Satu-satu embun menepi
Memberi jalan hari yang tergesa
Hendak kemana hai kembara
Bahkan kasutmu belum lagi terikat?
Garang matahari menumis rambut
Peluh meleleh hampir matang
Bebatu blingsatan melabrak jejari
Hidung mendengus, mulut mengumpat
Waktu berjingkrak memeluk malam
Saat pulang, kuda pacu bernyanyi
Cacing menjerit mendera lambung
Saat tiba hadiahnya hanya air putih; asem
- dream blog -
Sabtu, 31 Maret 2007
Hadiahnya Air Putih
/ Sabtu, Maret 31, 2007 0 komentar
Kategori: Syair
Kamis, 22 Maret 2007
Hakikat Suka & Duka
Sekali waktu kita akan tertawa, di saat yang sama air mata telah menyiapkan dirinya untuk satu bahkan berkali-kali usapan. Di waktu lain, kita akan larut oleh kemalangan, tangan-tangannya yang mengerikan seolah memerangkap kita begitu kuat sehingga kegelian akan sesuatu yang patut atau tidak patut disunggingi senyuman seperti biasanya terasa hampa saja. Di saat-saat seperti itu kerapuhan seolah menunjukkan dirinya. Akan terlihat seperti apa wajah kekuatan dan bagaimana rupa kelemahan.
Sesungguhnya kehidupan adalah parade kerapuhan! Demikian pesan petaka, datang pada kita lewat makna-makna derita yang mengikutinya. Hanya mata yang awas akan dapat menangkapnya.
Lalu tibalah mereka itu, orang-orang yang telah datang dari lembah kemalangan. Ditanggalkannya luka itu, tapi bukan untuk kembali ke rumah duka melainkan tiada kemana-mana. Sebab sejak saat itu, seluruh sudut kini adalah rumah duka baginya dan seluruh makhluk kini adalah kawan berbagi duka. Tetapi tidak juga ia datang membawa dukanya bagi mereka melainkan mengambil dan mengangkat duka-duka mereka ke atas punggungnya sendiri sehingga terlihatlah oleh mereka itu kalau tiada lagi yang pantas mereka sesali dan tangisi.
Aku terlibat dalam sebuah kelompok pecinta alam atau tepatnya penggiat alam bebas. Semula, aku menjalaninya atas dasar minat. Tetapi apa yang kudapatkan lebih dari yang kuharapkan. Di sanalah kesadaranku yang pertama tentang kehidupan kemanusiaan tergelitik. Bahwa kehidupan di alam luas tidak semata-mata ada kegembiraan, tetapi juga ada kepedihan; kepedihan yang lahir dari kegembiraanku.
Beberapa kali kami melakukan ekspedisi ke gunung-gunung dan pedalaman. Beberapa kampung yang pernah kami datangi akhirnya lenyap tersapu longsor dan banjir. Aku berduka dan sangat menyesalinya.
Di beberapa tempat yang dahulunya kuakrabi itu, aku mendapati sisa-sisa kemalangannya di lembar-lembar koran, berita, di TV, manusia. Sementara aku mengabunginya, ada kulihat empati dan simpati yang mengalir. Tetapi semua itu tak mampu menggantikan rasa yang hilang pada diriku, terlebih pada mereka. Dan hati kita memang sudah busuk, dalam keadaan seperti itu kita masih ingin mengambil manfaat untuk kepentingan diri dan kelompok kita sendiri; promosi dan pencitraan, bisnis dan politik. Bahkan dengan kejam kita masih sempat membuat tuduhan dari balik lembaran-lembaran kertas kerja kita, bahwa petaka itu akibat dari kesalahan mereka sendiri.
Aku berada di antara kehidupan kotaku yang modern dan kehidupan mereka yang sederhana dan bersahaja. Untuk kembali ke kehidupan lamaku yang penuh optimisme dan ambisi kubaui kesia-siaannya, tetapi menjalani kehidupan seperti orang-orang desa aku belum mampu.
Sungguh, hidup ini saling jalin menjalin dan tak ada satupun yang benar-benar lepas satu dengan lainnya; bahwa dalam sepotong kebahagiaanmu terkandung duka derita setiap mahluk, di setiap sudut kepedihanmu ada kepuasan dan kegembiraan semesta. Kebahagiaan dan penderitaanmu adalah masa depan kehidupan, nikmat dan pedihmu itulah kebahagiaan, nikmat dan pedihmu itulah penderitaan. Yang perlu kau kuatirkan hanyalah bila kau sudah mati rasa, sebab itulah petakamu yang sesungguhnya, petaka kemanusiaan.
Maka seyogyanya setiap kegembiraanku tidak membawa penderitaan bagi mahluk lain, atau biarkan kesukaranku merekahkan senyum bagi mereka yang menderita dan lagi, biarkan kesenanganku terbagikan menjadi kesenangan setiap makhluk. Bukankah ini semangat yang telah lenyap itu? - dream blog -
/ Kamis, Maret 22, 2007 0 komentar
Kategori: Refleksi
Minggu, 11 Maret 2007
Bea Kedamaian
Malam diam memendam riak
Menyimpan amarah, menumpuk teriak
Tercekik kerongkongan terendam dahak
Telinga tuan tak hendak pekak
Menjulur kelu lidah sahaya budak
Di rerimbun pohon oak
- dream blog -
/ Minggu, Maret 11, 2007 0 komentar
Kategori: Syair
Minggu, 04 Maret 2007
KKN di PT. Jamsostek
Hari kamis tanggal 1 kemarin adalah hari pertamaku masuk KKN di PT. Jamsostek. Sebelum bisa membayangkan apa-apa, saya sudah mendengar dari teman-teman yang juga pernah KKN di situ, bahwa pekerjaannya paling-paling cuman disuruhi lubangi kertas, menyusun surat-surat yang jumlahnya bejibun, atau mem-fotokopi. Aku dan seorang teman kampusku yang juga KKN di sini, Indin, memilih masuk siang (dari jam 1 sampe jam 5 sore) karena kuliah kami rata-rata pagi, supaya tidak bentrok dengan jadwal KKN. Ternyata bukan cuma kami berdua yang KKN di Jamsostek, tetapi banyak dari universitas lain, seperti Stimik Dipanegara, UMI, Universitas 45, dan Akba. jumlah kami sekitar 12 orang, dan kebanyakan cewek. Cowok cuma saya berdua ditambah seorang lagi dari stimik. Hari pertama itu kami cuma diberi materi mengenai jamsostek secara sekilas. Setelah itu pembagian penempatan divisi bagi peserta KKN. Karena aku dan Indin masuk siang, maka kami belum mulai KKN hari itu, dan divisi kami belum ditentukan.
Dan benar saja, esoknya, hari kedua yang aku lakukan adalah sama seperti apa yang temanku pernah bilang; menyusun surat-surat iuran sesuai nomor urutnya atau stempel surat, dan semacamnya. Busyet, seandainya saja aku tidak ambil 3 matakuliah sambil KKN ini, pasti aku memilih KKN reguler ke desa-desa, yang pastinya seru, tidak terlupakan, dan yang terpenting sangat cocok dengan seleraku. Ya cuma gara-gara nginget klo ada kuliah, mau gak mau ambil KKN profesi ini biar bisa gampang bolak balik kampus.
Hari keduaku masuk itu yang pertama aku (dan teman KKN-ku, Indin) lakukan adalah duduk menunggu selama kurang lebih sejam. Setelah itu kami diajak masuk dan bertemu dengan seorang bapak bersetelan rapi, kumis yang tipis beruban, yang belakangan kutahu namanya adalah pak Syarif. Dia adalah kepala divisi keuangan di PT. Jamsostek ini. Dan ketika kami tahu kalau kami ditempatkan di divisi keuangan ini, tiba-tiba di pikiranku langsung berkelebat bayangan pelajaran-pelajaran akuntansi yang bikin pusing itu. Untungnya kebanyakan aktivitas keuangan katanya sudah terkomputerisasi.
Sekitar sejam kami mendapat penjelasan dari pak Syarif, masih tentang jamsostek, tapi kali ini sedikit lebih detail hingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan tiap-tiap divisi, termasuk keuangan ini. Pembicaraan kami bertepuk sebelah tangan, karena aku yang dari kemarin kurang tidur, jadi mengantuk. Indin saja yang sesekali mengomentari penjelasan dari bapak. Susahnya menahan kantuk, saat mau menguap jadi tidak enak sama pak Syarif (takut ketahuan), tapi sialnya dia cuma sekitar satu meter duduk di depanku. Kalau aku akan menguap, terpaksa aku tahan sekuat tenaga, jadinya bukan mulutku yang menguap, tapi lubang hidungku yang melebar hingga kelihatan mirip hidungnya kudanil. Pasti pak Syarif tahu kalau aku bete.
Setelah menit-menit itu berlalu, kami diajak bapak untuk berkenalan dengan staf-staf di divisi ini; ada pak Teguh dan bu Ori. Sekilas wajah mereka ada kemiripan, hingga awalnya kupikir mereka bersaudara. Kedua staf ini jelas orang jawa, dari aksennya kental sekali logat jawanya. Sesekali mereka berdua menggunakan bahasa jawa yang dicampur-aduk dengan bahasa indonesia serta sesekali logat makassar yang terkesan kaku. Kata-kata seperti ini yang sering aku dengar dari pembicaraan mereka: 'sek to', 'yo wes', 'piye to', 'yo gak lah', 'opone'. Ballassi daembecakka. Selain mereka berdua, ada lagi salah satu staf dari divisi umum, seorang pria paruh baya yang gemuk, perutnya buncit. Orang-orang memanggilnya 'haji', padahal penampilannya sama sekali tidak mirip haji pada umumnya. Gerakannya cepat, lincah, dan kancing bajunya sengaja dibuka sampai bulu-bulu di dadanya kelihatan. Sekilas, dan hanya sekilas, bau keringatnya seperti minuman tequila, tetapi saya sarankan untuk sekali-kali tidak mencium bau keringatnya dalam-dalam. Anda bisa kejang-kejang seketika. Mereka semua baik, mudah akrab, seperti pak syarif dan orang-orang lainnya yang ada di sini.
Dan selanjutnya pekerjaan dimulai. Sambil mengerjakan hal-hal yang sama persis seperti yang teman-temanku pernah katakan, Kami duduk di depan jendela yang menghadap tepat kepada universitas 45. Membuatku teringat akan salah satu sahabat terbaikku, Nanang yang dulu DO dari Unhas dan sekarang kuliah di univ. 45. Mungkin di salah satu jendela-jendela itu, Nanang juga sedang menatap bangunan ini, pikirku. Hingga menjelang magrib satu per satu orang-orang mulai pulang, dan kami pun bersiap-siap pulang... sambil berharap hari-hari selanjutnya akan lebih baik dari hari ini. - dream blog -
Jumat, 02 Maret 2007
Ukurlah Bayang-Bayang Setinggi Badan
(cerpen perdana)
Tempat tinggal kami dulunya hingga kini terbuat dari sisa-sisa kayu, bambu, kulit kayu, dan atapnya terbuat dari daun sagu yang dianyam sehingga tak tembus cahaya matahari ataupun air hujan. Bahan-bahan itu disusun sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah rumah. Di ruang tamu, pada sebilah papan yang berfungsi sebagai dinding terpampang tulisan ayahku “Ukurlah Bayang-bayang Setinggi Badan”. Sejak aku bisa membaca, aku selalu berusaha mengejanya berulang-ulang agar bisa menangkap maknanya, tapi tak pernah bisa kumengerti. Pernah suatu kali aku mencoba memikirkannya, kepalaku mendadak pusing; maka semenjak saat itu aku mencoba menghindarinya dan berhenti memikirkannya. Tetapi setiap kali aku berada di ruangan itu, tulisan itu terus menerus menggangguku, dan setiap kali aku mengalihkan pandangan ke sesuatu yang lain, ada perasaan kalau tulisan-tulisan itu sedang memperhatikan aku.
Pernah suatu kali, aku bertanya pada ibuku, mengapa rumah kami begitu jelek dan rumah kawan-kawanku lebih bagus. Tetapi ibu hanya memberi jawaban bahwa biarlah kelak aku yang akan menggantikannya dengan rumah yang lebih bagus. Maka semenjak saat itu, aku mempunyai obsesi sendiri, sebuah rumah bagus tanpa tulisan yang membuatku pusing itu.
Keadaan keluarga kami semakin terpuruk saja. Panen dari sawah kami yang tak seberapa luas semakin berkurang, pekerjaan memburuh juga semakin sedikit, sementara aku sudah hampir sekolah. Ibuku memiliki waktu lebih banyak dirumah, biasanya bila tak membuat anyaman kami belajar membaca. Apa saja yang ada kami baca bersama, koran-koran bekas dari pasar, buku-buku lusuh ayah, ataupun kitab suci.
Tetapi angin segar berhembus dari orang-orang kampung, bahwa sebentar lagi tepat di desa kami akan dibuka sebuah perkebunan kelapa sawit lengkap dengan pabriknya. Orang-orang kampung bermimpi bahwa kehidupan mereka segera akan berubah, akan menjadi lebih sejahtera. Ayahku hanya tenang-tenang saja, bahkan lebih banyak diam. Pada suatu sore, ketika kami baru selesai makan malam, seseorang yang akhir-akhir ini sibuk berkunjung dari satu rumah ke rumah lain singgah juga di rumah kami. Ayahku terlibat pembicaraan serius dengannya, aku tak paham apa yang mereka bicarakan. Juga aku tak paham mengapa tanah kami di kaki gunung itu, yang biasa kami tanami jagung, sayur-sayuran dan lainnya kini ditanami kelapa sawit dan kami tak pernah mengunjunginya lagi.
Pada hari yang lainnya, singgah pula seseorang yang berseragam ke kampung kami dan setelah orang itu pergi, tersiar kabar kalau ia membutuhkan tenaga orang-orang kampung untuk membuka lahan. Karena waktu itu adalah musim kering dan tak ada air untuk mengairi sawah, orang-orang kampung mengambil kesempatan itu biarpun lokasinya sudah sangat jauh dan medannya sulit. Memang ada diantara mereka yang berbisik-bisik, mengapa mereka baru dapat kesempatan setelah beberapa lama dan lahan yang harus dibuka sudah tidak mampu menggunakan alat berat? Tetapi apa lacur, dari pada tak ada kesempatan sama sekali. Toh hitung-hitung partisipasi yang dibutuhkan tatkala yang lain tak mampu melakukannya memiliki kebanggaan tersendiri. Maka para pria, tua dan muda dengan bersenjatakan kampak setiap paginya berbondong-bondong menuju hutan, memenuhi panggilan pembangunan, termasuk ayahku.
Bila senja tiba aku menantikan kepulangan ayah di beranda. Saat-saat itu paling kutunggu, biasanya ayah membawa sesuatu yang selalu aku sukai. Bila bukan madu, buah-buahan atau telur burung-burung. Sebab itu, pekerjaan baru ayahku memberikan kesenangan baru bagiku, juga cerita-ceritanya sebelum tidur. Kadang tentang pohon-pohon yang baru ditebangnya, tentang buah rotan, tentang madu dan banyak lagi.
Baru beberapa lama sejak mereka terlibat pekerjaan itu, hal-hal yang tak pernah dipikirkan dan diharapkan orang-orang desa terjadilah. Satu satu korban berjatuhan, kecelakaan mewarnai hari-hari. Kami anak-anak, menyaksikannya dengan sangat jelas. Korban-korban itu diangkut melalui kampung kami. Ada yang ditandu dengan kayu, ditandu dengan kain sarung, digendong. Ada yang mati, patah dan terluka parah, cacat seumur hidup. Katanya tertimpa pohon, jatuh ke tebing, tertusuk kayu, terperosok ke api pembakaran. Tetapi semua itu tak membuat penduduk kampung jera. Tak ada yang berusaha mencari bantuan pengobatan medis bagi yang masih hidup, tak ada yang meminta sekedar uang penghibur kesedihan bagi keluarga yang berduka. Apalagi asuransi.
Mereka hanya berpikir bahwa hal itu adalah resiko dari pekerjaan mereka, lagi pula mereka tidak dipaksa untuk ikut. Maka begitulah, mereka tetap 'berpartisipasi' dengan semangat pantang mundur. Isi perut keluarga lebih penting dari pada nyawa mereka, begitupun ayahku. Entah sudah berapa di antara mereka yang jadi korban, di kampung kami saja dua orang telah mati, dua orang tidak menentu nasibnya dan empat orang yang pasti cacat belum juga sembuh. Belum lagi di kampung-kampung lain.
Hingga suatu ketika, aku dan beberapa kawan sedang bermain di bawah sebuah pohon, kami mendengar hiruk pikuk orang-orang menuju rumahku, kami segera berlari mendekat. Aku serta merta kaget juga ketakutan, mendengar raungan tangis histeris ibuku. Aku mendekatinya, ia memelukku. Aku melihat ayahku tak sadarkan diri, tapi tubuhnya gemetar dan bergetar hebat tanpa suara apapun dari mulutnya. Aku dengar dari pembicaraan orang-orang yang mengelilingi kami bahwa ayahku tertimpa pohon yang ditebangnya, beliau berlari ke arah yang salah ketika pohonnya tumbang. Ibuku hanya pasrah, aku bingung sementara orang-orang yang mengelilingi kami tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tak berapa lama, pamanku pun tiba. Ia lalu membalik posisi ayahku, kemudian terlihatlah tulang belakangnya menyembul. Pamanku hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda seriusnya kecelakaan ayahku dan berkata “hanya Tuhanlah yang akan mampu menyelamatkan nyawanya.” Ia berdoa, kami berdoa. Pamanku mengoleskan minyak dari akar-akaran ke punggung ayahku pagi dan sore, sementara ayahku tetap tak sadarkan diri. Aku dan ibu benar-benar pasrah, tak punya daya. Rumah sakit terlalu jauh, juga jauh dari kemampuan kami. Dua hari kemudian, ayahkupun sadarkan diri, dan enam bulan kemudian, beliau sudah pulih dan mampu berdiri lagi. Selama masa-masa itu, ibukulah yang menghidupi kami, dan kini ayahku telah mampu mengambil tanggung jawab keluarga lagi. Tapi tinggi ayahku kini berkurang lima senti meter, tulang juga menyembul dari punggungnya sebagai kenangan.
Proyek pembukaan lahan dan penanaman sudah selesai dan aku sudah tidak mengingat kebunku lagi, juga ayahku yang sepertinya sudah melupakan hari kemarin begitu saja. Kecelakaan yang pernah dialaminya tak membuatnya membenci keberadaan pabrik dan perkebunan itu sama sekali. Terbukti hanya beberapa hari setelah sembuh, beliau kembali memburuh, menjadi kuli bangunan pada perusahaan itu sampai pekerjaan tak ada lagi.
Pabrik sudah mulai beroperasi, kami sudah lupa bahwa keberadaannya akan membawa kesejahteraan pada kami. Aku sudah mulai bersekolah, ayah dan ibuku kini lebih sering di sawah. Ayahku yang sudah cacat itu, yang gerakannya semakin lambat saja dan sesekali anggota badannya gemetaran tanpa diinginkannya, tetap berjuang keras untuk menyekolahkan aku. Kadang-kadang beliau menjadi bahan olok-olok penduduk kampung, terlebih anak-anak. Semua itu membuat hatiku sakit, aku yang kecil sudah mengenal kebencian oleh rasa malu.
Dan kemalangan-kemalangan lain seolah ingin terus menghimpit kami semakin menepi dari hidup, tetapi kami tak menyerah. Pabrik telah berdiri di samping kami, memuntahi kami dengan bau busuk, membunuh ikan-ikan kami dan membuat padi-padi kami tak mau tumbuh lagi. Saluran yang sampai ke laut itu membuat air tak mau singgah lagi di sawah-sawah kami. Bila musim hujan tiba, kamipun bersiap untuk musim tanam yang baru. Tapi tanah kami hanya basah pada pagi harinya dan kerontang pada sore harinya.
Pada perayaan kemerdekaan berikutnya, Bapak camat yang lain datang lagi bersama orang dinas pertanian, membawa mantra kesejahteraan. Sekali lagi kami menanam kelapa hibrida di tanah kami dan kami tak tahu harus makan apa untuk menunggu buah kelapa itu sampai lima tahun lagi. Tetapi ayahku yang luar biasa memang tahu mengukur bayang-bayang setinggi badannya. mencari lahan bagi hasil untuk diolah biarpun hanya setengah hektar disamping memburuh untuk makan kami sehari-hari. Aku masih belum paham arti tulisan pada dinding itu, aku melanjutkan pendidikan dengan bekerja keras ditambah hasil keringat orang tuaku. Tetapi ibuku mulai sakit sakitan, ayahkupun semakin lemah.
Menjelang perayaan kemerdekaan berikutnya, aku menyelesaikan sekolahku. Tetapi ibuku telah direnggut dariku. Penyakit yang hanya kami kenali sebagai maag menghancurkan ususnya. Ibuku seorang wanita yang luar biasa bagiku. Aku masih ingat, pernah suatu ketika, saat beliau masih sehat aku pulang sebelum jam pulang dengan menangis karena diolok-olok dan dipukuli kawanku. Beliau menyeret aku kembali ke sekolah, memarahi anak-anak nakal itu dan berpesan padaku “kau mesti bisa membela diri sendiri karena kau punya kehormatan; kau tak makan dari tangan mereka, tak mengutip apa-apa dari mereka.” Beliau seorang yang punya kehormatan. Dan aku dengan kehormatan pula berusaha melanjutkan pendidikan dari tenaga yang kumiliki.
Tahun-tahun berlalu, buah kelapa sudah dipanen, tetapi akan diapakan? Penduduk kampung merengut sebab pabrik yang dijanjikan akan menampung buah kelapa mereka tak datang-datang. Banyak diantara mereka yang gelap mata lalu menebangi kelapa-kelapa mereka. Untunglah kakao ayahku sudah memberi hasil, cukup untuk makan dan sekolah adik-adikku. Pendidikan menengahku kuselesaikan dan akupun di terima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri. Tetapi hanya kuliah kerja nyata saja yang kuselesaikan, ayah mengeluh kakao kami sudah tak memberikan apa-apa.
Aku kesulitan memperoleh pekerjaan, aku pernah mengusahakan beasiswa tapi rupanya beasiswa di kampus sudah berempunya. Kemudian kuputuskan mundur dari pendidikanku. aku tak ingin mengorbankan apa-apa lagi untuk obsesiku. Aku segera kembali ke kampung, telah banyak yang berubah. Juga pandangan orang-orang kampung terhadapku, tetapi aku tak mau ambil pusing. Aku menoleh pada tulisan itu, ia seperti tersenyum padaku dan akupun tersenyum padanya. Aku sudah memahaminya, tinggallah keinginan akan sebuah rumah baru dalam kenangan mimpiku, tetapi aku tak meyesal.
Perayaan kemerdekaan datang lagi, aku dinyatakan drop out dari perguruan tinggiku. Anak-anak sekolah larut dalam hiruk pikuk perayaannya, lomba-lomba diselenggarakan. Artis-artis ibu kota dipanggil untuk memeriahkannya. Tetapi hatiku hampa, selengang rumah kami. Ayahku kini semakin tua, rumah kami juga. Dengan kayu-kayu sisa, bambu dan kulit kayu yang baru kemudian kubentuk sebuah rumah baru. Lalu pada dinding di ruang tamunya kutuliskan “Ukurlah Bayang-Bayang Setinggi Badan”, sebab aku pun telah paham maknanya.
Jumat, 23 Februari 2007
Malamku
Malam ini aku merasa sepi. Berjalan menelusuri setapak seorang diri, ditemani temaram cahaya lampu jalanan. Di tengah dunia yang ramai ini, kadang aku merasa sendiri. Seperti sehelai daun yang terbawa aliran sungai yang mahaluas. Nietzche mengatakan, "kesunyian adalah rumahku", tapi tidakkah ia selalu merasa asing di rumahnya sendiri?
Malamlah satu-satunya sahabat yang paling setia menemani kesunyianku. Aku mencintai malam. Aku mencintai kesunyiannya yang setia menemani kesunyianku. Malam menghiburku dengan bintang-bintangnya, dan suara alamnya selalu berdendang untukku. Seandainya malam adalah seorang gadis, tentu aku sudah jatuh cinta.
Hal yang sangat nikmat untuk dialami adalah berfikir sambil berselimut malam. Aku percaya berfikir adalah kegiatan pemanusiaan diri. Dan larut malam, adalah saat di mana Tuhan sejati mendekati kita.
Kadang aku memikirkan hal yang kelihatan sepele ini: Bahwa aku ada. Bagaimana seandainya aku tidak pernah ada? Apa yang ada di dalam ketiadaan itu? Apa yang kuketahui? Selanjutnya, aku akan memikirkan ini: Bahwa aku ada sebagai makhluk berfikir, yaitu manusia. Bagaimana seandainya aku ada sebagai sesuatu yang tidak bisa berfikir? Percuma ada kalau kita tetap tidak menyadari bahwa kita ada. Oleh karena itu, aku bersyukur bahwa aku ada. Dan aku bersyukur bahwa aku ada sebagai manusia. - dream blog -
/ Jumat, Februari 23, 2007 0 komentar
Kategori: Diari
Jumat, 09 Februari 2007
Long Time No See
Huehe.. Kelihatan dari judul postingnya ada sesuatu yang lama tertahan dan akhirnya terpuaskan juga. Apa itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah posting di blogku yg udah berdebu ini. Lumayan lama nih baru posting.. sampai-sampai di dalam tempurung kepala ini banyak yang ingin aku tulis, makanya jadi bingung. Hari-hari yang aku lewati dari postingan terakhir sampai sekarang sebenarnya banyak yang menarik untuk kutulis, tapi sayang terlewatkan begitu saja tanpa diabadikan ke dalam tulisan. Hiks.
Kadang di suatu bulan aku kebanjiran ide untuk nulis, di bulan yang lain justru aku kekeringan ide. Sepertinya fenomena itu ditentukan oleh beberapa faktor, mungkin karena aku sedang tidak mood menulis, mungkin karena aku sibuk. Tapi sesibuk apa sih? Sampai-sampai menulis saja tidak sempat? Menulis itu kan bisa di mana saja, kapan saja. Bahkan di atas angkot atau di dalam wc pun kita bisa sambil nulis. Jadi apa coba.
Sekedar info.. Akhirnya aku KKN juga, dan aku pilih KKN di Jamsostek. Tapi belum fix. Seandainya tidak jadi di situ, mungkin pilihan kedua jatuh pada PT. Telkom. Biar bisa internetan sampe poge. Kenapa pilihan pertama di Jamsostek? Bukankah di Telkom sangat cocok untuk diriku yang maniak akan dunia maya? Tanya ken apa. Karena dari info yang saya dapat dari teman-teman yang dulu KKN di Jamsostek, di sana pekerjaannya relatif lebih singkat, dan tidak terlalu padat. Bukan berarti saya menghindari pekerjaan; saya cinta akan bekerja, karena bagiku bekerja membuat hidup kita lebih nikmat. Alasan saya adalah karena di samping aku KKN, aku juga memprogram 3 matakuliah. Yah.. aku menghindari tabrakan antara KKN dan kuliah. Hehehe.
Aku ingin membanjiri blog ini dengan tulisan... mengenai apapun. Aku ingin menjadikan blog ini sebagai tempatku mencorat-coret sepuas hati. That's all!! - dream blog -
/ Jumat, Februari 09, 2007 0 komentar
Kategori: Diari
Selasa, 19 Desember 2006
Kesadaran Kemanusiaan
Aku berada di antara kehidupan kotaku yang modern dan kehidupan di desa. Mereka sederhana dan bersahaja. Kadang di malam-malam gelap yang sunyi, aku masih bertanya, yang manakah kehidupan? Padahal akupun tahu, indraku seluruhnya menyampaikan kalau kaki, kepala, tangan, seluruh tubuhku lahir tatkala modernitas tengah menggerogoti seluruh sudut ke-kampung-an dan melahapnya hidup-hidup. Seluruhnya, pranata dan perkakas budayanya, tak kecuali agama. Aku lahir dalam jaman tunggang langsung sambil jungkir balik, aku tahu tapi yang manakah pegangan?
Awalnya aku berpijak pada satu tonggak yang kukira kokoh, tapi ternyata tunggangnya ia tak punya seperti untaian tentakel gurita, ia melambai mencari-cari dan menemukan sesuatu lalu mengatakan bahwa inilah yang patut dijadikan pegangan dan pada saat yang lain lagi merengkuh sesuatu yang lain dan menjadikannya pula pegangan yang lain. ‘Sesuatu’ yang digenggamnya itu, kadang ambigu, hingga kadang pula standar ganda tak dapat dihindarinya. Manusia macam apa yang membangun dan dibangunkan oleh keadaan macam ini?
Ada juga sesuatu yang lain, hampir semua orang menggenggaminya erat hingga hidup pun dikorbankan untuk itu. Bukan hanya hidupnya sendiri, melainkan hidup seluruh dunia bila perlu. Sekilas tampak mengejar keseimbangan dan memang itulah yang menjadi kesadaran mereka, tetapi bagiku tampak sebagai pelampiasan hasrat. Hasrat apa saja; keinginan, dendam, kehormatan, ketiadaan… . menolak kejahatan dengan melakukan kejahatan adalah watak fatalis, watak fatalis tak berbeda sama sekali dengan kejahatan sendiri.
Aku lelah oleh paradoks umat manusia. Aku yakin, aku tak sendiri. Aku tahu bahkan filosof, teolog, ilmuwan, dan teoritikus, ulama dan rohaniawan, semua orang yang terus berfikir bergumul dengan hal ini pula sampai akhir hidupnya, juga para sufi dan nabi. Yesus mengutuk sebuah pohon ara karena tak mampu memberi satu buah pun untuk rasa laparnya, Muhammad mengharamkan babi untuk tubuh umatnya. Tapi semua itu tak bisa menjadi alasan untuk berkata lanjutkan saja hidupmu tanpa soalan-soalan itu, kenyatannya semua manusia-manusia besar pun mempersoalkannya, kenyataan-kenyataan selalu muncul sebagai masalah. Maka saya tetap mempersoalkannya bahwa ada keadaan yang lebih baik dari kenyataan ini tapi kenapa ini yang kita adakan?
Kita berpengharapan terhadap suatu keadaan, termasuk utopi sebagai salah satu. Pengharapan itu, keinginan yang hadir tidak dengan serta-merta tanpa melalui proses sadar. Harapan itu, keinginan itu adalah keadaan yang pernah sangat dekat dengan kita, entah itu melalui bantuan panca indera atau bahkan pernah kita alami meski sesaat, pun halnya dengan utopi. Tetapi manusia terlanjur telah membuat pembeda, sekat, pembatas. Bukan hanya beberapa tapi sejumlah tak terhingga sehingga kita mesti berhati-hati terhadap watak fatalis bahwa di dunia ini hanya dirimulah yang boleh kau percayai, setiap manusia adalah rintangan-rintanganmu atas sesuatu yang terbatas sehingga harus dapat kau lenyapkan atau setidaknya kau manipulasi.
Semakin kompleks kehidupan ini semakin jauhlah kesadaran. Maka persaingan, kompetisi atas hidup adalah watak fatalis yang utama. Betapa tidak? Bahkan agamapun dimanipulasi atau bila tidak, dijadikan alat manipulasi atas kesadaran makhluk untuk memenangkan persaingan. Sepatutnyakah? Betapa mahal kesadaran. Tapi betapapun mahalnya, untuk memperolehnya tak perlu merogoh kocek sekian juta seperti kesadaran manipulatif yang diperjualbelikan oleh institusi pendidikan, kau hanya harus setia dan konsisten pada kesadaran hidupmu yang pertama, kesadaran kemanusiaan.
Bahwa dalam kehidupan ini, semua makhluk berproses, tak ada subjek apalagi objek. Menjadi khalifah di atas muka bumi tidak berarti pengabsahan bagi manusia untuk menjadi subjek dan karenanya boleh menentukan pantas atau tidak pantasnya ’seekor’ nyawa dilenyapkan. Bahkan Tuhan tidak mengambil posisi subjek dalam kehidupan kita, yang akan turut campur ketika kita hendak membantai seorang bocah dengan kelaparan atau menyarangkan sebutir peluru algojo di kepala seseorang, atau tebasan pedang di leher musuh kita, atau ketika kita hendak melampiaskan hasrat seksual atau ketika memberi makan anak yatim, atau ketika hendak menyeberangkan seorang nenek di lalu lintas yang ramai, dan seterusnya. Sekali lagi, memang ia mengatakan jangan atau silahkan, tetapi ia memberi pilihan dan kesempatan.
Sekali lagi, tetaplah setia dan konsisten kepada para kesadaran yang pertama atas kehidupan, kesadaran kemanusiaan, bahwa kau hanyalah setitik debu di bumi ini, yang bila angin berhembus maka kaupun akan lenyap dan tempatmu tidak akan mengenalmu lagi. Bila masih tak bisa kau rasakan jua kesadaran itu, cobalah sesekali mendaki gunung. Seorang diri atau bersama kawan-kawanmu maka akan kau lihat sebesar apa dirimu dalam hamparan alam semesta. Atau bila tak sanggup, kecaplah kehidupan pedalaman yang murni, maka kau akan lihat inilah manusia yang sungguh; dan kesadaranmu pun tumbuh dan dipulihkan.
Kesadaran yang datang terlambat selalu hadir sebagai penyesalan, penyesalan yang akan datang selamanya melalui ratapan-ratapan, seperti diriku. -
Sabtu, 16 Desember 2006
Mempertanyakan Jati Diri Sebagai Bangsa & Jati Diri Sebagai Individu
Sedang membaca Koran? Kalau masih punya sedikit waktu sempatkanlah mengamat-amati keadaan sekitar, misalnya pada tong sampah-sampah kita. Apa yang terlihat? Manusia yang tengah memakan sampah. Di kolong-kolong dan jembatan, rumah? Di perempatan jalan, pengemis dan pengamen. Sekarang mari kita coba-coba bertanya pada orang-orang yang mungkin kita tanyai, “kerja apa, dimana?”… . Pengangguran nyata. Di pelosok-pelosok desa, petani. “Luas lahannya berapa?” … . Pengangguran terselubung. Sayangnya kita tidak punya angka-angka yang pasti tentang berapa jumlahnya, ada yang bilang data-data BPS (Balai Pusat Statistik) sulit dipercaya kevalidan datanya kecuali kantornya telah membuka cabang sampai ke tingkat RT/RW.
**
Bencana, bencana dan bencana… sangat marak akhir-akhir ini, booming. Sampai-sampai ada yang mengatakan kalau negeri ini adalah negeri bencana. Kelaparan, kekeringan, banjir, longsor, gunung meletus, gempa dan tsunami. Menurut pengalaman, bencana di Negara kita sudah selalu pasti dibarengi efek kompleks, efek dan kompleks. Efeknya yang pasti adalah korban jiwa dan harta benda, beban mental korban dan beban keuangan Negara. Kompleksnya bermacam-macam, tergantung pada kompetensi dan spesialisasi pendidikan pengidap kompleksnya. Tetapi sifatnya yang paling mencolok adalah kompleks proyek dengan berbagai turunannya seperti KKN dan penyalahgunaan wewenang.
**
Salah seorang dosen saya pernah mengatakan kalau bangsa ini menderita sejenis bisul yang kronis, sulit disembuhkan. Menggerogoti sekujur tubuhnya. Mulai dari Aceh, Jawa, Sulawesi, Ambon, sampai Papua. Malahan sudah ada bahagian tubuhnya yang sudah diamputasi, antara lain Timor Timur, Sipadan dan Ligitan dan entah bahagian mana lagi yang segera menyusul.
**
Lain lagi halnya dengan yang satu ini, seorang Ibu yang tak mengenal dan dikenal anaknya sendiri dan bahkan Sang Anak tak lagi mengenali dirinya sendiri. Sang Anak tumbuh menjadi kikuk, gagap, gagu, peniru dan pemalu. Ia tahu keadaannya, maka dicobanya menutupi kekurangannya itu dengan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, dengan segala cara. Kemudian ia tampil dalam berbagai bentuk dan topeng, sangat simpatik. Maka segera saja ia berterima bagi yang lain dan bahkan menjadi penguasa segala bidang kehidupan. Tak perlu lagi dipertanyakan kenapa, kemunafikan saling dukung mendukung lalu makan memakan. Inilah hasil demokrasi, senjata yang amat beringas ditangan orang-orang jahat dan setetes air zam-zam di tangan orang-orang baik.
**
Dahulu, kejahatan terpencil seperti jeritan, kini universal seperti sains. Albert Camus meneriakkannya hampir enam puluh tahun yang lalu, adakah yang berubah? Perubahannya hanyalah bahwa kini kejahatan tampil dengan wajah yang lebih lembut, mengambil bentuk dalam etika, budaya dan bahkan agama. Bukankah wajah sang jahat kadang tampil di hadapan kita sebagai pahlawan?
**
Inikah wajah Ibu Pertiwi, ibu kita?
**
Andai hari ini adalah 55 tahun yang lalu, mungkin semarak panji-panji dan pekik merdeka masih akan menggelorakan semangat dan harapan. Tetapi kini lihatlah, Ia berkawan ragu. Inikah buah kemerdekaan? Untuk apa Nasionalisme bila ia mengusir aku dari tanahku, tumpah darahku sendiri? Buat apa primordialisme bila yang diberikannya padaku bukannya jati diri melainkan ketertundukan dan ketaklukan? Apa urusan nasionalisme mempertanyakan agama, dan asal usul suku kami? - dream blog -
/ Sabtu, Desember 16, 2006 0 komentar
Kategori: Refleksi
Selasa, 12 Desember 2006
Pesan & Kesan Buat Calon Dekan
Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda tentang Dekan yang ideal. Begitu pula dengan Mahasiswa yang merupakan stackholeder terbesar. Oleh karena itu dari lembaga kemahasiwaan telah melakukan suatu proses untuk menampung aspirasi di tingkatan keluarga mahasiswa.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh fakultas saat ini adalah minimnya fasilitas, banyaknya dosen malas, adanya beberapa dosen yang kurang cerdas mengajar, ada pula beberapa dosen yang menomorsatukan kepentingan proyek dari pada mengajar. Selain itu mahasiswa sebagai anak didik senantiasa berharap para dosen yang dalam hal ini juga sebagai orang tua di kampus agar kiranya dapat menjadi teladan bagi seluruh stackholder.
Yang menjadi kesedihan juga di tingkatan mahasiswa adalah mulai tertutupnya ruang-ruang musyawarah di kampus, hal tersebut bisa terlihat dari adanya beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh birokrat kampus yang dimana kebijakan tersebut bersentuhan langsung dengan mahasiswa namun tidak melibatkan mahasiswa yang dalam hal ini lembaga kemahasiwaan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, di beberapa fakultas adanya pola-pola militeristik yang digunakan untuk melihat suatu masalah/menafsirkan suatu fakta sosial. Hal tersebut terlihat dengan dijatuhkannya sanksi skorsing kepada sekitar 30 orang mahasiswa Fisip Unhas, serta sekitar 20 orang mahasiswa Tekhnik Unhas yang menjalankan agenda pengkaderan awal lembaganya. Yang kita harapkan bersama adalah adanya sikap dewasa oleh masing-masing pihak, baik mahasiwa maupun birokrat ketika terjadi perbedaan perspektif. Dimana pendekatan rasionalitas yang dalam hal ini metode dialog agar kiranya dapat diutamakan.
Dalam kajian lembaga kemahasiswaan, yang perlu juga dipikirkan oleh Dekan terpilih ke depan adalah bagaimana FE Unhas mampu melahirkan Sarjana-sarjana yang memiliki kualitas pada wilayah Cognitif (pengetahuan), afektif (watak) dan Psikimotorik (Skiil). Selain hal tersebut, yang perlu juga untuk dikaji kedepan adalah tentang paradigma dominan yang digunakan oleh FE Unhas dalam kurikulumnya. Di mana lebih banyak menggunakan paradigma positivistik (Newtonian maupun Cartesian) dalam melihat permasalahan ekonomi. Ajaran tersebut biasa kita sebut dengan ajaran kapitalisme. Sehingga tidak mengherankan kemudian ketika output yang dihasilkan oleh Fakultas ini adalah Ekonom-ekonom serakah, yang berwatak individualis, dan berjiwa pragmatis. Yang kita harapkan bersama kedepan adalah adanya kurikulum ekonomi yang menggunakan paradigma Holistik sehingga wacana yang dikaji oleh mahasiswa lebih berwarna, dan memliki keberpihakan yang jelas terhadap agenda-agenda kerakyatan. Yakni Ekonom-ekonom yang siap menjawab realitas kemiskinan yang masih menjadi warna dominan di bangsa ini.
Yang diharapkan juga dari dekan terpilih adalah dekan yang memiliki pandangan positif terhadap lembaga kemahasiwaan. Meskipun kami sadari bahwa ada beberapa mahasiswa yang terlibat di lembaga kemahasiwaan yang masih memberi citra negatif seperti pengurus yang kuliahnya tidak beres. Namun perlu dipahami bahwa di lembaga kemahasiswaan kami senantiasa belajar tentang kedewasan, belajar berbeda pendapat/berkompromi, belajar untuk bicara atau tampil didepan orang banyak. Dan hal lain yang tak kalah pentingnya adalah jaringan yang kami peroleh, baik dengan mahasiswa sefakultas, maupun fakultas lain serta kampus lain. Termasuk jaringan dengan dosen-dosen, pengusaha serta para pejabat-pejabat (yang penting tidak menjadi penjilat), karena persentuhan kami pada suatu kegiatan seperti seminar, dll.
Yang kami harapkan dari pesta demokrasi yang akan diadakan hari selasa (12 Des 2006) adalah adanya pemilih-pemilih rasional, dan berpihak pada nilai. Bukan mendahulukan ego jurusan, suku maupun kelompok. Karena kami sebagai mahasiswa yang dalam hal ini sebagai anak didik senantiasa merindukan keteladanan dari bapak dan ibu dosen. Kami mahasiswa juga berharap agar semua konflik yang pernah ada, baik konflik personal maupun kelompok agar kiranya dapat diselesaikan secara dewasa demi FE Unhas ke depan. Sebagaimana kata seorang bijak: "kita harus berhenti menggunjing kegelapan, saatnya kita menyalakan lilin". - dream blog -
/ Selasa, Desember 12, 2006 0 komentar
Kategori: Opini