari sampah, karena sampah itu masih bisa didaur-ulang.
Anggaplah sebuah penggaris adalah alam semesta beserta segala isinya. Salah satu ujungnya adalah awal penciptaan dan ujung yang satunya adalah akhir dari alam semesta; jarak antara ujung awal dengan ujung akhir adalah perjalanan waktu atau rentetan peristiwa. Aku berada di luar penggaris itu, sehingga bisa mengetahui peristiwa-peristiwa di bagian manapun dari penggaris itu. Aku mau menganalogikan secara sangat sederhana bagaimana Tuhan melihat alam semesta beserta segala isinya ini. Menurutku begitulah Tuhan melihat semua ini. Tuhan yang menciptakan ruang dan waktu, alam semesta, maka apakah Dia mutlak harus ikut terperangkap di dalam ruang dan waktu, alam semesta ini? Tentu tidak. Sebaliknya, manusia dan segala yang ada ini terikat dalam konteks ruang dan waktu sehingga tidak punya kuasa atas masa lalu dan masa depan. Yang kita punya hanya sekarang.
Kembali, 'hukum kausalitas' jika dieksekusi dengan argumennya sendiri, ujung-ujungnya kembali ke Tuhan. Kesimpulan akhir adalah 'hukum kausalitas' di-ada-kan oleh Tuhan. Nah, sama halnya dengan konsep 'Tuhan yang meng-ada-kan ruang dan waktu maka Dia tidak mutlak harus terperangkap di dalamnya dan terikat di konteksnya', berarti itu juga berlaku kepada hukum kausalitas: 'Tuhan yang meng-ada-kan Hukum Kausalitas maka Dia tidak mutlak harus terperangkap di dalamnya dan terikat di konteksnya'. Atau sederhananya begini, Hukum Kausalitas tidak bisa digunakan untuk menghakimi Tuhan karena secara langsung atau tidak langsung Tuhan-lah yang meng-ada-kan hukum kausalitas itu. Tuhan adalah Pencipta, hukum kausalitas adalah 'yang diciptakan'. Masa' ciptaan mendikte penciptanya? Mungkinkah hukum kausalitas itu, yang ada atas kehendak Tuhan tentunya, bisa menghakimi Tuhan itu sendiri? - dream blog -
/ Sabtu, November 04, 2006 7 komentar
Kategori: Opini
Kamis, 26 Oktober 2006
Our Manifesto
Akhir-akhir ini aku begitu merindukan saudaraku, Nas. Sudah sekitar 5 tahun aku tidak bertemu dengannya, ngobrol, berdiskusi mengenai apa saja yang menarik, atau bercerita tentang kenangan masa kecil. Bersamanya merupakan momen yang sangat berharga yang pernah kurasakan. Ia adalah kakak merangkap teman bertukar pikiran.
Teringat masa kanak-kanak kami dulu. Kami sering berdiskusi mengenai hal-hal yang mungkin sangat jarang dibicarakan oleh anak-anak seumuran kami waktu itu. Ketika anak-anak lain mungkin sedang membicarakan tentang 'siapa yang berhasil menangkap layangan putus itu sore lalu', kami membicarakan mengenai 'seberapa luas sebenarnya alam semesta ini', atau 'apa itu Black Hole'. Bahkan pembicaraan kami sampai pada 'kemungkinan adanya makhluk hidup lain di luar tata surya kita'.
Huahaha.. Lihatlah! Dua anak ingusan bersaudara itu mencoba menggunakan otak mungilnya untuk berfikir semendalam itu! Dua anak kecil itu membicarakan hal-hal yang bahkan orang dewasa pun enggan untuk memikirkannya.
O, tidak, bukannya kami pada saat itu tidak bersosialisasi dan bergaul dengan teman-teman sepermainan kami. Bukan kami berdua mengisolasi diri dalam rumah, bukan begitu. Kami selalu berkelana dengan anak-anak lain sampai jauh dari rumah dan bahkan pernah tersesat pulang, hanya untuk mengejar seekor kupu-kupu. Kami sering bermain "ma'cincillojo" sampai matahari di atas kepala kami tersenyum melihat keceriaan kami. Halaman rumahku adalah ajang tempat bermain kelereng yang selalu ramai bersama teman kecil kami dulu. Kami adalah figur kecil yang disuka karena kami jujur dan tidak pernah curang dalam bermain, walaupun kadang-kadang kamilah yang dicurangi.
Kami berdua hanya manusia kecil yang baru beberapa tahun ada di dunia ini, dan ketika hadir, begitu terkagum-kagum oleh hidup dan kehidupan. Kami terpesona melihat sekuntum bunga yang tumbuh sendirian di antara semak belukar di bawah pagar yang rapuh. Kami kagum keheranan melihat anak kecil lain yang tidak kami kenal dan berpikir 'betapa jauh lebih miripnya kami dengan dia ketimbang berbeda'. Kami bergandengan tangan menelusuri jalan-jalan berkelok dan mengamati segala sesuatu yang kami lewati sepanjang perjalanan. Memperhatikan iring-iringan semut yang kemudian meninggalkan makanan besar mereka dan mulai berlarian panik ketika kami menghembuskan udara ke arah mereka. Kami hanyalah anak kecil yang penuh dengan rasa keingintahuan tentang segala hal, tetapi mereka menyebut kami anak nakal.
Mungkin. Bisa jadi kami memang anak nakal. Berarti kenakalan kami adalah rasa keingintahuan kami. Berarti kenakalan kami adalah menjadi lebih tahu tanpa mau sok tahu seperti yang orang-orang dewasa sering lakukan. Kenakalan kami adalah mengisi tempurung kepala kami yang selalu 'lapar' akan segala bentuk pengetahuan, di mana pada saat yang sama anak-anak lain mengisi perut mereka yang juga lapar akan segala bentuk jajanan.
Rabu, 25 Oktober 2006
IED Mubarak
Hari ini, takbir, tahmid tahlil berkumandang memenuhi jagat raya, tak kuasa tuk membendung air mata, teringat akan dosa-dosa, ma'afkanlah aku sahabatku. aku akan berusaha untuk tidak mengulangi kekurangan di lain waktu, SELAMAT HARI RAYA IEDUL FITRI 1427 H. Mohon Ma'af lahir & bathin.
Hari ini aku mempertanyakan kembali idealisme mahasiswa yang dulu menjadi jubah kebanggaanku. Apakah itu murni idealisme ataukah hanya ego masa muda? Entahlah. Buat mereka yang dipukuli oleh aparat karena memperjuangkan kepentingan rakyat kecil, buat mereka yang tidak menggadaikan idealismenya demi kenikmatan yang fana, buat mereka yang rumah-rumahnya tergenang oleh 'lumpur-lumpur panas kapitalisme', buat mereka yang telah mencapai titik di mana tidak mau menyerah melawan kebobrokan, apapun yang terjadi, kalian tetap sahabatku...
/ Rabu, Oktober 25, 2006 0 komentar
Kategori: Diari
Senin, 09 Oktober 2006
Surat Yang Tidak Pernah Sampai
Assalamualaikum.
Sebelumnya aku ingin minta maaf. Aku ingin menceritakan sesuatu kepadamu. Mungkin ini kedengarannya lucu, konyol, bodoh. Tapi hal itu justru sangat mendorongku untuk menuliskan surat ini. Dan sebenarnya aku berharap, kamu tidak akan pernah membuka lembaran ini, karena ada hal di dunia ini yang kita tidak harus mengetahuinya.
Malam itu, aku bermimpi. Aku bermimpi tentang dirimu. Mimpi yang membuatku bahagia bercampur sedih. Bahagia karena aku bersamamu, walaupun hanya dalam mimpi. Sedih, karena ternyata mimpi itu tidak berakhir seperti yang aku inginkan.
Ketika aku terbangun, tiba-tiba aku merasakan kerinduan yang amat sangat kepadamu. Serasa aku ingin kembali ke mimpi itu dan ingin segera bertemu denganmu lagi. Lama sekali aku memandangi langit-langit kamar, berfikir gerangan apa yang aku rasakan? Mengapa tiba-tiba aku merindu? Dan tak terasa aku menitikkan air mata.
Ketahuilah. Akulah orang yang paling sering memandangimu dari kejauhan. Seandainya bangku-bangku kayu itu adalah makhluk hidup, mereka pasti tahu itu. Tiap sudut di lorong-lorong koridor yang suram, mereka akan membenarkan itu. Mereka tahu kalau aku memandangimu lama sekali. Tapi ketika kamu membalas tatapanku, aku tertunduk. Aku merasa tidak pantas disoroti oleh kemilai keindahanmu. Aku memang bodoh. Aku seharusnya mengucapkan salam. Atau paling tidak, memberikan senyuman. Tapi tidak tahu mengapa, aku tidak bisa saja.
Aku menulis ini, aku hanya ingin menumpahkan perasaanku saat ini. Aku tidak berharap kamu membalasnya, atau menyapaku ketika kita bertemu lagi suatu saat nanti. Aku bahkan berharap kamu tidak pernah mengetahui keberadaan tulisan ini. Biarlah kerinduanku ini kutumpahkan lewat tulisan ini. Atau lewat orang-orang dekatku di dunia nyata dan dunia maya.
Rabu, 27 September 2006
Manifesto Fantasi
Kalo ada satu pergerakan yang sempat menggoncang dunia internasional maupun nasional, itulah komunisme. Gerakan yang satu ini emang bikin orang ngeri. Pasalnya, Lenin telah membunuh jutaan orang Sovyet untuk Revolusi bolshevijk-nya, dan PKI sukses membunuh sembilan jenderal demi kekuasaan.
Kenapa? Kenapa begitu gampangnya mereka menghilangkan nyawa manusia? Karena bagi mereka manusia tidak lain merupakan seonggok materi kumpulan atom-atom yang hidup atau matinya sama aja, mereka adalah materi. Semuanya sama: materi. Ini sudah jelas, lha wong si Marx aja ngeklaim bahwa teori evolusinya Darwin adalah landasan ideologis bagi filsafat materialisme-nya.
Sekelompok orang tergiur oleh pemikiran Karl Marx. Mereka adalah orang-orang skizofrenia akut (supercrazy) yang percaya bahwa semua benda di alam semesta ini sama, yaitu materi, berawal sebagai materi, dan berakhir sebagai materi. Itulah sebabnya, otak mereka sama dengan t*i mereka! Makanya mereka jadi gila!! Orang-orang seperti Lenin, Stalin, Fiedel Castro, Che Guevara, Muso, Aidit, Mao Tse Tung adalah orang-orang gila, jelema2 gelo, wong edan yang berharap bisa menggulingkan pemerintahan di setiap negara lalu menguasai dunia di bawah diktatorisme mereka, lalu merealisasikan filsafat sosialisme mereka!
Mereka emang pernah berhasil. Uni Sovyet pernah berdiri di eropa sampai Asia tengah. Adidaya, lalu mereka merasa lebih hebat dari Tuhan. Maka dihancurkannyalah masjid-masjid dan gereja-gereja, menorehkan doktrin atheisme di segenap penjuru negeri. Ya, Sovyet memang adidaya, tapi adidaya pecundang! Sovyet cuma bertahan 72 tahun, abis itu rontok, ambruk! Kenapa? Karena begitu utopisnya cita-cita sosialisme mereka. Mereka pikir segala hal bisa disamakan begitu saja, bisa dihomogenkan. Ini kan gila. Skizofrenic! Dasar otak mereka emang t*i!
Mulut mereka berbusa dengan slogan "pertentangan kelas". Dan mereka mengklaim diri mereka adalah pejuang-pejuang, pahlawan-pahlawan, untuk kaum proletar. Maka dihimpunkannyalah kaum buruh dan tani. Lalu mereka semua diberi senjata. Dengan iming-iming kesejahteraan, provokasi dihembuskanlah, dan terjadilah pemberontakan. Inilah yang mereka sebut revolusi. Padahal itu tidak lain tangisan anak kecil yang minta popoknya diganti!
Sekarang paham mereka merasuk ke LSM-LSM, juga ke komunitas-komunitas underground. Selain itu, akhir-akhir ini juga mulai ada partai-partai yang berbau busuk komunis dengan berbaju karakyatan dan demokrasi, muncul ke permukaan. Mereka berharap bisa bangkit dan mewujudakan idealisme-sosialisme mereka. Namun percayalah teman-teman, mereka tuh cuman mimpi di siang bolong, mereka tuh cuman berangan-angan, cuman berkahayal, cuman berFANTASI!
Karena ideologi komunis-materialisme selamanya tidak relevan. Sistem sosialisme selamanya tidak akan memberikan solusi apapun bagi penderitaan proletar maupun bagi umat manusia. Tidak, tidak akan. Hanya sistem yang sesuai dengan akal dan fitrah manusia sajalah yang dapat menjawab semua problem yang ada. Sistem dan metode yang pernah berjalan di atasnya generasi terbaik di bawah pengajaran manusia terbaik yang menerima wahyu dari pencipta langit dan bumi. Sistem inilah yang akan membuat muka-muka jelek pemuja Che Guevara gigit kuku jari jungkir balik karena menyadari bahwa mereka selama ini cuma mengada-ada.
Kamis, 21 September 2006
Cewek Hedon
Cewek hedon..
Penampilan modis lagaknya mirip artis
Gonta ganti HP merk Sony-Ericsson
Ditanya ini-itu cuman bisa mringas-mringis
Otak buntu kebanyakan nonton sinetron
Gosip selebritis, kuis, dan acara hedon sejenis
Anjrit!
Cantik-cantik kok stupit
Bisanya ngabisin duit pake kartu kredit
Pusing 7 keliling ama urusan perawatan kulit
Watak pelit, gak pernah ngerasain hidup sulit
Baca buku dikitlah biar tuh wawasan gak sempit
Jangan cuma komik serial cantik atau novel Teenlit
Soal invasi Israel doi gak peduli
Asal masih bisa party, happy-happy tiada henti
Baca berita jarang kecuali yang berbau tsunami
Karena gw tau pasti, loe takut keburu mati!
Berharap ada terapi yang bisa bikin hidup abadi
Jangan mimpi!
Hua! Beginikah potret mudi generasi kini?
Harga diri terbeli oleh hegemoni kapitalisasi?
- dream blog -
/ Kamis, September 21, 2006 0 komentar
Kategori: Syair
Sabtu, 16 September 2006
Ultah ke-50 Unhas: Bagi-Bagi Bogem Mentah
Baru-baru ini unhas membuat pesta besar dalam rangka ulang tahunnya yang ke-50. Dalam pesta tersebut ada yang bahagia ada pula yang bersedih. Tapi aku mengatakan bahwa pesta ulang tahun yang dibuat oleh birokrasi kampus tersebut, seperti “orang tua yang berulang tahun tanpa melibatkan anak-anaknya”.
Pada acara tersebut tepatnya sabtu, 9 september 2006, yang bertepatan pula dengan datangnya 02 RI; Yusuf Kalla, beberapa mahasiswa merayakan ulang tahun unhas dalam versi yang berbeda, yaitu dengan melakukan aksi damai dan bagi-bagi selebaran yang berkaitan dengan isu ke-unhas-an; dalam hal ini mereka mencoba menggambarkan sisi lain dari unhas, seperti fenomena dosen malas, dosen proyek, serta beberapa kebijakan yang tidak berpihak kepada mahasiswa dan rakyat kecil. Tetapi mimpi apa kita semalam, “orang tua-orang tua” kita yang ada di birokrasi kampus justru menganggap bahwa mahasiswa yang melakukan aksi damai tersebut adalah oknum-oknum yang harus dibersihkan karena merusak citra unhas katanya, sehingga teman-teman mahasiswa yang merayakan ulang tahun kampusnya dengan cara yang berbeda tersebut dibersihkan (dikejar, digebuki kayak pencuri ayam, bahkan diculik) oleh Paspampres, Polisi, Tentara serta satpam yang mungkin memang digaji untuk menjaga kekuasaan. - dream blog -
/ Sabtu, September 16, 2006 0 komentar
Kategori: Diari
Senin, 04 September 2006
Solidaritas Untuk Mahasiswa Kehutanan Unhas
Adigum bahwa Universitas Hasanuddin adalah kampus terbaik dan terkemuka (dalam hal kapasitas akademik dan profesionalisme) di Indonesia Timur harus dipertanyakan kembali. Daftar panjang catatan kelam dunia pendidikan di kampus ini nampaknya tak kunjung berakhir. Setelah sekian banyak ketimpangan yang 'terang-terangan' menciderai aspek intelektualitas yang selama ini digembar-gemborkan - mulai dari bobroknya pengelolaan transparansi anggaran sampai pada kualitas sistem pendidikan yang tak pernah baik - kini birokrasi kampus mulai menunjukkan sikap represif dan intervensif terhadap lembaga kemahasiswaannya.
Betapa tidak, preseden buruk inipun menimpa Badan Eksekutif Mahasiswa Kehutanan (Sylva Indonesia PC. Unhas), ketika mencoba mengapresiasikan ketidaksepakatannya terhadap kebijakan birokrasi di jurusan Kehutanan. Berawal dari, kebijakan jurusan yang secara sepihak memaksa mobilisasi mahasiswa kehutanan ke Hutan Pendidikan Unhas (Bengo-bengo, Kab. Maros) dalam rangka menyukseskan penyerahan sumbangan rusa oleh beberapa pejabat daerah. Anehnya, pemaksaan ini dibarengi dengan dalil naif bahwa siapapun yang tidak mengikuti kegiatan tersebut akan terancam nilai matakuliahnya. Hal ini disebabkan adanya kebijakan pengalihan matakuliah ke tempat tersebut, lagi-lagi dengan alasan yang irasional dan tak memiliki korelasi apa-apa yaitu: demi suksesnya kegiatan tersebut.
Implikasinya pada aksi damai oleh BEM Kehutanan untuk menolak kebijakan birokrasi tersebut - sesuatu yang seharusnya wajar dan alamiah di tengah-tengah tuntutan transparansi di negeri ini. Aksi tersebut mengusung dua tuntutan yaitu; a) Transparansi pengelolaan Hutan Pendidikan Unhas, dan b) Menolak mobilisasi untuk mengikuti matakuliah umum di tempat tersebut. Bukannya mencoba membuka ruang komunikasi dan partisipatif terhadap aspirasi mahasiswa ini, birokrasi jurusan malah menunjukkan sikap antipati serta keras kepala dengan mengeluarkan kebijakan fatalis dan sangat merugikan mahasiswa yaitu 'meng-error-kan' seluruh matakuliah yang sedang diikuti oleh 12 orang mahasiswa, hanya karena alasan mereka adalah 'dalang' dari aksi damai tersebut.
Ironis memang, kebijakan keras ini tentunya tak bisa dibiarkan sebab sesungguhnya tak ada hubungan apa-apa antara ancaman penilaian dalam proses akademik dengan kebebasan mahasiswa untuk menyatakan pendapatnya. Apalagi ini menyangkut independensi lembaga kemahasiswaan dalam berekspresi dan berkreatifitas. Bahkan kebijakan ini berbuntut pada terancam DO (Drop Out)-nya beberapa mahasiswa pada Evaluasi Akademik I (empat semester).
Sayangnya, berbagai cara diplomasi dan persuasif yang ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan ini tak pernah ditanggapi serius, bahkan tak jarang birokrasi kampus malah melempar-lempar tanggungjawab. Ini menunjukkan sikap otoritarianisme oleh seluruh jajaran kampus ini.
Sikap yang sama kembali diperlihatkan oleh birokrasi kampus dengan tetap tidak mengindahkan tuntutan mahasiswa (aksi SMUK, jum'at, 11/08) untuk menyelesaikan intervensi dan kejahatan akademik di jurusan Kehutanan. Padahal, secara terbuka birokrasi kampus (PR I) telah mengakui adanya 'surat sakti' hasil rapat jurusan untuk mengintervensi nilai matakuliah kedua belas mahasiswa yang terlibat aksi tersebut. Fakta tersebut ternyata tak menggugah jajaran birokrasi kampus ini untuk mengembalikan hak mahasiswa.
Ingat, gelombang perlawanan akan semakin membesar seiring dengan watak keras jajaran birokrat kampus ini. Mari berkata tidak atas kesewenangan terhadap kemanusiaan kita. - dream blog -
/ Senin, September 04, 2006 0 komentar
Kategori: Opini