Setelah jumat lalu saya berhasil lulus ujian akhir, kemarin akhirnya secara resmi saya mendapatkan gelar SE lewat acara yudisium. Kami ber-6, 5 diantaranya adalah angkatan 2002-selesai 5 tahun 4 bulan, salah satunya anak 2004-selesai 3 tahun 4 bulan! Selesai acara yudisium itu aku langsung pulang ke rumah, karena sudah sangat lelah dengan semua rutinitas yang akhir-akhir ini begitu padat. Aku tertidur sampai sore.
Tiba-tiba hpku berbunyi, salah satu teman menelpon, menanyakan tentang 'tawuran yang tadi'. Lha saya bingung, saya tidak tahu-menahu kalau tadi itu ada tawuran. Sewaktu saya di kampus tadi masih aman-aman saja tuh. Berarti ketika aku tidur barusan-lah tawuran bersamaan terjadi.
Saya langsung berpikir tawuran ini pasti buntut dari kejadian acara inaugurasi ekonomi jumat malam yang lalu. Saat itu aku sempat tampil mengisi acara musik. Ckckckc, penonton penuh sesak, sampai banyak yang tidak kebagian kursi dan terpaksa nonton sambil berdiri. Ya, pasti setiap acara inaugurasi ekonomi penonton membludak. You know, dari 100% mahasiswa ekonomi, sekitar 60%-nya adalah cewek, 50% cewek cakep dan sisanya biasa2.. hehehehe. Cuma 40% cowok. Inilah yg menjadi daya tarik fakultas ekonomi. Ok kembali ke masalah. So, penonton datang dari seluruh fakultas, dan termasuk puluhan dari teknik.
Di salah satu deretan kursi, duduk beberapa mahasiswa dari fakultas ekonomi, dan tepat di deretan kursi di atasnya hingga ke belakang, duduk beberapa mahasiswa teknik. Menurut konfirmasi sepihak, salah seorang mahasiswa teknik yang duduk tepat di belakang mahasiswa ekonomi, di sepanjang acara dinilai 'memancing' atau terlalu 'rese', hingga mahasiswa ekonomi 'merasa terganggu' dan akhirnya memukul mahasiswa teknik tsb. Inilah akar permasalahannya.
Mahasiswa teknik tidak puas atas pemukulan salah seorang rekannya tsb, dan kemudian menghimpun beberapa massa untuk melakukan sweeping thd si pemukul (dikenali ada 2 orang) di pintu keluar gedung Baruga, tempat inaugurasi ekonomi berlangsung. Tidak lama keluarlah salah seorang mahasiswa ekonomi yang pakaiannya mirip si pemukul tadi, hingga mahasiswa teknik mengira dialah si tersangka tadi. Ketika mahasiswa ekonomi tsb ditarik utk dipukuli, salah seorang mahasiswa ekonomi yang lain melerai namun sialnya justru dia yang kena batunya. Dia dipukul hingga terjatuh, sialnya ketika terjatuh, kepalanya membentur pot bunga hingga bocor. Dia segera dilarikan ke rumah sakit.
Di sinilah kedua kubu mulai memanas. Baik dari pihak mahasiswa ekonomi maupun teknik sama-sama merasa tidak puas atas perlakuan masing-masing pihak. Di satu sisi, mahasiswa ekonomi merasa acaranya dirusak oleh arogansi mahasiswa teknik, di sisi lain mahasiswa teknik merasa dilecehkan sebagai 'tamu' dalam acara ini. Selesai sampai di situ, lambat laun kedua kubu mulai membubarkan diri dengan sendirinya seiring selesainya acara inaugurasi dan bubarnya para penonton yang lain. Esoknya tidak terjadi apa-apa, dan saya berharap peristiwa itu selesai sampai di situ. Tapi ternyata setelah mendengar bahwa tawuran terjadi lagi..
Hatiku langsung pilu... tawuran lagi, tawuran lagi.. Sampai kapan ini berakhir. Apa sih yang coba kalian buktikan? Kenapa kalian begitu berapi-api dengan kebanggaan semu itu: 'ego fakultas'? Toh kalian masih 1 almamater, masih 1 suku mungkin, bahkan mungkin masih 1 agama! Masih tega kalian saling menumpahkan darah saudaramu?
Esoknya, langsung saja berita itu tersiar di acara-acara berita tv, di internet, di koran. Sambil membacanya, aku tersipu-sipu malu, ntrenyuh, jadi pengen meludah. Malu-maluin ah jadi mahasiswa Unhas. Untungnya aku sudah bukan mahasiswa lagi. Alias pengangguran! Kere lagi!
Rabu, 27 Februari 2008
Mahasiswa UNHAS Tawuran Lagi!
/ Rabu, Februari 27, 2008 0 komentar
Kategori: Diari
Sabtu, 09 Februari 2008
Sebuah Igauan Panjang Tentang Aborsi
Akan kunamai saja Ia Cioka, aku tak punya artinya tapi bukan berarti aku sepaham dengan Shakespeare tentang arti sebuah nama. Bagiku biarlah kelak Ia yang akan memaknai namanya sendiri, biarpun kehadirannya lebih dari apapun. Tapi ternyata hidup tak selalu diharapkan...
Kubayangkan ia merah, semerah semangatnya pada hidup. Geraknya lincah, bertenaga. Tangannya mengepal bergerak-gerak cepat menantang segala, termasuk aku. Suaranya melengking keras seolah menghardik.
“Wahai hidup kemarilah, bersama kembara kita jelajahi ceruk kepengecutan. Lalu meludah disana! Rentangkan! Rentangkan hijab menembus waktu, biarkan wajah-wajah merona merah dan kepala-kepala yang berpaling dan tertunduk, tegak terangkat. Biarkan rasa malu takluk di duli kaki kita!”
Lanjutnya lagi, “Tuhanmu, Tuhanku. Adakah ia tak menginginkan aku? Sekiranyapun Ia tak menginginkan aku, bagaimana aku bisa datang? Yang haram adalah buku-bukumu, pikiranmu, hatimu, bukan aku!”
Mungkin ia tertidur dan inilah yang sayup kutangkap, Seperti igauan:
“Menjauhlah dari hiruk pikuk, tinggalkanlah sanjungan. Terimalah gunjingan, telanlah cibiran. Semua itu tak akan berarti apa-apa.” Katanya lagi, “Buanglah harapan, lupakanlah mimpi, semua itu hanya akan menjadi bianglala dari hari-hari kita yang mungkin getir esoknya. Kita mengarungi dunia kita sendiri, dunia yang lain; dunia yang boleh kita warnai dengan kelegaan. Setelahnya, segala kekuatiran itu akan melepuh dan menguap bersama kepedihan yang surut ke tepi jiwa.” Sambungnya, “Bukankah aku perlambang keperkasaanmu yang pertama? Tidakkah kau lihat masa mudamu yang jaya di mataku? Ataukah keperkasaan itu jua yang akan meremukkan aku?” Ia merengut, merayu aku.
Oh.. hidup yang cilaka! Apalah dayaku? Baru tahu aku, bakal begini jadinya. Beamu tak terjangkau olehku dan inilah akhirnya.
……………………………………………
Ia terbangun dan mulai merintih, di sela-selanya ia menguap seolah membuang kegetiran yang ditanggungnya. Ia merah, bibirnya merah. matanya berkilat-kilat memancarkan kehidupan, jari-jarinya yang mungil mengepal seolah mencengkeram erat takdir, menantang dunia yang tak menginginkannya. Tetapi ia tak berdaya, ia belum punya pilihan. Karena itu iapun meregang, lemas dan tak bergerak lagi. Seperti pucuk dibantai halimun, terkulai ke tanah dan rebah ke perut bumi.
……………………………………………
Inilah diriku kini, hari-hariku tak pantas lagi disebut kehidupan. Aku telah mati. Aku yang dulu, yang ceria, yang perkasa, yang percaya pada kegemilangan hari esok, telah lenyap. Hilang dalam raung kesakitan dan nyinyir amis darah. warna dan aromanya masuk dan melekat dalam setiap relung jiwaku. Akan kubaui sepanjang hayatku. Siapa yang dapat melepaskan aku? Bahkan debu kotor menari-nari menertawakan aku dengan gelak tawa yang tertahan-tahan oleh kengeriannya.
Inilah diriku kini, burung bul-bul yang dikutuk sendiri. Hidup dalam hari-hari yang getir dan sepi. Hanya bisa mengorek bilur-bilur dicelah kelam malam. Yang baginya; wangi parfum adalah amis nyinyir darah, makanan lezat adalah bara merah dalam perut, canda dan tawa adalah tangis penyesalan dan raungan kepedihan, kehilangan harapan lalu ditinggal kesempatan, yang diazab sesama dan diri sendiri. Seperti si iblis mengharap hukuman, demikian aku menanti keadilan.
………………………………………….
Pada suatu ketika, samar-samar kualami sesuatu dan seperti inilah kira-kira saat itu:
Aku berada didalam diriku dan tak kulihat apapun jua dengan mataku beberapa lama. Aku kaget, kubaui nyinyir amis darah, tapi tak kurasakan apapun. Aku mencari-cari keseluruh penjuru jiwaku, tapi tak kutemukan apa-apa lagi. Samar-samar aku melihat sejumlah orang sedang berkumpul, seseorang diantaranya sedang membacakan kalimat-kalimat tertentu dan orang-orang disekitarnya membalas secara serempak dengan ucapan “Amin” pada akhir setiap kalimatnya. Dalam setiap kalimat-kalimat itu, jiwaku merasakan kengerian. Karena itu, aku berjalan menjauhi mereka, keluar dari tembok-tembok kota. Tapi keadaannya juga hampir sama, disana mataku menangkap kengerian yang lain. Kurasakan dengan jelas, jerit kematian. Raungannya menggetarkan aku. Seorang pemuda dan seorang gadis muda telah menodai kota. Mereka, terhukum itu didera, dilempari sampai mati lalu jasadnya yang hancur dibakar. Kalimat-kalimat yang baru saja kudengar Seolah menjadi kenyataan dalam seketika. Begitu ampuhkah “amin” itu? Jiwaku bergetar hebat, inikah duniaku? Aku benar-benar terpukul, aku tak sanggup lagi menjadi saksi atas semua itu. Aku berpaling, berlari. Aku ingin keluar dari keadaan mengerikan ini, aku tahu ini tidak nyata. Tapi sekali lagi aku tersentak. Di tepi jalan yang kulewati terlihat seorang bocah, setengah telanjang. Meringkuk pada dinding beton, habis menangis dan masih sesengukan. Aku perhatikan di sekujur tubuhnya terdapat bilur-bilur. Berbasa-basi aku bertanya, dan beginilah jawabannya bila aku susun ulang: “Setiap bilur ini aku dapatkan dari setiap rasa malu, bahwa aku ini haram jadah. Lihatlah, dari setiap lukaku mengalir nanah, juga masih mengalir darah segar. Engkau tahu kenapa? Karena setiap kali aku mendapatkan sumpah serapah dari orang-orang yang lewat pada saat itu pulalah timbul luka yang baru. Tetapi kau lihat pula, disekujur tubuhku telah penuh dengan luka dan karena itulah luka-luka ini semakin bertumpuk, berdarah dan bernanah.”
“Karena itukah engkau menangis?” aku bertanya.
“Bukan hanya karena itu, tapi karena semua. Yang sakit bukanlah bilur-bilur ini, tetapi ketakpahaman itu.” Jawabnya sengit, mungkin ia melihat kalau akupun tak paham rasa sakitnya.
Saat hendak berbalik dari tempat itu, ia menghentikan langkahku dengan berujar “Masih ada yang kau tidak ketahui tentang bilur-bilur ini.”
”Apa?”
” Bahwa nanah ini terasa lezat dan darah ini terasa nikmat.” Katanya.
“Kenapa?” tanyaku
“Cicipilah” ujarnya.
Aku menggeleng lalu bertanya sekali lagi ”Aku tak ingin tahu dengan mencicipinya, cukupkan dengan penjelasan saja” kataku.
“Kenapa? jijik? Pikirmu apa alasan orang-orang itu menghina aku? membuat aku malu?” ia berhenti sejenak, memberi aku jeda menyadari diri. Aku menjadi merasa bodoh di hadapannya, aku benar-benar tidak tahu. katanya lagi, ”Mereka, orang-orang itu, suka karena setiap kali mereka menghina aku mereka merasa senang. Senang itu lezat dan nikmat. Kesenangan menjadi tujuan semua orang. Kau sudah paham?” matanya melotot padaku, aku mengangguk-angguk.
“Satu lagi, bagiku penderitaan inipun terasa nikmat tetapi kau perlu bertanya lagi, lanjutkanlah perjalananmu. Carilah jawabanmu sendiri, pikirkan pula jawaban orang lain.” Ia seolah tahu kalau aku masih bingung, aku lalu minta diri.
Ia pun mulai meratap lagi. Bukan karena perihnya luka, tapi karena orang-orang itu. Dalam arah yang kutuju selanjutnya, disebuah perkampungan, samar-samar aku melihat seseorang terusir dari rumahnya. Ia tak terlalu menarik perhatianku karena kulihat cukup tangguh. Dalam percakapanku ia mengatakan bahwa ia tak ingin bertahan, tak mau membuat malu keluarganya. Ada kegeraman dalam dirinya. setelah kutinggalkan di persimpangan, terdengar Ia menyenandungkan kidung-kidungnya, penuh kegeraman. Semakin lama, semakin hilang dan akupun semakin jauh dan semakin lelah. Aku tak mampu lagi melangkah dan terjatuh tak bertenaga lagi.
Kepalaku berat serasa ditindih batu, agak nyeri dibawah kelopak mataku. Ini aku rasakan semenjak peristiwa mengerikan itu. Aku tidak lagi terjaga sepenuhnya, sepanjang hari, sepanjang malam, sehari-hari. Bila mataku kupaksakan menyentuh sesuatu, yang kulihat hanya cicak-cicak tergelak dalam derai tawa. Sesekali dengan sekuat tenaga dan sekuat hati aku ingin bermimpi tetapi kutu-kutu busuk tak mengizinkan aku, para semut bersumpah ingin menggotong aku tetapi aku tak percaya apapun lagi. Sesekali kutepis keinginan mereka dengan jari-jari besarku.
Aku tak lagi pernah tahu, apakah saat ini adalah kemarin atau besok. Tetapi aku juga tak perduli. Semut-semut dan cicak telah menyita perhatianku sepenuhnya. Bila engkau bertanya tentang kesetiaan, mungkin merekalah jawaban itu. Tapi buat apa bertanya? Toh engkau tak kehilangan apa-apa. Sekali-dua ketika mereka mulai terlihat lagi, kadang dadaku memanas, ingin kureamas-remas saja mahluk-mahluk itu, tetapi rasa lemah membangkitkan enggan seketika, begitulah setiap waktu.
Bila rasa lelah dan letih mulai membekap, penglihatanku yang seperti rabun terhadap hari-hariku sepertinya lenyap pelan-pelan. Pada saat-saat seperti itulah mereka satu persatu hadir; mengungkit-ungkit, mendorong, mengangkat bahkan menggigit. Tetapi tak jua mampu membuat aku bergeming. Pada kali lain, aku mencoba bangkit berdiri, segera saja mereka terbirit-birit dengan pasrah dan paksa. Tetapi hanya beberapa saat ketika itu, para cicak bergerombol mengepung aku. Mereka berdecak menggelengkan kepala lalu tergelak dalam derai tawa, menginginkan ketersinggunganku. Aku terpana beberapa saat, aku resapi hinaan itu dan aku temukan ritme dan nada-nadanya tetapi aku masih tak paham. Senandung mereka kumasukkan ke telinga batinku, seluruhnya. Lamat-lamat kurasakan bulu kudukku merinding. Bukan karena takut, tetapi karena aku tertawan oleh pesona; kadang lirih, kadang sinis tetapi indah dan setelah kuselidiki, ternyata hanya punya satu ujung yang masih juga tak kumengerti. Begitu lagi, begitu selalu dan aku masih tak tahu apakah saat ini adalah kemarin atau esok.
Dalam hiruk pikuk yang kecil dan sempit kami ada yang datang, sang Nyamuk. Semut-semut itu bergosip kalau ia datang karena tak disukai dirumah sebelah. Adapun aku, aku tak peduli. Datanglah yang ingin datang, walau petaka sekalipun. Penglihatanku yang seperti rabun terhadap hidup sirna lalu hilang, lenyap. Pada saat itulah sang nyamuk tiba, hampir bersamaan dengan semut-semut itu. Kalau para semut itu tiba tanpa suara, sang nyamuk datang dengan lagu-lagunya yang riang. Aku tak paham maksudnya, tapi nadanya riang dan bersemangat. Ia kadang hinggap di kepalaku, tanganku ataupun kakiku tetapi tak sekalipun ia singgah didepan hatiku. Akupun tak tahu. Kadang aku rasakan ia menggigitku, mencungkilku dan aku membiarkannya saja sama seperti terhadap yang lain. Ia sama saja dengan semut-semut itu, pikirku. Seperti biasanya aku tak bergeming, tapi kali ini lain sama sekali. Aku mencoba melihat semut-semut itu, aku mencari kemana-mana, dibawah ketiakku, ditelingaku, dimulutku, diselangkanganku, disakuku, bahkan diperutku juga. Aku tak melihat yang lain kecuali dua, dijari-jari besarku. Aku kaget, bahkan lagu-lagu para cicak itu tak kuperdulikan lagi. Aku dicekam rasa marah, aku merasa kehilangan, aku merindukan mereka tetapi mereka telah pergi.
Dan inilah akhirnya, semut yang dua itu tak lagi datang dan pergi. Mereka telah tinggal bersamaku. Kadang kuelus-elus kepala mereka dan kamipun tertawa-tawa. Sementara itu, sang nyamuk terlihat makin tambun. Ia tak pernah alpa bahkan kadang datang dengan kawannya yang lain. Mungkin kolega-koleganya, tetapi aku tak perduli padanya. Lagu-lagunya mulai memuakkan aku. Dan para cicak-cicak itu, aku kian akrab dengan mereka. Kadang aku turut bernyanyi bahkan menciptakan lagu-lagu baru. Diwaktu-waktu lainnya, semut yang dua itu juga ambil bagian, kuelus-elus kepala mereka dan kamipun tergelak-gelak dalam derai tawa.
Begitulah hari-hariku akhir-akhir ini, bahkan kubuat jerujiku sendiri; jeruji kami barangkali. Kadang aku teringat pada muda-mudi itu, pada para tukang ceramah itu, pada anak kecil haram jadah itu, juga pada Cioka. Air mata lalu menetes, mencuci hati yang terkoyak, membasuh tangan yang berdarah ini. Aku sudah tak mampu melihat apapun, bahkan apapun aku sudah tak mampu. Semua sudah menjadi gelap. Lalu semut yang dua itu dan para cicak mengangkat aku, kini dengan enteng. Tubuhku telah menjadi ringan. Ambillah, ambil saja semua juga kalian. Aku tak butuh apa-apa lagi untuk diriku. Kami, setelahnya berdendang dengan nada-nada yang tetap sama; lirih, dan nyinyir. - dream blog -
Rabu, 30 Januari 2008
Generasi Whatever
Gue bisa bilang kalo generasi sekarang adalah generasi yang gak punya karakter. Soalnya menurut gue, generasi sekarang kurang bisa menunjukkan sesuatu yang signifikan. Let's say dari masalah gaya.
Biarpun jaman sekarang untuk urusan style nomer satu, tetep aja kalo mau diperhatikan semuanya seragam. Kaos, boxer, semuanya beli di Distro. Boxer dibalut celana skinny jins yang tentunya pemakaian boxer harus kelihatan. Sepatu keds macam convers, vans, dan tentunya gaya rambut mohawk lancip ke atas.
Buat yang cewek juga, semua baju bisa beli di distro, celana skinny, dan tentunya sepatu teplek ala ballerina. Buat aksesoris kalung bebatuan. Dan gaya yang gak boleh ketinggalan: handphone! Biar pulsa tiris, paling gak bisa ngobrol selama 2 detik. Huahhahaha tai, tai.
Dengan gaya yang nyaris seragam, tentunya yang jadi "pusat" siapa lagi kalo bukan mereka yang dikasih kelebihan fisik. Kalo nongkrong bareng, pasti yang jadi perhatian cuma mereka yang punya muka cantik, ato ganteng. Dan menurut gue, demi menang dalam persaingan, elo harus tau apa potensi lo. Tampang pas-pasan, kantong gak tebel-tebel amat, peralatan gaul juga seadanya. Kekurangan kayak gitu harus bisa diakalin biar terlihat kinclong.
Semakin sadar ama potensi lo, semakin buat lo jadi jutawan. Coba saja liat demam distro belakangan ini. Jutawan-jutawan muda yang ada di balik nama-nama distro dan clothing company, adalah salah satu contoh mereka yang mampu melihat peluang. Dan jangan kemudian loe ikut-ikutan untuk bermimpi memiliki distro juga. Karena kalo udah begini nggak ubahnya lo ama pengekor, percuma baca tulisan gue.
Well, gue bisa bilang jama sekarang ni adalah jaman yang paling enak buat ngelakuin sesuatu. Semua ada di depan mata, peluang banyak. Tinggal masalahnya elo berani kagak mengambil resiko. Berani menjadi Trend Setter ketimbang menjadi pengikut belaka. Yang penting elo kudu berani nentuin sikap. Berani mengambil resiko ato gak.
Ketika gagal, kita jadi bisa belajar. Kenapa kita bisa gagal, dan membuat kita sadar kalo kita tidak boleh ngulangin kegagalan itu lagi. Nah sekarang marilah kita membuat diri kita lebih "kinclong" lagi, dengan sebuah perbuatan yang berbeda dari yang sudah dilakukan. Jangan sampe generasi kita, cuman jadi generasi whatever, generasi yang bisanya cuma mikir "gimana ya kalo gue bikin gini... nantinya gimana ya?". Jadi siap gak jadi generasi kinclong? Sekian dan terima kasih (halah kok kayak kata sambutan perbaikan gedung?) - dream blog -
/ Rabu, Januari 30, 2008 0 komentar
Kategori: Opini
Senin, 28 Januari 2008
Sindrom "Botol"
Seiring dengan perkembangan jaman, istilah "botol" kini telah memasuki dunia fashion (desain celana). "Celana botol", begitu orang-orang menyebutnya, adalah model celana yang lagi ngetrend hari ini, dengan ukuran yang kecil, bawahan yang kecil, ketat membalut pinggul hingga kaki. Kaos junkiest, sweater, sepatu ala balerina (sepatu kets bagi kalangan cowok) dan ikat pinggang besar adalah pasangan wajib dalam penggunaan celana botol. Ditambah lagi potongan rambut nge-bob dan celana kolor boxer yang sedikit nampak di atas pinggul. Suitt suiiitt... sexy bukan?
Sebagian orang akan berpikir, generasi hari ini tidak berkarakter, norak, plagiat, dan lain sebagainya. Namun bukan masalah bagi kalangan penggemarnya. Mereka akan berkata, "Inilah kami, generasi yang lahir di masa kini. Toh generasi yang lalu, pernah lahir dengan celana model senapan dengan kemeja kotak-kotak dan kacamata rayban".
Apa yang salah dengan hal ini? Bukankah tiap jaman akan lahir dengan generasi dan trend yang berbeda? Layak tidaknya suatu hal hanya ada di tangan konsumen. Perkembangan jaman yang diikuti dengan generasi dan trend yang berbeda senantiasa menjadi bahan perdebatan. Entah ditinjau dari etis tidaknya, layak tidaknya, atau bahkan rasional tidaknya.
Di luar dari itu, coba kita lihat suatu hal unik yang ditampakkan oleh penggemar trend hari ini, khususnya wanita. Tidak dapat dipungkiri, memang pada umumnya wanita penggemar celana botol memiliki bentuk pinggul dan kaki yang indah, namun sejengkal di atas pinggul, tampak timbunan lemak menyerupai tas pinggang yang tak ingin ketinggalan tuk diperhatikan.
Besarnya keinginan generasi hari ini dalam mengikuti trend mampu membutakan mereka akan adanya setumpuk lemak yang perlu dibakar. Setahu saya kaum wanita menginginkan bentuk perut yang rata dan langsing. Ataukah tumpukan lemak di perut juga telah menjadi trend masa kini? I dunno.
Sedianya lingkaran kecil botol berada di bagian atas dan lingkaran besar berada di bagian bawah. Berbeda dengan celana botol, yang lingkaran kecilnya berada di bawah dan lingkaran besarnya berada di atas. Lantas mengapa dikatakan celana botol?
Jika ada waktu senggang, luangkan waktu untuk mampir ke kafe dan memesan sepiring makanan tanpa lemak serta sebotol minuman tanpa celana.
NB: Sepuluh tanya menyertai celana botol
1. Bagaimana kalau kebanjiran selutut?
2. Bagaimana kalau kebelet pengen boker?
3. Apakah aliran darah ke kaki tidak terganggu?
4. Ikat pinggangnya ada, tapi kok celananya masih kedodoran?
5. Btw, CD nya sengaja dipamerin ya?
6. Bagi yang gemuk, apa gak takut ama penjual sate?
7. Celana second kan lebih lentur dan ringan, kenapa bukan itu aja?
8. Apa gak risih, lekuk tubuhnya jadi tontonan orang (palagi pake napsu?)
9. Ada gak ya jilbab yang model botol?
10. Emang enak ya pake celana botol, ato cuman ikut-ikutan aja?
/ Senin, Januari 28, 2008 0 komentar
Kategori: Opini
Jumat, 25 Januari 2008
Kemarau
Kepada masa yang mendengkur panjang
Dijawab oleh igauan tanah dan bebatu
Dalam butir-butir keringat dikiranya anak hujan
Sejak kapan berangkat, ia tak tahu
Sebab suaranya mulai parau
Seringkali di sepanjang jalan
Dikecupnya kehangatan dedaunan
Yang bersorak ke arahnya lantang
Sebelum diminum matahari telanjang
/ Jumat, Januari 25, 2008 0 komentar
Kategori: Syair
Kamis, 10 Januari 2008
Get Ready fo da new Lifeee
Hip hip hurray... Kemarin nilai mata kuliah sudah keluar dan hasilnya lumayan memuaskan. Sekarang IPK sudah melewati target. Dan kini tinggal ujian meja alias sidang akhir... huiii swenenge atikyw. Dan yang lebih menyenangkan lagi, kalau aku bisa dapat nilai A untuk skripsiku... IPK-ku bakalan melonjak jauh melewati perkiraanku. Dan satu lagi, kalaupun nilai itu dirubah menjadi yang terendah... IPK-ku tidak sampai anjlok melewati batas targetku. Sip....
Tapi bukan berarti aku begitu mendewakan sistem penilaian yang dibuat oleh sekolah. Tidak mutlak seorang dengan nilai terbaik adalah yang terbaik. Justru mungkin malah sebaliknya. Sebenarnya, tidak berarti huruf-huruf dan angka-angka itu. Itu tidak lebih dari interpretasi para penentu kebijakan nilai yang juga manusia biasa, yang juga berarti tidak luput dari kekeliruan. Bahkan lebih sering keliru ketimbang benarnya. Bukankah persepsi manusia itu sifatnya relatif? Misalnya, pernah, Ichal salah satu temanku tidak diluluskan pada salah satu mata kuliah, padahal menurut persepsi kami dia paling berhak dapat nilai terbaik. Tapi kenyataannya menunjukkan bahwa persepsi kami dengan persepsi dosen berbanding terbalik seperti hitam dan putih, ada dan tiada, atas dan bawah. Tolak ukur kami dengan dosen dalam memberi penilaian mungkin berbeda, tapi kami tidak habis pikir parameter apa yang digunakan dosen sampai-sampai tidak meluluskan Ichal. Padahal jika menggunakan tolak ukur pada umumnya, dia sudah pantas lulus, meskipun tidak dengan nilai memuaskan. Akhirnya kami sampai pada kesimpulan bahwa tolak ukur dosen itu karena Ichal jeleeek. Udah hitam, kriting, pendek, idup lagi. hihihihihihi sori cal
Setelah aku pikir-pikir sampai jungkir balik (halah), aku memutuskan untuk tidak mau lagi melanjutkan studiku ke jenjang yang lebih tinggi. Ketika aku wisuda nanti, cukup sampai di situlah urusanku dengan dunia sekolah. Aku tidak ingin mengorbankan apa-apa lagi dari kedua orang tuaku. Sudah saatnya untuk mengambil langkah yang aku rasa paling tepat demi pembangunan mimpiku. Tapi bukan berarti aku berhenti dari dunia pendidikan. Bagiku pendidikan adalah seumur hidup, dan pendidikan tidak sama dengan sekolah. Aku bisa mendapatkan ilmu meski bukan di sekolah. Bahkan menurutku ilmu justru lebih banyak tersebar di luar ruang-ruang sekolah. Minimal, kalaupun suatu saat nanti aku berubah pikiran dan ingin melanjutkan sekolah, pastinya 1). biaya dari diri sendiri; dan 2). tidak akan lanjut di Indonesia. Kecuali negeri ini bertobat dan kemudian bangkit dari kebobrokannya. bagaimana tidak, sudah mahal, kualitas jeblok.
Kemarin, salah satu teman dari Equilibrium (komunitas peduli alam di kampusku) menikah. Namanya jen, dia adalah 'Ibu' kami kalau sedang mendaki gunung. Meskipun di puncak udara dingin, ransum pas-pasan, tapi kalau ada Jen, pasti makanannya enak. Salah satu dari segelintir cewek yang punya hobi naik gunung. Tapi meskipun dia cewek, kemampuan fisiknya mirip Flinstones. Kita udah ngos-ngosan sampai nafas bunyi peluit, dia masih biasa saja. Ini cewek apa batu ya? Sampai hari pernikahannya kemarin, aku baru yakin kalo Jen itu bener-bener cewek. Acaranya berlangsung di gedung mewah, sangat meriah. Makanannya super enak, dan pakaian para undangan begitu mewah. kondisi ini begitu jauh berbeda ketika kami sama-sama di puncak. Dan ternyata Jen bisa juga ya pake bedak. Selamat yah, Jen... Setelah pensiun dari mendaki gunung, akhirnya giliran kamu yang didaki! xiixixxixixi.. Mungkin di lain kesempatan, aku ingin upload hasil foto-foto kami di acara pernikahannya kemarin. - dream blog -
/ Kamis, Januari 10, 2008 0 komentar
Kategori: Diari
Senin, 31 Desember 2007
Selamat tinggal desember!
Selamat tinggal sobat, terimakasih atas kedatanganmu kali ini. Akhirnya besok kamu harus pergi lagi. Dan kalau umurku masih panjang, tahun depan tentu kita akan bertemu lagi. Aku selalu kangen dengan kedatanganmu yang setahun sekali itu. Selalu saja banyak hal yang ingin aku ceritakan setelah setahun kita berpisah. Masih ingat tidak, rencana yang aku bangun ketika engkau datang tahun lalu? Ada rencana yang berhasil terwujud, ada pula yang belum terwujudkan, padahal waktunya sudah lewat. Maaf sobat, aku sering mengecewakanmu. Tapi yang terpenting, aku mendapatkan banyak pelajaran dalam rentang waktu itu. Bukankah kita sepakat bahwa kita harus lebih berorientasi pada proses ketimbang pada hasil?
Teman, besok kamu pergi lagi. Tapi sebelum kamu pergi, mari kita menyanyikan lagu kenangan khusus untukmu dan untukku. Lagu yang ada nama kamu di judulnya.
Oh iya, seperti biasa, malam ini begitu banyak orang yang merayakan kepergianmu. Coba lihat jalanan-jalanan itu, penuh sesak sampai di ujung sana. Macet total. Mereka jelas mau pergi merayakan kepergianmu. Betapa banyaknya kembang api dinyalakan, bersahutan, di langit gelap membentuk sinar berwarna-warni. Semua itu untuk merayakan kepergianmu. Malang sekali nasibmu, sobat. Semua orang bersuka cita atas kepergianmu!
Tapi tenang saja, masih ada aku di sini bersamamu. Aku akan menemanimu hingga detik terakhir kepergianmu. Aku tidak merayakan kepergianmu, karena aku tahu bahwa sesungguhnya hari ini sama sekali tidak pantas untuk dirayakan. Tetapi akupun tidak akan bersedih atas kepergianmu, karena aku tahu kau akan datang lagi. Dan aku tahu kamu tidak pernah mengingkari itu.
Aku ingin berjanji padamu, sobat. Saat kita bertemu lagi nanti, aku akan lebih baik lagi dari kali ini! See you december!!! Let's sing our song...!!!
A long december and theres reason to believe
Maybe this year will be better than the last
I cant remember the last thing that you said as you were leaven
Now the days go by so fast
- dream blog -
/ Senin, Desember 31, 2007 0 komentar
Kategori: Diari
Minggu, 16 Desember 2007
Sang Pemburu (Epilog)
Baca dulu: Sang Pemburu (Prolog), dan Sang Pemburu
Matahari bersinar cerah, menerpa dedaunan. Butir-butir embun berkilau bagai mutiara. Ia perhiasan pagi. Seekor pipit terbang sendiri, celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan. Tidak tenang, hinggap pada sebuah ranting semak. Sesekali berkicau, tetapi bukan bernyanyi; seperti memanggil-manggil. Tak lama setelahnya, serombongan pipit lain menghampirinya lalu keadaanpun menjadi ramai dalam kicau, riang dan gembira. Lompat ke sana kemari, dari ranting yang satu ke ranting yang lain. Tak lama, rombongan itupun terbang bersamaan ke arah datangnya rombongan itu.
Di bawah mereka, air berarak tak sabar. Dorong mendorong, sesekali buih tumbuh dari riaknya lalu lenyap dalam desau. Suara-suara pipit juga tertelan olehnya tetapi tak lama dan lama kelamaan nyanyian mereka terdengar dengan lebih jelas. Mereka terbang semakin jauh, garis-garis membentuk kotak mulai tampak di bawahnya. Semakin dekat, kotak-kotak itu semakin hilang digantikan dengan hamparan hijau kekuningan. Rombongan itu terbang rendah lalu hinggap dan menyatu dalam hamparan. Mereka berpesta dengan lagu-lagu riang yang tanpa akhir. Tapi pesta itu tak berlangsung lama, sebuah suara teriakan yang keras merusak pesta. Para pipit seketika kacau balau, melesat ke langit membelah awan.
"Hush! Hush!" seorang petani terlihat gusar, ia tak rela padi-padiannya dipanen para pipit sebelum dirinya. Besok baru padi-padi ini dipanen, setelah itu kalian baru boleh mengambil bagian. Petani itu menggumam sendiri. Para pipit yang terserak panggil memanggil dan kembali menyatu sebagai kawanan di angkasa biru lalu menukik dan hinggap pada sebuah pohon. Suasana mereka riuh seolah sedang saling bercerita kepanikan masing-masing.
Sementara itu, di hamparan yang lain segerombolan orang sedang larut dalam hiruk pikuk musim panen. Menuai bulir-bulir dan mengumpulkannya jadi satu. Harum aroma jerami menusuk semangat dan harapan mereka. Anak-anak tak mau ketinggalan dalam keriangan; berkejaran di pematang, meniup bunyi-bunyian dari batang jerami, mengumpulkan bulir-bulir yang tercecer, bermain-main dengan kerbau yang sedang memakan jerami.
Di sudut hamparan yang lainnya, seorang anak kecil sedang berkejaran dengan dua ekor anjing berwarna putih dan hitam di atas pematang. Anak itu juga masih belia. Sepertinya sedang bermain-main dengan riang, tetapi juga berteriak-teriak "Hush! Hush!" kemudian kembali lagi ke sebuah rumah sawah tak berdinding di tengah hamparan itu. Ia bertelanjang dada. Pada pinggulnya melilit pewo, celana yang terbuat dari kulit kayu.
Ketika tiba di pondok, ia berseru-seru "Ibu!, ibu!...kami sudah lelah, lapar!". Seorang perempuan muda lalu terlihat menuruni tangga, membasuh kaki dan tangan anak kecil itu. "Naiklah, biar ibu yang menghalau burung-burung itu." Katanya sambil mengangkat anaknya "Makan yang banyak, supaya kamu cepat besar." Ujarnya lagi sambil menyuapi anaknya. Setelah anak itu selesai makan, sang ibu melanjutkan pekerjaannya. Rupanya ia sedang merajut daun pandan dan rotan. Bermacam-macam yang sudah dirajutnya; bakul, topi lebar, tikar.
Menjelang sore, mereka baru kembali ke rumah, sang anak memberi makan ayam-ayam sedangkan ibunya membersihkan diri di pancuran lalu duduk-duduk di beranda menikmati senja.
Sang anak berdiam di depan lalikan, mempermainkan ranting kayu yang sedang terbakar. Sesekali kepalanya menoleh ke arah pintu. Ia seperti sedang kesal, hatinya galau. Anak anjingnya melolong-lolong, seperti sedang menangis. Mungkin mereka sedang merindukan induknya seperti ia sedang menantikan ayahnya. Ibunya membawakan anak-anak anjing itu air nasi yang dicampurnya dengan kaldu daging, anak-anak anjing itupun berhenti melolong. Tetapi wajah sang anak tetap murung.
Sementara itu, ibunya yang sedang sibuk memasak makan malam sebenarnya juga sedang gelisah. Bukan baru sekali ini, melainkan setiap kali suaminya pergi berburu. Terlalu banyak yang mulai ditakutkannya; dirinya dan anaknya, suaminya. Ia sesengukan. Tetapi karena tak mau anaknya mengetahui kegundahannya, buru-buru ia menarik nafas lalu menghembuskannya keras-keras seolah sedang batuk. Ia menoleh pada anaknya lalu kaget karena ternyata anaknya sedang memperhatikannya, mereka saling bertatapan. Ia kikuk, tak sepatah katapun mampu diucapkannya untuk mengalihkan suasana. Sang anak mendekati dan merangkul Ibunya, mereka pun larutlah dalam satu perasaan tanpa kata-kata.
Setelah suasana hatinya agak tenang, sang Ibu pun bertanya "Kamu sudah lapar?" Sang anak hanya menggeleng. Ibunya kembali terdiam, ia tahu benar perasaan anaknya. Meski masih kecil, ia telah mampu memikirkan hal-hal yang dekat dengan dirinya, mengidentikkan perasaannya dengan perasaan mereka, menganggap mereka itu bagian dari dirinya. Tak perduli itu binatang, tumbuhan maupun kawan-kawan sebayanya.
Ia teringat, pernah suatu kali seorang kawannya dicubit sampai menangis oleh Ibunya karena tidak menggembalakan kerbaunya. Anaknya marah dan berteriak-teriak meminta agar telinga temannya dilepaskan. Apalagi dengan anak-anak anjingnya? Memikirkan semua itu, hatinya kembali tenang, kesedihannya berganti pikiran-pikiran tentang akan seperti apa anaknya kelak.
Sang anak sebenarnya telah tertidur di bahu Ibunya ketika tiba-tiba riuh rendah anjing-anjingnya mengagetkannya. Dengan sigap, Ia berlari kearah pintu. "Ibu! Bapak pulang! Bapak pulang!" serunya kegirangan meski ayahnya belum muncul dan baru anjing-anjingnya yang tiba mendahuluinya. Bagi mereka, hal itu adalah pertanda kalau Sang Pemburu sudah pulang. Tak lama kemudian, ayahnya telah terlihat di tangga.
"Panggil ibumu, bantu bapak." Kata ayahnya kepadanya, tetapi yang diperintah malah berlari ke kolong rumah. "Kekasihku!, bantu saya mengangkat barang-barang ini!" serunya memanggil isterinya.
Malam itu, sebuah keluarga kembali berkumpul. Semua kekuatiran seolah luruh seketika. Larut dalam malam kebahagiaan. Berbumbu madu beraroma harum daging diselingi cerita Sang Pemburu kepada keluarganya, disambut kekaguman dan rasa bangga anak dan isteri.
Selalu begitu, begitu selalu. Meski begitu, siapa yang bisa meluruhkan kegundahan? walau kekuatiran mereka polos dan sederhana saja, tidakkah itu pertanda? Bahkan binatang ternak memiliki naluri yang sama. Dan Sang Pemburu? Ia pun hidup dalam bayang-bayang kebetulan, tak lebih. Ia hanya bisa meraba-raba bahasa alamnya.
Ketika rembulan tampak sebagai sabit, separuh atau bak penampih sang dewata, ia menunjukkan pesannya sendiri. Angin gemunung membawa wanginya sendiri, tergantung ia berhembus dari mana. Arak-arakan awan dilangit, garangnya sang mentari, cerahnya pagi atau muramnya senja membawa pesan cuaca bagi mereka. Rangkaian bintang gemintang tampil mengabarkan pesan kapan mereka sebaiknya berburu dan kapan sebaiknya menyemai. Bahkan riak dan desau air juga adalah pesan yang lain. Kesemua itu pertanda, alam tak pernah alpa menghadirkannya.
Mereka ini pun telah maklum. Sayang, di hati anak-anak matahari itu sudah mulai tertambat jarak. Jarak yang lambat laun mulai membelah diri...
/ Minggu, Desember 16, 2007 0 komentar
Kategori: Cerpen
Sabtu, 15 Desember 2007
Puisiku
Puisiku bukanlah lautan memabukkan
Dalam arak-arakan kata yang sumringah
Apalagi undangan atas decak kagum dari gigimu
Melainkan sedikit cubitan di pinggul yang kau biarkan tersibak
Sebab duniaku sudah terlalu lama gila
Oleh secolek kegembiraan yang samar-samar
Dari mimpinya semalam
Hingga tak dihiraukannya luka dan perih di sekujur tubuhnya
Puisiku bukanlah pula samudera kepedihan
Dalam karnaval kata-kata yang berduka
Tidak pula elusan atas umpatan yang tertahan di tenggorokan
Melainkan kutukan atas penderitaan yang terhirup secara paksa
Agar terdengar di telingaku sendiri
”sungguh semua ini tak berterima bagi kemanusiaan”
Agar terangkatlah selubung, menyatalah dunia kita
Agar lenyaplah nelangsa dan bergandenganlah tangan
Sebab tiada guna puja-puji
Yang menyembunyikan kejahatan dalam licinnya lidah
Atau umpatan dan cibiran
Atas kegembiraan yang sepatutnya dirasai - dream blog -
/ Sabtu, Desember 15, 2007 0 komentar
Kategori: Syair
Jumat, 07 Desember 2007
SE yang Tertunda
Targetku untuk selesai kuliah bulan 12 tahun ini terpaksa harus diundur sampai bulan maret tahun depan. Kendalanya, bukan karena skripsi tetapi lebih kepada berkasku yang tidak lengkap. Padahal untuk mendaftar ujian meja, ada beberapa berkas yang harus dikumpul. Nah, salah satu atau salah dua dari syarat berkas itu yang aku tidak miliki. Tepatnya, fotocopy ijasah SMU yang sudah dilegalisir oleh sekolah. Sekedar info, ijasahku mulai dari SD sampai SMU, plus akta kelahiranku hilang! Dan untuk menemukannya kembali sepertinya kecil kemungkinannya. Selama kuliah di kota ini, aku pindah tempat tinggal sebanyak 4 kali. Dan bila kuingat-ingat, lokasi kehilanganku berada di tempat tinggalku yang ke-2, tepatnya di tengah kota yang jauh dari tempat tinggalku saat ini. Lagipula, tempat itu kini sudah dibongkar dan di atas tanahnya berdiri kokoh ruko-ruko dan tempat perbelanjaan. Jangankan lembaran kertas mirip ijasah, puing-puing rumahku pun bahkan sudah tak tampak sedikitpun. Semuanya sudah berubah.
Ketika urusan ijasah itu sudah kelar, pendaftaran ujian untuk wisuda bulan 12 tahun ini telah tertutup. Bueekk. Aku harus menunggu lagi ujian selanjutnya, tentunya untuk wisuda bulan 3 tahun depan. - dream blog -
/ Jumat, Desember 07, 2007 0 komentar
Kategori: Diari