Padang ilalang bermahkota bulan
Pada waktu senja menjadi liar dan egois
Memangsa terang satu persatu
Di negeri jejangkrik suatu ketika
Ekor-seekor terpekik kaget
Undur selangkah beringsut cerewet
Di pohon ampun tungkai tersodor
Malahan jempolnya remuk terinjak laknat,
Rumah yang ramai sepilah sudah
Sebab tinggallah jangkrik seekor
Jarinya remuk kakinya rusak
Tak lagi mampu meloncat, mengungsi
Sedikit-sedikit ia merayap
Dengan sungut di setiap ingsut
Dalam kesepian ia meratap
Dengan ratapan yang juga sepi
Padang ilalang bermandi air mata,
Saling tusuk anaknya sendiri
Beberapa tumpas pasrah paksa
Di atas trotoar padang ilalang
- dream blog -
Sabtu, 09 Juni 2007
Balada Negeri Jangkrik
/ Sabtu, Juni 09, 2007 0 komentar
Kategori: Syair
Sabtu, 26 Mei 2007
Sindrom Menara Babel (selesai)
Sistem Pendidikan Dan Integrasi Bangsa
Bahwa sindrom menara babel menggerogoti manusia, peradaban dan kebudayaannya. Akibatnya mereka tak lagi mengenal dirinya satu sama lain dan karena itu tercerai-berai. Kenyataannya setelah manusia-manusia berpenyakit itu berpencar ke seluruh bumi, insting dan akal yang mereka miliki memungkinkan mereka tetap berkembang biak dengan pesat dan membangun peradaban dan kebudayaan mereka yang juga terinfeksi.
Dalam sejarah kemanusiaan, selalu ada manusia yang berhasil membebaskan dirinya: dari Musa sampai Muhammad (nabi-nabi), dari Gautama sampai Kong Fu Tze, dari Gandhi, Lincoln sampai Sukarno (negarawan), para filsuf besar dan banyak lagi. Mereka adalah manusia-manusia luar biasa yang menjadi cahaya bagi setiap zamannya dan berusaha menjadi penyembuh. Namun bagaimanapun usaha mereka, untuk bebas dari sindrom ini tetap bergantung pada manusianya sendiri.
Hanya pengetahuanlah obat dari penyakit ini; kesadaran (consentia) yang tanpa akhir yang hanya diperoleh melalui proses belajar tanpa akhir pula. Zaman kita mengenal sistem pendidikan, dibentuk oleh manusia untuk tujuan pengetahuan, tersusun dari elemen-elemen yang bekerja menurut fungsinya masing-masing menurut kaidah-kaidah tertentu. Tetapi iapun dapat terkontaminasi, karena dilahirkan oleh manusia yang juga terinfeksi. Ilustrasi tentang seorang penderita yang pernah saya tulis sebelumnya mencerminkan realitas, fakta dan empirikal sifatnya. Ia sudah melihat penyakit itu dan karena itu ia meratapinya. Halaman-halaman ini tak akan mampu menampung keluhan-keluhan lainnya. Belum lagi bila memakai referensi dari belahan dunia lain, misalnya pandangan tokoh–tokoh sampai kritikan-kritikan para pemikir besar. Pandangan-pandangan mereka telah cukup menyinari lubang-lubang dalam sistem pendidikan di dunia mereka namun belum menghasilkan apa yang kita harapkan. Penyakit ini hanya berubah bentuk ke bentuk yang lain. Lubang-lubang tetap menganga seolah dengan sengaja dipertahankan. Bukan tanpa alasan, saya kira memang tak ada satupun saat ini yang bebas dari sindrom ini. Bahkan agama atas nama moralitas pun sering dijadikan alat kejahatan. Di negara ini, tidak jauh berbeda bahkan lebih parah.
Berikut ini, saya mencoba menyoroti sindrom yang mengakar kuat itu.
Di sebuah negara yang cendekiawannya/ intelektualnya/ para jeniusnya/ tokoh-tokohnya intens menyoroti soal-soal pendidikan bahkan secara keras, masih terdapat banyak bolong-bolong, apalagi di negara kita di mana orang-orang yang berkecimpung pada soal itu hanya mulai berpikir saat menjelang pemilu dan penyusunan anggaran. Memang kita melihat ada beberapa perubahan yang menarik perhatian dewasa ini, antara lain peningkatan anggaran pendidikan dalam APBN dan kontroversi Ujian Akhir Nasional (UAN). Soal perubahan nominal anggaran pendidikan itu, hendaknya tidak disebut peningkatan, kesannya terlalu politis. Saya justru melihat bahwa perubahan itu lebih didasari oleh perubahan kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) dan belum merupakan usaha yang serius untuk melayani masalah-masalah pendidikan. Betapapun besarnya anggaran yang kita alokasikan apabila sistem yang menjadi roh pendidikan menutup mata terhadap ketidak-beresan dirinya maka itu adalah sebuah kesia-siaan, sebut saja misalnya masalah ketidak-beresan itu adalah ketidak-adilan. Siapa yang memiliki hak atas pendidikan bila pendidikan sudah menjadi satu komoditi ekonomi? Inilah salah satu bentuk yang diambil oleh sindrom itu.
Perubahan anggaran dapat kita jadikan indikasi betapa modal telah menjadi kekuatan utama yang menggerakkan pendidikan kita dewasa ini, bukan lagi rasa ingin tahu kebenaran sebagaimana hakikat manusia. Fenomena menjamurnya institusi-institusi pendidikan swasta telah menunjukkan keberadaannya sebagai salah satu komoditas ekonomi prospektif ataupun perubahan status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP). Motif ekonomi telah menjadi titik tolak dan tujuan pendidikan, di masyarakat ada ungkapan "Apa guna pendidikan bila tidak ada uang? Apa guna uang bila tak berpendidikan?" Sebuah jargon, manipulatif dan hegemonik dan sayangnya telah menjadi kesadaran masyarakat secara umum. Apa lacur, toh masyarakatlah yang menilai, membentuk dan menghakimi; 'penguasa sejati' kata demokrasi, tapi benarkah?
Massa manusia seperti binatang, mendekati ciri simpanse tidak tahu apa-apa. Namun unit-unit pembentuk massa ini adalah makhluk netral, ratu lebah yang terhormat, hukumnya: kita dimanfaatkan sebagai atom-atom kasar jika kita belum berfikir. Sesudah kita berfikir maka kita manfaatkan massa itu. (Ralph Waldo Eemerson, Alam dan manusia)
Dewasa ini apakah kita sudah berpikir? Kita sudah berfikir tapi pikiran kita terberi, terprogram, dibentuk. Ada yang menguasai kita, itulah makhluk netral yang menjadi ratu lebah. Ia memang menguasai kita, tetapi iapun dikuasai oleh apa yang dipikirkannya. Lalu bagaimana bila yang dipikirkannya dikuasai oleh kekuatan yang lebih besar dari dia seperti pikiran kita(masyarakat) dikuasai olehnya (sang ratu lebah)? Maka kitalah yang harus menjadi ratu lebah; yang belajar terus-menerus agar tersadar terus-menerus.
Polemik ujian akhir nasional jangan dikira terlepas dari prinsip-prinsip yang digariskan oleh sang ratu lebah yang terhormat dan yang mengendalikannya, iapun bagian dari sistem. Kebijakan ini memang ditelurkan oleh wakil-wakil kita di Dewan Rakyat, tapi mereka pun bukannya tanpa penguasa. Disanapun ada kekuatan dominan.
Agar kritik ini tak berkesan ideologis (kiri, kanan, poros tengah) baiklah kita tinjau menurut kapasitas kita. Apabila alasan penerapan UAN adalah Uji Kompetensi atau Uji kemampuan siswa maka tidak bisa tidak, pertanyaan yang mendasarinya adalah sudah sampai sejauh mana siswa menyerap jenis-jenis pengetahuan yang diberikan? Tentu saja indikator-indikator dari sejauh mana serapan/penguasaan dan jauh yang harus diserap/dikuasai harus jelas.
Bila alasan penerapannya adalah proses saringan maka alasan itu tidak memiliki landasan sama sekali. Saringan untuk apa? Yang berkompeten menyaring dan memberikan penilaian adalah masyarakat, lingkungannya ataupun komunitas di mana ia ingin menjadi bagian. Bila alasannya adalah proses saringan untuk keluar dari institusi pendidikan maka tuduhan bahwa sekolah adalah penjara benar adanya dan sekolah adalah pelanggar HAM yang paling keji, sekolah akan menjadi momok, betapa tidak? Proses itu telah mengambil alih tanggung jawab terhadap integritas manusia yang telah dihakiminya secara paksa.
Kecuali tujuannya tak lebih sebagai fungsi ke dalam untuk menilai, mengevaluasi kualitas persekolahan maka UAN tak bisa diterima. Bila sebuah keharusan (setelah semua prasyarat-prasyarat dipenuhi) penerapan UAN demi penerapan ataupun standarisasi kualitas siswa dari Sabang sampai Merauke maka Ujian Nasional sekolah dapat dilakukan pada tingkat-tingkat atau kelas sebelumnya(I & II) dan sama sekali bukan untuk menentukan lulus tidaknya ia dari sekolah. Karena sekali lagi, lulus atau tidaknya mereka dalam hidup tidak akan ditentukan oleh 'penguasa pendidikan' tetapi oleh masyarakat dan lingkungannya. Toh proses belajar tak pernah berhenti bukan?
Sistem pendidikan memiliki peran yang sangat sentral dalam usaha penyembuhan bangsa kita dari sindrom ini, alasan-alasannya telah dipaparkan sebelumnya. Meski demikian, sistem juga berpotensi mencerai-beraikan bila ia terkontaminasi karena tak ada satu hal pun yang benar-benar bebas di luar kesadaran yang terus menerus. Kita mesti berjaga-jaga selalu. Sindrom ini semacam bahaya laten, ia bisa kambuh kapan saja, yaitu pada saat kesadaran mengalami anti klimaks. Tak ada satu hal pun yang boleh dimapankan, apalagi dikultuskan kecuali kemanusiaan yang mengetahui hakekatnya.
Dalam sejarah berbangsa kita, Soekarno adalah salah seorang tokoh yang pernah terbebas. Ia pernah menjadi ratu lebah kita. Disayangkan, bahwa di akhir hayatnya ia kehabisan tenaga melawan sindrom ini dan kembali tergerogoti. Meski begitu, pada masa-masa kesembuhannya ia melahirkan sebuah konsep: Pancasila, yang sampai saat ini masih tetap merengkuh kita semua meskipun tengah sempoyongan. Timor Timur tak lagi mampu di peluknya, Aceh dan Papua sedang meronta-ronta, potensi-potensi lain di sekitar kita juga sedang mengatur siasat. Bagaimanapun, Pancasila hanyalah sebuah konsepsi yang juga dapat dikuasai oleh sindrom itu. Harus ada yang tetap membuatnya terjaga dari tidur agar tak berakhir Nusantara tercinta ini.
Proses mencari kebenaran sudah menjadi perhatian utama manusia dari segala zaman, itulah fitrah manusia. Amat tak bijak bila tujuan mulia itu dibelokkan dari tujuannya yang semula, maka kitalah pengkhianat-pengkhianat terhadap kemanusiaan kita sendiri yang seharusnya bertanggung jawab atas hal ini.Kalian yang di istana-istana gading, keluarlah dari persembunyian kalian, tugas memanggil! Kalian yang serakah, menyingkirlah dari jalan-jalan pengetahuan dan sadarlah bahwa kalian tengah bunuh diri tanpa kalian sadari!
Pengetahuan yang memanusia, kita tahu bukankah pengetahuan untuk pengetahuan itu sendiri tetapi pengetahuan yang memaslahatkan segala umat dan membawa rasa syukur segala manusia tanpa kecuali.
Bila tugas pemerintah terlalu banyak atau bila pemerintah tak mampu menangani pendidikan dan persoalan-persoalannya dan ataupun bila pemerintah tak mampu melepaskan diri dari "nafsu-nafsu" (sindrom) yang menguasainya maka kembalikanlah otoritas pengetahuan itu pada para bijak (yang telah sembuh). Siapa para bijak? Para bijak ada di antara kita, bukan di gedung dewan yang terhormat, bukan di istana negara, juga bukan di menara gading tapi yang bijak ada di jalanan, di kolong-kolong jembatan, di rumah-rumah sakit, sedang bersama orang-orang yang lari dari hidup, di sekitar kita berbagi pengetahuan dengan tulus tanpa pamrih, yang berkata bahwa pengetahuan bukan miliknya seorang, bahwa temuan-temuannya bukanlah hak kekayaan intelektualnya (HAKI) sendiri tetapi telah digalinya dari semua manusia dan seluruh alam yang oleh karena itu adalah milik bagi semua semua.
Para bijak akan menerangi kita dengan pengetahuannya tanpa tekanan dari apapun dan siapapun. Mereka takkan menginginkan hidup kita karena mereka telah memiliki hidup sendiri. Mereka juga tak akan menentukan apakah kita lulus atau tidak dengan lembar jawaban pada suatu saat, karena kita sendirilah yang akan mengetahui dan menanggung resiko dari semua itu, maka kitalah yang akan memacu diri untuk meluluskan diri. Tidak akan ada seremoni perpisahan di sekolah-sekolah karena kita akan terus bersama setiap waktu. Kita dapat berjumpa dengan mudah saat membutuhkan mereka ataupun ketika mereka membutuhkan kita. - dream blog -
/ Sabtu, Mei 26, 2007 0 komentar
Kategori: Opini
Senin, 21 Mei 2007
Sindrom Menara Babel (II)
Inilah salah satu penderita syndrom itu, penderita yang mulai menyadari dirinya dan sedang berusaha melihat batas-batas yang mengungkungnya, juga harapan harapan kesembuhannya:“Satu-satunya alasanku untuk tetap tidak mengambil jarak dengan dunia kampus dan sekolah -Pendidikan- hanyalah karena soal akses. Hal apa yang terkait dengan pengetahuan yang tidak kita dapati di sana? Bukannya aku tak tahu menghargai, aku hanya tak dapat menerima penghargaan yang tak layak aku dapatkan. Aku menyebut itu penghinaan. Akses, sekali lagi soal Akses, akar kesempatan-bukan berarti aku mencuri dari mereka. Aku percaya di dalam diriku ini membara potensi dari segala, gagasan-gagasan meronta minta penyaluran tetapi katupnya seolah tersumbat (syndrom menara babel). Tetapi cukup sudah, aku tak ingin lagi. Aku akan tertunduk di mata mereka selama beberapa masa dan setelahnya, yaitu ketika aku siap, mereka akan kubuat malu melihat masa lalunya.
Lihatlah lepasan-lepasan sekolah itu... Tengoklah sarjana-sarjana itu, bisa apa sekerup tanpa mesin? Tanpa daya? Toh sebuah mesin tetap membutuhkan programmer dan operator.
“Individu kehilangan hakekat dirinya sendiri, namun secara sadar ia anggap dirinya bebas dan hanya tunduk pada dirinya sendiri saja alias terbenam dalam khayal tentang kejayaan individualitas” Erich Fromm, Mendidik si Automaton (manusia-manusia yang terinfeksi syndrom Menara Babel)
Ketika kau tengok pula ke rumahnya, di sana terpampang ijazah dan foto wisuda, sebagai kebanggaan. Tapi benarkah mereka bangga? Yang kulihat hanya rasa malu yang ditutupi dengan make up tebal. Mereka kemudian dicibir oleh masyarakat sendiri, membuat pendidikan tersipu-tersipu dan ketersipuannya itu menghina pengetahuan. Andai pendidikan hari ini surut ke titik nadirnya sekejap saja, maka kita boleh mengharapkan era baru kebangkitan pengetahuan. Ledakan-ledakan kreasi dan penciptaan akan menghiasi hari-hari, struktur masyarakat akan terlepas tak berkait lagi, terombak sampai tak dikenali lagi. Maka akan terlihat bahwa pendidikan sama sekali tak hubung-menghubung dengan status sosial. Saya sama sekali tak sedang mengusung gagasan baru, inilah gagasan usang yang saya angkat kembali dari tumpukan-tumpukan frustasi anak-anak sekolahan, sebagai bentuk protes. Kami tak butuh tanggapan apa-apa, saya hanya sedang menyemangati diri saya sendiri. Tanpa larangan itu pun kami tak akan mengambil apa-apa dari kue masa depan kalian karena kami menginginkan kue kami sendiri, kue yang berasal dari tangan kami sendiri. Mungkin kadang-kadang tak terasa enak tetapi kami akan menikmatinya dengan sangat puas.
Diantara kami ada yang akan bunuh diri, membakar sekolah, mendendam para guru dan dosen, menjadi penjahat di jalan, mengganggu nyenyak tidur kalian, mengendap-ngendap di ruang kerja kalian, menaklukkan anak-anak gadis kalian. Bila tidak maka kamilah yang akan menentukan berapa besar gaji kalian, berapa besar bonus kalian, berapa besar uang belanja isteri dan pacar kalian, proyek-proyek yang kalian tangani, buku-buku yang harus kalian benci dan yang harus kalian baca, dan banyak lagi yang lain. Nantikanlah beberapa masa lagi, sebab itulah cambuk bagi kami, yang akan menjadi pengungkit bagi keputusasaan kami di masa lalu. Maka kita pun telah terhubung dalam sebuah lingkaran setan yang sama, kami adalah bayang-bayang dalam mimpi-mimpi kalian.
Pendidikan kalian melahirkan apa yang kalian sukai dan menggilas siapapun yang tak pantas menerima kesukaan kalian. Jangan menganggap hal ini terlalu mengada-ada; teliti dan amatilah lebih dulu bersama-sama buktinya lalu sesalilah. Pendidikan bagi kalian adalah soal layak atau tidak layaknya kami memperolehnya, tetapi bagi kami adalah bahwa setiap manusia pantas dan berhak. Segala yang kami miliki untuk pendidikan telah kami berikan dan apa yang kembali kepada kami ? Robot-robot bernyawa yang tidak berguna, yang di kepalanya hanya ada uang dan hidup nikmat, tetapi juga frustasi dan terasing. Bukankah kalian telah mengambil hidup anak-anak kami dan menggantikannya dengan ambisi kalian? Dan kalian masih ingin mengutip penghormatan? Bila pada masa kolonial dan sesudahnya (dimana orang-orang yang memegang peranan sesudahnya adalah produk kolonial), kami frustasi oleh sistem ganjaran, sekarangpun masih sama seolah waktu bergerak mundur dengan tata nilai yang samar-samar tak berbeda. Kalau pada masa itu ganjaran adalah cambuk rotan, tinju dan rasa rendah diri sebagai pribumi, maka hari ini ganjarannya adalah nilai yang sentimentil, gilasan sistem penilaian ujian, dan rasa tak berguna sebagai manusia. Maka bila pada masa revolusi amarah dan frustasi kami tersalur di medan perang, hari ini tersalur lewat tawuran di jalanan, narkoba sampai todongan terhadap rasa berkuasa kalian.
Biarkan pendidikan menemui titik baliknya, maka kita boleh mengharapkan era kejayaan ilmu pengetahuan yang baru. bukankah sudah terlalu lama kita hanya mendalami pengetahuan zaman baheula yang mulai mengering? Lambat laun semua itu mulai menjadi mandul diterpa masalah-masalah muthakir. Tetapi rasa-rasanya itu akan sangat sulit sebab telah dipastikan siapa yang boleh membuat temuan baru dan siapa yang hanya berhak menggunakan; juga siapa yang tak punya hak apa-apa, tapi berkewajiban menyukseskan dengan ikhlas ataupun terpaksa bila dibutuhkan.”
Kita berada di suatu masa di mana pendidikan menjadi tiran (oleh dominasi satu kekuatan tertentu); yang tidak berpengetahuan akan dilindas oleh hidupnya sendiri, dunia akan berbalik menaklukkannya. Di alam sadar kita -yakni masyarakat- siapa yang tak butuh pendidikan? Yang tidak berarti telah bersiap untuk tersingkir (baca: mati) secara perlahan-lahan dari kehidupannya di masyarakat. Mengingat nilai sosialnya di masyarakat, setiap keluarga berusaha mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk mendapatkan itu dan bahkan membuat eksistensi keluarganya menjadi terancam. Belum lagi dengan tidak adanya jaminan bahwa setelah semua yang dikorbankannya ia akan mendapatkan harapannya meskipun itu hanyalah selembar ijazah. Maka masyarakat dan ilmu pengetahuan pun menjadi pembunuh berdarah dingin (lihat fakta di sekitar kita) dan telah menjadi akar dari beberapa kejahatan.
Demikian kisahnya, pada detik inipun dia masih terus bergelut dengan penyakitnya. Entah sampai kapan...
(mungkin bersambung) - dream blog -
/ Senin, Mei 21, 2007 0 komentar
Kategori: Opini
Rabu, 16 Mei 2007
Sindrom Menara Babel (Babylon Tower Syndrome)
Di dunia kita, dunia yang semakin berbudaya dan beradab, pesan-pesan yang dinyatakan baik secara verbal maupun non verbal selayaknya tetap menghargai kaidah-kaidah adab dan budaya. Tapi dalam situasi tertentu, ketika makna yang seharusnya ditangkap menjadi bias oleh sublimnya adab dan budaya, maka sudah menjadi tugas kita untuk menempatkannya kembali pada proporsinya yang semula dengan bahasa yang dapat dipahaminya, dengan kasar bila perlu. Peradaban dan kebudayaan sublim yang saya maksudkan adalah kebudayaan dan peradaban yang mengawang-awang, jejak-jejaknya jauh meninggalkan kemanusiaan itu sendiri. keadaannya seperti sedang 'Trance' dalam kajian metafisik atau sedang 'On' dalam bahasa para junkyst. Yaitu peradaban dan kebudayaan yang tidak lagi bisa mengidentifikasi anak-anak zamannya dan anak-anak zaman tak lagi saling memahami.
Saya menyebut hal ini sebagai Sindrom Menara Babel (babylon tower syndrom). Sebagaimana sebuah sindrom, ia selamanya adalah kecenderungan, sejenis penyakit. Kondisi ini menggambarkan peradaban dan kebudayaan yang sedang sakit dan manusia yang mereproduksinya pun sedang sakit. Keadaaan ini bukannya tanpa sejarah, dalam kitab-kitab agama Samawi dapat kita temukan kondisi yang agak menyerupai dan dari sanalah sebutan itu saya ambil.
Diceritakan bahwa beberapa lama setelah air bah Nabi Nuh, muka bumi telah seperti sedia kala, manusia dan peradabannya berkembang biak dengan pesat juga dalam dosa. Mereka sudah melupakan penciptanya, melupakan fitrahnya sebagai manusia. Manusia masih bersatu di suatu tempat, berkumpul dengan satu bahasa dan hidup mereka dipenuhi kesenangan duniawi. Hingga suatu ketika, mereka teringat pada air bah yang pernah memusnahkan isi bumi. Lalu berkatalah mereka satu kepada yang lain, “Marilah kita mendirikan sebuah menara yang tingginya mencapai langit agar bila air bah itu datang, kita dapat menyelamatkan diri”.
Maka berkumpullah mereka, memulai proyek besar itu. Bangunan raksasa itu sudah berdiri dengan megah dan kokoh, kian hari kian bertambah. Sang Pencipta murka atas tingkah laku manusia itu dan teringat pada sumpahnya bahwa ia tak akan pernah lagi memusnahkan isi bumi sebelum tiba waktunya. Maka dikacaukannya saja bahasa dari manusia-manusia itu sehingga semua manusia itu tidak lagi bisa saling mengerti, impian mereka pun gagal, proyek itu gagal dan manusia sejak saat itu tercerai berai dan terserak ke seluruh bumi, inilah kisah menara babel itu.
Manusia senantiasa diliputi kecemasan dan rasa takut terhadap akhir kenikmatan, rasa sakit dan kematian. Karena itulah mereka menciptakan utopia; menara yang sampai ke surga. Ia menentang kodratnya sebagai manusia, fitrahnya. Mereka akan melakukan apapun untuk mewujudkannya, tetapi sayang mereka tak lagi satu pengertian; pahaman kemanusiaan. Inilah penyakit kemanusiaan, inilah sindrom menara babel.
Fenomena menara babel memiliki kesamaan dengan masyarakat kita dewasa ini, yakni masyarakat yang melupakan visi kemanusiaannya; bahwa kesatuan dan kesepahamannyalah tentang kemanusiaan mereka yang memungkinkan mereka membangun peradaban dan kebudayaan yang tinggi dan maju. Manusia dari satu budaya, satu peradaban yang meninggalkan kemanusiaannya tak bisa lagi saling memahami mengakibatkan mengakarnya sikap permisif terhadap semua bentuk kejahatan disekitarnya; permusuhan bermotif penguasaan atas kehidupan orang lain. Syndrom itu menggerogoti manusia dan manusiapun menjadi bebal, berhati degil, berjiwa kerdil dan meludahi hakikat kemanusiaannya sendiri.
Tetapi semua penyakit bukannya tanpa obat, kita sedang berusaha mencari obat sekalian dengan dosisnya yang paling tepat. Menurut saya obat atas syndrom ini adalah kesadaran, Conscentia. pertama-tama adalah bahwa kita harus sadar agar mengetahui bahwa kita sedang sakit, kemudian kesadaran ini akan membawa kita kepada pengetahuan tentang penyakit ini. Satu pengetahuan akan menarik pengetahuan yang lain sehingga apa yang kita ketahui tentang penyakit inilah yang akan menjadi obat; obat bagi peradaban dan kebudayaan kita, kemanusiaan kita. Tentu semua ini tak mudah, syndrom menara babel sudah mengakar dalam hidup kita, dalam sistem-sistem yang melingkupi kita termasuk Sistem Pendidikan kita dimana akses terhadap ilmu pengetahuan berdiam diri. Butuh perjuangan dan kerja keras untuk melepaskan diri darinya, juga untuk membersihkan sistem pendidikan kita dari infeksinya; maka dengarkanlah hardikan yang lantang itu, terimalah cambukan pengetahuan atas ketakperdulianmu, resapilah kepedihan dan rasa sakit, istirahatkan dirimu sejenak dari ambisi menara penyelamatmu dan merenunglah!!!
(Bersambung, mungkin) - dream blog -
/ Rabu, Mei 16, 2007 0 komentar
Kategori: Opini
Sabtu, 05 Mei 2007
Kirimi Aku Kamboja Saja
Pernah di suatu hari, aku mengunjungi Rumah Sakit bersama sahabatku yang seorang dokter muda.
Seharian aku mengamati seluruh aktivitas yang ada di sana dan kudapati wajah-wajah yang ketakutan akan kematian. Di antara mereka ada yang mendadak panik, ada juga yang pasrah. Tetapi ada seseorang yang menarik perhatianku. Setelah melewati antrian dan mendapatkan pelayanan, Ia tak langsung pulang. Satu jam, dua jam, tiga jam sampai ketika Rumah Sakit mulai lengang Ia belum beranjak juga. Aku mendekat dan berbincang-bincang dengannya. Mulanya hanya basa-basi, tetapi sekarang jadi serius. Ia divonis kanker ganas, tapi ia mengeluh tak punya biaya. Karena itu, Ia akan memohon keringanan. Ia percaya bahwa dokter masih bisa menyelamatkan nyawanya.
Ia bercerita kalau ia berasal dari kampung yang jauh, datang ke kota ini untuk kuliah. Tetapi kanker telah menggerogoti hidupnya. Tak beberapa lama kemudian ia mendapatkan giliran tetapi sekali lagi ia harus kecewa. Ia pulang dengan wajah kuyu, langkahnya sempoyongan. Aku mengikutinya, kami bercakap-cakap. Aku salut padanya, meski kesakitan ia tetap berusaha. Aku berjanji padanya untuk membantu mencarikan jalan keluar.
Sehabis makan malam, aku menemui sahabatku dan membicarakan hal itu. Tetapi sahabatku memberi jawaban dengan menggelengkan kepalanya. Ia tak bilang kalau sudah tak bisa ditolong, ia hanya mengatakan kalau biayanya tak kurang dua puluh juta rupiah. Aku merasakan keputusasaan yang dirasakannya, merasa hal ini di luar kemampuanku. Aku punya tabungan, tetapi hanya 1/18 dari biayanya. Aku merengek kepada sahabatku, tetapi ia malah menghardikku, katanya: “Ada banyak orang yang seperti itu, apa kau mau menolong semuanya? Jangan libatkan dirimu, kau bisa gila!”
Aku menyerah, beberapa hari aku tak menemuinya. Aku terus menerus bergumul dengan pikiranku sendiri, lalu terlonjak oleh sebuah ide. Aku bermaksud hendak membawanya ke rumah sakit dengan membayar uang mukanya saja dulu. Yang lain urusan belakang. Pikirku, Aku masih muda dan bebas, karenanya dapat kutanggungkan resiko apapun! Begitu semangat yang membakar hatiku itu. Aku segera berangkat, tetapi setiba di tempat kostnya kulihat pintunya terkunci. Ia sudah tidak ada. Dari tetangga kamarnya kuketahui kalau Ia sudah meninggal dunia kemarin. Aku kaget dan linglung beberapa saat. Ia menitipkan selembar surat untukku, intinya ia senang karena aku peduli. Ia selalu menantikan aku bahkan sampai saat meninggalnya yang hanya dikawani sepi...
Aku masuk ke kamarnya, menangisinya meskipun aku tak terlalu mengenalnya. Ada sesuatu yang menghubungkan kami, penderitaan itu dan kemanusiaan ini. Di sebuah diary ia menuliskan puisinya yang terakhir:
Dok,...
Rumahmu terlalu putih,tak mampu aku menatap
Lihatlah, mataku silau bahkan telah buta
Hingga tak kutemukan jalan, agar boleh sekedar menyapamu
Kakiku terasa berat lagi lamban
Tanganku kurus, terlalu tipis
Tak mampu menjabat tanganmu, ganti terima kasih
Aku pulang saja ya?
Jangan lupa jenguk aku
Tak perlu bawa jarum suntik
Aku lebih suka bunga kamboja
Senin, 30 April 2007
Air
Kemarin, kudengar hiruk pikuk
Berarak tak sabar melintasi rumahku
Tahan ! Satu suara berdesau gusar
Pak tani tak menginginkan mereka
Hari ini, mereka berderak ke rumahmu
Melintasi pipa-pipa tak berperasaan
Lalu keluar lagi dengan wajah kuyu membiru
Sebab terkecup bibir mercurymu
Lekas ! Lekas ! Lekas !
Sekelompok beriak parau
Satu menjerit, dua menggelepar
Yang lain mati dalam teriak mendesis
Sebab tanah yang dipijak hendak mendidih
Kini mereka mereka menjadi monster
Hantu yang bergentayangan di dekat rumahku dan rumahmu
datang dalam rupa-rupa elok
Sebentar lagi mahal, membuat kita tercekik
Belumkah kau menyaksikan
Airku, airmu, air kita saling kenal
Lihatlah, mereka saling berpelukan
Beramah tamah di lautan sejak dari gunung-gemunung
Berkumpul dalam kumpulan arus yang besar
Lalu berderak ke segala arah
Maka marilah bersulang kawan
Karena jus lumpur spesial jadilah hidangan
Bahan-bahannya adalah seluruh isi rumah dan binatang ternak
Bahkan anak-anak kita
Juga diriku, dirimu
Minumlah, sedotlah lagi biar lenyaplah dahaga
Maaf, agak amis dan nyinyir
- dream blog -
/ Senin, April 30, 2007 0 komentar
Kategori: Syair
Sabtu, 21 April 2007
Selamat Tinggal Ego Masa Muda!
Saya telah memecat Tuan Kekalahan dari dalam pikiran saya. Saya tidak membutuhkannya. Dia tidak membantuku sama sekali ke tempat yang akan kutuju. Maka kupecat ia. Sekarang saya akan menggunakan Tuan Kemenangan di dalam pikiran saya. Saya limpahkan semua divisi pikiran kepada Tuan Kemenangan. Dia bisa selalu memperlihatkan bagaimana saya bisa berhasil. Saya akan mempercayakan dan menggunakannya dalam setiap kesempatan.
Hari ini hari baik! Nah, Tuan Kemenangan, aku isyaratkan Anda untuk maju!
"Hari ini baik sekali, Tuan Imhaya. Cuaca cerah. Hidup ini menyenangkan sekali. Betapa segarnya hujan ini. Betapa hangatnya sinar matahari. Ini membuat kita senang menjalani hidup. Hari ini Anda dapat mengejar sebagian aktivitas Anda. Terus maju, Tuan! Hidup ini indah!"
*****
Aku berjanji kepada diri ini untuk selalu berubah, kepada jiwa raga yang lebih baik dan terbaik. Menyongsong masa depanku yang cerah, demi keluargaku, dan anak-anakku kelak. Untuk mereka yang kucintai, agar dapat hidup lebih layak. - dream blog -
/ Sabtu, April 21, 2007 0 komentar
Kategori: Refleksi
Rabu, 18 April 2007
Sarimin Minta Sekolah
---
“Sekolah, hanya bikin orang malas dan rakus, jahat, juga suka menipu. Lihat saja, anak-anak muda di dekat pasar itu! kerjanya hanya menggoda perempuan, kalau tidak mabuk-mabukan lalu memalak kuda. Ingat kau, sawah kita yang sekarang berdiri kantor desa? Dulunya, orang-orang sekolahan itu bilang untuk kesejahteraan kampung kita. Tapi apa? Tempat untuk mengumpulkan upeti dari rumah kita sendiri. ”katanya dengan berang.
“Apa itu berarti sekolah yang membuat mereka seperti itu dan karenanya anak kita tak boleh sekolah?“
“Jangan bilang mereka itu tak sekolah sepertiku, aku kenal mereka seperti semua orang-orang di kampung ini juga mengenali kebodohanku”
“Aku pernah sekolah di SD, tapi aku tak seperti mereka?”
“Kubilang tidak, si Olan tetap tak boleh sekolah. Mereka bukan saja sudah sekolah di SD, bahkan lebih tinggi dan paling tinggi. Kau tidak seperti mereka karena kau isteriku.” Katanya gusar pada isterinya.
“Apa kau tidak kasihan pada anak kita?”
“Belikan dia seragam yang paling bagus, tapi bukan untuk sekolah.” Katanya lebih lunak.
“Lalu untuk apa?” isterinya bingung.
“Untuk menggembalakan kerbau, dia akan suka. Oh ya, tembakauku hampir habis, jangan lupa.” ujarnya menutup pembicaraan.
Ia berangkat dengan memanggul kapak di punggung, nampaknya hendak ke hutan. Dari kejauhan, terlihat olehnya si Olan anaknya yang baru berumur 6 tahun sedang becengkrama bersama beberapa kawannya di atas punggung kerbau. Hatinya kembali galau oleh percakapannya dengan isterinya, percakapan yang telah berulang sampai puluhan kali. Wajah orang-orang kampungnya melintas di kepalanya, membuat bulu kuduknya bergidik dongkol dalam kemuakan. Ia tak habis pikir. Dahulu, ketika baru beberapa orang yang bersekolah, tak ada kebencian sedikitpun terhadap mereka. Kini, saat hampir dirinya saja yang tak pernah sekolah kecuali anak-anak kecil itu, semua orang menganggapnya dungu dan bodoh. “Apa untungnya bisa baca dan tulis? Apakah bisa menghasilkan makan untuk anak dan isteri? Padahal aku mampu lakukan semua hal yang bisa mereka lakukan kecuali membaca dan menulis. Dan lagi, belum tentu mereka bisa lakukan apa yang bisa aku lakukan seahli aku.” gumamnya.
Bias-bias matahari pagi mulai menembus lubang-lubang langit di pepohonan. Badannya basah oleh peluh sedangkan embun pagi belum lagi menguap dari urat-urat daun yang berserakan di tanah. Ranting-ranting kayu dikumpulkannya, beberapa pohon kayu kering tumbang oleh kapak lalu dibelahnya. Binatang-binatang hutan kaget dan ketakutan akibat kegaduhan yang dibuatnya pada pagi itu, beberapa ekor burung berkelebat panik dari sebuah pohon dan dua ekor burung hantu menjerit-jerit marah seolah merasa terancam tapi tak diacuhkannya. Kayu-kayu yang dikumpulkannya sudah menumpuk setinggi lutut, ia mulai lelah. Tapi ia tidak berhenti dari pekerjaannya. Kini ia malah mencari rotan kecil buat pengikat. Jerit burung hantu terus mengganggu telinganya, tapi ia hanya bisa mengumpat lalu kembali untuk mengikat kayu-kayunya.
Tumpukan kayu itu dibaginya menjadi dua tempat, ranting pemikul yang cukup kuat sepanjang kedua depa tangannya diletakkannya sebagai antara lalu diikatnya kedua tumpukan itu pada masing-masing ujung pemikulnya. Ia sudah siap berangkat pulang dengan pikulan di punggung, tapi urung oleh suara burung.
“Mungkinkah anak-anak burung itu menjerit-jerit karena terjatuh ke tanah?“ Pikirnya.
“Ah… si Olan mungkin suka punya burung hantu.”
Ia lalu mencari suara itu, berputar-putar sambil menyibak semak-belukar. Tak beberapa lama yang ditemukannya bukannya anak burung hantu dengan sayap dan bulu-bulu coklatnya melainkan sesuatu yang hitam seperti bayi.
“Ai, orok setan?” Ia terpekik bergetar, lalu diperhatikannya lagi lebih dekat. Rupanya seekor bayi lutung yang ditinggal kawanannya. Dengan ragu-ragu ia meraihnya, ada kengerian kalau-kalau makhluk itu tiba-tiba saja menggigit tangannya. Tapi tidak, bayi lutung itu seperti acuh saja.
Pikulan kayu dihempaskannya didekat tangga dapur lalu bergegas menuju beranda rumah, isterinya menyambutnya dengan tatapan bertanya-tanya. Ia membuka sarung yang dikalungkannya di lehernya.
“Bayi monyet?” isterinya bertanya.
Ia hanya mengangguk kebingungan tanpa suara. Isterinya cekikikan melihat tingkah suaminya dan lalu tersedak karena tawa yang ditahannya di leher, sebab wajah suaminya terlihat gusar merasa ditertawakan.
“Si Olan pasti senang, tapi bagaimana kita memeliharanya?” katanya mengembalikan suasana. Suaminya menggeleng lalu berkata sambil berlalu kalau ia hendak memanggil si Olan.
Tak beberapa lama kemudian si Olan muncul bersama kawan-kawannya. Mula-mula tak ada yang berani terlalu dekat, tapi lama-lama anak-anak itu bergantiaan mengelusnya.
“Ia minta susu!” kata seorang anak.
“Bu, ia minta susu!” seru Olan pada ibunya.
“Hah?” ayahnya kaget.
“Kasih saja susu kerbau,” kata ibunya dari dapur.
Ayahnya kemudian bergegas menuju kawanan kerbau, hendak memerah susunya.
“Siapa namanya bu?” Olan bertanya.
“Panggil saja Sarimin.” Kata ibunya yang teringat pementasan topeng monyet di pasar.
Hari itu dunia kanak-kanak di kampung si Olan geger terbahak-bahak. “Si Olan punya adik berwajah lutung, namanya Sarimin.” Begitu bunyi kabar yang menggemparkan itu. Tetangga-tetangganya banyak yang datang, ada yang tersenyum dikulum, ada pula yang mengumpat dan mencibir. Ayah si Olan seharian seperti orang linglung, ia kembali menjadi pusat perhatian dan bahan olok-olok orang kampung. “Keluarga itu tak bisa membedakan manusia yang hidup di rumah dan lutung yang hidup di pepohonan, monyet dikasih susu kerbau, monyet pakai baju.” Begitu kata celaan yang keluar dari mulut orang-orang kampung sambil terbahak-bahak.
---
Beberapa bulan telah lewat, keluarga itu mulai terbiasa dengan keberadaan monyet Sarimin. Tapi ada yang berubah, Ayah si Olan kini lebih sering diam dan agak kurus. Isterinya terus-menerus dihantui rasa cemas melihat perubahan suaminya, karena itu ikut kurus. Sarimin si monyet kini lebih besar serta kuat dan lebih sering bergantung di ketiak Olan, sedangkan anak itu juga agak kurus karena perhatiannya kini terbagi kepada kerbau dan monyetnya. Kian hari keluarga itu makin terkucil saja dari kehidupan kampungnya. Selain karena tidak tahan oleh gunjingan, juga karena semakin menarik diri dari pergaulan. Hanya Ibu si olan saja yang tetap ke pasar untuk menjual dan membeli keperluan yang benar-benar dibutuhkan, kadang disertai bonus umpatan gratis.
“Si Olan dengan kerbau-kerbaunya sudah kelas berapa?” atau “Si Olan dapat nilai berapa hari ini dari gurunya si kerbau?”. Ia hanya menjawab bahwa jumlah kerbau si Olan kini enam ekor ditambah empat anaknya yang masih menyusu. Begitulah, keluarga itu sudah menjadi bahan olok-olok yang nikmat. Dijamin, bahkan oleh tukang cerita yang terburuk sekalipun akan sanggup membuat perut terkocok sampai keram sehingga saraf-saraf yang tegang setelah seharian berburu kesempatan dalam persaingan bagaimanapun ketatnya akan kembali santai.
---
Pada suatu hari Olan mulai jenuh dengan seragamnya yang mulai lusuh, karena itu ia meminta dibelikan yang baru. Maka Ibunya pun membelikannya pada keesokan harinya. Seragamnya yang lama kini dikenakan oleh Sarimin si monyet. Tetapi hanya beberapa lama kemudian Olan mulai merajuk lagi minta disekolahkan bersama kawan-kawannya, si Sarimin ikut-ikutan. Ibunya hanya mengatakan kepadanya agar bersabar, bahwa ia akan bersekolah juga seperti yang lain bila sudah waktunya. Olan malah merengek, ia merajuk sampai ayahnya tiba. Mata Ayahnya merah oleh amarah melihat Olan dan si Sarimin yang berseragam itu minta sekolah dan ia lebih marah lagi karena mendengar langsung permintaan itu dari anaknya sendiri. Sekelebat ia meraih rotan lalu mencambuki dan mencincang-cincang tubuh anaknya itu bagai kesetanan sambil menumpahkan kekesalan yang sekian lama tertumpuk di hatinya:
“Bahkan kau anakku sendiri, hendak menjadi bahagian dari mereka? Tidakkah kau lihat mata mereka menatap kita seperti kotoran, Hah? Kau anakku hendak minta sekolah lalu setelah berpendidikan maka kembali mengumpat kami yang tak tahu apa yang kau tahu? Kalianlah yang mengadakan kedunguan lalu meletakkannya di wajahku sambil terbahak-bahak dengan telunjuk di hidungku! Aku tidak dungu, Ibumu tidak bodoh, keluargaku bukan keluarga binatang!”
Disepaknya jauh-jauh Sarimin si monyet yang terjatuh dari ketiak Olan, binatang itu menjerit melengking karena kesakitan. Olan berteriak ampun. Ia tenggelam dalam lautan pedih dan ketakutan melihat keberingasan ayahnya. Tubuhnya lunglai tak bertenaga, terhempas telentang ke lantai. Seragamnya sobek-sobek terkena sabetan rotan. Ibunya hanya bisa histeris sedari tadi, tak mampu melindungi anaknya. Ayahnya kemudian menyudut di pojok bertelekung lutut, dan menangis. Amarah yang sekian lama dipendamnya, akhirnya tumpah pada anak yang ingin dijaganya dari yang menurutnya kejahatan sekolah. Beberapa tetangga yang mendengar keributan itu berseliweran di jalan, mengintai. Mereka mulai bergunjing lagi bahwa keluarga dungu itu mulai sakit gila.
Orang-orang di rumah itu diliputi nelangsa, sendiri merasai penderitaannya.
Keadaan sunyi senyap, sudah malam. Lengang. Hanya sesekali terdengar suara sesengukan. Sariminlah yang pertama kali membuat gerakan dengan mengorek-ngorek tubuh Olan yang akhirnya siuman. Ia tersadar tengah terbaring di pangkuan ibunya. Ayahnya di sudut ruangan, mulai menyadari dirinya.
“Kerbauku belum kuantar pulang” kata Olan sambil merintih. Ayahnya yang mendengar itu lalu menyergapnya tiba-tiba dengan pelukan, tangisnya pecah lagi, ibunya juga.
“Maafkan ayah nak, ayah tak bermaksud menyakitimu”
“Tapi ayah mencambukiku sangat keras” Olan protes.
Ayahnya tak tahu harus mengatakan apa, ia memang tak bermaksud dan tidak pernah mau menyakiti anak yang dicintainya, tapi kenyataannya ia menyakitinya.
“Ayahmu tidak sadar” kata ibunya, ayahnya mengangguk membenarkan tetapi anak-anak tak paham apa itu sadar dan tidak sadar. Ia terdiam sementara nafasnya masih tersengal sesengukan. Keesokan harinya matahari datang seolah tak terjadi apa-apa. Semua terlihat biasa saja kecuali luka di sekujur tubuh si Olan.
Ibunya sudah pulang dari pasar, mereka baru saja usai makan siang ketika disodorkannya sebuah seragam baru kepada anak semata wayangnya itu, tetapi ditolaknya.
“Aku tak mau sekolah lagi, seragamnya kasih ke Sarimin saja”
“Tidak apa-apa kalau tidak mau sekolah, belajar tidak harus sekolah. Ibu bisa mengajarimu apa saja, bapakmu juga.”
“Bapak dan ibu jadi guruku?” katanya girang.
Ibunya mengangguk.
“Kalau begitu, aku dengan Sarimin jadi muridnya”
Olan mulai riang lagi. Diceritakannya pada kawan-kawanya kalu ia pun akan segera sekolah, ibu dan bapaknya yang jadi gurunya. Kawan-kawannya yang masih berseragam sebab baru saja pulang dari sekolah terbahak-bahak mendengar itu.
“Ibumu jadi guru apa, bapakmu bisa mengajar apa?”
“Ibuku pandai membaca, menulis dan bernyanyi seperti guru yang kalian ceritakan, bapakku bisa mengajariku olahraga berenang, berburu, memanjat, menombak, lari. Semua itu olahraga juga, bukan?”
“Tapi di sekolah kami bermain bola, kami punya seragam olahraga dan ruang kelas.” Kata seorang anak.
“Aku dan Sarimin bakal dibelikan, juga bola. Ruang kelasku adalah alam ini. Apa di sekolah kalian juga belajar berenang di sungai dan berburu di hutan?”
Anak-anak itu terdiam menggeleng.
“Kalau begitu, sekolahku nantinya lebih baik dari sekolah kalian. Kalian musti minta agar diajari berenang dan berburu.”
Anak-anak itu mengangguk setuju.
Sejak hari itu kawan-kawan Olan lebih banyak mendengarkan Olan dan tidak lagi menjadikannya bahan olok-olok. Kadang ketika sedang bercengkrama dengan keluarga mereka masing-masing tak jarang mereka melontarkan pujian pada Olan yang disambut protes dari orang tua mereka.
Kini Olan benar-benar sudah berhenti menginginkan untuk sekolah bersama kawan-kawannya. Ia benar-benar menikmati kesibukan barunya itu. Pelajaran yang paling disukainya adalah berenang dan berburu. Ia kembali ke keriangan-keriangan lamanya yang tanpa seragam. Hanya si Sarimin saja yang seolah sudah kepincut menjadi anak sekolahan, sebab seragam yang dikenakannya tak mau dilepaskannya sama sekali meskipun telah kumal dan kotor. Bila sesekali saat bermain Olan berusaha mengambil seragam itu, Sarimin akan marah.
Seperti itulah, kemana pun mereka pergi si Sarimin tak pernah alpa dengan seragamnya. Si Sarimin pulalah yang seolah-olah sedang mengusik kebanggaan orang-orang kampung pada sekolah. Dalam kepala mereka timbul pula kejengkelan pada keluarga Olan yang dungu itu. Sebab menurut mereka, Ayah si olan sengaja mengolok-olok mereka dengan monyet berseragamnya. Beberapa kali orang-orang kampung mencoba melucuti pakaian si Sarimin tapi monyet itu melakukan perlawanan sehingga selalu saja bisa menyelamatkan diri dan makin jengkellah mereka.
Ayah si Olan, sekarang menjadi lebih menahan diri, hal-hal yang tak disukainya ditelannya saja. Tak pernah lagi ditanggapinya cacian orang-orang kampungnya, juga tentang protes mereka atas seragam si sarimin. Ia menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan-kegiatannya. Ia larut dalam semua kegiatan-kegiatan itu sehingga terlihat jelas keseriusannya dan melimpahlah hasil yang didapatkannya lebih dari yang diharapkannya.
Ia memiliki semangat, yaitu semangat untuk menunjukkan kepada anak dan isterinya bahwa menjadi orang 'dungu' dan 'bodoh' bukanlah sesuatu yang buruk. Lebih dari itu sedari kecil di dadanya sudah terpatri semangat kegeraman terhadap pandangan orang-orang kampungnya yang picik dan kerdil.
---
“Sedikit-sedikit keadaan ini tak tertahan lagi olehku.” Katanya kepada isterinya pada suatu ketika.
“Aku ingin menyerah, aku tahu selama ini kalian menanggungkan penderitaan yang dialamatkan kepadaku.”
Isterinya hanya terdiam.
“Lumbung kita dipenuhi makanan, kerbau-kerbau Olan selalu bertambah sepanjang tahun. Tak akan pernah habis lalu membuat kita mati dalam kekurangan kecuali kita tak mampu menjaganya. Tetapi apa arti semua itu bila hati ini tak tenteram?”
Isterinya tetap diam, ia juga diam. Kini hanya suara Olan dan si Sarimin saja yang memecah keheningan rumah itu, mereka bergulingan sambil cekikikan geli tertusuk rumput halaman.
“Lihatlah keceriaan anak itu, seperti tak menanggungkan apa-apa. Tetapi aku tahu ia mengetahui semuanya. Ia tahu kenapa kawannya yang paling akrab hanyalah si Sarimin. Andai monyet itu tak ada, aku tak akan sanggup melihat kemurungan di wajahnya.”
“Ia sudah tak menginginkan sekolah bersama kawan-kawannya lagi.” Kata isterinya.
“Ia mencintaiku. Aku pernah seperti dirinya, makanya aku tahu. Aku lebih memilih ayahku ketimbang keinginan mereka atasku untuk menjadi seperti mereka meskipun akhirnya terenggut dariku.”
“Apa rencanamu?”
“Membuat orang-orang kampung berhenti membenci kita.”
“Si Olan boleh sekolah?“ Tanya isterinya.
Suaminya hanya menggeleng.
“Sepanjang hidupku telah kuhabiskan membuat mereka tidak mengolok-olok kita dengan memperlihatkan bahwa kita sungguh tidak bodoh dan dungu melalui apa yang kita punya. Tapi keadaannya tetap sama. Meskipun begitu, Olan tetap tidak boleh sekolah selama aku masih sanggup membuat kita mampu menghindarkan diri dari kehidupan mereka.”
---
Beberapa hari kemudian, di suatu pagi ketika ia hendak berangkat ke hutan mencari kayu, seseorang berseragam muncul dan memberitahukan agar semua orang kampung berkumpul di balai desa. Awalnya ia urung hendak ikut. Tetapi isterinya membujuknya, maka ia pun berangkatlah. Di sana orang-orang kampung telah hadir di depan Pak Camat yang baru saja mulai berpidato.
“Di kampung ini ada yang suka berburu?” Tanya Pak Camat dalam pidatonya.
“Ada Pak!!!” koor penduduk kampung sambil menunjuk Ayah si Olan dengan mata. Ayah si olan mukanya merah padam.
“Kalau Penebang kayu?”
“Ada Pak!!! Ini orangnya, sedang bawa kampak.” Teriak salah seorang penduduk lagi. Wajah Ayah si olan semakin gelap saja.
“Akhir-akhir ini, daerah kita banyak dilanda bencana. Kalau bukan banjir, kekeringan. Betul tidak?”
“Betuuul!” koor hadirin lagi.
“Itu semua disebabkan oleh rusaknya lingkungan kita, yaitu habisnya pohon-pohon di hutan akibat penebangan liar seperti yang dilakukan oleh bapak ini. Selain kerusakan itu, satwa-satwa liar juga semakin punah oleh banyaknya perburuan liar.” Katanya sambil mengarahkan pandangannya ke arah Ayah si Olan dengan maksud supaya kata-katanya dicamkan. Tetapi, ekspresinya terlalu kelihatan sehingga membuat hadirin mentertawakan Ayah si Olan sebagai tanda setuju akan makna tatapan itu ditambah kejengkelan mereka terhadapnya.
Ayah si olan semakin merah padam, ia marah lalu berdiri, katanya:
“ Kalian orang-orang sekolahan, melihat kebodohan dan kedunguanku, aku mengenali kecerdikan kalian. Kecerdikan yang sama sejak ayahku dan nenek moyangku. Memang, saya selalu ke hutan hendak mengambil kayu bakar untuk dapur isteriku. Memang, saya sesekali berburu ke hutan untuk makanan anak dan isteriku. Kalian menanggungkan semua kerusakan itu atasku dan saya tidak bisa mengelak. Saya mengambil kayu dan berburu binatang, senjataku kapak dan tombak, tetapi kalian menggunakan mesin dan senapan. Saya hanya mampu mengambil sedikit dengan kapak kecilku ini, kalian mengambil semuanya. Saya mendapatkan satu ekor saja sudah bahagia dan merasa beruntung, kalian mendapatkan sepuluh belum juga puas malah merasa sial. Kalian memang hebat dan pintar.” Katanya marah sambil menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan, tetapi para hadirin malah cengengesan meskipun dipaksakan. “Bisa juga dia bicara.” Begitu bisik-bisik mereka.
“Tenang! Tenang!” Pak Camat menenangkan suasana.
“Aku sudah tahu, ada di antara kalian yang tidak akan terima. Tetapi ini bukan tuduhan tak beralasan, banyak atau sedikit yang kalian ambil, tetap kalian adalah perusak. Karena itu kalian harus berhenti.” Katanya tegas.
Ayah si olan sedang berpikir tentang dengan apa isterinya akan memasak makanan bila ia berhenti mengambil kayu, ketika Pak Camat melanjutkan pidatonya lagi.
“Perusakan hanya pekerjaan orang-orang bodoh dan tolol yang tak berpendidikan sehingga tak mampu berpikir bahwa semua itu tidak hanya merusak dirinya saja tetapi semua orang.” Hujat Pak camat lantang.
Kontan tawa pecah di seluruh ruangan itu mendengar kata-kata ‘bodoh dan tolol’ serta ‘tak berpendidikan’ dari Pak camat, keriuhannya menghujam kehormatan Ayah si Olan. Perasaan terhina yang telah dirasakannya sepanjang hidupnya kembali terluka.
“Dia memang tidak pernah sekolah Pak!” seru salah seseorang melampiaskan kekesalannya pada Ayah si Olan, disambut tawa hadirin. Pak camat manggut-manggut dengan senyum dikulum.
Ayah si olan seperti tersengat kemarahannya yang membuncah. Tanpa kesadaran lagi diayunkannya kapaknya ke arah orang itu sambil menghambur ke arahnya, buk!
Orang itu tersungkur berlumuran darah sebab terkena lemparan tepat di kepalanya. Dengan cepat, Ayah si olan meraih kampak itu lagi lalu mengejar Pak camat yang sedang panik dan bingung menyaksikan peristiwa itu.
Bret!
Sabetan kapak yang keras itu menyobek pipi kanan Pak camat hingga tembus ke sebelah kiri. Kapak itu masih hendak berayun ketika dua orang pengawal camat menangkapnya dari belakang lalu melumpuhkan ayah si Olan.
Kejadiannya begitu cepat, hadirin yang tadinya tunggang-langgang kini mengerumuni mobil polisi yang hendak mengangkut ayah si Olan itu. Umpatan dan cacian kembali mengiringinya.
---
EPILOG
Sebelas tahun berlalu sejak kejadian di balai desa itu, gerbang sebuah Rumah Tahanan terbuka dan seseorang dengan tubuh ringkih melangkah gontai. Ia berpikir, mungkinkah anak dan isterinya sedang menanti-nantikan kedatangannya? Angin segar dihirupnya nikmat di sepanjang jalan menuju rumahnya, pulang. Sebelas tahun, tak sekali pun terlihat olehnya wajah mereka, juga rumahnya. Diingatnya, sesekali bila kawan seselnya menerima kunjungan keluarga dan orang-orang yang dicintainya, keinginannya untuk bertemu mereka juga muncul dengan sangat kuat. Tapi akhirnya dimakluminya juga keadaannya, sebab ada begitu banyak kemungkinan yang tak dapat dipahaminya dengan pasti.
“Olan!” serunya di tangga rumah yang samar-samar mulai tak dikenalinya lagi. Seorang perempuan, muncul di pintu diikuti oleh seorang pria pula.
“Ah… aku kira rumah ini bukan rumahku lagi!” serunya senang. Tapi wanita setengah baya itu tiba-tiba pingsan tak sadarkan diri.
Dari pria yang semula dikiranya anaknya itu diketahuinya kalau perempuan yang dahulu isterinya itu bukanlah isterinya kini, sebab ia sudah bersuami lagi. Ia kaget, tetapi berusaha untuk tetap tenang. Jadinya, tak terlihat kegusaran sedikitpun di wajahnya. Ia sekarang lebih matang. Tetapi ketika diketahuinya bahwa si Olan anaknya tinggal di kota karena sedang bersekolah pada sebuah SMU, ia mulai tak tenang. Wajahnya kuyu oleh kesedihan, lalu menitikkan air mata dan menangis. Ia tak habis pikir kalau inilah buah dari segala pengorbanannya.
Seekor monyet mendekat ke arahnya, Sarimin. Bulu-bulunya ada yang sudah berwarna putih. Seragam yang dikenakannya sudah compang-camping, kumal dan bau karena tak terawat. Ia menjadi semakin sedih menyaksikan keadaan itu, semua telah berubah, tetapi dirasanya seperti baru kemarin. Perasaan hampa memenuhi hatinya, lalu berkata:
“Tak ada alasan lagi padaku atas apapun jua.” gumamnya pada dirinya sendiri.
Sementara perempuan yang sudah asing baginya itu belum sadarkan diri, Ia pun meninggalkan rumah itu dengan membawa beberapa perkakas yang masih dikenalinya sebagai miliknya. Ia berjalan hingga kelelahan menuju sebuah rumah sawah yang sudah mulai rapuh dan lapuk, sebuah gubuk yang berdiri di atas sebidang tanah yang dahulunya menjadi sumber nafkah bagi ia dan keluarganya. Dikibaskannya debu-debu ngengat yang mengotori balai-balai, lalu merebahkan badannya di atasnya.
Dilihatnya kelam menari-nari di ujung hari berpesta bersama rona senja, menyambut malam yang gulita. Dan dilihatnya pula, bayang-bayang kenangan berlari mengarak kebusukan di atas kepala yang kuatir, hendak menggerogoti jiwanya. Sebentuk kerinduan akan semua masa-masa itu menyelinap di antara hati, hati yang telah menjadi pengecut, sebab renta oleh waktu. Tapi dengan sisa-sisa ketegaran masa mudanya, dihempaskannya jua godaan-godaan itu lalu bergumam sendiri:
“Oh, dunia! Bagaimana akan kau tebus semua yang telah kau renggut dariku? Karena bahkan seluruh milikmu tak akan kuanggap cukup untuk menyempurnakan hari-hariku yang mulai ditelan getir... agar kembali kegairahanku, demi keceriaanmu?”
Sarimin tua tiba-tiba muncul dan mengambil tempat di sampingnya. Ia menoleh ke arahnya, lalu tersenyum melihat tingkah Sarimin yang kegelian oleh kutu-kutu di punggungnya. Angin gunung berhembus ringan membuai penghuni gubuk yang muram itu dalam mimpi-mimpi yang akan menyata keesokan paginya dan keesokan pagi selanjutnya, setidaknya, di gubuk itu tak akan ada yang mati dalam kesepian kecuali salah satunya...
Sabtu, 31 Maret 2007
Hadiahnya Air Putih
Satu-satu embun menepi
Memberi jalan hari yang tergesa
Hendak kemana hai kembara
Bahkan kasutmu belum lagi terikat?
Garang matahari menumis rambut
Peluh meleleh hampir matang
Bebatu blingsatan melabrak jejari
Hidung mendengus, mulut mengumpat
Waktu berjingkrak memeluk malam
Saat pulang, kuda pacu bernyanyi
Cacing menjerit mendera lambung
Saat tiba hadiahnya hanya air putih; asem
- dream blog -
/ Sabtu, Maret 31, 2007 0 komentar
Kategori: Syair
Kamis, 22 Maret 2007
Hakikat Suka & Duka
Sekali waktu kita akan tertawa, di saat yang sama air mata telah menyiapkan dirinya untuk satu bahkan berkali-kali usapan. Di waktu lain, kita akan larut oleh kemalangan, tangan-tangannya yang mengerikan seolah memerangkap kita begitu kuat sehingga kegelian akan sesuatu yang patut atau tidak patut disunggingi senyuman seperti biasanya terasa hampa saja. Di saat-saat seperti itu kerapuhan seolah menunjukkan dirinya. Akan terlihat seperti apa wajah kekuatan dan bagaimana rupa kelemahan.
Sesungguhnya kehidupan adalah parade kerapuhan! Demikian pesan petaka, datang pada kita lewat makna-makna derita yang mengikutinya. Hanya mata yang awas akan dapat menangkapnya.
Lalu tibalah mereka itu, orang-orang yang telah datang dari lembah kemalangan. Ditanggalkannya luka itu, tapi bukan untuk kembali ke rumah duka melainkan tiada kemana-mana. Sebab sejak saat itu, seluruh sudut kini adalah rumah duka baginya dan seluruh makhluk kini adalah kawan berbagi duka. Tetapi tidak juga ia datang membawa dukanya bagi mereka melainkan mengambil dan mengangkat duka-duka mereka ke atas punggungnya sendiri sehingga terlihatlah oleh mereka itu kalau tiada lagi yang pantas mereka sesali dan tangisi.
Aku terlibat dalam sebuah kelompok pecinta alam atau tepatnya penggiat alam bebas. Semula, aku menjalaninya atas dasar minat. Tetapi apa yang kudapatkan lebih dari yang kuharapkan. Di sanalah kesadaranku yang pertama tentang kehidupan kemanusiaan tergelitik. Bahwa kehidupan di alam luas tidak semata-mata ada kegembiraan, tetapi juga ada kepedihan; kepedihan yang lahir dari kegembiraanku.
Beberapa kali kami melakukan ekspedisi ke gunung-gunung dan pedalaman. Beberapa kampung yang pernah kami datangi akhirnya lenyap tersapu longsor dan banjir. Aku berduka dan sangat menyesalinya.
Di beberapa tempat yang dahulunya kuakrabi itu, aku mendapati sisa-sisa kemalangannya di lembar-lembar koran, berita, di TV, manusia. Sementara aku mengabunginya, ada kulihat empati dan simpati yang mengalir. Tetapi semua itu tak mampu menggantikan rasa yang hilang pada diriku, terlebih pada mereka. Dan hati kita memang sudah busuk, dalam keadaan seperti itu kita masih ingin mengambil manfaat untuk kepentingan diri dan kelompok kita sendiri; promosi dan pencitraan, bisnis dan politik. Bahkan dengan kejam kita masih sempat membuat tuduhan dari balik lembaran-lembaran kertas kerja kita, bahwa petaka itu akibat dari kesalahan mereka sendiri.
Aku berada di antara kehidupan kotaku yang modern dan kehidupan mereka yang sederhana dan bersahaja. Untuk kembali ke kehidupan lamaku yang penuh optimisme dan ambisi kubaui kesia-siaannya, tetapi menjalani kehidupan seperti orang-orang desa aku belum mampu.
Sungguh, hidup ini saling jalin menjalin dan tak ada satupun yang benar-benar lepas satu dengan lainnya; bahwa dalam sepotong kebahagiaanmu terkandung duka derita setiap mahluk, di setiap sudut kepedihanmu ada kepuasan dan kegembiraan semesta. Kebahagiaan dan penderitaanmu adalah masa depan kehidupan, nikmat dan pedihmu itulah kebahagiaan, nikmat dan pedihmu itulah penderitaan. Yang perlu kau kuatirkan hanyalah bila kau sudah mati rasa, sebab itulah petakamu yang sesungguhnya, petaka kemanusiaan.
Maka seyogyanya setiap kegembiraanku tidak membawa penderitaan bagi mahluk lain, atau biarkan kesukaranku merekahkan senyum bagi mereka yang menderita dan lagi, biarkan kesenanganku terbagikan menjadi kesenangan setiap makhluk. Bukankah ini semangat yang telah lenyap itu? - dream blog -
/ Kamis, Maret 22, 2007 0 komentar
Kategori: Refleksi