Jumat, 23 Februari 2007

Malamku

Malam ini aku merasa sepi. Berjalan menelusuri setapak seorang diri, ditemani temaram cahaya lampu jalanan. Di tengah dunia yang ramai ini, kadang aku merasa sendiri. Seperti sehelai daun yang terbawa aliran sungai yang mahaluas. Nietzche mengatakan, "kesunyian adalah rumahku", tapi tidakkah ia selalu merasa asing di rumahnya sendiri?


Malamlah satu-satunya sahabat yang paling setia menemani kesunyianku. Aku mencintai malam. Aku mencintai kesunyiannya yang setia menemani kesunyianku. Malam menghiburku dengan bintang-bintangnya, dan suara alamnya selalu berdendang untukku. Seandainya malam adalah seorang gadis, tentu aku sudah jatuh cinta.

Hal yang sangat nikmat untuk dialami adalah berfikir sambil berselimut malam. Aku percaya berfikir adalah kegiatan pemanusiaan diri. Dan larut malam, adalah saat di mana Tuhan sejati mendekati kita.

Kadang aku memikirkan hal yang kelihatan sepele ini: Bahwa aku ada. Bagaimana seandainya aku tidak pernah ada? Apa yang ada di dalam ketiadaan itu? Apa yang kuketahui? Selanjutnya, aku akan memikirkan ini: Bahwa aku ada sebagai makhluk berfikir, yaitu manusia. Bagaimana seandainya aku ada sebagai sesuatu yang tidak bisa berfikir? Percuma ada kalau kita tetap tidak menyadari bahwa kita ada. Oleh karena itu, aku bersyukur bahwa aku ada. Dan aku bersyukur bahwa aku ada sebagai manusia. - dream blog -

Jumat, 09 Februari 2007

Long Time No See

Huehe.. Kelihatan dari judul postingnya ada sesuatu yang lama tertahan dan akhirnya terpuaskan juga. Apa itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah posting di blogku yg udah berdebu ini. Lumayan lama nih baru posting.. sampai-sampai di dalam tempurung kepala ini banyak yang ingin aku tulis, makanya jadi bingung. Hari-hari yang aku lewati dari postingan terakhir sampai sekarang sebenarnya banyak yang menarik untuk kutulis, tapi sayang terlewatkan begitu saja tanpa diabadikan ke dalam tulisan. Hiks.


Kadang di suatu bulan aku kebanjiran ide untuk nulis, di bulan yang lain justru aku kekeringan ide. Sepertinya fenomena itu ditentukan oleh beberapa faktor, mungkin karena aku sedang tidak mood menulis, mungkin karena aku sibuk. Tapi sesibuk apa sih? Sampai-sampai menulis saja tidak sempat? Menulis itu kan bisa di mana saja, kapan saja. Bahkan di atas angkot atau di dalam wc pun kita bisa sambil nulis. Jadi apa coba.

Sekedar info.. Akhirnya aku KKN juga, dan aku pilih KKN di Jamsostek. Tapi belum fix. Seandainya tidak jadi di situ, mungkin pilihan kedua jatuh pada PT. Telkom. Biar bisa internetan sampe poge. Kenapa pilihan pertama di Jamsostek? Bukankah di Telkom sangat cocok untuk diriku yang maniak akan dunia maya? Tanya ken apa. Karena dari info yang saya dapat dari teman-teman yang dulu KKN di Jamsostek, di sana pekerjaannya relatif lebih singkat, dan tidak terlalu padat. Bukan berarti saya menghindari pekerjaan; saya cinta akan bekerja, karena bagiku bekerja membuat hidup kita lebih nikmat. Alasan saya adalah karena di samping aku KKN, aku juga memprogram 3 matakuliah. Yah.. aku menghindari tabrakan antara KKN dan kuliah. Hehehe.

Aku ingin membanjiri blog ini dengan tulisan... mengenai apapun. Aku ingin menjadikan blog ini sebagai tempatku mencorat-coret sepuas hati. That's all!! - dream blog -

Selasa, 19 Desember 2006

Kesadaran Kemanusiaan

Aku berada di antara kehidupan kotaku yang modern dan kehidupan di desa. Mereka sederhana dan bersahaja. Kadang di malam-malam gelap yang sunyi, aku masih bertanya, yang manakah kehidupan? Padahal akupun tahu, indraku seluruhnya menyampaikan kalau kaki, kepala, tangan, seluruh tubuhku lahir tatkala modernitas tengah menggerogoti seluruh sudut ke-kampung-an dan melahapnya hidup-hidup. Seluruhnya, pranata dan perkakas budayanya, tak kecuali agama. Aku lahir dalam jaman tunggang langsung sambil jungkir balik, aku tahu tapi yang manakah pegangan?


Awalnya aku berpijak pada satu tonggak yang kukira kokoh, tapi ternyata tunggangnya ia tak punya seperti untaian tentakel gurita, ia melambai mencari-cari dan menemukan sesuatu lalu mengatakan bahwa inilah yang patut dijadikan pegangan dan pada saat yang lain lagi merengkuh sesuatu yang lain dan menjadikannya pula pegangan yang lain. ‘Sesuatu’ yang digenggamnya itu, kadang ambigu, hingga kadang pula standar ganda tak dapat dihindarinya. Manusia macam apa yang membangun dan dibangunkan oleh keadaan macam ini?

Ada juga sesuatu yang lain, hampir semua orang menggenggaminya erat hingga hidup pun dikorbankan untuk itu. Bukan hanya hidupnya sendiri, melainkan hidup seluruh dunia bila perlu. Sekilas tampak mengejar keseimbangan dan memang itulah yang menjadi kesadaran mereka, tetapi bagiku tampak sebagai pelampiasan hasrat. Hasrat apa saja; keinginan, dendam, kehormatan, ketiadaan… . menolak kejahatan dengan melakukan kejahatan adalah watak fatalis, watak fatalis tak berbeda sama sekali dengan kejahatan sendiri.

Aku lelah oleh paradoks umat manusia. Aku yakin, aku tak sendiri. Aku tahu bahkan filosof, teolog, ilmuwan, dan teoritikus, ulama dan rohaniawan, semua orang yang terus berfikir bergumul dengan hal ini pula sampai akhir hidupnya, juga para sufi dan nabi. Yesus mengutuk sebuah pohon ara karena tak mampu memberi satu buah pun untuk rasa laparnya, Muhammad mengharamkan babi untuk tubuh umatnya. Tapi semua itu tak bisa menjadi alasan untuk berkata lanjutkan saja hidupmu tanpa soalan-soalan itu, kenyatannya semua manusia-manusia besar pun mempersoalkannya, kenyataan-kenyataan selalu muncul sebagai masalah. Maka saya tetap mempersoalkannya bahwa ada keadaan yang lebih baik dari kenyataan ini tapi kenapa ini yang kita adakan?

Kita berpengharapan terhadap suatu keadaan, termasuk utopi sebagai salah satu. Pengharapan itu, keinginan yang hadir tidak dengan serta-merta tanpa melalui proses sadar. Harapan itu, keinginan itu adalah keadaan yang pernah sangat dekat dengan kita, entah itu melalui bantuan panca indera atau bahkan pernah kita alami meski sesaat, pun halnya dengan utopi. Tetapi manusia terlanjur telah membuat pembeda, sekat, pembatas. Bukan hanya beberapa tapi sejumlah tak terhingga sehingga kita mesti berhati-hati terhadap watak fatalis bahwa di dunia ini hanya dirimulah yang boleh kau percayai, setiap manusia adalah rintangan-rintanganmu atas sesuatu yang terbatas sehingga harus dapat kau lenyapkan atau setidaknya kau manipulasi.

Semakin kompleks kehidupan ini semakin jauhlah kesadaran. Maka persaingan, kompetisi atas hidup adalah watak fatalis yang utama. Betapa tidak? Bahkan agamapun dimanipulasi atau bila tidak, dijadikan alat manipulasi atas kesadaran makhluk untuk memenangkan persaingan. Sepatutnyakah? Betapa mahal kesadaran. Tapi betapapun mahalnya, untuk memperolehnya tak perlu merogoh kocek sekian juta seperti kesadaran manipulatif yang diperjualbelikan oleh institusi pendidikan, kau hanya harus setia dan konsisten pada kesadaran hidupmu yang pertama, kesadaran kemanusiaan.

Bahwa dalam kehidupan ini, semua makhluk berproses, tak ada subjek apalagi objek. Menjadi khalifah di atas muka bumi tidak berarti pengabsahan bagi manusia untuk menjadi subjek dan karenanya boleh menentukan pantas atau tidak pantasnya ’seekor’ nyawa dilenyapkan. Bahkan Tuhan tidak mengambil posisi subjek dalam kehidupan kita, yang akan turut campur ketika kita hendak membantai seorang bocah dengan kelaparan atau menyarangkan sebutir peluru algojo di kepala seseorang, atau tebasan pedang di leher musuh kita, atau ketika kita hendak melampiaskan hasrat seksual atau ketika memberi makan anak yatim, atau ketika hendak menyeberangkan seorang nenek di lalu lintas yang ramai, dan seterusnya. Sekali lagi, memang ia mengatakan jangan atau silahkan, tetapi ia memberi pilihan dan kesempatan.

Sekali lagi, tetaplah setia dan konsisten kepada para kesadaran yang pertama atas kehidupan, kesadaran kemanusiaan, bahwa kau hanyalah setitik debu di bumi ini, yang bila angin berhembus maka kaupun akan lenyap dan tempatmu tidak akan mengenalmu lagi. Bila masih tak bisa kau rasakan jua kesadaran itu, cobalah sesekali mendaki gunung. Seorang diri atau bersama kawan-kawanmu maka akan kau lihat sebesar apa dirimu dalam hamparan alam semesta. Atau bila tak sanggup, kecaplah kehidupan pedalaman yang murni, maka kau akan lihat inilah manusia yang sungguh; dan kesadaranmu pun tumbuh dan dipulihkan.

Kesadaran yang datang terlambat selalu hadir sebagai penyesalan, penyesalan yang akan datang selamanya melalui ratapan-ratapan, seperti diriku. - 

Sabtu, 16 Desember 2006

Mempertanyakan Jati Diri Sebagai Bangsa & Jati Diri Sebagai Individu

Sedang membaca Koran? Kalau masih punya sedikit waktu sempatkanlah mengamat-amati keadaan sekitar, misalnya pada tong sampah-sampah kita. Apa yang terlihat? Manusia yang tengah memakan sampah. Di kolong-kolong dan jembatan, rumah? Di perempatan jalan, pengemis dan pengamen. Sekarang mari kita coba-coba bertanya pada orang-orang yang mungkin kita tanyai, “kerja apa, dimana?”… . Pengangguran nyata. Di pelosok-pelosok desa, petani. “Luas lahannya berapa?” … . Pengangguran terselubung. Sayangnya kita tidak punya angka-angka yang pasti tentang berapa jumlahnya, ada yang bilang data-data BPS (Balai Pusat Statistik) sulit dipercaya kevalidan datanya kecuali kantornya telah membuka cabang sampai ke tingkat RT/RW.

**

Bencana, bencana dan bencana… sangat marak akhir-akhir ini, booming. Sampai-sampai ada yang mengatakan kalau negeri ini adalah negeri bencana. Kelaparan, kekeringan, banjir, longsor, gunung meletus, gempa dan tsunami. Menurut pengalaman, bencana di Negara kita sudah selalu pasti dibarengi efek kompleks, efek dan kompleks. Efeknya yang pasti adalah korban jiwa dan harta benda, beban mental korban dan beban keuangan Negara. Kompleksnya bermacam-macam, tergantung pada kompetensi dan spesialisasi pendidikan pengidap kompleksnya. Tetapi sifatnya yang paling mencolok adalah kompleks proyek dengan berbagai turunannya seperti KKN dan penyalahgunaan wewenang.

**

Salah seorang dosen saya pernah mengatakan kalau bangsa ini menderita sejenis bisul yang kronis, sulit disembuhkan. Menggerogoti sekujur tubuhnya. Mulai dari Aceh, Jawa, Sulawesi, Ambon, sampai Papua. Malahan sudah ada bahagian tubuhnya yang sudah diamputasi, antara lain Timor Timur, Sipadan dan Ligitan dan entah bahagian mana lagi yang segera menyusul.

**

Lain lagi halnya dengan yang satu ini, seorang Ibu yang tak mengenal dan dikenal anaknya sendiri dan bahkan Sang Anak tak lagi mengenali dirinya sendiri. Sang Anak tumbuh menjadi kikuk, gagap, gagu, peniru dan pemalu. Ia tahu keadaannya, maka dicobanya menutupi kekurangannya itu dengan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, dengan segala cara. Kemudian ia tampil dalam berbagai bentuk dan topeng, sangat simpatik. Maka segera saja ia berterima bagi yang lain dan bahkan menjadi penguasa segala bidang kehidupan. Tak perlu lagi dipertanyakan kenapa, kemunafikan saling dukung mendukung lalu makan memakan. Inilah hasil demokrasi, senjata yang amat beringas ditangan orang-orang jahat dan setetes air zam-zam di tangan orang-orang baik.

**

Dahulu, kejahatan terpencil seperti jeritan, kini universal seperti sains. Albert Camus meneriakkannya hampir enam puluh tahun yang lalu, adakah yang berubah? Perubahannya hanyalah bahwa kini kejahatan tampil dengan wajah yang lebih lembut, mengambil bentuk dalam etika, budaya dan bahkan agama. Bukankah wajah sang jahat kadang tampil di hadapan kita sebagai pahlawan?

**

Inikah wajah Ibu Pertiwi, ibu kita?

**

Andai hari ini adalah 55 tahun yang lalu, mungkin semarak panji-panji dan pekik merdeka masih akan menggelorakan semangat dan harapan. Tetapi kini lihatlah, Ia berkawan ragu. Inikah buah kemerdekaan? Untuk apa Nasionalisme bila ia mengusir aku dari tanahku, tumpah darahku sendiri? Buat apa primordialisme bila yang diberikannya padaku bukannya jati diri melainkan ketertundukan dan ketaklukan? Apa urusan nasionalisme mempertanyakan agama, dan asal usul suku kami? - dream blog -

Selasa, 12 Desember 2006

Pesan & Kesan Buat Calon Dekan

Fakultas Ekonomi Unhas adalah fakultas tertua di Unhas, dan Unhas adalah Universitas terbesar di Indonesia Timur. Oleh karena itu Fakultas Ekonomi senantiasa membutuhkan pemimpin yang merupakan Intelektual tercerahkan (Rauzan Fikr). Terkait dengan hal tersebut, hari selasa (12 Des 2006) adalah hari yang sangat menentukan bagi FE Unhas kedepan, karena pada hari tersebut akan dilakukan pemilihan Dekan.

Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda tentang Dekan yang ideal. Begitu pula dengan Mahasiswa yang merupakan stackholeder terbesar. Oleh karena itu dari lembaga kemahasiwaan telah melakukan suatu proses untuk menampung aspirasi di tingkatan keluarga mahasiswa.

Salah satu masalah yang dihadapi oleh fakultas saat ini adalah minimnya fasilitas, banyaknya dosen malas, adanya beberapa dosen yang kurang cerdas mengajar, ada pula beberapa dosen yang menomorsatukan kepentingan proyek dari pada mengajar. Selain itu mahasiswa sebagai anak didik senantiasa berharap para dosen yang dalam hal ini juga sebagai orang tua di kampus agar kiranya dapat menjadi teladan bagi seluruh stackholder.

Yang menjadi kesedihan juga di tingkatan mahasiswa adalah mulai tertutupnya ruang-ruang musyawarah di kampus, hal tersebut bisa terlihat dari adanya beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh birokrat kampus yang dimana kebijakan tersebut bersentuhan langsung dengan mahasiswa namun tidak melibatkan mahasiswa yang dalam hal ini lembaga kemahasiwaan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, di beberapa fakultas adanya pola-pola militeristik yang digunakan untuk melihat suatu masalah/menafsirkan suatu fakta sosial. Hal tersebut terlihat dengan dijatuhkannya sanksi skorsing kepada sekitar 30 orang mahasiswa Fisip Unhas, serta sekitar 20 orang mahasiswa Tekhnik Unhas yang menjalankan agenda pengkaderan awal lembaganya. Yang kita harapkan bersama adalah adanya sikap dewasa oleh masing-masing pihak, baik mahasiwa maupun birokrat ketika terjadi perbedaan perspektif. Dimana pendekatan rasionalitas yang dalam hal ini metode dialog agar kiranya dapat diutamakan.

Dalam kajian lembaga kemahasiswaan, yang perlu juga dipikirkan oleh Dekan terpilih ke depan adalah bagaimana FE Unhas mampu melahirkan Sarjana-sarjana yang memiliki kualitas pada wilayah Cognitif (pengetahuan), afektif (watak) dan Psikimotorik (Skiil). Selain hal tersebut, yang perlu juga untuk dikaji kedepan adalah tentang paradigma dominan yang digunakan oleh FE Unhas dalam kurikulumnya. Di mana lebih banyak menggunakan paradigma positivistik (Newtonian maupun Cartesian) dalam melihat permasalahan ekonomi. Ajaran tersebut biasa kita sebut dengan ajaran kapitalisme. Sehingga tidak mengherankan kemudian ketika output yang dihasilkan oleh Fakultas ini adalah Ekonom-ekonom serakah, yang berwatak individualis, dan berjiwa pragmatis. Yang kita harapkan bersama kedepan adalah adanya kurikulum ekonomi yang menggunakan paradigma Holistik sehingga wacana yang dikaji oleh mahasiswa lebih berwarna, dan memliki keberpihakan yang jelas terhadap agenda-agenda kerakyatan. Yakni Ekonom-ekonom yang siap menjawab realitas kemiskinan yang masih menjadi warna dominan di bangsa ini.

Yang diharapkan juga dari dekan terpilih adalah dekan yang memiliki pandangan positif terhadap lembaga kemahasiwaan. Meskipun kami sadari bahwa ada beberapa mahasiswa yang terlibat di lembaga kemahasiwaan yang masih memberi citra negatif seperti pengurus yang kuliahnya tidak beres. Namun perlu dipahami bahwa di lembaga kemahasiswaan kami senantiasa belajar tentang kedewasan, belajar berbeda pendapat/berkompromi, belajar untuk bicara atau tampil didepan orang banyak. Dan hal lain yang tak kalah pentingnya adalah jaringan yang kami peroleh, baik dengan mahasiswa sefakultas, maupun fakultas lain serta kampus lain. Termasuk jaringan dengan dosen-dosen, pengusaha serta para pejabat-pejabat (yang penting tidak menjadi penjilat), karena persentuhan kami pada suatu kegiatan seperti seminar, dll.

Yang kami harapkan dari pesta demokrasi yang akan diadakan hari selasa (12 Des 2006) adalah adanya pemilih-pemilih rasional, dan berpihak pada nilai. Bukan mendahulukan ego jurusan, suku maupun kelompok. Karena kami sebagai mahasiswa yang dalam hal ini sebagai anak didik senantiasa merindukan keteladanan dari bapak dan ibu dosen. Kami mahasiswa juga berharap agar semua konflik yang pernah ada, baik konflik personal maupun kelompok agar kiranya dapat diselesaikan secara dewasa demi FE Unhas ke depan. Sebagaimana kata seorang bijak: "kita harus berhenti menggunjing kegelapan, saatnya kita menyalakan lilin". - dream blog -

Sabtu, 02 Desember 2006

Bayang-Bayang Kenangan

Di rumah, di kampung, segalanya telah berjalan seperti biasa pada musim kemarau; kipas dinyalakan, dan di pagi hari, ketika anak-anak kecil bersiap ke sekolah, suasana gelap, dan para orangtua membenarkan letak topi anak-anaknya yang agak miring. Udara mulai dingin. Ketika hujan pertama turun, dan untuk pertama kali payung difungsikan, enak rasanya memandang bumi yang basah, atap-atap basah. Napas terasa empuk, nyaman, dan saat itulah terkenang masa muda. Pohon-pohon Beringin yang basah oleh embun beku memancarkan wajah lembut. Pohon-pohon itu terasa lebih akrab pada jiwa dibandingkan manusia-manusia yang satu-dua mulai terlihat berlalu-lalang di jalan, dan karena keakraban itu tidak ingin rasanya aku mengingat tentang kuliahku yang belum juga kelar.

Aku besar di Sengkang. Aku tiba kembali di kota itu pada suatu hari yang cerah, dingin. Ketika aku sudah mengenakan jaket, menelusuri Jl. Pahlawan, dan pada petang hari mendengar suara adzan mesjid, perjalanan yang belum lama kulakukan dan tempat-tempat yang pernah kukunjungi kehilangan segala pesonanya. Sedikit demi sedikit aku pun tenggelam dalam kehidupan kota Sengkang; dengan lahap aku habiskan dua koran sehari. Aku sudah hendak pergi ke pinggir sungai Walennae, Clasic Disc, undangan Akiqah, dan aku merasa tersanjung melihat rumahku didatangi oleh sahabat-sahabat lama, dan di Clasic aku bermain kartu dengan para penganggur.

Lewat sekitar sebulan, terasa olehku hari-hari yang masih terselimut kabut kenangan, dan hanya sesekali nongol dalam mimpi dengan senyum menyentuh, seperti mimpi-mimpi yang lain. Tapi lewat daripada sebulan datanglah musim hujan menggigit, dan di dalam kenangan segalanya tampak terang, seakan baru kemarin aku berpisah dengan hari-hari itu. Kenangan itu menyala terus makin lama makin hebat. Apakah di tengah keheningan malam terdengar suara keponakan-keponakanku yang sedang mempersiapkan pelajaran, apakah terdengar olehku lagu nostalgia atau bunyi mesin dari bawah rumah, atau dengungan angin hujan di atap rumah, kembali tiba-tiba aku hidup dalam kenangan tentang segalanya: apa yang terjadi di sekolah, pagi hari berkabut di Pattirosompe bersama saudaraku tercinta, becak pengangkut yang datang dari pasar Sentral. Lama aku berjalan mondar-mandir di kamarku, mengingat, dan tersenyum, dan kemudian ingatanku berubah menjadi kenangan, dan apa yang sudah berlalu dalam angan-angan itu pun bercampur dengan yang akan datang.

Kenangan-kenangan itu bukannya terlihat olehku dalam mimpi, tapi mengikutiku ke mana-mana seperti bayangan, dan menghantuiku. Dengan mata terkatup aku dapat melihat hari-hari itu sebagaimana adanya, dan tampak lebih indah, lebih muda, lebih mesra daripada waktu itu; dan aku sendiri pun merasa lebih baik daripada waktu itu. Saban malam kenangan itu memandangku dari lemari pakaian, dari rak-rak buku, dari langit-langit kamar, dan aku mendengar senandungnya, gemerisik mesra suaranya. Di Makassar, dengan perasaanku aku mengikuti hari, mencari, tidak adakah di antara hari-hari ini yang mirip hari itu... Bahkan aku sudah tenggelam dalam hasrat kuat untuk berbagi kenangan dengan seseorang. Namun di kost tidak mungkin aku bicara tentang cerianya, sedang di luar kost, tidak ada orang lain. Tidak mungkin hal itu dibicarakan dengan tetangga, tidak juga di kampus. Dan lagi, apa yang harus dibicarakan? Apakah memang ada sesuatu yang indah, puitis, atau edukatif, ataukah itu sekedar hal yang menarik, dalam hubungan dengan kenangan?

Maybe next year will be better than the last. - dream blog -

Jumat, 17 November 2006

Merantau Itu Indah

Ciri orang yang berakal dan berbudaya adalah tidak akan tinggal seterusnya di satu tempat. Meninggalkan tempat tinggalnya untuk mengembara, itulah bagian dari istirahatnya.

Pergilah dengan penuh keyakinan! Niscaya akan engkau temukan pengganti semua yang engkau tinggalkan.

Bekerja keraslah karena hidup akan terasa nikmat setelah bekerja.

Sungguh, aku melihat air yang tergenang dan berhenti, memercikkan bau tak sedap. Andaikan saja ia mengalir, air itu akan terlihat bening dan sehat. Sebaliknya jika engkau biarkan air itu menggenang, ia akan membusuk.

Singa hutan dapat menerkam mangsanya setelah ia tinggalkan sarangnya.

Anak panah tak akan mengenai sasarannya, jika tak beranjak dari busurnya.

Andaikan mentari berhenti selamanya di tengah langit, niscaya umat dari ujung barat sampai ujung timur akan bosan kepadanya.

Emas bagaikan debu, sebelum ditambang sebagai emas. Sedangkan, pohon cendana yang masih tertancap pada tempatnya, tidak ubahnya pohon-pohon untuk kayu bakar.

Jika engkau tinggalkan tempat kelahiranmu, engkau akan temui derajat mulia di tempat yang baru dan engkau bagaikan emas yang sudah terangkat dari tempatnya.

Pergilah merantau untuk mencari kemuliaan karena dalam perjalanan itu ada empat kegunaan; yaitu menghilangkan kesedihan, mendapatkan ilmu, mengagungkan jiwa, dan dapat bergaul dengan orang banyak. (Imam Syafi'i) - dream blog -

Selasa, 14 November 2006

Matikan TV, Nyalakan Hidup!

Di masa sekolah saya sering menonton televisi, tapi sekarang beruntung kalau dua kali seminggu teman-teman mengajak saya "menghirup udara" itu. Jadi tentu saja saya tidak cukup untuk memiliki hak menilai televisi, tapi saya akan berbicara tentangnya sedikit.

Menurut saya, televisi tidak lebih baik daripada 5-10 tahun yang lalu. Seperti dulu, acara televisi dipenuhi dengan artis-artis yang mempunyai fleksibelitas luar biasa untuk berubah bentuk sesuai dengan selera penonton atau kebutuhan pasar; dari peran setan kemudian menjadi berkerudung saat memasuki bulan Ramadhan. Seperti dulu, saya melihat di layar kaca sajian acara remeh temeh bahkan menjijikkan, mulai dari hiruk-pikuk ulangtahun seorang artis pada usianya yang ke-sekian (yeah, like we care!), sampai kisah demi kisah perceraian selebriti papan atas yang semakin membuatku ingin meludah. Lagi seperti dulu, media paling senang membesar-besarkan urusan-urusan seperti goyangan pantat seorang penyanyi dangdut, atau fenomena 'penampakan' dan kemudian mengemasnya seserius atau lebih daripada urusan konflik di Timur-Tengah. Dan ada yang bilang acara TV itu adalah pendidikan. (lha?)

kebanyakan orang yang sentimental dan gampang percaya bisa diyakinkan bahwa TV dalam keadaannya sekarang adalah pendidikan. Tapi barangsiapa mengenal pendidikan dalam maknanya yang sejati, tidak mudah dia ditangkap dengan umpan tersebut. Saya tidak tahu bagaimana 50-100 tahun lagi, tapi dalam keadaannya sekarang acara TV hanya dapat berfungsi sebagai hiburan. Tapi hiburan ini terlalu mahal untuk terus dimanfaatkan. Hiburan ini menyesatkan. Hiburan ini merampas dari para orangtua beribu-ribu pemuda dan pemudi sehat, berbakat, yang jika seandainya tidak mengabdikan diri pada kemampuan berakting kiranya dapat menjadi dokter, guru, hakim yang baik; hiburan inipun merampas dari tangan masyarakat jam-jam pagi, siang, sore dan petang hari yang merupakan waktu terbaik untuk kerja otak dan silaturahmi antar-kawan. Belum lagi saya berbicara tentang pengeluaran uang dan kerugian mental yang diderita oleh pemirsa ketika mereka melihat di layar kaca pembunuhan, hantu-hantu, pantat, atau aib yang tidak terbukti kebenarannya.

Si A temen saya lain lagi pendapatnya. Dia berusaha meyakinkan saya bahwa televisi, dalam keadaannya sekarangpun, lebih tinggi daripada ruang kelas, lebih tinggi daripada buku, lebih tinggi daripada segalanya di dunia. Media televisi adalah kekuatan yang menyatukan semua jenis kesenian di dalam dirinya, sedangkan para artis adalah public-figure. Tidak ada jenis seni dan tidak ada jenis ilmu yang mampu mempengaruhi jiwa manusia secara kuat dan benar sebagaimana layar kaca; karena itu tidak heran bila selebritis kelas atas memperoleh jauh lebih banyak popularitas di kalangan masyarakat dibandingkan ilmuwan atau olahragawan yang baik. Dan tidak ada kegilaan umum yang dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan sebagaimana saat kita mengetahui kelanjutan dari episode ke-x sebuah film sinetron.

Dan pada suatu pagi yang cerah si A pun masuk rombongan tarik suara, dan pergi, kemungkinan ke Jakarta, dengan membawa uang banyak, harapan indah yang masih gelap, dan pandangan aristokratisnya.

Hidup kita telah terwakili oleh sinetron, hasrat kita telah dikontrol oleh iklan. Hidupilah hidup, bukan menontonnya. Membuat hidup menjadi lebih indah, lebih baik daripada menyaksikan ilusinya. Kenyataan untuk dirubah ada di luar sana, bukan tersaji di layar TV.

Matikan TV, nyalakan hidup! 

Sabtu, 11 November 2006

Pengkhianatan Kaum Intelektual di Unhas

Sumber : Fajlurrahman Jurdi ; Sekretaris DPD IMM Sulsel
Pernah dimuat di Fajar; Selasa, 27 Juni 2006

Tulisan ini, sebenarnya tidak ingin memprovokasi siapapun, dan tidak memiliki tendensi apa-apa. Saya teringat dengan tulisan Daniel Bell "The End of Ideology", yang terlalu dini membunuh ideologi atau Francis Fukuyama yang menulis "The End of History", atau Ohmae dengan "The End of Nation State" dan "The Borderless World". Karya Fukuyama "The End Of History" adalah karya monumental yang sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan baik di kalangan ilmuwan Timur maupun Barat. Juga pakar-pakar lain yang menulis "matinya ilmu ekonomi dan "matinya ilmu pengetahuan". Semua barangkali merupakan refleksi kritis dan gugatan radikal terhadap fenomena yang dihadapi, yang dalam banyak hal menimbulkan kekecewaan dan frustrasi.

Karya-karya yang disebutkan di atas paling tidak mewakili alur berpikir tulisan ini, yaitu bagaimana seorang intelektual mampu "menyihir" orang dengan argumentasi, gagasan dan paradigma yang objektif. Seorang intelektual adalah yang memahami realitas sosial sebagai pusat bergetarnya "naluri" kemanusiaan dan realitas sosial yang timpang adalah musuh dan objek kajian kaum intelektual dengan berusaha mencari pemecahan terhadap realitas yang timpang tersebut.

Kaum intelektual merupakan kaum terdidik, pandai, bernaluri, benci terhadap penindasan --penindasan itu atas nama apapun-- dan berusaha untuk mengeluarkan masyarakat dari jeratan sosial yang menghimpit. Seorang intelektual harus memahami idealisme dan pandangan dunia yang dimilikinya sehingga kaum intelektual tidak menjadikan intelektual sebagai alat untuk meraup keuntungan pribadi dengan menjual gelar keintelektualan. Jika itu yang terjadi, maka gelar pengkhianat intelektual harus disandangnya.

Setiap naluri berpikir seorang intelektual seyogyanya berkhidmat kepada masyarakat dan kemanusiaan, serta mencari hakikat kebenaran untuk pembebasan, sehingga dengan demikian seorang intelektual tidak berhenti menjadi intelektual personal -meminjam bahasa Antonio Gramsci di sebut sebagai intelektual tradisional- yaitu seorang intelelektual yang meninggalkan fakta sosial sebagai "kitab sosial" yang merupakan pisau analisis untuk menjawab persoalan masyarakat. Kalau kita meminjam Julien Benda, intelektual yang menyimpang dari kualifikasi tersebut adalah pengkhianat (traitor). Kendati dalam beberapa hal pandangan Benda masih dapat diperdebatkan (debatable) namun esensi argumentasinya adalah betapa pentingnya kaum intelektual memegang teguh idealisme kemanusiaan dan etika otoritas keilmuannya. Dalam bahasa Edward Schills (1972), "Kaum cendekiawan adalah orang-orang yang mencari kebenaran".

Kaum Intelektual Unhas

Unhas tidak diragukan lagi, merupakan tempat para intelektual. Sekalipun variannya berbeda, untuk sementara -dan Insya Allah untuk selamanya- kita bisa mengatakan bahwa Unhas adalah "sarang" para intelektual yang menggunakan "jubah" gelar, mulai dari Profesor, Doktor, dan "segerombolan" yang bergelar magister, semuanya ada di Unhas. Gelar atau embel-embel apapun tidaklah terlalu penting sebenarnya dalam memahami seorang intelektual. Karena seorang intelelektual adalah human transformers, yaitu mereka yang resah menyaksikan penindasan, pengkhianatan dan perampokan sosial dalam masyarakat.

Memahami intelektual sebagai kelompok oposisi terhadap pengkhianatan, penindasan dan perampokan sosial ini menjadi penting untuk kita cermati lebih mendalam, karena proses intelektual akan gagal jika fakta sosial tidak searah dengan cara pandang universal intelektual. Fakta sosial di Unhas bukan hanya memalukan, tetapi juga menjijikkan. Konflik pemilihan dekan fakultas hukum beberapa bulan yang lalu yang berujung pada pembentukan karateker karena masing-masing mempertahankan arogansi intelektualnya adalah fakta sosial yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun, bahwa intelektual digiring ketiang gantungan sejarah oleh mereka yang selalu membusungkan dada sebagai seorang intelektual hanya demi keserakahan kekuasaan. Tawuran, perkelahian dan sadisme yang muncul di kampus ini mempertegas kembali bahwa Unhas merupakan tempat gerombolan intelektual yang tak pernah memahami realitas sosial sebagai sebuah alat rekayasa perubahan. Juga kasus doktor instan yang pernah memenuhi media massa tahun lalu, dan menjadi bahan polemik hingga tidak diketahui dimana ujung penyelesaiannya, juga adalah kenyataan semakin kaburnya makna intelektual yang melekat dalam sanubari mereka yang selalu berteriak tentang intelektual. Kasus Ospek yang seringkali menimbulkan korban jiwa, penindasan massal, perampokan sosial, bandit intelektual, dan bisnis mahasiswa yang telah berubah menjadi dosa warisan merupakan bentuk keserakahan yang tak pernah berakhir. Sekarang media massa sedang gencarnya memberitakan kasus korupsi yang melibatkan mantan dekan di salah satu fakultas yang menegakkan moral bangsa ini, fakultas yang mendidik orang supaya tidak meringkus harta orang lain, fakultas yang selalu meneriakkan demokrasi. Mantan dekan ini di tangkap dan kasusnya sedang disidangkan ? semoga beliau tidak melakukan bentuk pengkhianatan intelektual.

Tetapi selain di atas, apakah selamanya kita tidak berani jujur, bahwa universitas terbesar kawasan timur ini sedang dihinggapi oleh bentuk primordialisme intelektual, bahkan ada yang mensinyalir bahwa di Unhas banyak terbentuk simpul-simpul dinasti intelektual. Satu bentuk pelanggaran terhadap hakikat intelektual yang sesungguhnya.

Di tengah problem seperti itu, akhirnya banyak potensi para Profesor dan Doktor serta "gerombolan magister" yang tidak lagi produktif. Kalau Fukuyama, Daniel Bell, Semuel P. Huntington, Descrates, Vico, Spinoza, Renan, Hegel, Goethe, Nietzsche, dan banyak yang lain dalam sejarah modern Eropa mampu "menyihir" dunia dengan teori-teori mereka, maka para guru besar kita banyak yang asyik masyuk dengan persoalan kekuasaan. Intelektual Unhas masih serakah dengan kekuasaan. Padahal keserakahan itu adalah bencana yang dapat membutakan mata hati, yang tidak mampu menggetarkan jantung dan membunuh nurani untuk tidak mampu memahami tugas dan tanggung jawab yang sesungguhnya.

Seorang intelektual itu kalau kita meminjam Benda, bukanlah manusia biasa. Tetapi intelektual adalah orang atau sekelompok orang yang mampu memahami, merenungi, dan bertindak dengan karakter intelektual dalam memahami fakta sosial. Intelektual harus mampu melahirkan karya-karya besar dengan pikiran-pikiran briliant. Selalu melakukan "teror" wacana, kepada publik dan melakukan transformasi kepada orang lain. Sehingga ia tidak menjadi intelektual personal, yang hanya mengonsumsi sendiri kecerdasan yang dimilikinya. Dalam konteks inilah Unhas telah gagal menjadi pusat lahirnya para intelektual. Banyak guru besar Unhas yang tidak punya karya tulis, bahkan dimuat di koran lokal seperti Fajar, apalagi mau dimuat di koran nasional seperti kompas. Kecuali hanya sedikit dari "sekumpulan" intelektual yang berada di bawah naungan perguruan tinggi ini yang produktif. Sebutlah misalnya Mansur Semma, Adi Suryadi Culla, Ahmad Ali, Dwi A. Tina, dan beberapa nama yang lain. Unhas memang harus jujur, tidak mau menghargai orang-orang cerdas, berapa banyak orang cerdas yang tersingkirkan dari Unhas hanya karena tidak memiliki keluarga di dalamnya atau tidak menjilat pantat dosen yang telah senior.

Padahal seorang intelektual itu menurut Edward Said dalam Reith Lectures nya di BBC tahun 1993, adalah individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan, mengekspresikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi dan pendapatnya kepada publik. Ia tidak harus dan tidak boleh menjilat kepada siapapun, karena itu adalah bentuk penghambaan intelektual. Intelektual adalah orang bebas, ia bebas mengapresiasi, mengkritik, menghujat, dan melawan perampokan sosial dalam masyarakat tanpa beban dan rasa takut akan ancaman karir atau kekuasaan.

Akhirnya, kita berharap, di Unhas tidak ada lagi dosen yang menyiksa mahasiswa hanya karena konflik politik mereka, tidak ada lagi persiapan "segudang" makanan ketika ujian skripsi, tidak ada lagi penerimaan dosen dengan menggunakan IPK (indeks prestasi kedekatan), tidak ada lagi korupsi sebagai bentuk perampokan sosial, tidak ada lagi ospek yang merupakan bentuk penghkianatan intelektual tertinggi di kampus ini, tidak ada lagi tawuran yang merupakan representasi "tukang becak" ala kaum intelektual, dan semoga para Profesor, Doktor dan Magister di Unhas berlomba untuk menjadi pemikir yang akan melakukan "teror" wacana ke publik. Suatu ketika bangsa ini akan menjadi milik kita, dunia ini akan kita genggam, tapi dengan satu syarat; jangan ada pengkhianat intelektual yang lahir dari kampus ini, apalagi sampai menghamba kepada penguasa. - dream blog -

Sabtu, 04 November 2006

Hukum Kausalitas

Hukum kausalitas atau sebab-akibat adalah sebuah dalih populer yang dipakai untuk menyangkal keberadaan Tuhan. Pertanyaan dari mana segala yang ada ini berasal akan berhenti pada satu titik, yaitu kata Tuhan, Tuhan, dan Tuhan... Jika semua ini berasal dari Tuhan, jadi Tuhan berasal dari mana? Berarti ada Tuhan sebelum Tuhan? Bagaimana mematahkan argumen bego ini?

Filsafat materialisme beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada ini sudah ada sejak dulu dan akan terus ada selamanya (tidak ada awal dan akhirnya), dan oleh karena itu, menyangkal proses penciptaan (yang selanjutnya dipakai juga untuk menyangkal keberadaan Sang Pencipta) dan hari kiamat. Mereka berkedok ilmiah dan sains dengan melandaskan diri kepada teori-teori evolusi-nya Darwin. Ironisnya, anggapan ini juga digugurkan oleh penemuan ilmiah terbaru yang terbukti kebenarannya: Teori Big Bang. Teori ini menyatakan bahwa alam semesta ini terbentuk dari peristiwa Ledakan Besar sebuah titik yang bervolume nol dan berkerapatan tak terhingga. Dalam ilmu matematika, nol sama dengan tidak ada, dengan kata lain alam semesta ini pernah tidak ada dan kemudian di-ada-kan oleh kekuatan MahaCerdas, melalui peristiwa Big Bang.

Lagi-lagi waktu membuktikan bahwa filsafat materialisme dan teori Evolusi Darwin tidak lebih dari sampah sejarah. Bahkan lebih tidak berguna dari sampah, karena sampah itu masih bisa didaur-ulang.

Anggaplah sebuah penggaris adalah alam semesta beserta segala isinya. Salah satu ujungnya adalah awal penciptaan dan ujung yang satunya adalah akhir dari alam semesta; jarak antara ujung awal dengan ujung akhir adalah perjalanan waktu atau rentetan peristiwa. Aku berada di luar penggaris itu, sehingga bisa mengetahui peristiwa-peristiwa di bagian manapun dari penggaris itu. Aku mau menganalogikan secara sangat sederhana bagaimana Tuhan melihat alam semesta beserta segala isinya ini. Menurutku begitulah Tuhan melihat semua ini. Tuhan yang menciptakan ruang dan waktu, alam semesta, maka apakah Dia mutlak harus ikut terperangkap di dalam ruang dan waktu, alam semesta ini? Tentu tidak. Sebaliknya, manusia dan segala yang ada ini terikat dalam konteks ruang dan waktu sehingga tidak punya kuasa atas masa lalu dan masa depan. Yang kita punya hanya sekarang.

Kembali, 'hukum kausalitas' jika dieksekusi dengan argumennya sendiri, ujung-ujungnya kembali ke Tuhan. Kesimpulan akhir adalah 'hukum kausalitas' di-ada-kan oleh Tuhan. Nah, sama halnya dengan konsep 'Tuhan yang meng-ada-kan ruang dan waktu maka Dia tidak mutlak harus terperangkap di dalamnya dan terikat di konteksnya', berarti itu juga berlaku kepada hukum kausalitas: 'Tuhan yang meng-ada-kan Hukum Kausalitas maka Dia tidak mutlak harus terperangkap di dalamnya dan terikat di konteksnya'. Atau sederhananya begini, Hukum Kausalitas tidak bisa digunakan untuk menghakimi Tuhan karena secara langsung atau tidak langsung Tuhan-lah yang meng-ada-kan hukum kausalitas itu. Tuhan adalah Pencipta, hukum kausalitas adalah 'yang diciptakan'. Masa' ciptaan mendikte penciptanya? Mungkinkah hukum kausalitas itu, yang ada atas kehendak Tuhan tentunya, bisa menghakimi Tuhan itu sendiri? - dream blog -