Senin, 31 Desember 2007

Selamat tinggal desember!

Selamat tinggal sobat, terimakasih atas kedatanganmu kali ini. Akhirnya besok kamu harus pergi lagi. Dan kalau umurku masih panjang, tahun depan tentu kita akan bertemu lagi. Aku selalu kangen dengan kedatanganmu yang setahun sekali itu. Selalu saja banyak hal yang ingin aku ceritakan setelah setahun kita berpisah. Masih ingat tidak, rencana yang aku bangun ketika engkau datang tahun lalu? Ada rencana yang berhasil terwujud, ada pula yang belum terwujudkan, padahal waktunya sudah lewat. Maaf sobat, aku sering mengecewakanmu. Tapi yang terpenting, aku mendapatkan banyak pelajaran dalam rentang waktu itu. Bukankah kita sepakat bahwa kita harus lebih berorientasi pada proses ketimbang pada hasil?

Teman, besok kamu pergi lagi. Tapi sebelum kamu pergi, mari kita menyanyikan lagu kenangan khusus untukmu dan untukku. Lagu yang ada nama kamu di judulnya.

Oh iya, seperti biasa, malam ini begitu banyak orang yang merayakan kepergianmu. Coba lihat jalanan-jalanan itu, penuh sesak sampai di ujung sana. Macet total. Mereka jelas mau pergi merayakan kepergianmu. Betapa banyaknya kembang api dinyalakan, bersahutan, di langit gelap membentuk sinar berwarna-warni. Semua itu untuk merayakan kepergianmu. Malang sekali nasibmu, sobat. Semua orang bersuka cita atas kepergianmu!

Tapi tenang saja, masih ada aku di sini bersamamu. Aku akan menemanimu hingga detik terakhir kepergianmu. Aku tidak merayakan kepergianmu, karena aku tahu bahwa sesungguhnya hari ini sama sekali tidak pantas untuk dirayakan. Tetapi akupun tidak akan bersedih atas kepergianmu, karena aku tahu kau akan datang lagi. Dan aku tahu kamu tidak pernah mengingkari itu.

Aku ingin berjanji padamu, sobat. Saat kita bertemu lagi nanti, aku akan lebih baik lagi dari kali ini! See you december!!! Let's sing our song...!!!

A long december and theres reason to believe
Maybe this year will be better than the last
I cant remember the last thing that you said as you were leaven
Now the days go by so fast
- dream blog -

Minggu, 16 Desember 2007

Sang Pemburu (Epilog)

Baca dulu: Sang Pemburu (Prolog), dan Sang Pemburu

Matahari bersinar cerah, menerpa dedaunan. Butir-butir embun berkilau bagai mutiara. Ia perhiasan pagi. Seekor pipit terbang sendiri, celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan. Tidak tenang, hinggap pada sebuah ranting semak. Sesekali berkicau, tetapi bukan bernyanyi; seperti memanggil-manggil. Tak lama setelahnya, serombongan pipit lain menghampirinya lalu keadaanpun menjadi ramai dalam kicau, riang dan gembira. Lompat ke sana kemari, dari ranting yang satu ke ranting yang lain. Tak lama, rombongan itupun terbang bersamaan ke arah datangnya rombongan itu.

Di bawah mereka, air berarak tak sabar. Dorong mendorong, sesekali buih tumbuh dari riaknya lalu lenyap dalam desau. Suara-suara pipit juga tertelan olehnya tetapi tak lama dan lama kelamaan nyanyian mereka terdengar dengan lebih jelas. Mereka terbang semakin jauh, garis-garis membentuk kotak mulai tampak di bawahnya. Semakin dekat, kotak-kotak itu semakin hilang digantikan dengan hamparan hijau kekuningan. Rombongan itu terbang rendah lalu hinggap dan menyatu dalam hamparan. Mereka berpesta dengan lagu-lagu riang yang tanpa akhir. Tapi pesta itu tak berlangsung lama, sebuah suara teriakan yang keras merusak pesta. Para pipit seketika kacau balau, melesat ke langit membelah awan.

"Hush! Hush!" seorang petani terlihat gusar, ia tak rela padi-padiannya dipanen para pipit sebelum dirinya. Besok baru padi-padi ini dipanen, setelah itu kalian baru boleh mengambil bagian. Petani itu menggumam sendiri. Para pipit yang terserak panggil memanggil dan kembali menyatu sebagai kawanan di angkasa biru lalu menukik dan hinggap pada sebuah pohon. Suasana mereka riuh seolah sedang saling bercerita kepanikan masing-masing.

Sementara itu, di hamparan yang lain segerombolan orang sedang larut dalam hiruk pikuk musim panen. Menuai bulir-bulir dan mengumpulkannya jadi satu. Harum aroma jerami menusuk semangat dan harapan mereka. Anak-anak tak mau ketinggalan dalam keriangan; berkejaran di pematang, meniup bunyi-bunyian dari batang jerami, mengumpulkan bulir-bulir yang tercecer, bermain-main dengan kerbau yang sedang memakan jerami.

Di sudut hamparan yang lainnya, seorang anak kecil sedang berkejaran dengan dua ekor anjing berwarna putih dan hitam di atas pematang. Anak itu juga masih belia. Sepertinya sedang bermain-main dengan riang, tetapi juga berteriak-teriak "Hush! Hush!" kemudian kembali lagi ke sebuah rumah sawah tak berdinding di tengah hamparan itu. Ia bertelanjang dada. Pada pinggulnya melilit pewo, celana yang terbuat dari kulit kayu.

Ketika tiba di pondok, ia berseru-seru "Ibu!, ibu!...kami sudah lelah, lapar!". Seorang perempuan muda lalu terlihat menuruni tangga, membasuh kaki dan tangan anak kecil itu. "Naiklah, biar ibu yang menghalau burung-burung itu." Katanya sambil mengangkat anaknya "Makan yang banyak, supaya kamu cepat besar." Ujarnya lagi sambil menyuapi anaknya. Setelah anak itu selesai makan, sang ibu melanjutkan pekerjaannya. Rupanya ia sedang merajut daun pandan dan rotan. Bermacam-macam yang sudah dirajutnya; bakul, topi lebar, tikar.

Menjelang sore, mereka baru kembali ke rumah, sang anak memberi makan ayam-ayam sedangkan ibunya membersihkan diri di pancuran lalu duduk-duduk di beranda menikmati senja.

Sang anak berdiam di depan lalikan, mempermainkan ranting kayu yang sedang terbakar. Sesekali kepalanya menoleh ke arah pintu. Ia seperti sedang kesal, hatinya galau. Anak anjingnya melolong-lolong, seperti sedang menangis. Mungkin mereka sedang merindukan induknya seperti ia sedang menantikan ayahnya. Ibunya membawakan anak-anak anjing itu air nasi yang dicampurnya dengan kaldu daging, anak-anak anjing itupun berhenti melolong. Tetapi wajah sang anak tetap murung.

Sementara itu, ibunya yang sedang sibuk memasak makan malam sebenarnya juga sedang gelisah. Bukan baru sekali ini, melainkan setiap kali suaminya pergi berburu. Terlalu banyak yang mulai ditakutkannya; dirinya dan anaknya, suaminya. Ia sesengukan. Tetapi karena tak mau anaknya mengetahui kegundahannya, buru-buru ia menarik nafas lalu menghembuskannya keras-keras seolah sedang batuk. Ia menoleh pada anaknya lalu kaget karena ternyata anaknya sedang memperhatikannya, mereka saling bertatapan. Ia kikuk, tak sepatah katapun mampu diucapkannya untuk mengalihkan suasana. Sang anak mendekati dan merangkul Ibunya, mereka pun larutlah dalam satu perasaan tanpa kata-kata.

Setelah suasana hatinya agak tenang, sang Ibu pun bertanya "Kamu sudah lapar?" Sang anak hanya menggeleng. Ibunya kembali terdiam, ia tahu benar perasaan anaknya. Meski masih kecil, ia telah mampu memikirkan hal-hal yang dekat dengan dirinya, mengidentikkan perasaannya dengan perasaan mereka, menganggap mereka itu bagian dari dirinya. Tak perduli itu binatang, tumbuhan maupun kawan-kawan sebayanya.

Ia teringat, pernah suatu kali seorang kawannya dicubit sampai menangis oleh Ibunya karena tidak menggembalakan kerbaunya. Anaknya marah dan berteriak-teriak meminta agar telinga temannya dilepaskan. Apalagi dengan anak-anak anjingnya?  Memikirkan semua itu, hatinya kembali tenang, kesedihannya berganti pikiran-pikiran tentang akan seperti apa anaknya kelak.

Sang anak sebenarnya telah tertidur di bahu Ibunya ketika tiba-tiba riuh rendah anjing-anjingnya mengagetkannya. Dengan sigap, Ia berlari kearah pintu. "Ibu! Bapak pulang! Bapak pulang!" serunya kegirangan meski ayahnya belum muncul dan baru anjing-anjingnya yang tiba mendahuluinya. Bagi mereka, hal itu adalah pertanda kalau Sang Pemburu sudah pulang. Tak lama kemudian, ayahnya telah terlihat di tangga.

"Panggil ibumu, bantu bapak." Kata ayahnya kepadanya, tetapi yang diperintah malah berlari ke kolong rumah. "Kekasihku!, bantu saya mengangkat barang-barang ini!" serunya memanggil isterinya.

Malam itu, sebuah keluarga kembali berkumpul. Semua kekuatiran seolah luruh seketika. Larut dalam malam kebahagiaan. Berbumbu madu beraroma harum daging diselingi cerita Sang Pemburu kepada keluarganya, disambut kekaguman dan rasa bangga anak dan isteri.

-----

Selalu begitu, begitu selalu. Meski begitu, siapa yang bisa meluruhkan kegundahan? walau kekuatiran mereka polos dan sederhana saja, tidakkah itu pertanda? Bahkan binatang ternak memiliki naluri yang sama. Dan Sang Pemburu? Ia pun hidup dalam bayang-bayang kebetulan, tak lebih. Ia hanya bisa meraba-raba bahasa alamnya.

Ketika rembulan tampak sebagai sabit, separuh atau bak penampih sang dewata, ia menunjukkan pesannya sendiri. Angin gemunung membawa wanginya sendiri, tergantung ia berhembus dari mana. Arak-arakan awan dilangit, garangnya sang mentari, cerahnya pagi atau muramnya senja membawa pesan cuaca bagi mereka. Rangkaian bintang gemintang tampil mengabarkan pesan kapan mereka sebaiknya berburu dan kapan sebaiknya menyemai. Bahkan riak dan desau air juga adalah pesan yang lain. Kesemua itu pertanda, alam tak pernah alpa menghadirkannya.

Mereka ini pun telah maklum. Sayang, di hati anak-anak matahari itu sudah mulai tertambat jarak. Jarak yang lambat laun mulai membelah diri...

Sabtu, 15 Desember 2007

Puisiku

Puisiku bukanlah lautan memabukkan
Dalam arak-arakan kata yang sumringah
Apalagi undangan atas decak kagum dari gigimu
Melainkan sedikit cubitan di pinggul yang kau biarkan tersibak

Sebab duniaku sudah terlalu lama gila
Oleh secolek kegembiraan yang samar-samar
Dari mimpinya semalam
Hingga tak dihiraukannya luka dan perih di sekujur tubuhnya

Puisiku bukanlah pula samudera kepedihan
Dalam karnaval kata-kata yang berduka
Tidak pula elusan atas umpatan yang tertahan di tenggorokan
Melainkan kutukan atas penderitaan yang terhirup secara paksa

Agar terdengar di telingaku sendiri
”sungguh semua ini tak berterima bagi kemanusiaan”
Agar terangkatlah selubung, menyatalah dunia kita
Agar lenyaplah nelangsa dan bergandenganlah tangan

Sebab tiada guna puja-puji
Yang menyembunyikan kejahatan dalam licinnya lidah
Atau umpatan dan cibiran
Atas kegembiraan yang sepatutnya dirasai - dream blog -

Jumat, 07 Desember 2007

SE yang Tertunda

Targetku untuk selesai kuliah bulan 12 tahun ini terpaksa harus diundur sampai bulan maret tahun depan. Kendalanya, bukan karena skripsi tetapi lebih kepada berkasku yang tidak lengkap. Padahal untuk mendaftar ujian meja, ada beberapa berkas yang harus dikumpul. Nah, salah satu atau salah dua dari syarat berkas itu yang aku tidak miliki. Tepatnya, fotocopy ijasah SMU yang sudah dilegalisir oleh sekolah. Sekedar info, ijasahku mulai dari SD sampai SMU, plus akta kelahiranku hilang! Dan untuk menemukannya kembali sepertinya kecil kemungkinannya. Selama kuliah di kota ini, aku pindah tempat tinggal sebanyak 4 kali. Dan bila kuingat-ingat, lokasi kehilanganku berada di tempat tinggalku yang ke-2, tepatnya di tengah kota yang jauh dari tempat tinggalku saat ini. Lagipula, tempat itu kini sudah dibongkar dan di atas tanahnya berdiri kokoh ruko-ruko dan tempat perbelanjaan. Jangankan lembaran kertas mirip ijasah, puing-puing rumahku pun bahkan sudah tak tampak sedikitpun. Semuanya sudah berubah.

Ketika urusan ijasah itu sudah kelar, pendaftaran ujian untuk wisuda bulan 12 tahun ini telah tertutup. Bueekk. Aku harus menunggu lagi ujian selanjutnya, tentunya untuk wisuda bulan 3 tahun depan. - dream blog -

Seru-Seru Dari Balik Kematian

"Si mati, yang malang itu disandanginya dengan kafan perpisahan, kemudian ia masukkan ke liang lahat. Dengan sekuat tenaganya, oleh seluruh kesanggupan yang ia miliki diletakkannya si mati berhati-hati. Iringannya bukan doa-doa, melainkan pedih penyesalan dan urai air mata sebab Ia mati di tanah yang tiada dikenalinya sama sekali.

Tiada pelayat, tak ada kata-kata penghiburan. Tiada kapur barus menusuk hidung, tiada wangi kamboja melainkan rasa nyinyir dan hampa. Seorang diri Ia di tepi kematian. Di atas nisan dituliskannya: O… Belahan Jiwaku Tenanglah Dikau Kini, Tak Perlu Menginginkan Apa-Apa Lagi. Itulah sebutannya, itulah nama yang akan dikenangkannya sepanjang hayatnya.


Ditinggalkannya tempat itu, tapi bukan kembali ke rumah duka melainkan tiada kemana-mana. Sebab sejak saat itu, seluruh sudut kini adalah rumah duka baginya dan seluruh makhluk kini adalah kawan berbagi duka baginya. Tetapi tidak juga ia datang membawa dukanya bagi mereka melainkan mengambil dan mengangkat duka-duka mereka ke atas punggungnya sendiri sehingga terlihatlah oleh mereka itu kalau tiada lagi yang pantas mereka sesali dan tangisi kecuali sang pengelana sendiri.

Dialah sang pengelana lorong-lorong sunyi abadi, yang langkahnya ringkih dan tatapannya kosong. Menyesali nasib, mengeritik takdir. Bahwa kadang nasib ini, takdir itu, tertelan secara paksa dari dan oleh sesama sendiri. Dilagukannya nyanyian ratapan, menikmati pilu.

"Tiada guna empati, tak perlu belas kasih: simpanlah untuk dirimu sebab kelak kau akan butuh. Sungguh semua itu tiada berterima bagiku, sudahkan saja. Karena akupun telah tahu. Dengan apa ‘kan kau bayar kematian kecuali oleh kematian? Akhiri saja duka dan bela sungkawamu. Semua ini, kepura-puraan itu: hanya menyakitkan hatiku. Belumkah petakaku ini telah membuat dirimu tampak? Bukankah dukaku telah melapangkan hatimu, meringankan pikiranmu? Bahwa ada aku yang lebih merana!"

Dengan mulutnya menenteng air liur disusurinya lereng-lereng kenikmatan, tapi mendadak segalanya tampak beku baginya dan olehnya itu tak satu juapun mampu mencairkannya. Dengan peluh yang berteriak-teriak karena kepanasan lalu menguap bersama kabut yang dingin, didakinya gunung gemunung dan dilihatnya kemegahan. Lalu iapun berontak.

"Untuk apa rasa hormat, guna apa ketundukan dan apa guna seluruh dunia bertekuk lutut? Toh semuanya hanyalah telekung kemunafikan dan kacak kepongahan. Seekor semut yang tak mampu menyangga bebanmu, itu yang kau sebut penaklukan? Atau mencocok hidung kerbau raksasa yang tak mampu berpikir bahkan apa dirinya lalu kau sebut dirimu berkuasa? Sungguh pilihanmu hanyalah membagi-bagi harta rampasan kepada mereka yang mengelu-elukan namamu dan setelahnya mencibirmu, ataukah mengembalikannya kepada mereka yang darinya semua itu terampas dan setelahnya tak menganggapmu apa-apa!"

"Bagiku semua itu hanyalah kepalsuan, umpama sebuah batu yang setiap harinya kau injak-injak, kau buangi kotoranmu serta ludah berdahakmu. Lalu dengan kepongahanmu engkau angkat ia dari kejumudan pikiranmu dan kau jadikan hiasan di atas kepalamu dan mengatakan inilah kebahagiaan; seni, keindahan, hidup. Kepadanyalah seharusnya tujuan-tujuan yang sedang kita rancang di arahkan. Lalu apa setelahnya? Kehampaan! Nihil! Sampai kapan kepura-puraanmu akan bertahan? Sampai berhala-berhalamu itu berkata-kata kepadamu dengan kata-kata yang dapat kau indrai?"

Bahkan menurutnya seorang pengingkar Tuhan sekalipun mengangkat tuhan-tuhan lain ke dalam hidupnya, berhala itu. Sementara bagi mereka yang menganggap dirinya ber-Tuhan? Tak jauh berbeda, bila yang pertama menyangkal keberadaan Tuhan, yang terakhir merampoknya.

"Dan kau yang mensucikan kata-katamu sendiri, pikirmu kau pun akan selamat? Ingat-ingatlah apa saja yang telah kau kebiri dari-Nya atau bila tidak, kukatakan satu hal: engkau telah merampok jubah kebesaran Tuhan-mu, dan menyisakan padanya hanya kulit pembalut tulang dan membuatnya terpaksa memperlihatkan segala sesuatu yang tak ingin diperlihatkan-Nya. Kalianlah yang telah menghujat Tuhan, aku hanya menunjukkan kebenarannya. Tetapi bila kalianpun ingin mengambil darahku, halalkanlah bagi kalian dan aku akan memberikannya dengan senyuman."

Dan bagi keduanya, "Sungguh batu-batu ini telah berteriak kepadamu dan memperingatkanmu tetapi tak satu suarapun mampu kau tangkap karena yang kau pahami hanyalah apa yang nikmat bagi dirimu, itulah kedunguan dan kebebalanmu, tak terkecuali kau!"

Dari sana ia bertolak ke jurusan yang lain, selalu saja ada yang diratapinya.

"Ah... bebatuan alangkah malangnya dunia kita. Seperti dirimu yang kadang terinjak kaki-kaki tak tahu diri pada suatu waktu, di waktu yang lain diangkat dan menjadi yang terpenting dari segala yang ada. Tetapi seperti buih-buih di lautan menentang ombak, beitulah kita akan selalu menentang zaman, tak perduli pada akhirnya akan lenyap jua. Dan bila kelak kita sudah punya kekuatan untuk memilih, aku ingin menguap dalam panas dan lenyap, daripada lebur dalam arus yang menyesakkan ini.

Aku memang telah mengubur harapan dan cita-citaku bersama bersama ambisi dunia ini, tetapi lihatlah! Satu asa yang lain tengah mendekatiku. Maka aku takkan kalah oleh keadaan yang telah berpihak ini. Kami akan mampu memilih, karena kami tengah membuat pilihan yang lain. Banyak makhluk akan menjadi seperti kami, membuat pilihan-pilihan mereka sendiri.

Dari setiap arusmu timbul riak, dari setiap riakmu timbul buih. Buih-buih itulah yang kelak akan bangkit bersama kami dan membuat arus besar ini tak lagi berarti. Wahai yang kehilangan harapan! Hai yang ditinggalkan kesempatan lalu kehilangan keinginan! Atas restu siapakan engkau menerima keadaanmu?

Wahai engkau pembuat petaka kami! Yang bercermin di depan luka penderitaan ini! Pikirmu kaukah rupawan dengan riasan-riasan itu? Maka akan kau lihat malapetakamu menjemput, sebab semua telah bangkit melawan engkau bahkan batu-batu ini. Sebab hari-hari kami telah kembali, hari dimana jantung berdegup kencang dalam gairah perlawanan. Mencibirlah, meludahlah dengan dahakmu yang kekuningan itu ke atas kepala kami. Bahkan tumpahkanlah segala kekotoranmu di atas kepala kami sebab bagi kami, semua itu adalah minyak urapan yang berbau harum, baiat atas hari-hari sial kalian.

Pikirmu kemanakah perginya keberanian kami terhadap kematian? Kemanakah dendam-dendam? Kemana doa-doa? Tak perlu kau cari, sebab ia akan datang padamu dalam suara gemuruh yang tak akan kau sangka-sangka, lalu hati kami akan larut dalam sorak-sorai dan gegap-gempita karena itu, setelahnya kami akan larut dalam tangis sesengukan yang tak perlu kau dengar.

Sebab tiada guna empati, tak perlu belas kasih: akan kusimpan untuk diriku sendiri sebab kelak aku pun akan butuh. Sungguh semua itu tiada perlu kau terima, sudahkan saja. Karena kaupun telah tahu. Dengan apa ‘kan kau bayar kematian kecuali oleh kematian? Akhiri saja duka dan bela sungkawa. Semua ini, kepura-puraan itu: hanya menyakitkan hati. Petakamu ini telah membuat diriku tampak. Dukamu telah melapangkan hatiku, meringankan pikiranku. Bahwa ada engkau yang lebih merana!" - dream blog -

Kamis, 22 November 2007

Beton Tambun

Palem, sepupu nyiur
Tambur dikau dihimpit beton
Tak bebas, menyuntai daunmu terkulai

Palem, sepupu nyiur
Ada kulihat sedikit keanggunan
Meski tersamar keangkuhan tembok kota - dream blog -

Sabtu, 17 November 2007

Ngidam (cerpen)

Sisa-sisa keramaian belum terlihat jejaknya berangkat pulang. Kekagetan retina akibat kilat kamera bahkan masih memeluk urat-urat mata. Tetapi angin dingin sudah tak sabar hendak menjadi saksi atas malam kebahagiaan sang pengantin, lewat kisi-kisi bilik yang telah disiapkan untuknya sejak awal mula sebuah rumah. Keinginannya adalah mendahului sang perjaka menghirup aroma selaput keperawanan sang dara, aroma kembang tujuh rupa. Kelenjar kencingnya seolah-olah hendak meledak oleh kedongkolan yang tak sabar melihat wajah-wajah sumringah hadirin. Tidak seperti wajah kedua mempelai yang nampak kuyu akibat kelelahan yang dipanggulnya sejak pagi.

Ketika roda-roda malam mulai merambat miring melampaui siku-siku, akhirnya keramaian itupun lenganglah sudah sebab kedua mempelai telah diarak ke rumah mempelai perempuan. Langsung ke bilik pengantin. “Nah…akhirnya tiba juga yang ku inginkan, gumam sang bayu dalam jerit dedaunan akibat terinjak olehnya di samping bilik.

Kepalanya sudah menyembul dari kisi-kisi bilik itu ketika Bahrul, sang mempelai pria, minta obat gosok ke orang rumah. Bahrul bilang isterinya pegal-pegal, sang mertua hanya manggut-manggut. Sang bayu tak setuju lalu menyenggol daun jendela, menggoyang-goyangkannya bersungut. Tak mau ia bila keindahan malam pertama ini dinodai oleh bau menyengat ramuan minyak yang menusuk hidung itu. Apa daya, ia hanyalah samun yang hendak menyambar dalam pertolongan tenggat.

Tetapi tenggat yang dinantikannya tak kunjung tiba, malah kini justeru si bahrul yang meloroti gaun pengantinnya sendiri lalu lelap dalam usapan isterinya.
“Dasar pembual!” umpatnya dari balik bilik.

Dalam waktunya yang sekarat karena dipatuk kokok ayam, ia meronta-ronta lalu mencubit daun jendela agar berteriak membangunkan si Bahrul. Tetapi usahanya sia-sia sebab yang diterimanya hanyalah dengkur. Ia tumpas dalam penantiannya, terpanggang matahari lapar.


Si Bahrul pulas, seluruh badannya basah berkilap minyak. Sementara isterinya, terbangun paksa oleh genit matahari timur yang merangsang bulir-bulir air dari kelopak-kelopak kainnya.

“Lha, Widya... Bahrul bilang badanmu pegal-pegal minta dipijat, kok gaunnya belum dicopot juga?” suara ibunya menyergap dari meja makan yang terletak di sudut lain ruang keluarga mereka. Ia hanya menjawab dengan menyodorkan botol obat gosok sambil memijat-mijat lehernya sebagai isyarat agar dipijat.
“Memangnya suami kamu tidak bisa?”
“Bisa, tapi mijit yang lain”, katanya genit.
Ibunya tersenyum, “Dasar laki-laki” katanya.
Bahrul pun bangun, kemudian langsung mandi. Wajahnya lebih segar sekarang. Sarapan sudah disediakan isterinya, tetapi ia hanya mengangkat gelas kopi. Setelah berpakaian rapi, Ia pamit hendak keluar. Kepada mertuanya yang mencegatnya dengan tanda tanya, ia cuma bilang mau ke kampus, tanpa mengharapkan reaksi reaksi apa-apa.

Pada sebuah restoran, Ia memarkirkan kendaraanya lalu berhenti dan langsung mencari sebuah meja. Seseorang sudah menunggunya.

“Pagi!” katanya.
“Bagaimana kabar isteri kamu?” sambut orang itu.
“Biasa saja.” Katanya sambil menyulut sebatang sigaret pada mulutnya, menghembuskannya kuat-kuat.
“Apa selentingan yang aku dengar itu benar?”.
“Yang mana?” bahrul balik bertanya seolah bingung.
“Yang...” katanya sambil memperagakan sebuah gerak tangan di depan perutnya, tapi Bahrul langsung menimpali:
“Yang benar itu, aku belum tidur dengannya sejak akad nikah sebab selalu ingat sama kamu” katanya sambil memencet hidung orang itu.
“Ih! Sudah punya isteri masih genit, soal kamu sudah tidur dengannya atau belum bukan urusanku.”
“Kalau begitu urusan kamu apa?”
“Jatahku!” jawabnya bengis.

Sepeninggal Bahrul suaminya, Widya tampak gelisah dan uring-uringan sebab tak ada tempat berkeluh kesah. Semua orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tak ada seorang pun yang tahu kegundahan hatinya, tak ada seorang pun yang mau memahami apa yang diinginkannya, juga ayah dan ibunya. Kalau tidak tiduran, ia mondar-mandir atau menatap kosong dari balik jendela. Hatinya memendam kuatir dari ketakpastian yang sedang menderanya. Ia pernah berpikir bahwa hanya dengan pernikahanlah maka Bahlul akan dapat ditaklukkannya. Tapi kenyataannya? Saat ini memang sudah menjadi suaminya yang sah namun bukannya semakin perduli dan sayang padanya, malah semakin liar dan acuh.
”Jalan yang kupilih inikah buntu? Ahh.. walau buntu bagaimanapun aku harus bertahan, aku tak akan pernah mau diceraikan. Sudah kepalang basah sejak mula, Bahrul harus tetap bertanggung jawab. Tanggungannya tak akan terlepas oleh apapun.” gumamnya.

Menjelang sore hari Bahrul baru pulang, bersiul-siul ceria dan lebih cerah yang disambut mata merah dan sembab isterinya.

“Dari mana saja kamu seharian?” Isterinya bertanya dengan nada kesal.
Bahrul tak mengacuhkannya dengan gumam sebuah lagu yang sedang hits.
“Kamu pasti dari menemui perempuan itu.” isterinya mulai menangis.
“Memang kenapa kalau aku menemui dia, hah? Kan, sebelum kita nikah aku sudah bilang kalau aku tidak mencintai kamu dan karena itu sebaiknya kita putus saja. Tetapi kamu malah mau mati kalau aku tidak bertanggung jawab dengan segera menikahi kamu.” damprat Bahrul.
”Kalau begitu, sekarang akupun akan mati!” isterinya mengancam.
”hah?”Bahrul kaget mendengar ancaman itu, ancaman yang sama yang membuatnya kehabisan akal dan membuatnya takluk oleh perempuan itu. Beberapa hari selanjutnya Ia tak kemanapun, giliran Bahrul yang uring-uringan dan tampak lesu, kuyu seperti kehabisan tenaga.
Tiga hari kemudian, Widya muntah-muntah. Tetapi Bahrul terlihat santai saja, hanya keluarga isterinya yang terlihat sibuk. Mertuanya bilang mungkin cuma masuk angin saja karena terlalu sering mandi. Tapi sudah seharian mual-mual saja kerjanya dan belum makan apapun. Segala macam obat masuk angin sudah diberikan tapi hasilnya nihil.

Orang rumah yang selalu sibuk dengan kegiatannya masing-masing mulai kuatir melihat keadaan Widya pada suatu Minggu pagi. pada hari itu, Mertua si bahrul bangun lebih pagi dan menunggu saat-saat keluarnya Bahrul dari kamarnya. Hanya beberapa saat, yang ditunggu sudah keluar dengan tampang yang lebih parlente dari biasanya.
“Bagaimana tesis kamu?”.
“Eh, Ayah! Anu, sudah beberapa hari saya urus tapi belum kelar-kelar, maklum, dosen pembimbing saya sedang sibuk proyek” Bahrul menjawab gagap.
“Ada baiknya isteri kamu diperiksakan ke dokter, sudah beberapa hari saya amati ia tersiksa.” Bahrul ingin membantah, Tapi lidahnya kelu. Ia merasa ditegur lalu buru-buru ke kamarnya lagi tanpa sepatah kata pun.
“Ayahmu mau kita ke dokter, bersiap-siaplah! Saya masih punya banyak urusan.” katanya pada isterinya dengan kasar.
Dengan sempoyongan, isterinya bangkit dari pembaringan dan berhias seadanya lalu menyandang tas tangannya. mereka berangkat. Pada waktu tengah hari yaitu sekembalinya dari dokter dengan membawa jambu keprok yang dibelinya, Bahrul yang telah berada pada puncak kedongkolannya akhirnya kambuh dengan kebiasaan lamanya, hanya saja waktunya paling-paling dua sampai tiga jam. Sudah lima hari kejadian yang sama sepertinya hanya terulang saja, sedangkan ’masuk angin’ isterinya kadang berhenti kadang kambuh.

Pada suatu hari bahrul pulang membawa sekeranjang mangga muda.
“Pesanan isterimu ?” Tanya mertuanya yang menyambutnya dengan wajah sumringah.
Bahrul hanya mengangguk karena disergap gugup.
“Tidak usah gugup, santai saja. Mengetahui kita akan menjadi ayah untuk pertama kalinya memang mendebarkan, tapi itu hal yang wajar saja.”
Bahrul mengangguk lagi seolah membenarkan lalu segera berlalu ke kamar dengan pisau dapur
“Loh,…jambu keprok saya mana?” Sergah isterinya.
Bahrul keluar lagi, hendak mencari yang diminta isterinya, beberapa saat kemudian Ia kembali dengan sekeranjang jambu keprok.
Di hari lain masih dalam bulan itu, Bahrul tetap larut dalam kebiasaan ‘keluar beberapa jamnya,’ sementara kian hari tubuh isterinya kian tipis sebab tiap hari makan hati, dimulai sejak malam pertama resepsi pernikahan mereka. Bayang-bayang kelesuan dan kelelahan pada hari yang melelahkan itu seolah belum hilang juga hingga saat ini entah sampai kapan.
“Kamu suka betul makan mangga, Kira-kira seperti apa nantinya cucu saya ya?” Kata ibunya pada suatu hari ketika melihat mangga di keranjang tinggal tiga biji. Mendengar itu, isteri bahrul mengerutkan dahi tak mengerti.
“Cucu ?”
“Ya, cucu. Kamukan sedang hamil toh ?”
Isteri bahrul makin mengerutkan dahinya tak mengerti, ia menggeleng.
“Ya ampun, saya makan jambu keprok itu karena kawan saya bilang kandungannya ada yang mirip zat pada tomat, bisa menetralisir asam lambung. Tempo hari dokter bilang saya menderita maag kronis.”
“Maag kronis kok makan mangga muda banyak begitu ?” Ibunya ganti bingung.
“Mangga muda itu, bukan aku yang makan, tapi suamiku”
“Lho? Jadi kamu tidak hamil? Benar? Kalau begitu, apa yang terjadi dengan Bahrul?” Ibunya masih tidak percaya. Wajah yang sumringah hendak menimang cucu sudah sirna ganti kecewa.

Lewat magrib, Bahrul pulang menenteng mangga muda dan langsung ke kamar, disambut oleh amarah dan tangis histeris isterinya. Ribut-ribut dan cek-cok terjadi semalaman. Pagi-pagi betul, tatkala belum satupun orang rumah yang terjaga Bahrul keluar tergesa sehingga mertuanya tak sempat menyapanya. Pada sore harinya, Bahrul tak pulang. Juga ketika hari telah pagi kembali.

Pagi itu, Isteri bahrul mengunci diri di kamar dan tak pernah keluar lagi, sesekali mengerang-ngerang lalu suaranya hilang. Pada pukul 08:00 rumah lengang, orang rumah berangkat kerja, tinggal pembantu saja yang berada di rumah. Pukul 13:00, pembantu rumah menggedor-gedor kamar isteri Bahrul untuk makan siang tapi tak ada jawaban, ia mengintip dari celah daun jendela dan melihat isteri bahrul tengah tertidur. Pukul 16:00, mertua Bahrul laki dan perempuan pulang dari kantor, gelisah karena anaknya masih mengunci diri dan pembantu bilang belum makan apapun. Pukul 18:00 Mertua si bahrul menggedor-gedor pintu, tetapi sia-sia. Akhirnya, diputuskanlah untuk membuka pintu secara paksa. Mertua si bahrul meraung histeris menyaksikan anaknya terlentang di pembaringan, urat nadinya putus. pembantu rumah menghubungi pak RT. Sesaat kemudian, polisi tiba. Begitulah kesaksian pembantu rumah tangga dalam kesaksiannya kepada polisi yang memeriksanya.

Hasil visum dokter menyatakan kalau Isteri bahrul meninggal karena kehabisan darah, dipastikan bunuh diri. Dalam rahim korban juga ditemukan janin yang sedang tumbuh, usianya sebulan lebih. Mertua bahrul protes sebab dokter yang pernah memeriksa anaknya cuma mendiagnosis maag kronis. Sang dokterpun diperiksa, ternyata ada persekongkolan antara sang dokter dengan Bahrul maka keduanya ditahan. Sementara mereka ditahan, Bahrul meminta dibelikan mangga muda. Empat bulan kemudian kasus mereka disidangkan. Si Dokter dihadirkan sebagai saksi pada pengadilan dengan Bahrul sebagai terdakwanya, demikian juga sebaliknya. Dalam persidangan, terlihat perut sang dokter buncit sedangkan Bahrul tak tahan ingin makan mangga muda.

Sabtu, 08 September 2007

Kirimi Aku Bunga Kamboja*

Dok,...
Rumahmu terlalu putih, tak mampu aku menatap
Lihatlah, mataku silau bahkan telah buta
Hingga tak kutemukan jalan, agar boleh sekedar menyapamu
Kakiku terasa berat lagi lamban
Tanganku kurus, terlalu tipis
Tak mampu menjabat tanganmu, ganti terima kasih
Aku pulang saja ya?
Jangan lupa jenguk aku
Tak perlu bawa jarum suntik
Aku lebih suka bunga kamboja

*

Rabu, 05 September 2007

Selamat Buat Sarjana baru

"Jangan bermimpi untuk menjadi apa-apa sobat. Karena dunia di luar sana tidak membutuhkan orang yang cerdas dan banyak tanya, tetapi orang yang penurut dan dungu!!!" kata sebuah tulisan di koran kampus.

Selamat buat Aslam Fatwa, Andi Muhidin, Rinto Budiman, dan semua yang kini sedang menikmati gelar baru di belakang namanya. Ya, sebuah SE yang telah dibayar mahal. Selamat.

Traktirannya mana? - dream blog -

Sabtu, 18 Agustus 2007

Sang Pemburu

Baca sebelumnya: Sang Pemburu (Prolog)

Nafasnya tersengal-sengal, jantungnya berdegup hebat. Rasa lelah mulai menjalari pikirannya. Ingin rasanya ia segera tiba dan terlelap di pembaringan yang hangat. Ah, aku harus bergegas, ia bergumam. Sebentar lagi hari akan gelap. Ia memacu langkahnya. Matahari telah tersangkut di pepohonan, cahayanya menerobos menembus sela-sela dedaunan. Sementara itu kabut mulai turun, udara dingin menyeruak ke paru-parunya, menekan selaput hidung dan tenggorokannya hingga terasa perih. Sesekali giginya gemeletukan tanpa diinginkannya namun ia telah terbiasa, ia tetap berjalan bahkan semakin cepat. Keinginannya untuk segera berdiang di depan api hampir tak tertahankan lagi.


Jalan setapak yang dilaluinya mulai menanjak, langkahnya melambat bahkan semakin lambat saja. “Aku harus segera tiba di puncak tanjakan ini.” Begitu pikirnya. Dipindahkannya tungkai pemikul ke bahu sebelah kirinya, lalu setelah beberapa langkah dipindahkannya lagi ke bahu kanannya. Ketika tinggal beberapa langkah lagi ia segera tiba di puncak, bebannya dihempaskannya ke tanah. Tubuhnya di rebahkannya, bersandar ke sebatang pohon. Ia kembali mengatur nafas. Menghirup udara kuat-kuat, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Hal itu dilakukannya beberapa kali. Matahari sudah hilang tetapi semburat cahayanya masih menghiasi langit di sebelah barat.

Selang beberapa saat, anjing-anjingnya, yang beberapa hari ini menyertainya muncul dari semak-semak. Mereka juga nampak kelelahan, namun tetap lincah dan awas. Ekornya dikibas-kibaskan, lidahnya menjulur-julur. Anjing-anjing itu menghampiri dan menggosok-gosokkan badannya ke kaki tuannya dengan akrab. Dari puncak bukit itu, ia memalingkan pandangannya kearah selatan. Dari kejauhan, kelap-kelip seperti cahaya mulai terlihat, rumah-rumah terlihat samar dan tampak kecil. Kampungnya sudah cukup dekat dan tak beberapa lama lagi ia sampai.

Ia duduk sejenak, bebannya diletakkannya di samping. Tombak yang dijadikannya tungkai pemikul dipancangkannya ke tanah. Dipandanginya barang pikulannya; beberapa kerat sarang madu, seekor babi jantan tambun dan seekor anoa. Ia menghela nafas, lalu tersenyum puas. Isteriku musti bangga bersuamikan aku, anakku musti merengek minta diceriterakan bagaimana aku menaklukkan kedua binatang hebat ini. Semua itu terlintas dalam pikirannya, ia menghela napas lagi.

Dipandanginya kepala Anoa yang legam itu, tanduk runcingnya hampir saja mengambil nyawanya. Ia bergidik membayangkan pergulatannya dengan binatang lincah itu. Binatang yang tetap beringas meski tengah sekarat. Tetapi ia kemudian tersenyum bangga, Anoa adalah gambaran dari kehandalan seorang pemburu. Selain binatang itu sulit ditaklukkan, larinya juga sangat kencang dan hanya keberuntunganlah yang membuatnya dapat disentuh. Ia teringat saat pagi tadi, hari masih gelap dan ia masih terlelap kemudian terbangun oleh riuh suara anjing-anjingnya. Secepat kilat ia segera menyambar senjatanya dan berlari ke arah datangnya suara.

Di sebuah ceruk tebing, ia melihat anjing-anjingnya sedang bergumul dengan seekor binatang berwarna hitam. Anjing-anjingnya terpental ke kiri dan ke kanan, tapi gigi-gigi mereka mencengkeram kuat kulit binatang itu. Setelah sangat dekat dan dirasanya bahwa lemparan tombaknya tak akan meleset lagi, dilepaskanlah tombaknya ke arah jantung binatang itu dengan sekuat tenaga. Bret! Darah tersembur keluar dari celah-celah lubang yang dibuat oleh tombaknya diikuti jerit sang anoa. Tetapi tidak roboh, malah semakin beringas. Anjing yang masih menahannya terpental lepas dengan keras terkena tendangan kaki belakangnya.


Sang pemburu kaget bukan kepalang, anoa itu kini menghambur ke arahnya dengan tanduk yang mengacung kepadanya. Hanya refleks saja yang membuatnya membuang diri ke samping. Namun anoa itu segera berbalik dan kembali menyerang ke arahnya. Beruntunglah, saat itu ia sedang rebah ke tanah sehingga tanduk-tanduk anoa itu lewat hanya beberapa ruas jari di atas perutnya. Pada saat itulah ia menangkap tanduk sang anoa lalu menekan bagian kepala dengan memelintirnya ke tanah. Binatang itu meronta-ronta hendak melepaskan diri, tapi keseimbangannya telah hilang. Ia meronta, berputar. Sang pemburu mengikuti arah gerakannya dengan tekanan yang makin kuat. Anjing-anjingnya membantunya, menggigit, menarik pinggul dan kakinya sehingga anoa itupun jatuh ke tanah. Pada saat itulah, dengan kaki kirinya menginjak leher binatang itu, sang pemburu menarik parang di pinggangnya lalu menghunjamkannya tepat ke arah jantung. Sang anoa merejan, mengejang lalu meregang nyawa karena kehabisan darah.

Sementara babi itupun didapatkannya tidak dengan mudah. Kejadiannya kemarin siang, ketika Ia baru saja mengisi perut dengan bekal terakhirnya. Sebenarnya ia telah putus asa karena belum mendapatkan satu ekor binatang pun. Ia berencana untuk segera pulang saja sebab perburuannya kali ini tidak seperti biasanya. Saat beristirahat, rasa sakit yang amat sangat dari balik punggungnya mengagetkannya. Diamatinya keadaan sekelilingnya dan… Ai! Seekor lebah. Teringatlah olehnya, semalam cuaca terang benderang oleh cahaya bulan purnama. Itu pertanda kalau madu setiap sarang sedang melimpah. Ia mendongakkan kepalanya ke cabang-cabang pohon, menoleh ke kiri dan ke kanan. Tetapi tidak didapatkannya jua yang dicarinya.

Ia lalu berjalan membentuk lingkaran, semakin lama semakin besar lingkaran itu dan semakin jauh ia dari tempatnya semula. Tak lama kemudian, samar-samar telinganya menangkap suara dengungan. Ia mencari asal suara itu, berjalan ke arahnya. Semakin lama, suara dengungan itu semakin banyak dan keras lalu terlihatlah olehnya bonggol besar berwarna hitam menggantung pada cabang sebuah pohon. Ia tersenyum senang. Tak ada binatang, madu juga tidak apa-apa, katanya dalam hati. Ia lalu mulai mengumpulkan ranting-ranting kering dan dedaunan, ditumpuknya tepat dibawah sarang lebah-lebah itu. Tak lupa, dikumpulkannya juga daun-daun yang masih segar bersama ranting-rantingnya. Semua itu ditumpuknya menjadi satu.

Ketika ia hendak mengeluarkan batu api dari kantung kulit di pinggangnya, tiba-tiba terdengar olehnya riuh gonggongan anjing-anjingnya. Ia berhenti sejenak, lalu suara-suara itupun terdengar semakin jelas. Ia berjalan lagi, kemudian tampaklah olehnya di tanah, jejak-jejak baru babi hutan. Hm, ternyata kalian berkumpul di sini. Ia bergumam. Ia mulai berlari dengan tombak di tangannya. Parang yang tergantung di pinggangnya berayun-ayun, semak dan belukar tak lagi diperdulikannya. Duri-duri rotan merobek kulitnya, ia tetap tak perduli. Perhatiannya hanya tertuju pada suara anjing-anjingnya.

Semakin lama ia semakin dekat dengan kegaduhan itu, lalu dilihatnya ketiga anjingnya sedang bergulat dengan seekor babi yang besar. Seekor anjingnya mencengkeram leher, sementara dua ekor yang lainnya menggigit kaki dan pinggulnya. Anjing yang mencengkeram leher sang babi mulai kewalahan, kaki belakangnya terlihat sobek. Darah mengalir dari lukanya. Sang pemburu muncul dan mengayunkan tombak ke arah rusuk depan babi itu. Darah mengucur, Ia tidak melepaskan tombaknya tetapi sebaliknya di tekannya. Karena kaget, babi itu meliuk kearah sang pemburu tetapi ia melompat dengan tombak sebagai tolakan. Karena tekanan yang keras, babi itu pun ambruk ke tanah. Tombak menembus badan babi itu dan tertancap ke tanah. Hanya sesaat saja, babi itu lemas dan mati.

Ia memanggil anjingnya dan memeriksanya satu per satu lalu mencari dedaunan obat luka, dikunyahnya dan ditempelkannya pada luka-luka anjingnya. Setelah mengurus anjing-anjingnya, binatang buruannya itu dibereskannya. Bagian terbaik dari daging diirisnya lalu diberikannya kepada mereka satu-satu sebagai hadiah. Setelah itu, ia kembali ke tempatnya mengumpulkan dedaunan tadinya. Sejenak ia tak melakukan apa-apa, kemudian mengambil rotan-rotan kecil yang bertebaran di sekitarnya sebagai tali lalu diikatnya anjing-anjingnya pada sebatang pohon. Anjing-anjing itu dipagarinya dengan ranting lalu ditutupinya lagi dengan daun-daun yang lebar. Setelah dirasanya semua siap, Ia mulai menyalakan api pada tumpukan itu. Ditambahkannya daun-daun yang masih segar, maka asap putih pekat pun membubung menyapu semua yang berada di atasnya. Lebah-lebah berhamburan, panik dan terbang kian kemari mencari sasaran. Sang pemburu merapat ke nyala api sambil terus menambahkan daun-daunan dan ranting. Setelah dirasanya aman, ia mengeluarkan daun-daun basah yang belum terbakar itu sehingga hanya lidah-lidah api saja yang tersisa. Sang pemburu mendongak ke sarang itu dan amboi… sarang yang tadinya berwarna hitam kelam kini hanya berwarna putih kekuningan saja. Kantung kulit bekas wadah bekalnya disiapkannya, kemudian mulai memanjat lalu mengiris sarang itu dengan hati-hati lalu memasukkannya ke kantung kulitnya. Pada saat itu, hari benar-benar telah gelap. Sang pemburu memutuskan untuk menginap saja di tempat itu. Diambilnya segenggam madu, dimasukkannya ke mulutnya beserta sarangnya dengan lahap. Benar-benar nikmat, itulah makan malamnya. Ia kembali mengambil beberapa batang kayu kering, lalu membuat perapian.

.......................

Ia benar-benar bangga mengingat semua itu, nyeri luka dari kaki dan tangannya akibat duri dan belukar ataupun lebam dan memar di badannya akibat bergumul dengan binatang-binatang buruannya tak pernah dirasakannya. Baginya, semua itu adalah hiasan kelaki-lakiannya.

Wuaaah…ia mulai menguap, ia kembali berdiri lalu mulai berjalan lagi. Kali ini ia menuruni bukit itu, anjing-anjingnya mendahuluinya. Salah satu anjingnya yang terluka oleh taring babi di bagian pahanya tidak mengikuti anjing yang lain berlari tetapi berjalan beriringan dengan sang pemburu. Dalam malam yang mulai gelap itu, sesekali kaki sang pemburu terantuk atau juga terhalang oleh anjingnya. Tetapi kini ia berjalan semakin cepat dari sebelumnya bahkan dengan berlari-lari. Jalanan yang dilaluinya memang bukan lagi tanjakan. Barang-barang bawaannya; daging dan madu yang dipikulnya berayun dan bergoyang seolah menari seirama dengan hatinya yang selalu ceria. Cuaca dingin yang dibawa gelap malam tak dirasakannya, tubuhnya kembali berkeringat sementara kerlap kerlip cahaya dari rumah-rumah yang kini jadi panduannya semakin lama semakin jelas dan terang, semakin besar dan semakin dekat.

Bersambung ke Sang Pemburu (Epilog) - dream blog -